18 Juli, 2009

Muhammad Saw. Dan Pembebasan

Oleh: M. Faisol Fatawi


Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad),
 melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam

(QS. al-Anbiya’: 107)

 Ayat tersebut di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa kerasulan nabi Muhammad Saw adalah sebagai rahmat untuk seluruh yang ada dalam jagad raya ini: bersifat lintas batas kemanusiaan dan melampaui letak geografis. Tidak saja untuk sekelompok golongan dan kelas masyarakat, etnis atau ras tertentu. Ini berarti bahwa ada sesuatu pesan universal yang hendak disampaikan kepada mereka semua. Beliau membawa misi ketuhanan yaitu, mengajak kepada jalan Tuhan dan sebagai cahaya yang menerangi: sebuah misi pembebasan yang mengangkat martabat manusia dari jurang “kejahiliaan” menuju perdamaian, kesejahteraan dan kemerdekaan semesta.
 Sebagaimana dimaklumi, nabi Muhammad Saw. dilahirkan di tengah kondisi yang carut-marut. Krisis moral, semangat matrialistis, ketimpangan sosial, yang kaya menginjak-injak yang lemah, fanatisme kesukuan yang berujung pada peperangan antar suku, membunuh anak perempuan secara hidup-hidup ... dst, semuanya telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Arab sampai-sampai hukum positif yang mengatur sendi-sendi kehidupan mereka tak berarti sama sekali dan tatanan masyarakat dapat dikatakan dalam batas kehancuran. Kenyataan seperti ini yang kemudian mendorong beliau untuk berkhalwat di gua Hira’ sampai wahyu pertama (surat al-Alaq: 1-5) diturunkan (Nasr Hamid Abu Zaid: 1993, 74). Karena itu pula, nabi menyatakan “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak”.
 Ada beberapa pilar yang menjadi misi utama kerasulan. Pertama kali yang disentuh adalah aspek mental (kesadaran), yaitu membangun kesadaran eksistensial Nabi Saw. memperkenalkan ketauhidan, sebuah bentuk penyadaran bahwa di dunia ini ada kekuatan yang Maha Dahsyat (Allah Yang Esa) yang lebih berhak dan layak untuk dijadikan tempat bergantung. Hal itu bisa disebut sebagai sebuah “spiritual healing”, yaitu satu jenis pengobatan gangguan mental dan jiwa melalui agama. Di tingkat ini agama (baca : ketauhidan) tidak hanya menjadi sekedar doktrin teologis yang harus diyakini, namun menjadi tata nilai sebagai pondasi bagi seluruh gerak jiwa dan anggota tubuh dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengakui ketauhidan Alloh, maka berarti ia mengerti tentang dirinya sendiri yang berdampingan dengan ciptaan-Nya yang lain, yang hidup di muka bumi. Otoritarianisme para ‘petinggi’ suku-suku tidak berarti apa-apa di hadapan Alloh Yang Esa. Kekuasaan dan kekayaan yang selama ini dipegang hanyalah sebagian kecil dari pemberian-Nya (Ali Imran: 26).
 Pilar penting lain yang diperjuangkan nabi dalam melakukan proses perubahan masyarakat adalah keadilah (al-’Adalah): bahwa hendaknya menghukumi manusia dengan adil (an-Nisa’: 58) karena adil lebih mendekatkan pada ketakwaan (al-Maidah: 8), persamaan (al-Musawah atau egaliter): semua manusia di hadapan Tuhan adalah sama dan yang paling mulia di sisi-Nya adalah ketakwaannya (al-Hujurat: 13), persaudaraan (al-Ukhuwah), dan keseimbangan (al-Tawazun): membangun hubungan horizontal (hablum minalloh) sebagai individu yang berketuhanan dan hubungan vertikal (Hamblum minannas) sebagai insividu yang berdampingan dengan lainnya: bukankah kehinaan di muka bumi ini terjadi akibat ketidakmauan manusia untuk menjalin hubungan dengan Tuhan dan hubungan harmonis antar sesama? (al-Baqarah: 112). 
 Dalam mengemban misi tersebut, nabi Muhammad Saw. selalu konsisten dan tak pernah putus asa (kendur). Meskipun telah dibujuk oleh para elit otoritarian Makkah melalui berbagai cara dengan berbagai tawaran yang menggiurkan, mulai jabatan, uang sampai wanita, namun dengan mantap beliau menolak semua tawaran itu. “Seandainya bulan kalian letakkan di tangan kananku dan matahari kalian letakkan di tangan kiriku, aku takkan berhenti menjalankan dakwah (baca: misi kemanusiaan) ini”, tegasnya. 
 Dengan keteguhan seperti itu beliau rela mendapatkan rintangan, ancaman, cercaan, hinaan dan siksaan, baik secara fisik maupun psikis. Bahkan segala bentuk tekanan atau siksaan tersebut disambut dengan senyuman manis persaudaraan, tanpa ada sedikit dendam-kesumat dalam hatinya. Baginya tidak ada kamus musuh atau lawan, malah musuh itu sendiri dianggap kawan atau saudara. Semua manusia adalah saudara. Pernah dalam suatu saat nabi bertanya kepada para sahabat tentang mereka (orang Kafir Makkah) yang selama ini ‘memuncratkan’ air ludahnya kepada beliau ketika sedang pergi ke masjid: ada apakah gerangan sehingga pagi tadi ia tidak meludahi lagi? Di manakah dia? Apa yang terjadi padanya?. Setelah mengerti bahwa ia sedang sakit sehingga tidak bisa melaksanakan kebiasaan jeleknya meludahi nabi, maka beliaupun menjenguknya sebagai tanda persaudaraan dan persahabatan. Sungguh pada dirimu (Muhammad) akhlak yang sangat mulia dan agung (al-Qalam: 4).
 Akhirnya misi pembebasan dan kerahmatan yang dirampungkannya selama dua puluh tiga tahun menemukan hasil nyata dan berujung pada terwujudnya masyarakat yang hidup dengan penuh kasih sayang, tanpa membedakan status, warna kulit, etnis dan agama. Pluralitas umat beragamapun dapat hidup subur. Mereka, sebagaimana tercatat dalam piagam Madinah, hidup saling berdampingan, saling membantu dan melindungi satu sama lain. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana dapat membangun kehidupan yang damai, mengorhamati antar sesama individu atau kelompok yang berkeyakinan, silahkan melaksanakan kewajiban ibadah menurut keyakinan (agama) masing-masing asal tidak menggangu ketenangan ibadah pihak lain karena urusan ritual ibadah merupakan urusan masing-masing pemeluk.
 Keberhasilan nabi Muhammad Saw. tersebut, dengan menggunakan tolak ukur penialaian apapun diakui oleh para sarjana Barat. Dengan melihat keberanian moral beliau Marcos Dods mengakuinya, Michael H. Harta mengakui atas pengaruh yang ditinggalkannya, Thomas Carly kagum dengan kepahlawanannya.  
 Sungguh nabi Muhammad Saw adalah manusia luar biasa yang masih dalam batas kemanusiaannya. Karenanya “beliau laksana batu permata di antara dua batu hitam”. Beliau melakukan aktifitas sebagaimana kebanyakan manusia menjalankannya: makan, minum, tidur, bicara antar sesama, memiliki watak kemanusiaan pada umumnya. Namun yang membedakannya adalah kualitas jiwa, memiliki sifat keagungan dengan tipe pribadi unggul. Bahkan Abbas al-Aqqad menandaskan, mental skill kemanusian sebagai pekerja, seniman, pemikir dan ketekunan beribadah menyatu dalam dirinya.
 Empat belas abad lebih dua puluh satu tahun yang lalu kita telah ditinggalkan oleh beliau. Kini, mari kita hadirkan dan praktekkan kembali misi pembebasan kemanusiaan be-liau sebagai rasul Allah di muka bumi ini. Di saat manusia sudah tidak mengenal eksistensi dirinya dan identitas kemanusiaannya sebagai manusia beragama dan berkeyakinan, kita perlu menghidupkan kembali misi pembebasan kemanusiaan itu. Sebuah misi yang dapat menghasilkan daya yang dapat mentransmisikan dunia ke dalam perdamaian abadi, menjadi gerak positif bagi perubahan sosial menuju manusia berperadaban. [MFF]

0 komentar: