05 Juni, 2012

Mencermati Nalar Pendidikan Kita


Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan merupakan hal yang paling urgen. Pendidikan menjadi dunia tempaan bagi setiap generasi dalam rangka mencerdarkan kehidupan bangsa. Mengingat pentingnya pendidikan, pemerintah pun mencanangkan wajib belajar 12 tahun bagi setiap anak bangsa. Disinyalir keterbelakangan bangsa karena diakibatkan oleh minimnya masyarakat dalam mengenyam pendidikan.
Dalam kenyataannya, pendidikan di Indonesia justru melahirkan  insan-insan yang bermental “tidak terdidik”. Mata anak bangsa justru dipertontonkan oleh praktik-praktik dan perilaku-perilaku yang jauh dari cerminan sebagai seorang terdidik. Lihat saja, praktik korupsi yang merajalela di hampir setiap instansi pemerintah, bahkan merambah juga kedalam lembaga pendidikan. Yang lebih menohok mata kita semua adalah pratik  korupsi  yang terjadi di DPR, sebuah lembaga tempat para wakil rakyat, yang note bene berlatarbelakang kaum terdidik.
Kenyataan hampir serupa juga dapat kita temukan pada maraknya praktik kecurangan yang terjadi dalam hampir setiap ujian nasional di negeri ini. Siswa yang seyogyanya menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, dengan terang-terangan—dan bahkan secara massal—melakukan pencontekan di ruang kelas saat ujian. Lebih naif lagi, terkadang praktik pencontekan itu dikoordinir secara sengaja oleh pihak-pihak tertentu. Sungguh suatu ironi. Lalu, apa yang salah terkait dengan dunia pendidikan di negeri ini?
Melihat kenyataan seperti itu, ada dua hal yang patut kita perhatikan. Pertama, nalar pendidikan di Indonesia telah  terjebak dengan paradigma positifistik. Segala yang terkait dengan pendidikan di negeri ini selalu dinilai dengan angka. Angka menjadi parameter berhasil atau lulus-tidaknya seorang peserta didik. Karena itu, tidak  mengherankan jika seorang peserta didik selalu berorientasi pada nilai (baca: angka). Orientasi nilai seperti ini telah mendarah-daging dalam dunia pendidikan kita, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Kedua, menguatnya cara pikir pragmatis di tengah masyarakat. Masyarakat dalam menyekolahkan anaknya berorientasi pada kerja. Seorang anak dimasukkan ke sekolah agar di kemudian hari—dengan ijazah yang diperolehnya—mendapat perkejaan yang layak. Dunia pendidikan dijadikan sebagai tempat transit untuk mendapatkan pekerjaan, tidak lagi menjadi wahana untuk memperoleh pengetahuan.
Paradigma positifistik centris berujung pada pengesampingan aspek di luar rasio dalam memberikan penilaian terhadap peserta didik dalam proses belajar. Nilai akhir pembelajaran menjadi segalanya, sementara pendidikan sebagai sebuah proses menjadi terabaikan. Maka tak jarang, kita sering menemukan orang bangga dengan nilai tinggi tetapi kualitas pengetahuannya sangat rendah.
Paradigma seperti itu menjadi semakin lengkap dengan menguatnya cara pikir pragmatisme di tengah masyarakat. Mayoritas masyarakat hampir menganggap sekolah atau lembaga pendirikan sebagai lumbung pencetak pekerja; sekolah setinggi-tingginya demi mencari kerja. Coba saja kalau kita melihat iklan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Betapa dalam iklan itu, publik secara tidak sadar diarahkan pada cara pikir pragmatis; bahwa dengan memasukkan anaknya ke SMK, maka yang bersangkutan akan siap mendapatkan pekerjaan. Masih banyak lagi iklan pendidikan yang mengiming-imingi masa depan kerja yang jelas.
Orientasi pragmatis dan paradigma positifistik dalam dunia pendidikan semakin menjauhkan diri kita pada makna dan hakekat pendidikan itu sendiri. Sejatinya, pendidikan tidak saja berorientasi pada peningkatan pengetahuan dan penguasaan teori-teori yang hanya berujung pada dimensi rasionalitas di satu sisi,  atau berorientasi pada kerja dan kerja di sisi lain. Kita boleh saja merancang atau mencita-citakan masa depan lewat pendidikan. Tetapi, tetap tidak boleh keluar dari roh pendidikan itu sendiri.
Hakekat Pendidikan tidak lain adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan untuk menghilangkan ketidak-tahuan-kebodohan dalam rangka menjalani hidup yang berkualitas (al-suluk al-fadhil). Dengan pengetahuan, seseorang diharapkan mampu menjadi insan yang sempurna, bijaksana dalam menjalani hidup dan menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapinya. Orientasi pragmatis dan paradigma positifistik yang mulai mengakar dalam dunia pendidikan kita, hanya akan memasung kreatifiitas manusia, serta menghadapkannya pada pandangan dunia yang sempit dan serba terbatas. [mff]

20 Mei, 2012

Meruwat Penerbitan Kampus


Oleh: M. Faisol Fatawi

Kalau kita mendiskusikan tentang kampus, maka hal pertama kali yang terlintas dalam pikiran adalah kampus menjadi tempat penggemblengan ilmu pengetahuan bagi para calon sarjana dan ilmuan. Kampus tidak lain dalah gudangnya para sarjana dan ilmuan. Kampus menjadi mercusuar tegak dan berkembangnya ilmu pengetahuan; kemajuan di bidang ilmu pengetahuan menjadi cita-cita luhur bagi landasan filosofis didirikannya sebuah perguruan tinggi.
Di Indonesia, kampus atau perguruan tinggi bercokol dimana-mana, baik berstatus negeri maupun swasta. Hampir setiap kota (wilayah/propisinsi) di seluruh negeri ini, tidak luput dari kampus. Jika dihitung dengan jari, jumlah kampus atau perguruan tinggi di bumi pertiwi yang kita cintai ini, mulai dari ujung barat sampai ujungg timur, dari yang kecil sampai yang besar, mencapai ratusan atau bahkan ribuan. Meskipun jumlahnya melimpah ruah, cita-cita luhur untuk menjadikan kampus atau perguruan tinggi sebagai pusat kemajuan ilmu pengetahuan masih jauh dari harapan—kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak terwujud. Tolak ukurnya sederhana, dari jumlah kampus atau perguruan tinggi yang ada, tidak lebih dari 5 % memiliki sistem publikasi karya ilmiah yang mapan.
Dalam sebuah rilis Webometrics edisi Januari 2009 disebutkan, bahwa dari sekitar 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, hanya 33 perguruan tinggi yang masuk daftar peringkat Top 5000 Dunia. Dari 33 perguruan tinggi Indonesia itu, tidak satu pun yang masuk dalam daftar Top 15 untuk wilayah Benua Asia. Universitas Gadjah Mada berada di peringkat 64 dan Institut Teknologi Bandung berada pada peringkat 71 dalam TOP 100 Asia. Untuk peringkat 1 sampai 5 Asia berturut-turut University of Tokyo, National Taiwan University, Kyoto University, Peking University, dan University of Hongkong. Salah satu rujukan pentingnya yang menjadi dasar penilaian adalah poin scholar hal-hal yang terkait dengan dokumen karya ilmiah dan situasi dari sivitas akademikanya.
Dalam bayangan saya, sebuah perguruan tinggi adalah tak ubahnya ‘perusahaan’  intelektual. Mesin-mesinnya adalah para pengajar, ilmuan atau bahkan para mahasiswa. Mesin-mesin inilah yang akan menghasilkan produk-produk intelektual, baik di bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu saintis, baik ilmu yang bersifat teoritis atau terapan. Berbagai produk intelektual tersebut kemudian dikemas dalam bentuk sedemikian rupa dan dipasarkan ke hadapan public, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. Inilah yang saya maksud dengan sistem publikasi karya ilmiah itu.
Kontribusi paling mulia dari sebuah kampus atau perguruan tinggi adalah sumbangsih intelektualnya di bidang ilmu pengetahuan. Sistem publikasi ilmiah dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertegas eksistensi dan identitas kampus sebagai lokomotif kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, sistem publikasi karya ilmiah yang mapan menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Dan dalam konteks kampus ini, UIN Malang press—khususnya--dapat kita jadikan sebagai ‘rumah produksi’ bagi karya intelektual para sivitas akademika.

Pasang Surut Penerbitan Kampus
Kehadiran penerbit kampus dalam dunia perbukuan bukanlah sesuatu yang baru. Era tahun 50-an mungkin dapat dikatakan sebagai awal munculnya penerbit kampus. Sebutlah Universitas Islam Indonesia (UII), yang bisa dibilang sebagai kampus pertama yang mulai menapaki dunia penerbitan. Sejak 11 November 1951, UII di bawah pimpinan Tjitrosoebono sudah memiliki penerbitan dengan nama Jajasan Pertjetakan. Penerbit kampus yang satu ini hanya dapat bertahan sampai tahun 1970-an, hingga kemudian dibubarkan pada tahun 1981. UII berusaha bangkit kembali dari keterpurukan penerbitan kampus sejak tahun 1992.
Langkah terjun ke dalam dunia penerbitan seperti UII juga diikuti oleh kampus-kampus yang lain. Contoh paling nyata adalah beberapa kampus besar negeri seperti Gadjah Mada University Press (Gama Press), Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Airlangga University Press, dan Penerbit ITB. Pada era tahun 80-an, penerbit-penerbit kampus tersebut sempat ‘mencuri’ perhatian public. Buku-buku yang terbitkan dinilai bermutu dan berkualitas.  Namun demikian, nasibnya kini juga di ujung tanduk; mati segan hidup tak mau. Wal hasil, penerbit-penerbit ini tidak mampu bersaing dengan penerbit swasta dalam menghasilkan produk-produk yang berkualitas.
Kondisi penerbitan kampus yang seperti itu mungkin berbeda jika kita bandingkan dengan penerbit-penerbit kampus yang ada di luar negeri (baca: Barat). Lihat saja penerbit kampus seperti Oxford University atau Cambridge University. Kedua penerbit ini mampu menancapkan ‘kakinya‘ di tengah dunia penerbitan, sehingga mampu menerbitkan buku-buku ilmiah berkualitas yang selalu diburu oleh masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Bahkan produk-produk kedua penerbit kampus tersebut mampu mengepakkan sayap pengaruhnya ke seluruh dunia; banyak perguruan tinggi yang menjadikan buku-buku terbitannya sebagai bahan rujukan. Kita mungkin perlu belajar dari majunya penerbitan kampus luar negeri tersebut.
Menurut beberapa pengamat dunia perbukuan dan penerbitan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan kenapa selama ini penerbit kampus di Indonesia gagal dalam meneguhkan dirinya sebagai penerbit yang tangguh dan benar-benar eksis. Beberapa hal tersebut diantaranya, keterbatasan dukungan dana, rendahnya budaya tulis menulis di lingkungan kampus dan rendahnya kualitas buku.
Pertama, keterbatasan dana. Persoalan dana dapat dibilang persoalan klasik. Dalam dunia penerbitan, uang menjadi hal yang sangat penting. Mati hidupnya sebuah penerbitan buku, baik kampus maupun non kampus, sangat bergantung dengan dukungan dana. Kita mungkin dapat mengamati menjamurnya penerbitan buku yang muncul pasca reformasi, tetapi tidak sedikit dari penerbit-penerbit itu tidak mampu beroperasi karena terjepit persoalan uang. Jangan heran jika kita menemukan sebuah penerbit—penerbit swasta khususnya--buku yang ngutang ke bank, dan setiap bulan harus mencicilnya.  Dan tak jarang pula, karena lilitan hutang itu, sebuah penerbit gulung tikar.
Kedua, rendahnya budaya tulis menulis. Menumbuhkan budaya tulis menulis tidak gampang dilakukan. Karena, aktifitas menulis menuntut seseorang untuk dapat sedikit meluangkan waktu dan cukup menyita pikiran. Barangkali, alasan inilah yang mendorong seorang pengajar (dosen) untuk lebih suka menyampaikan apa yang akan diajarkan secara lisan atau ceramah.
Ketiga, kualitas buku yang rendah. Faktor ini seringkali dihubungkan dengan ketidak-seriusan penulis yang bersangkutan. Ini terkait dengan rendahnya budaya tulis menulis yang dimiliki oleh seseorang. Pada umumnya, seseorang lebih mempertimbangkan besar-kecilnya honor yang diterima katimbang berkarya (menulis) itu sendiri, sehingga mereka lebih suka memilih jalan pintas dalam berkarya. Maka tak heran, jika kita jarang menemukan penulis atau pengarang buku dari kalangan dosen, yang terkenal dan diperhitungkan dalam percaturan intelektual dan belantara dunia perbukuan.

Mengejar Ketertinggalan
Era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) dan informasi, menjadi tantangan dan sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan dunia penerbitan buku pada umumnya, dan secara khusus penerbitan kampus. Ingar-bingar dunia penerbitan buku beberapa tahun terakhir ini, semakin nyata. Persaingan antar penerbit semakin ketat dalam memproduksi buku bacaan, baik ilmiah maupun non ilmiah.
Mati satu tumbuh seribu. Itulah adagium yang pas untuk menggambarkan ingar-bingar penerbitan buku di Indonesia. Dengan segala fasilitas yang semakin maju dan canggih, setiap orang akan semakin mudah untuk bergelut di dalam dunia penerbitan buku. Sebuah penerbitan buku tidak harus memiliki paralatan yang canggih dan lengkap. Sebuah penerbitan buku pun bisa menjadi eksis hanya dikendalikan oleh tiga sampai lima orang saja. Penerbit non kampus pun semakin marak. Kota Jogjakarta mungkin dapat disebut sebagai gudangnya penerbitan buku.
Di tengah persaingan yang sengit seperti itu, penerbitan kampus tidak boleh tenggelam dalam deru gelombang penerbitan buku pada umumnya. Penerbitan kampus harus eksis. Penerbit kampus tidak boleh membiarkan diri tertinggal di belakang penerbit-penerbit swasta (non kampus) yang lain; harus menjadi yang terdepan dalam mengawal kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, beberapa hal harus diperhatikan dalam pengelolahan penerbitan kampus. Pertama, berorientasi profit. Orientasi profit merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Karena, menerbitkan buku butuh pada dukungan dana yang cukup. Bayangkan saja, jika sebuah penerbit kampus dalam setiap bulan harus menerbitkan minimal 4 buku. Setiap buku dicetak sebanyak minimal seribu eksemplar dengan biaya masing-masing  sebesar lima juta. Tentu, biaya yang dibuthkan untuk mencetak setiap bulan mencapai dua puluh juta. Ini pun belum termasuk biaya lain-lain, seperti editor, layouter, desainer dan seterusnya.
Orientasi profit dalam mengelolah penerbitan kampus juga cukup dapat membantu masalah dana. Penerbitan kampus (khususnya penerbitan kampus-kampus negeri) tidak selamanya dapat mengandalkan suplay dana dari negara. Di sini, dengan orientasi profit sebuah penerbitan kampus dapat mengolah dan menghidupi dapur rumah tangganya secara mandiri. Alih-alih, meminimalisiasi cara-cara kerja birokratis, karena mengelolah penerbitan buku berhadapan dengan pasar, bukan birokrasi.
Kedua, membangun jaringan pemasaran yang kuat. Semakin kuat jaringan pemasaran sebuah penerbitan buku, maka semakin lama usia hidupnya penerbitan buku itu. Semakin luas jaringan pemasaran sebuah penerbit buku, maka semakin banyak masyarakat pembaca yang dapat mengakses produk-produk terbitan yang dihasilkan.  Oleh karena itu, kemungkinan terjualnya produk itu pun semakin terbuka lebar.
Dalam konteks penerbitan kampus, sejauh ini perlu dibangun jaringan antar penerbit kampus. Yang menjadi target dalam hal ini adalah menjadikan penerbit kampus sebagai pelaku pasar yang riil, tidak hanya sebatas supliyer. Sementara ini, pelaku pasar dunia penerbitan buku dikuasai oleh penerbit non kampus. Pertemuan antar penerbit pun aktif dilakukan oleh penerbit-penerbit non kampus, yang tidak jarang berujung pada diselenggarakannya even pameran antar sesama penerbit. Tetapi tidak demikian dengan penerbit kampus. Padahal, even pameran menjadi penting bagi penerbit kampus dalam rangka sebagai ajang aktualisasi diri dan unjuk eksistensi. Lebih dari itu, saya mengandaikan jika ke depan sebuah penerbitan kampus dapat mewarnai ‘bisnis’ perbukuan dengan membuka gerai-gerai di mall-mall besar.
Ketiga, menjaga kualitas produk. Buku yang diterbitkan oleh penerbit kampus harus memiliki kualitas yang dapat diandalkan. Isi buku menjadi hal penting yang harus selalu dijaga. Isi buku tidak lain adalah roh buku itu sendiri. Tidak sedikit para pembaca kecewa setelah membeli dan membaca sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu karena alasan rendahnya kualitas isi buku. Di sini, selektifitas atas naskah-naskah yang masuk harus ditingkatkan, bahkan bila diperlukan memburu naskah-naskah bermutu di luar kampus.
Kualitas produk buku juga berkaitan dengan tampilan perwajahan cover buku. Dalam tradisi perbukuan di Indonesia, masalah cover menjadi faktor kesekian yang dapat mendorong hasrat seseorang untuk membeli buku. Cover buku tidak boleh kaku. Bila perlu cover buku yang diterbitkan oleh sebuah penerbitan kampus harus memiliki karakter khas yang dapat membedakan dengan penerbit-penerbit lainnya. Tampilan cover buku semestinya memiliki nilai dan makna filosofis dari isi buku itu sendiri. Tampilan cover yang cenderung formal, disinyalir menjadi kelemahan dari produk-produk penerbit kampus, sehingga tidak dapat bersaing dengan penerbit buku yang lain.
Hal yang menarik terkait dunia pernerbitan di Indonesia, adalah dipadukannya nilai estetik ke dalam perwajahan cover. Persoalan estetik tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hal yang terkait dengan keindahan visual dalam mendesain sebuah cover. Persoalan perwajahan cover ditempatkan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isi buku. Di sini, perwajahan cover menempati ruang sosial budaya tersendiri. Cover-cover buku pun menjadi realitas penciptaan dan pemaknaan. Maka tidak heran, jika proses pembuatan cover buku memakan waktu yang cukup lama. Bahkan terkadang memakan waktu berbuln-bulan.
Keempat, strategi promosi yang baik. Promosi merupakan cara untuk memperkenalkan dan mencitrakan diri. Tujuannya adalah menarik simpati orang agar percaya kepada diri yang dipromosikan. Strategi promosi berarti strategi mencitrakan diri di hadapan ‘yang lain’. Politik pencitraan diri adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolahan penerbit kampus. Media promosi produk penerbit kampus yang digunakan bisa beragam, mencakup segala lapisan masyarakat pembaca. Tak jarang, karena promosi sebuah buku laris manis terjual habis dalam waktu yang cukup singkat.
Di era sekarang, menurut saya membuat penerbit buku—apalagi penerbit kampus—sangat mudah. Yang sulit adalah memelihara dan meruwat penerbit agar dapat eksis di tengah gempuran persaingan pasar buku yang semakin dahsyat. Maju-mundurnya penerbit kampus bergantung pada usaha-usaha keras, komitmen dan integritas yang tinggi dari insan-insan kampus. Selamat![mff]

03 Mei, 2012

Ketika Peran Guru Digantikan Internet

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kemajuan teknologi di era modern telah berdampak nyata dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Dalam dunia industri misalnya, kecanggihan mesin semakin memacu produktifitas perusahaan. Di sisi lain, canggihnya mesin mulai menggeser peran para pekerja di pabrik-pabrik, sehingga ancaman pengangguran menjadi momok yang ditakuti oleh semua orang. Ternyata, tidak semua kemajuan teknologi berdampak positif terhadap kehidupan umat manusia. Kemajuan teknologi tetap saja meninggalkan ambiguitas di tengah ruang kehidupan manusia. Bagaimana dengan dunia pendidikan?
Ternyata kenyataan yang sama juga dapat kita temukan dalam dunia pendidikan. Kemajuan teknologi dan temuan-temuan barunya telah menyisakan ruang ambiguitas; efek positif dan sekaligus negatif. Jika dilihat dari efek positif, kemajuan teknologi telah menyuguhkan alternatif kemudahan dalam penyampaian materi pembelajaran. Buku cetak sekarang ini digantikan dengan e-book; ratusan buku dapat ditenteng hanya melalui sebuah layar monitor tablet; berbagai ragam program komputer menawarkan fasilitas-fasilitas bagi seorang guru-peserta didik dalam proses pembelajaran; pembelajaran berbasis e-learning; dan seterusnya.
Tetapi sebaliknya, efek positif yang semestinya kita manfaatkan itu justru seringkali tidak berarti apa-apa di tengah proses pembelajaran, baik bagi guru/pengajar maupun peserta didik. Yang sering kita saksikan, kelas-kelas dilengkapi dengan fasilitas LCD tetapi tetap saja tidak berdampak positif bagi kemajuan mutu kompetensi peserta didik. Komputer yang canggih seringkali hanya menyulut cara-cara “meng-copy-paste” ketika mengerjakan karya ilmiah. Pengajar/dosen pun tak kalah dengan mahasiswa/peserta didiknya. Tak jarang, mereka beramai-ramai berselancar melalui dunia maya demi mencari data hanya sekedar untuk di-copy ulang. Alih-alih berkarya dengan menulis buku, artikel, cerita atau karya-karya yang lain.
“Setiap kalian menjadi pemimpin bagi dirinya masing-masing,” demikian bunyi petikan hadits nabi Saw. Itu artinya, bahwa setiap orang semestinya bisa mengarahkan dirinya senidiri dalam setiap tindakan yang dilakukan. Efek positif dan negatif dari kemajuan sebuah teknologi bergantung pada bagaimana masing-masing orang mensikapinya. Bisa menjadi senjata untuk mempertahan diri atau justru menjadi senjata makan tuan. Di sini, kesiapan atau kematangan mental seseorang sangat dibutuhkan dalam menerima, mensikapi dan memperlakukan kemajuan teknologi.
Dalam sebuah diskusi singkat, seorang sahabat mengusulkan pentingnya untuk melakukan terobosan kuliah melalui dunia maya (baca: internet). Menurutnya, kuliah melalui dunia maya menjadi kebutuhan mendesak untuk konteks modern seperti sekarang ini. Seorang dosen cukup duduk di depan internet, meng-upload bahan-bahan perkuliahan atau bahan ajar. Sementara peserta didik/mahasiswa tinggal mengunduh dan mempelajarinya. Pengajar dan peserta didik cukup bertemu saat ujian tengah semester atau ujian akhir semester. Ide seperti ini sangat bagus. Cerita mengenai topik diskusi ini hanya sekedar gambaran akan besarnya dampak kemajuan teknologi dalam dunia pendidikan.
Yang lebih penting dari semua itu, ternyata kemajuan teknologi—jika kita rasakan—membawa kita untuk merenungkan kembali eksistensi diri sendiri, Dalam konteks dunia pendidikan, eksistensi diri sendiri itu bisa berarti pengajar, dosen atau guru di satu sisi, peserta didik, mahasiswa atau murid di sisi lain. Di tengah gegap-gempitanya teknologi, eksistensi diri harus terus dimaknai agar tidak terjebak pada pusaran ambiguitas akibat  dari apa yang “tak terpikirkan” dari sebuah kemajuan teknologi.
Contoh nyatanya adalah eksistensi diri seorang pengajar dalam kaitannya dengan dunia maya (baca: internet). Secara praktis, internet sekarang ini telah menggantikan peran dan fungsi seorang guru atau dosen.  Sejak dahulu kala, seorang guru atau dosen diyakini sebagai sumber ilmu pengetahuan. Seorang guru agama, mengajarkan kepada muridnya tentang ilmu-ilmu pengetahuan agama. Seorang guru IPA mengajarkan kepada muridnya tentang teori-teori IPA. Begitu juga dengan guru-guru atau dosen-dosen yang lain. Tetapi masalahnya, sekarang ini seseorang mampu mendapatkan informasi tentang ilmu pengetahuan apapun hanya dengan berselancar dalam dunia maya (internet). Pengetahuan atau informasi apa yang tidak bisa diperoleh dari sebuah “kiai Google.com”. Semua ini artinya, bahwa antara guru atau dosen dengan internet sama-sama memainkan fungsi dan peran yang sama, yaitu sebagai pentransfer ilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya peran dan fungsi yang dimainkan oleh seorang guru-dosen dengan internet sebagai dalam hal mentransfer ilmu pengetahuan? Bukankah ilmu pengetahuan atau teori-teori yang disampaikan oleh seorang guru atau dosen di dalam kelas, dapat kita dapatkan pula melalui dunia maya?
Mungkin sudah tidak saatnya bagi para guru-dosen untuk melihat fungsi-peran dirinya sebagai pentransfer ilmu pengetahuan atau sumber informasi. Sudah saatnya kita keluar dari manstrem guru-dosen-pengajar sebagai sumber pengetahuan. Kita perlu untuk manfsirkan ulang eksistensi diri kita sebagai guru, dosen atau pengajar; mencari makna lain atas fungsi dan peran dirinya. Makna baru itu bisa saja bahwa guru, dosen atau pengajar adalah seorang motivator, inisiator, fasilitator dan atau makna-makna progresif lainnya yang mampu menumbuhkan gerak kreatifitas dan kemandirian dalam jiwa peserta didik. Jika kita tidak mampu memaknai eksistensi diri kita sebagai guru, dosen atau pengajar di tengah arus mmodrnitas seperti ini, maka kita akan tergerus dalam ruang ambiguitas yang tercipta dari tangan-tangan teknologi yang semakin canggih. [mff]

02 Mei, 2012

Membincang Kehidupan Pasca Bumi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Baru-baru ini, sebuah surat kabar nasional, memuat sebuah tulisan yang bertajuk “Bersiap Menuju Mars” yang ditulis oleh M. Zaid Wahyudi. Dalam tulisan itu disebutkan mengenai obsesi manusia untuk menjadikan planet Mars sebagai “bumi” alternatif yang dapat dijadikan tempat berpijak dan sekaligus untuk menopang kehidupan mereka.
Sejak awal, planet Mars dipilih oleh para peneliti antariksa dari berbagai Negara, seperti Amerika, Rusia dan beberapa Negara maju yang lain, karena Mars-lah planet yang paling mungkin didarati oleh manusia; kondisi geologis Mars memiliki kesamaan dengan bumi. Daratannya berupa kawah gunung yang luas, ada gunung api, danau yang mengering, terdapat bekas daerah sapuan air dan bahkan ditemukan kehidupan renik di bawah lapisan es. Maka tak pelak, berbagai penelitian pun dilakukan demi mewujudkan ambisi “menaklukkan” Mars. Diperkirakan, pendaratan akan terlaksana pada tahun 2035-2040 mengingat jaraknya dari bumi mencapai78,34 juta kilometer; atau sekali perjalanan menuju ke sana butuh waktu 9 bulan.
Yang tak kalah menarik dalam tulisan itu adalah bahwa sebuah perusahaan pengiriman manusia, Virgin Galactic, pada tahun 2012 siap mengirimkan turis luar angkasa ke bulan, meskipun ini bukan pengiriman yang pertama (atau setelah pada tahun 2001, Denis Tito berhasil menjadi turis luar angkasa pertama). Harganya pun tidak tanggung-tanggung, per orang cukup merogoh kocek sebesar sekitar 1,8 milyar untuk mewujudkan impiannya menjadi turis luar angkasa.
Sungguh berita yang luar biasa. Membaca berita tersebut, saya jadi teringat sebuah ayat al-Qur’an yang menyatakan: “Sesungguhnya bumi-Ku sangat luas, maka berhijrahlah di dalamnya.” Pengertian bumi, sebagaimana dalam ayat tersebut, dalam pemahaman umat Islam atau bahkan dalam tafsir-tafsir yang ada, dipahami sebagai bumi yang sekarang ini dijadikan tempat berpijak oleh semua umat manusia. Jika obsesi para ilmuwan untuk menjadikan planet Mars sebagai alternatif tempat kehidupan manusia menjadi kenyataan, maka mau tidak mau pengertian bumi tidak dapat lagi kita pahami sebagai tempat yang sekarang ini dihuni oleh bermilyar-milyar manusia. Pengertian bumi, sebagaimana dalam ayat al-Qur’an tersebut di atas, tentunya tidak lain adalah sebuah arti majazi mengenai tempat, dimana didalamnya manusia dan makhluk-makhluk lainnya bisa hidup. Dengan demikian, Mars dan planet-planet yang lainnya bisa jadi masuk dalam perngetian bumi (al-ardl) seperti yang singgung oleh ayat tersebut di atas.
Pembacaan seperti itu tidak bermaksud untuk melakukan penafsiran ayat al-Qur’an secara ilmiy. Artinya, memahami maksud al-Qur’an sesuai dengan teori-teori keilmuan modern untuk menemukan apa yang disebut dengan kemukjizatan ilmiah dalam al-Qur’an. Saya mungkin termasuk orang yang tidak sependapat dengan model penafsiran ilmiy terhadap kalam Allah yang suci.  Karena, turunnya al-Qur’an pada awalnya bukan merupakan kitab yang memuat teori ilmu pengetahuan, sehingga al-Qur’an tidak terjebak pada keberpihakan pada teori tertentu. Tetapi, lebih merupakan fakta bahasa yang mengusung nilai-nilai moral (moral values) dengan tujuan untuk membangun moral umat manusia sehingga dapat mencapai kehidupan yang utama.
Harus disadari, setiap pembacaan, penafsiran atau usaha apapun yang dilakukan untuk memahami bahasa al-Qur’an memiliki keterbatasan masing-masing. Keterbatasan ini muncul karena perbedaan modal pengetahuan dan intellectual imagination yang dimiliki oleh masing-masing orang. Oleh karena itu, setiap penafsiran tidak patut mengklaim dirinya sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Maksud kalam Tuhan pasti tidak akan pernah dipahami oleh manusia secara benar dalam pengertian sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh-Nya. Klaim kebenaran seseorang atas hasil pemahamannya terhadap kalam Tuhan tidak lain merupakan wujud dari ketidak-mampuannya dalam memahami eksistensi dirinya sendiri.
Perbincangan mengenai kemungkinan planet Mars atau planet-planet lainnya yang kelak mungkin dapat menjadi alternatif “tempat berpijak” bagi makhluk hidup, juga mengingatkan kita semua pada perdebatan klasik tentang akhir kehidupan dunia; apakah dunia ini kekal atau tidak. Predeksi bahwa planet Mars atau ada planet lain yang—seiring dengan evolusi alam—merupakan hal yang mungkin akan menjadi kenyataan. Seseorang akan membayangkan, bumi yang semakin tua usianya ini dari hari ke hari semakin menahan beban (berbagai macam kerusakan akibat ulah tangan manusia) sehingga suatu saat menjadi tempat yang sangat tidak layak untuk dihuni. Ketika hal ini terjadi, maka sangat mungkin bumi yang sekarang ini menjadi tempat berpijak kita akan ditinggalkan para penghuninya. Tetapi kapan? Wallahu al’am. Kita tidak bisa memastikannya. Bumi kita ini akan digantikan dengan planet (baca: bumi) yang lain. Inilah akhir kehidupan di bumi, tetapi tidak bagi kehidupan umat manusia. Manusia akan berhijrah ke planet lain yang layak dihuni seiring dengan evolusi hukum alam. Kalau seperti ini benar adanya, maka barakhirnya kehidupan umat manusia dan segala yang mengitarinya (sifat fana’), menjadi hal yang mustahil. Kalau ini terjadi, mungkin kita patut merenungkan pendapat filosof Ar-Razi yang meyakini bahwa dunia ini kekal, bukan fana’.
Melalui kemajuan teknologi, manusia terus melakukan eksplorasi terhadap segala isi jagat raya ini. Kalau memang temuan dan terobosan para ilmuwan tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi (seperti planet Mars dan planet-planet lainnya) itu benar, maka mungkinkah kehidupan bumi akan berakhir (tidak kekal)? Atau temuan itu malah semakin menguatkan tesis sang filosof Ar-Razi tentang adanya kekekalan kehidupan di dunia? Setidaknya kemajuan tekonologi modern dan berbagai temuan yang dihasilkannya, akan mengusik diskusi-diskusi lama tentang sifat kekekalan kehidupan dunia ini. [mff]

01 Mei, 2012

Islam Antroposentris: Kritik atas Kemunduran Islam

 Oleh: M. Faisol Fatawi

Kesadaran bahwa umat Islam berada dalam kemunduran sudah dirasakan hampir satu abad yang lalu. Titik balik inilah yang melahirkan kesadaran baru, yaitu kebangkitan Islam (ashr al-nahdlah) dan pembaharuan Islam (tajdid al-islam)—terlepas dari beberapa ragam istilah yang digunakan. Isu kebangkitan islam diusung di berbagai belahan negara muslim atau yang mayoritas berpenduduk muslim. Kesadaran kebangkitan atau pembaharuan Islam sudah dimulai sejak Rifa’ah Thohthowi, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridho dan lain-lain, dan terus berlanjut sampai sekarang di tangan para pemikir muslim seperti Abed al-Jabiri, Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Jasser Audah dan seterusnya.
Tentunya, kebangkitan atau pembaharuan Islam tidak dimaksudkan mengubah atau memodifikasi ajaran dasar Islam, dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran yang baru, yang disesuaikan dengan semangat zaman kekinian dan berbeda dengan sebelumnya. Pembaharuan islam tidak lain adalah usaha untuk memahami ulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dan sumber-sumber tradisi lain yang mengiringinya, sehingga islam sebagai agama mampu merespon dan menjawab tantangan hidup yang dihadapi oleh umatnya. Arkoun menyatakan, bahwa al-Qur’an sebagai korpus resmi tertutup bersifat final. Al-Qur’an tidak akan dapat digantikan dengan teks-teks yang lain, karena memang proses pewahyuannya sudah berakhir seiring dengan wafatnya nabi Saw. Tetapi sebafai knrpus resmi terbuka, al-Qur’an telah menyedot banyak perhatian para ilmuan maupun intelektual, muslim maupun non-muslim; menjadi objek pembacaan dan pemahaman yang darinya lahir berbagai teks keagamaan yang dalam titik tertentu dijadikan sebagai sumber rujukan melebihi teks al-Qur’an itu sendiri.
Terdapat dua hal yang menyebabkan jumudnya Islam di tengah arus perubahan sosial yang semakin hari semakin menuju titik kemajuan akibat gerak modernitas yang tak terbendung. Pertama, miskin teori atau metodologi. Era kodifikasi (ashr al-tadwin) merupakan fase titik kemajuan yang dicapai umat Islam pada abad pertengahan. Di era ini lahir para ilmuan muslim; mereka menulis berbagai buku, menteorisasikan hasil temuannya, baik di bidang sains maupun agama. Al-J`biri menggambarkan era kodifikasi ini sebagai titik puncak kemajuan dimana didalamnya terjadi proses ideologisasi, dekonstruksi dan negosiasi budaya. Namun sayangnya, semangat kreatifitas (al-ibda’) pasca era ini tidak dapat diwarisi dengan baik oleh generasi berikutnya. Akibatnya, pasca era kodifikasi lebih banyak melahirkan intelektual-intelektual yang memagng teguh semangat syurrah (memberi anotasi) dan naql (menukil dan menukil); memberi anotasi dan menukil karya-karya ulama terdahulu. Semangat kreatifitas dipasung oleh jargon “tertutupnya pintu ijtihad”. Akibatnya, karya-karya para pendahulu dianggap sebagai rujukan yang dalam batas tertentu jatuh pada sikap pentakdisan berlebihan. Hilangnya ruang kreatifitas dalam batin generasi belakangan inilah yang disinyalir oleh al-Jabiri menjadi penyebab munculnya krisis teori.
Kedua, menafikan dimensi sejarah. Sejarah merupakan aspek yang mengiringi dalam setiap lahirnya teks. Keduanya tidak dapat dipisahkan, terlepas dari saling keterpengaruhan yang mengiringinya. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, kadang sebuah teks itu lahir karena adanya dorongan konteks yang berada di luar teks. Dalam kasus al-Qur’an, kita mungkin banyak menemukan adanya ayat-ayat yang diturunkan karena dorongan konteks atau peristiwa tertentu. Inilah yang dalam ulumul qur’an dikenal dengan asbabun nuzul. Artinya, bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tertentu yang proses pewahyuannya didorong atau didahului oleh peristiwa tertentu. Di pihak lain, teks juga mampu mempengaruhi realitas di luar teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Prosesnya bisa terjadi dalam rentang waktu yang singkat atau lama. Al-Qur’an misalnya, sebagai sebuah teks telah mampu mengubah realitas masyarakat Arab yang pagan dan tribal, menjadi penganut agama tauhid dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan-persamaan. Jika saja al-Qur’an dalam proses pewahyuannya tidak dapat dipisahkan dari proses dialektika teks-konteks, maka menafikan aspek sejarah dalam memahami teks-teks keagamaaan, al-Qur’an khususnya dan teks-teks yang terlahir darinya (kutub al-turats), dapat memandulkan agama dalam menjawab tantangan relitas kekinian yang dihadapi umat Islam. Setidaknya, sikap penafian terhadap sejarah tergambar dalam cara umat Islam dalam memperlakukan kutub al-turats yang berlebihan; pensakralan terhadap pemikiran ulama terdahulu (taqdis al-afkar). Ini merupakan implikasi logis dari faktor pertama.
Kedua hal tersebut diatas mengarahkan imaginasi sosial umat Islam berada dalam kungkungan logosentrime. Seorang muslim tidak lagi dapat mengungkapkan diri kecuali melalui media bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat dicarikan jawabannya pada teks-teks keagamaan dan atau teks-teks otoritatif lainnya. Teks bersifat statik dan memiliki konteksnya, sementara realitas yang mengiringi setiap generasi terus bergerak dinamis dan menyisakan tantangannya sendiri. Akibatnya, muncul kebuntutan dalam merespon dan mencari jawaban atas tantangan yang berkembang di tengah masyarakat, sehingga mengentikan roda peradaban Islam.

Kemanusiaan vs Ketuhanan
Islam diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Berbagai persoalan kemanusiaan, seperti dekadensi moral, pembunuhan anak perempuan yang tak berdosa, penindasan, kezaliman, kesewenang-wenangan dan seterusnya, merupakan persoalan nyata yang dihadapi oleh Rasulullah Saw ketika diperintahkan untuk mendakwahkan Islam. Persoalan kemanusiaan menjadi perhatian utama dalam dakwah kenabian. Bahkan dalam hal memberi putusan hukuman, Rasulullah pun lebih mendahulukan pendekatan pada sisi kemanusiaan ketimbang sisi yang lain. Sisi legal hukum dijalankan ketika pendekatan kemanusiaan mengalami jalan kebuntuan. Rasulullah pernah bersabda: “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji.” Setidaknya, sabda ini menunjukkan betapa sebuah agama itu hadir untuk kemaslahan umat manusia.
Memang, era Rasulullah bukanlah era kita sekarang ini. Tetapi, persoalan kemanusiaan tetap saja menjadi fokus utama yang disoroti oleh agama Islam. Kita sekarang hidup di era modern dan global yang ditandai dengan kemajuan teknologi di berbagai aspek kehidupan. Modernitas berpengaruh pada perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat Tuhan, diri dan alam sekitarnya. Berbagai persoalan sebagai akibat dari modernitas dan globalisasi menjadi tantangan nyata bagi umat Islam; masalah demokrasi, HAM, pluralisme, kemiskinan, minoritas muslim, fundamentalisme, terorisme dan setersuanya. Inilah persoalan kontemporer yang juga menjadi tantangan bagi agama Islam dalam konteks sekarang.
Miskin teori dan penafian sejarah yang menyebabkan mandegnya pemikiran Islam, semakin menjauhkan umat Islam untuk merespon persoalan dan tantangan zaman. Pendekatan yang dipakai mengandalkan teks-teks; jawaban-jawaban dikembalikan kepada teks-teks keagamaan melalui kerangka teologi yang bersifat ketuhanan an sich. Sebuah cara penyelesian persoalan yang berangkat dari frame ketuhanan, dan jauh dari realitas yang sebenarnya. Tentunya menjadi sebuah ironi, jika sistem akidah dalam agama disederhanakan kedalam persoalan-persoalan ketuhanan (teologi). Persoalan ketuhanan hanya salah satu hal dari sekian banyak hal yang menjadi perhatian Islam. Bahkan kalau boleh dikatakan, persoalan kemanusiaan mendapat perhatian jauh lebih besar katimbang persoalan ketuhanan.
Agar agama tidak nampak semakin mandul dalam mensikapi berbagai persoalan kontemporer, maka menarik untuk menyimak tawaran dan kritikan yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi. Hanafi menyerukan untuk menjadikan aspek-aspek dan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari sistem teologi Islam. Sehingga teologi Islam tidak lagi hanya mendiskusikan persoalan ketuhanan, tetapi persoalan kemiskinan, penindasan, HAM, pluralisme dan seterusnya menjadi bagian dalam sistem teologi Islam; antroposentris. Paradigma yang dipakai adalah memahami Tuhan melalui realitas sosial dan problem yang mengitarinya. Bukan memahami Tuhan melalui dzat, sifat dan atau atribut yang menyertainya sebagaimana yang telah didiskusikan dalam teologi klasik.
Pandangan Hanafi ini mungkin lebih mirip cara kaum sufi untuk mengenali Tuhan. Yaitu, “siapa mengetahui dirinya (baca: manusia), maka akan mengetahui Tuhannya.” Tetapi, tentunya tidak dalam kerangka untuk ber-ekstasi atau meleburkan diri dengan-Nya. Memahamh diri (manusia) dan segala yang melingkupinya untuk melakukan perubahan sosial menuju gerak kemajuan peradaban umat Islam. Antroposentrisme merupakan paradigma teologi yang menantang kita untuk membangun kreatifitas manusia agar tidak pasrah pada nasib, dan melakukan transformasi sosial. Bukankah “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri”?[MFF]