07 Juli, 2009

Sastra Islam dalam Dinamika Sosial Indonesia

Oleh: M. Faisol Fatawi


Dalam sejarah manusia, sastra menjadi fenomena yang selalu hidup, sejak zaman dahulu sampai sekarang. Sastra tidak dapat dipisahkan dari manusia, bahkan memiliki keterkaitan yang erat dengannya. Sastra pun tidaklah khusus untuk satu komunitas manusia saja. Juga tidak terbatas pada satu kurun waktu tertentu. Tetapi, sastra lahir dari ruang kehidupan sebagai sarana untuk mengekpresikan eksistensi manusia, alam dan lingkungannya, serta perasaan dan pikiran-pikirannya. Sastra menjadi ruang terbuka yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan suka-duka, kebahagiaan dan kekecewaan, dan seterusnya.
Barangkali dapat dikatakan, bahwa sastra menjadi media seni yang paling agung di tengah masyarakat. Sebuah media paling efektif, yang di dalamnya kehidupan menyatu. Hal ini karena bahasa menjadi sarana paling mendasar bagi manusia untuk mengekspresikan segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Sarana yang digunakan oleh manusia untuk mengungkapkan isi hatinya pertama kali bukanlah musik, dan juga bukan menggambar atau melukis. Tetapi, mereka memilih sastra sebagai seni untuk mengekpresikan segala sesuatu yang dirasakan dan dilihat dan dipikirkan, yang ada di sekelilingnya. Maka tak heran, jika sastra hampir menjadi kebutuhan atau bahkan keniscayaan yang mengiringi kehidupan setiap umat manusia. Sastra menjadi seni yang medannya sangat luas.
Betapapun sastra menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia, tetapi kita sering kesulitan untuk menjelaskan hakekat sastra itu sendiri. Sebagian ahli mungkin akan menjelaskan bahwa sastra adalah tulisan imajinatif, bersifat fiksi. Jika batasan ini yang kita ambil, maka sebuah karya sastra, tentunya, tidak dapat dipandang memiliki muatan kebenaran dan tidak mencerminkan realitas yang berada di luar dirinya. Tetapi kenyataannya, justru kita sering menganggap ada kenyataan atau kebenaran yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Setidaknya, ini dapat kita lihat dalam kasus-kasus pembredelan atau pelarangan sebuah karya sastra. Misalnya saja, pelarangan novel aulâd Hârâtina karya Naguib Mahfoud, walîmah li a’syâb al-bahr karya Haidar Haidar, banât al-riyâdl yang ditulis oleh Raja’ Abdullah al-Shani’ dan lain-lain; untuk menyebut beberapa kasus yang terjadi di negara-negara Arab.
Sebagian yang lain mungkin ada yang membatasi sastra pada keunikan bahasa yang dipakai. Sastra dipandang sebagai karya yang di dalamnya memiliki pengaturan bahasa tertentu. Pembatasan sastra yang seperti itu dianut oleh para Formalis sastra, terutama aliran Formalisme Rusia seperti Roman Jakobson, Viktor Shklovsky, Osip Brik dan lain-lain. Para Formalis menyatakan bahwa bahasa sastra merupakan satu set penyimpangan dari norma; sastra menggunakan bahasa spesial dan sebagai kontras dari bahasa biasa yang sering kita gunakan. Pesan dan isi sebuah karya sastra tidaklah esensi dari sastra itu sendiri, karena sastra bukanlah kendaraan ide, refleksi realitas sosial atau pengejewentahan dari kebenaran transendental. Esensi sastra tidak lain adalah membuat asing.
Membatasi sastra pada penggunaan bahasa secara khusus seperti itu menghadapkan sebuah kenyataan kepada kita akan adanya sekelompok masyarakat yang tidak dapat menikmati sebuah karya sastra. Dengan kata lain, tidak semua orang dapat mencerna dan memahami kekhususan bahasa sastra. Taruhlah kita membaca sajak “POT”-nya Sutardji Calzoum Bachri atau menikmati sajak “DOA”-nya Choiril Anwar. Tidak setiap orang dapat menikmati keindahannya, dan memahami maksud yang dikehendakinya. Atau mungkin ada seseorang yang menganggap bahwa karya seperti itu bukanlah sastra, kalau bukan karena sebelumnya keduanya dikenal sebagai sastrawan.
Sebuah karya sastra bisa saja dianggap sebagai sesuatu yang bukan karya sastra, meskipun sang pengarang memaksudkannya sebagai sastra. Sebaliknya, sebuah tulisan dianggap sebagai karya sastra yang agung oleh pembaca, meskipun penulisnya tidak memaksudkan untuk itu. Sebuah karya yang dipandang hebat pada kemunculannya, seiring dengan berlalunya zaman, bisa jadi tidak memiliki arti apa-apa. kenyataan seperti ini disadari oleh Terry Eagleton. Dan menurutnya, ini merupakan fakta bahwa kita selalu mengapresiasi dan menginterpretasikan sastra berdasarkan kepentingan diri sendiri. Begitulah sastra, meskipun tidak ada batasan yang obyektif, tetap hadir ke tengah masyarakat.

Islam dan Sastra
Sejak diturunkan di belahan jazirah Arab, Islam tidak asing dengan sastra. Lingkungan tempat diturunkannya al-Qur’an adalah masyarakat Arab yang pandai dalam seni bahasa. Nabi Musa diutus di hadapan masyarakat yang pandai dalam memainkan sihir, maka beliaupun diberi kemukjizatan tongkat yang bisa berubah menjadi ular. Nabi Isa diutus kepada suatu kaum yang memiliki kemajuan pengetahuan dalam bidang kedokteran, maka beliau diberi kemampuan dapat menghidupkan orang mati atau menyembuhkan penyakit baros. Sedangkan nabi Muhammad Saw diutus di tengah masyarakat yang sangat fasih dan lihai dalam berbahasa serta memiliki tradisi sastra yang cukup tinggi, maka beliaupun diberi kemukjizatan al-Qur’an. Para sarjana muslim, baik klasik maupun modern, mengakui kemukjizatan bahasa al-Qur’an. Al-Qur’an memiliki struktur bahasa dan makna lain dibanding dengan bahasa Arab yang ada; itulah yang disebut dengan al-i’jâz al-bayâni (kemukjizatan yang bersifat retoris).
Lebih lanjut, para intelektual muslim modern, seperti Amin Alkhuli, Bintu Syathi’, Adones dan lain-lainnya, menyadari akan adanya nilai sastrawi al-Qur’an yang sangat tinggi; mereka menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan Kitab Sastra paling agung sepanjang sejarah. Namun demikian, al-Qur’an tidak seperti kitab-kitab atau buku-buku lainnya yang diahirkan dari tangan-tangan manusia. Al-Qur’an sendiri menepis anggapan dan tuduhan kalau al-Qur’an dibuat oleh penyair; “Dan dia (al-Qur’an) bukanlah ucapan seorang penyair” (QS. Al-Haqqah: 41).
Kendatipun al-Qur’an menjauhkan diri dari anggapan sebagai ciptaan tukang syair, tetapi dalam praktiknya Rasulullah Saw tetap memperbolehkan para sahabat-sahabatnya untuk menggubah dan mendendangkan puisi. Diriwayatkan, suatu ketika beliau menembangkan bait puisi Antarah: aku bertahan untuk tidak makan dan terus minum // hingga aku mendapatkan makanan yang baik. Kemudian beliau mengatakan: “tak seorang Arab Baduwi yang mampu memberikan gambaran mengenai apa yang aku sukai dan kemudian aku ingin melihatnya selain gambaran yang diberikan oleh Antarah. Sementara itu, dalam kesempatan lain Rasulullah Saw pernah menembangkan puisi Umayyah bin Abi Shalt; Segala puji bagi Allah saat kami ada di waktu sore dan pagi // dalam keadaan baik Tuhanku menempatkan kami di waktu pagi dan sore. Atas dasar puisi Umayyah ini, nabi pun berkomentar: “sungguh Umayyah nyaris masuk Islam”.
Kita juga mendapati sikap ketidak-sukaan (baca: penolakan) nabi Saw terhadap puisi. Nabi pernah menyebut Imri’il Qais sebagai pimpinan penyair yang sedang menuju neraka. “Dia (Imri’il Qais) merupakan pemimpin para penyair menuju neraka”, demikian nabi mengatakan. Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa nabi Saw menyebut Imri’il Qais sebagai “laki-laki yang mulia, dan dikenal di dunia. Tetapi, ia adalah hina dan dilupakan di akhirat kelak. Di akhirat, ia menjadi pembawa panji menuju neraka”. Dalam konteks seperti ini, Rasulullah pun menyatakan: “perut salah seorang di antara kalian lebih baik penuh dengan nanah, sekalipun ia melihatnya, daripada penuh dengan untaian bait puisi.”
Mencermati sikap nabi Saw tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa sebuah puisi menjadi sarana bagi kepentingan dakwahnya, yaitu mensyiarkan Islam. Puisi merupakan sistem ujaran yang bisa diberi muatan baik dan jelek. Sebuah puisi dipandang baik sejauh ia mencerminkan nafas Islam. Sebaliknya, sebuah puisi dinilai jelek selagi tidak mencerminkan atau berseberangan dengan agama.
Nabi tidak menjadikan puisi (sastra) sebagai sesuatu yang utama, tetapi menjadikannya sebagai instrumen (wasilah) dalam mendakwahkan ajaran yang diturunkan kepadanya. Dalam hal ini, puisi bukanlah tujuan (ghayah). Dengan menggunakan bahasa ilmu sosial-kritis dapat dinyatakan, bahwa puisi (sastra)--dalam konteks seperti itu—bisa menjadi “sarana ideologis”.
Sikap Islam terhadap puisi (sastra) berada di tengah-tengah; antara ya dan tidak. Nabi Saw sangat menghargai kreatifitas para sahabat dalam mengekspresikan perasaan dan isi hatinya kedalam bentuk sastra, dalam kaitan hubungannya dengan Tuhan, manusia dan alam. Sejauh kreatifitas itu tidak merugikan kepentingan umum, dan selagi berada dalam kerangka nafas ajaran keislaman atau mendukungnya. Sejauh dalam sastra dapat ditemukan kebajikan (hikmah), tentu tidak ada alasan untuk menolaknya. Islam menampakan sikap akomodatif-dialogis dengan beberapa bentuk praktik budaya yang sudah mengakar sebelumnya; seni sastra merupakan salah satu contohnya.

Sastra Islam di Indonesia
Sampai saat ini, istilah sastra Islam masih menjadi polemik dalam belantara kesusastraan di Indonesia. Belum ditemukan satu bentuk pengertian yang pas untuk menyebut sebuah karya sastra masuk dalam genre sastra Islam. Apakah sastra Islam itu merupakan sastra yang di dalamnya berisi tentang ajaran-ajaran Islam? Kalau ya, ajaran yang mana? Apakah yang dimaksud dengan ajaran Islam itu adalah ketauhidan, teologi, muamalah fiqhiyah dan seterusnya? Atau sastra Islam itu berarti sastra yang ditulis oleh orang yang menganut agama Islam? Lalu, bagaimana dengan sastra yang memuat pesan perjuangan dan penegakan keadilan, sementara sastra itu ditulis oleh orang non muslim? Beberapa pertanyaan ini menuntut kita untuk memberikan batasan mengenai sastra Islam, atau malah kita dibikin kacau olehnya.
Jauh sebelumnya, kita dapat menemukan berbagai istilah untuk menyebut sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan muslim di Indonesia. Karya-karya sastra sejenis ini diyakini sebagai sastra memiliki akar budaya keimanan dan makna-makna religiusitas yang kuat. Sebut saja, sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi WM), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), sastra dzikir (Taufiq Ismail) dan seterusnya. Secara substantif, mungkin pesan yang hendak disampaikan oleh berbagai kategori penyebutan sastra tersebut adalah sama. Semua jenis penyebutan karya sastra seperti itu mengisyaratkan bahwa pesan yang akan disampaikan adalah mengenai nilai-nilai universal keagamaan yang tinggi atau hikmah-hikmah kehidupan yang agung, yang harus dipraktekkan di tengah masyarakat sosial.
Sejauh ini, istilah sastra Islam tidak dapat kita temukan dalam cita-cita awal Islam atau dalam angan-angan dakwah kenabian. Nabi Saw membebaskan para sahabat untuk mengekpresikan isi hati dan pikirannya kedalam bentuk sastra sejauh tidak berlawanan dengan ajaran yang dibawanya. Begitu pula, seorang muslim boleh menciptakan karya sastra sebagai bentuk apresiasi dirinya terhadap ajaran agama, atau sebagai hasil dari pengalaman keberagamaan pribadinya, agar dapat dinikmati dan diambil pelajaran bagi orang lain. Apresiasi terhadap ajaran agama dan pengalaman keberagamaan setiap orang berbeda-beda dan bersifat sangat personal. Meskipun sama-sama seorang muslim, tetapi belum tentu sama dalam mengekspresikan pengalamannya kedalam bentuk karya sastra, tergantung dengan sudut pandang yang digunakan untuk memahaminya. Di sini, sastra menjadi wadah untuk menafsirkan realitas keagamaan, menggambarkan, mengagungkan dan mendeskripsikannya.
Sastrawan seperti Naguib Mahfoud dan Naguib Alkailani misalnya, keduanya merupakan sastrawan muslim Mesir yang cukup masyhur. Karya-karyanya banyak diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dan banyak dinikmati oleh para pencinta sastra di seluruh negeri ini. Jika membaca karya-karya sasra mereka berdua, seseorang pasti akan dapat mengetahui karakteristik dan amanat yang disampaikannya, yang mungkin—sedikit atau banyak dan langsung maupun tidak langsung—mencerminkan pengalaman dan pemahaman keduanya terhadap keyakinan (agama) yang selama ini mereka jalani. Seseorang mungkin akan menilai, bahwa karya-karya Naguib Alkailani tampak lebih Islami atau lebih dekat mencerminkan ajaran agama. Sementara Naguib Mahfoud tidak demikian, karena mungkin lebih mengangkat tema-tema sosial pada umumnya, sehingga wajah Islam tidak nampak. Atau mungkin penilaian itu menjadi sebaliknya, tergantung perspektif yang digunakan oleh seseorang. Dengan menggunakan kategori sastra Islam, seseorang tidak dapat dengan mudah untuk menggolong-golongkan sebuah karya sastra menjadi sastra islam atau non Islam, lebih-lebih tidak ditemukann adanya batasan yang jelas.
Di tengah ketidak-pastian batasan atau pengertian seperti itu, akhir-akhir ini istilah sastra Islam muncul kembali ke tengah masyarakat sastra di Indonesia. Istilah ini semakin menambah sederetan sebutan nama yang disematkan pada jenis sastra sebelumnya; sastra profetik, sastra transenden, sastra sufi dan seterusnya seperti yang telah disebut sebelumnya. Berbagai karya sastra yang diklaim sebagai sastra Islam muncul ke hadapan publik. Di rak-rak toko buku dipampang fiksi-fiksi remaja Islami, cerita-cerita Islami dan atau novel-novel Islami. Sebut saja, novel Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Cinta Tak Terlerai dan lain sebagainya. Seiring dengan itu berbagai diskusi mengenai sastra Islam pun marak digiatkan, melalui internet maupun media cetak.
Masih dalam semangat dan geliat sastra Islam, mungkin juga dapat disebutkan di sini, maraknya sinetron-sinetron yang diyakini bernafaskan Islam di layar telivisi. Ada yang menceritakan seorang pak Haji mati, tetapi jasadnya tidak dapat dimasukkan liang kubur, karena pekerjaannya menjadi rentenir. Ada yang menceritakan seorang tukang pelacur mati dalam keadaan yang mengenaskan dengan jasad berbau sangat busuk. Ada juga yang mengilustrasikan seorang penjual bubur bisa naik haji karena cinta bersedekah. Masih banyak jenis sinetron yang seperti ini. Jauh sebelumnya, jenis sinetron atau cerita yang seperti itu tidak ada. Dan yang menarik adalah bahwa fenomena maraknya sastra atau cerita-cerita yang diklaim sebagai Islami baru muncul secara massif pasca Orde Baru. Kenapa demikian?
Di era Orde Baru, kontrol kekuasaan terhadap segala aktifitas masyarakat sangat kuat, baik dalam aspek sosial, budaya, agama, politik dan ekonomi. Hampir dalam setiap aktifitas sosial kemasyarakatan ada perpanjangan tangan kekuasaan. Kondisi seperti itu baru berubah sejak lengsernya presiden Soeharto yang kemudian disebut dengan Era Reformasi. Di era ini, kran keterbukaan terbuka luas bagi masyarakat. Dengan era baru seperti ini, masyarakat berharap terjadi perubahan tatanan sosial yang lebih maju dan berkeadilan. Perubahan iklim politik, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, tidak membawa angin segar dalam memperbaiki nasib masyarakat Indonesia yang sebenarnya sudah diimpi-impikan. Justru yang terjadi sebaliknya, KKN terjadi di mana-mana, dekadensi moral, krisis identitas kebangsaan dan seterusnya.
Menurut hemat penulis, geliat sastra Islam secara spesifik dan sastra-sastra pada umumnya harus dilihat dalam konteks realitas sosial yang seperti ini. Karya-karya sastra yang hadir ke tengah masyarakat menjadi semacam panggung hiburan sebagai akibat dari ketidak-percayaan terhadap penyelesaian krisis multi-dimensi yang berkepanjangan. Orang tidak lagi ngeng untuk membicarakan persoalan nasib politik bangsa ini. Kebuntuan untuk mengatasi problem kehidupan yang dialami oleh mayoritas penduduk di negeri ini menjadikan masing-masing orang berputus asa, dan mencari ‘jalan pencerahan’ yang lain melalui bacaan-bacaan atau tontonan yang menghibur.
Di sisi lain, geliat sastra Islam itu mencerminkan ‘ideologi alternatif’ untuk melakukan perbaikan terhadap krisis identitas dan moral bangsa. Dikatakan ideologi, karena dalam kenyataannya istilah sastra Islam tidak mewakili mayoritas lapisan masyarakat Islam. Hanya sebagian lapisan masyarakat Islam saja yang dapat menerimanya. Maka, di sini dapat dinyatakan bahwa sastra Islam bukanlah Islam itu sendiri. Tetapi, ia merupakan tafsir atas Islam.
Oleh karena itu, geliat sastra Islam di Indonesia akhir-akhir ini harus dipahami sebagai bentuk dari tindakan ideologis keagamaan. Sastra bagi pemahaman seorang muslim terhadap agama, merupakan sarana untuk mengabdi pada prinsip yang dipropagandakan. Kalaupun bagi seorang penikmat sastra novel Ayat-ayat Cinta atau Ketika Cinta Bertasbih yang ditulis oleh Kang Abik disebut-sebut sebagai bentuk atau representasi dari sastra Islam, maka belum tentu dengan novel Qashr al-Syauq (Istana Kerinduan) karya Naguib Mahfoud, dan al-Hubb Tahta al-Mathar (Cinta di Bawah Guyuran Air Hujan) karya Naguib Alkailani. Atau jika ketiga novel tersebut sama-sama bertemakan cinta, lantas bagaimana ketiga sastrawan tersebut menggambarkan cinta dan seperti apa cara penyampaiannya? Tentunya, sebagai sama-sama seorang muslim, mereka tidak luput dari cara pandang dan prinsip yang mereka yakini.
Bagaimanapun, agama Islam di mata seorang sastrawan telah menjadi spirit yang menembus inti segala sesuatu. Sebuah spirit yang berkelanjutan dalam melakukan perubahan sosial, pembaharuan peradaban dan penafsiran modern. Ia menjadi gerak langkah yang dinamis-progresif, yang senantiasa membawa umat manusia pada tujuan yang benar dan orientasi yang mulia, agar mereka tidak tenggelam dalam ungkapan dan terjebak kedalam teks. Maka, geliat sastra Islam yang dapat kita temukan tidak dapat mengklaim dirinya sebagai sebagai sesuatu yang mutlak paling Islam, dengan mengesampingkan karya-karya sastrawan muslim lainnya. Tidak ada klaim kebenaran dalam sastra Islam.[MFF]

0 komentar: