31 Juli, 2009

Kafe dan Ayat Kursi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Suatu ketika saya kedatangan tamu dari luar kota. Tamu ini merupakan sahabat dekat saya yang lama tidak pernah ketemu. Setelah ngobrol agak panjang, sahabat tadi mengajak saya untuk menemani dirinya ke suatu tempat. Dia ada janji dengan seseorang, katanya. Di tengah perjalanan, sahabat saya tadi menceritakan maksud dan tujuan dari pertemuan itu. Ia ada janji dengan seseorang dalam rangka mendiskusikan tulisan yang akan diterbitkan di sebuah penerbit ‘bergengsi’ di Jogjakarta. Saya mendengarkan cerita sahabat saya sambil sesekali menimpalinya dengan diskusi kecil. Dan, tak lama kemudian kami semua sampai di tempat tujuan. Wah aku baru sadar, ternyata saya diajak ke sebuah kafe.
Seperti kafe-kafe yang lain, dalam kafe tempat ‘kencan’ sahabat saya tadi terlihat deretan kursi-kursi yang ditata rapi mengelilingi sebuah meja. Setiap meja di kelilingi dua kursi atau kadang lebih. Sekelompok pemain musik sedang memainkan lagu-lagu khas anak muda (baca: gaul) dengan diiringi lampu warna-warni yang remang-remang. Sesekali saya melihat beberapa pasang anak manusia menikmati alunan musik sambil berjoget.
Dalam kafe itu, saya terlibat ‘cukup serius’ dalam pembicaraan antara sahabat saya dengan temannya. Paling tidak, saya mendengarkan dengan penuh khidmat sambil menikmati minuman dan makanan ringan yang sudah kami pesan sebelumnya.
Di tengah pembicaraan antara sahabat saya dengan kawannya tadi, secara tidak sengaja saya melihat sebuh hiasan kaligrafi menempel di atas dinding. Letaknya persis di atas panggung musik, menghadap ke arah tempat duduk para pengunjung kafe. Karena sinar lampu yang remang-remang, semul saya agak sudah membaca isi kaligrafi tersebut. Namun dengan sedikit memelototkan mata akhirnya pun saya bisa membaca kaligrafi itu. Dan ternyata, yang tertulis di kaligrafi itu adalah ayat kursi. Saya baru kali ini menemukan kaligrafi ayat kursi yang secara jelas di pasang di dinding sebuah kafe yang identik dengan tempat untuk dugem. Sesaat saya tertegun. Wah, luar biasa.
Sesaat saya tertegun. Sederetan pertanyaan muncul dalam benak pikiran saya. Apakah gerangan yang terjadi sehingga si pemilik kafe menggantungkan kaligrafi ayat kursi? Mungkinkah kaligrafi itu dimaksudkan sebagai jimat pelaris? Atau mungkin agar kafe tersebut selamat dari sweeping kelompok-kelompok agama tertentu? Atau si pemilik kafe secara sengaja hendak mengingatkat para pengunjung untuk selalu ingat ayat-ayat Allah? Mungkinkah kafe itu hendak disulap menjadi tempat tarian sufi sebagaimana yang diajarkan oleh sang sufi agung, Rumi?
Nahnu nahkumu bidz dzawahir, wallahu yahkumu bis sara’ir, demikian kata para ulama terdahulu. Artinya, kita sebagai manusia hanya bisa melihat hal-hal yang tampak, sementara Allah-lah Dzat yang dapat melihat apa-apa yang tersembunyi. Memang kemampuan manusia hanya terbatas, dan Tuhan lebih dapat mengetahui apa yang ada di balik lubuk atau pikiran terdalam seseorang. Dan, siapapun tidak dapat menvonis maksud yang tersembunyi di balik hati dan yang bersemayam di dalam pikiran seseorang. Yang dapat dia pahami hanyalah sisi-sisi yang terlihat saja.
Saya pun teringat kata-kata yang pernah terucap dari seorang sahabat nabi Saw yang alim dan sekaligus menantu beliau, Sayyidina Ali karramallahuwajhah: “Al-Qur’an tidak dapat berbicara, tetapi al-Qur’an hanya dapat berbicara ketika manusia melafalkannya.” Sebuah kata bijak yang sarat dengan makna. Benar juga apa yang dinyatakan oleh Sayyidina Ali ini.
Al-Qur’an itu tidak bermulut seperti manusia sehingga dapat berbicara dengan sendirinya. Tetapi, al-Qur’an adalah kalam Allah yang jauh dari sifat-sifat dan campur tangan kemanusiaan. Kalau begitu, berarti kita musti harus hati-hati jika menggunakan atau mengutipnya. Kita disuruh membaca kalam Allah supaya kita dapat mengambil hikmah (kebijaksanaan), sehingga mendapat petunjuk dari Allah. Dan memang fungsi al-Qur’an tidak lain adalah menjadi petunjuk (huda).
Barangakali, manusia adalah makhluk yang paling pintar dalam mengambil keuntungan dari ayat-ayat Allah; mengeksploitasi dan memolitisasi makna kalam Allah, melegitimasi dan menjustifikasi apa-apa yang dilakukan atau diucapkannya dengan ayat-ayat al-Qur’an. Makhluk-makhluk seperti ini, di dalam al-Qur’an, merupakan makhluk yang paling dibenci Allah. Mereka termasuk “orang-orang yang telah menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit (kecil).”
Akhirnya, sambil masih memelototi kaligrafi ayat kursi yang tertempel di dalam kafe itu, saya pun hanya berharap semoga apa yang saya sangkakan tersebut di atas sekedar menjadi pikiran buruk saya. Tidak lebih dari itu. Wallahu a’lam bish shawab.[mff]

0 komentar: