30 November, 2009

Mendekonstruksi Tabu-tabu Seksual

Oleh: M. Faisol Fatawi

Seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri kita. Ia bekerja secara naluriah setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu atau indera kita yang lainnya menangkap stimulus yang sejenis. Ini menyebabkan mengapa di dunia yang sudah global sekalipun, seks tetap muncul sebagai daya tarik tersendiri di antara sekian banyak persoalan. Pengeksploitasian seks secara massif, baik seperti yang ada dalam iklan TV atau dalam media cetak, merupakan contoh kecilnya. Ini menunjukkan betapa pemahaman kebanyakan orang terhadap seksualitas baru hanya pada aspek yang menyangkut genitalitas dan organ seks sekunder lainnya saja. Seks dipahami hanya dari dimensi bilogis-fisiknya saja, tidak dari dimensi behavioral, psiko-sosial, klinis atau dimensi kulturalnya. Lebih ironisnya lagi, di tengah masyarakat seks masih dianggap tabu.
Dalam buku yang cukup tebal, dalam ukuran buku saku ini, FX Rudy Gunawan mengajak untuk mendobrak seks. Menurut penulis buku ini, sebenarnya seksualitas merupakan persoalan filosofis yang urgen dan aktual dalam rangka memahami identitas seksualnya atau eksistensi dirinya sebagai homo sexsualis. Karenanya, esensi dari eksistensi manusia terletak di dalam seksualitasnya. Pentabuan seks, dalam berbagai bentuknya, lebih merupakan bentuk-bentuk campur tangan kepentingan lain: kekuasaan politk, ekonomi, agama dan lain-lain.
Dalam konteks politk, selama ini, sexual identity lebih merupakan sebuah political idea atau sebuah ide politik yang selalu dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melakukan fungsi kontrol terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, untuk membicarakan seks, kita harus menggunakan perumpamaan-perumpamaan, penghalusan-penghalusan, atau bentuk retorika kiasan dan metafor. Bahasa benar-benar dikendalikan dengan ketat. Maka akibat selanjutnya adalah muncul pelipat-gandaan wacana mengenai seks di dalama wilayah kekuasaan itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya dan bahkan untuk semakin membicarakannya. Rezim Orde Baru misalnya, sebenarnya telah mentransfer cara pentabuhan seks selama berabad-abad yang dilakukan oleh berbagai rezim kekuasaan di mana-mana, meskipun terjadi secara tidak langsung. (hal. 51)
Dalam agama, pentabuan seks bermula dari persepsi tentang penciptaan Adam dan Hawa. Asumsi bahwa Adam diciptakan lebih awal katimbang Hawa dipandang sebagai penanda bahwa kaum laki-kali harus lebih dulu, harus nomor satu, dan bahkan harus lebih tinggi di atas perempuan. Akibatnya muncul ketidakseimbangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan posisi ini pada akhirnya berujung pada ketidak-adaan penghargaan terhadap tubuh: yang terjadi malah pengeksploitasian, pelecehan, bahkan kekerasan terhadap tubuh perempuan. (hal. 59)
Pentabuan seks akan melahirkan sikap tidak adil akan sexsual Identity atau pembedaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan. Aturan perkawinan misalnya, di tengah masyarakat mestinya tidak dirancukan dengan nilai-nilai keperawanan (virginitas) sehingga yang terjadi kemudian adalah persepsi bahwa lembaga perkawinan merupakan legitimasi dari sebuah hubungan seks atau sexual intercouse.
Menurutnya, hubungan seksual sendiri sama sekali tidak membutuhkan legitimasi formal apapun karena hubungan itu sudah legitimate jika dilakukan atas dasar keinginan bersama, merupakan ekspresi dari hubungan emosional antara sepasang manusia, tidak merugikan salah satu pihak, dan bukan merupakan wujud penguasaan (dominasi) kaum laki-laki terhadap perempuan. Lembaga perkawinan lebih merupakan wujud komitmen lanjutan antara sepasang manusia tersebut dengan tujuan mempermanenkan hubungan tersebut, meneruskan keturunan, dan untuk memudahkan pendidikan terhadap anak-anak. (hal. 53-54) Maka persoalannya kemudian bukan kapan seorang perempuan melepas keperawannya, namun bagaimana ia melepaskan keperawanannya.
Di sini kemudian kita harus memahami seks sebagai wacana tubuh. Ini prinsip awal yang harus ditanamkan dalam setiap individu. Karena tubuh itu, secara nyata, mewakili kehormatan seseorang, maka kita harus mengormati integritas tubuh pasangan kita. Karena pernah menyetebuhinya, bukan berarti lantas kita harus memilikinya. Untuk itu seks harus dibicarakan sebagai sebuah bidang umum. Sebagai sebuah unsur yang sangat esensial dalam diri manusia yang menentukan keberadaan atau eksistensi manusia seutuhnya. Seks merupakan kodrat alamiah setiap manusia yang menjadi bagian yang integral dalam dirinya. Oleh karena itu, mencari nilai-nilai inheren atau intrinsik dari seksualitas menjadi menjadi lebih urgen dan signifikan.
Namun apabila manusia gagal atau tidak memahami kodrat seksualnya, maka yang terjadi adalah kebejatan moral. Kegagalan itu dapat dilihat dalam prilaku-prilaku seperti pedhofili dan korelasinya dengan pelacuran anak, prilaku sadomasochis atau sadisme dalam seks, dan insect. Seks yang semestinya harus dihormati sebagai bagian dari eksistensi kehidupannya yang mempunyai nilai-nilai intrinsik berubah, dijadikan sekedar alat ekspresi. (hal. 177-178)
Nilai-nilai sejati dari seksualitas harus dicari. Karena ternyata wacana seks mencakup hampir semua dimensi dan prisnip-prinsip dasar dalam kehidupan. Kausalitas pada manusia, alam bawah sadar manusia, prinsip-prinsip hubungan antara manusia, dan perkembangan suatu kebudayaan, semuanya berkembang dalam wacana seks. Bahkan kebejatan manusia, atau ukuran kebudayaan sekalipun.
Demikianlah penulis buku ini mengulas persoalan seksualitas dan hubungannya dengan realitas kehidupan sebagai sebuah sistem yang tak terpisahkan, bahkan melacak nilai-nilai sejati dari seks tersebut secara panjang lebar. Semuanya dilihat dari perspektif filosofis. Meskipun buku ini hadir dalam bentuk kecil, namun tuntas dalam mengungkap sersoalan tersebut, selain menarik untuk dibaca dan enak dipahami, terutama bagi mereka yang memiliki concern terhadap persoalan gender atau feminisme. Lebih-lebih dengan menggunakan pendekatan ala kaum strukturalisme seperti yang dilakukan oleh Claudia Levi-Strauss dengan analisanya tentang insect, buku ini semakin menunjukkan dimensi lain yang ‘baru’, dibanding dengan buku-buku yang sudah ada.[mff]


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Bernas Yogyakarta

Apa Yang Salah Dengan Sholat Berbahasa Indonesia?

Oleh: M.Faisol Fatawi


Menarik sekali membaca tulisan Hafidz J.M. yang berjudul "Salat Berbahasa Indonesia dalam Perspektif Syari'at Islam", yang dimuat dalam koran ini beberapa hari lalu (12-13 Mei 2005). Dalam tulisan itu saudara Hafidz telah menyatakan bahwa shalat berbahasa Indonesia --sebagaimana yang dipraktikkan oleh KH.M.Yusman Roy-- adalah tidak sah, bahkan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan syari'at Islam.
Ada beberapa catatan untuk tulisan saudara Hafidz. Pertama, bahwa memang shalat merupakan jenis ibadah mahdlah. Ibadah ini wajib dilakukan oleh siapapun yang memeluk Islam. Bahkan kita semua memaklumi kalau Rasulullah pernah menyatakan "lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat (shalat)-ku". Namun demikian shalat yang bagaimanakah? Kaifiyah gerakan dan bacaannya seperti apa?
Jika kita menelisik literatur-literatur fiqh klasik, kita akan mendapatkan berbagai perbedaan mengenai kaifiyah gerakan dan bacaan shalat. Dengan kata lain, tidak ada kesepakatan bulat di kalangan fuqaha' mengenai kaifiyah shalat. Dalam masalah takbir misalnya, Ibn Rusyd dalam bukunya Bidayah al-mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid telah merangkum beberapa pendapat. Di antaranya, bahwa takbir adalah wajib dalam setiap gerak shalat; takbir tidak wajib dalam seluruh gerakan shalat; dan yang wajib hanya takbiratul ihram. Tidak hanya itu. Perselisihan pendapat pun terjadi dalam masalah bacaan takbir yang baku: apakah Allahu Akbar saja atau bisa diganti dengan lafadz yang senada?, masalah basmalah dalam membaca surat al-Fatihah, masalah pengucapan salam… dst.
Masih dalam kerangka perselisihan kaifiyah shalat, bahwa ternyata di kalangan ulama juga terjadi perselisihan pendapat mengenai masalah membaca al-Fatihah: apakah harus dibaca seperti apa adanya (yakni sebagaimana bacaan dalam al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab) atau bacaan al-Fatihah itu boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Secara jelas, Abu Hanifah adalah salah seorang fuqaha' yang membolehkan bacaan al-Fatihah dengan bahasa terjemahannya, yaitu menggunakan bahasa Persi. Sementara seperti Imam Syafi'i dan yang lain mewajibkan bacaan al-Fatihah seperti apa adanya.
Fakta perselisihan pendapat dalam hal kaifiyah shalat tersebut di atas, semakin menggelitik pikiran kita untuk mempertanyakan kembali kesimpulan bahwa shalat berbahasa Indonesia tidak ada dalam syari'at Islam sehingga tidak dapat dibenarkan. Pendapat Gus Roy tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah membolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat dengan menggunakan bahasa persi, sementara Gus Roy membacanya dengan bahasa Indonesia. Sampai sini kita pun jadi bertanya, apakah yang dimaksud oleh saudara Hafidz mengenai syari'at Islam? Lalu dari sekian banyak perselisihan pendapat, manakah kaifiyah (tuntunan) shalat yang sesuai dengan syari'at Islam?
Di sini, ada kerancuan mengenai maksud syari'at dengan fiqh (hasil ijtihad para ulama). Kewajiban melaksanakan shalat adalah syari'at. Yakni, sebuah jenis amalan wajib yang harus dipenuhi setiap pemeluk Islam. Tetapi, mengenai kaifiyah --seperti bahasa apakah yang harus digunakan untuk melafadzkan al-Fatihah (termasuk juga seluruh bacaan) dalam shalat-- merupakan masalah fiqhiyah yang masih bisa diperdebatkan sebagaimana yang terjadi di kalangan fuqaha' terdahulu. Fiqh bukanlah syari'at dan syari'at bukanlah fiqh.
Dengan demikian, pendapat yang dilontarkan Gus Roy mengenai shalat berbahasa Indonesia tidak bisa dinilai telah keluar dari syari'at Islam. Posisi pendapat Gus Roy berada dalam masalah fiqhiyah--padahal fiqh itu sendiri merupakan sekumpulan pendapat ulama mengenai suatu masalah dengan tetap mengacu pada dalil-dalil tertentu. Fiqh berisi tentang masalah furu'iyah dan bukan ushuliyah, dan karena itu kita tidak akan pernah menemukan kemufakatan seratus persen. Mengklaim pendapat bahwa shalat berbahasa Indonesia termasuk bukan syari'at Islam sama dengan mengingkari kerahmatan akan adanya perbedaan pendapat. Bahkan--dengan meminjam istilah Ali Harb--telah melakukan imprialisasi pemaknaan (imbriyaliyah al-ma'na).
Kedua, Hafidz dalam menilai pendapat Gus Roy terjebak dengan--apa yang disebut oleh Nasr Hamid Abu Zaid--arabisme. Arabisme yang dimaksud adalah pendapat Hafidz yang mengangap bahwa hanya melalui bahasa Arab-lah shalat itu dilaksanakan dan dianggap sah. Ini didasarkan pada ayat al-Qur'an yang berbunyi "Sesungguhya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian memahami" (QS. az-Zukhruf: 3).
Sejatinya, ayat tersebut dipahami dalam konteks sejarah. Artinya, bahwa Nabi adalah keturunan dan berdomisili di tengah-tengah masyarakat jazirah Arab yang menjadikan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dalam kesehariaan. Oleh karena mereka menggunakan bahasa Arab, maka sangat wajar jika Nabi dalam menyampaikan dakwah ke jalan Allah menggunakan bahasa Arab dan tidak bahasa orang-orang ajam. Ada hubungan timbal balik dalam pengertian QS az-Zukhruf tersebut. Andai saja dakwah Nabi tidak menggunakan bahasa Arab, maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan yang sangat luar biasa, yaitu pesan ilahi tidak akan sampai kepada masyarakat setempat yang menjadi sasaran dakwah Islam pada saat itu. Dalam ayat lain dinyatakan "Dan kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka" (QS Ibrahim: 4).
Jelaslah, bahwa penggunaan bahasa Arab dalam konteks penyampaian pesan ilahi tidak lain merupakan alat untuk mempermudah komunikasi. Pesan ilahi adalah esensi, sementara bahasa Arab merupakan medium komunikasi: padahal bahasa adalah sistem ujaran dan tanda yang terkait dengan pranata masyarakat penggunanya. Pesan ilahi bersifat universal, artinya dapat dipahami dang dijangkau dengan berbagai bahasa manusia. Oleh karena itu, jika al-Qur'an yang berisi pesan ilahi dipahami dan diterjemahkan dengan berbagai ragam bahasa manusia di luar bahasa Arab, maka hasilnya tetap pesan ilahi. Yang terpenting bukan medium bahasa yang dipakai, tetapi esensi pesan itu sendiri. Menganggap terjemahan al-Qur'an sebagai sesuatu yang sekunder dan tidak merupakan al-Qur'an itu sendiri berarti telah membatasi eksistensi Tuhan. Allah tidak hanya milik orang Arab, tetapi juga milik seluruh umat manusia. Tidak tersekat oleh batas wilayah geografis dan waktu.
Begitulah saudara Hafidz telah merancukan antara agama dengan pemikiran keagamaan, antara syari'ah dengan fiqh, dan ia juga telah menafikan dimensi historis dalam melihat kasus shalat berbahasa Indonesia yang difatwakan dan dilakukan oleh KH.M.Yusman Roy. Semestinya, kita mendudukkan masalah shalat berbahasa Indonesia itu pada tempatnya, yaitu sebagai persoalan fiqhiyah-furu'iyah. Syari'ah itu tidak sekedar sistem ritual dan lafadz, tetapi--dengan meminjam pengertian Said al-Asymawi--semangat universal untuk mengembalikan dan mengangkat manusia kepada derajat kemanusiaannya.


Tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos Radar Malang

Teror Atas Nama Kebenaran

Oleh: M.Faisol Fatawi

Belum selesai sidang kasus ajaran shalat dua bahasa (Gus Roy) dan buku "Menembus Gelap Menuju Terang" (Mohammad Ardi Husein) di Pengadilan Negeri, kini tuduhan ajaran sesat itu muncul lagi. Kali ini tuduhan sesat itu ditujukan pada Jamaah Ahmadiyah.
Sebenarnya, pencekalan dengan tuduhan sesat ajaran Jamaah Ahmadiyah sudah pernah terjadi sebelumnya. Itu terjadi tepatnya ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 80-an mengeluarkan fatwa sesat. Alasannya, karena ajaran yang disebarkan jamaah tersebut dinilai telah menyimpang dari Islam. Tetapi, Islam yang mana dan yang seperti apa?
Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad datang ke Indonesia sejak tahun 1925. Status Jamaah ini serupa dengan organisasi-organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah, NU dan lain-lainnya. Artinya, bahwa Ahmadiyah memiliki memiliki status hukum yang legal. Dan ini diperoleh sejak 1953.
Tidak ada perbedaan yang mendasar antara ajaran Ahmadiyah dengan ajaran yang dipegang teguh oleh organisasi-organisasi Islam yang lain di Indonesia. Dari segi sumber hukum, Ahmadiyah berpijak pada al-Qur'an dan hadits. Rukun iman dan rukun Islam-nya pun sama. Bahkan shalat yang mereka jalankan pun tidak jauh berbeda dengan jamaah keagamaan lain pada umumnya.
Barangkali, jamaah ini dituduhkan sesat karena konsep kenabian yang diyakininya, yang konon mereka disinyalir telah meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad Saw. Tetapi faktanya, mereka tetap meyakini Muhammad Saw sebagai nabi. Nabi yang mereka yakini tidak lebih dari sekedar penjelmaan Imam Mahdi al-muntadzar. Yang membedakan hanyalah pemahaman dan penalaran terhadap konsep itu.

Pluralitas Internal Islam
Munculnya perbedaan penafsiran dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam bukan merupakan barang yang aneh dan diharamkan. Kesadaran akan perbedaan ini telah muncul dalam diri Nabi Saw sejak awal melalui sabdanya: "perbedaan (ikhtilaf) umat-ku merupakan rahmat".
Jika boleh dipahami, pernyataan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada kita akan adanya realitas perbedaan pada dataran ontologis. Bahwa secara alami perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan, dan ini tidak boleh dipungkiri. Hukum bahwa "perbedaan merupakan keniscayaan" berlaku secara mutlak dalam alam semesta ini.
Dalam praktik beragama, realitas perbedaan memang benar-benar terjadi di kalangan umat Islam pasca kematian Nabi. Perbedaan pemahaman itu muncul pertama kali dalam hal keimanan--yang kemudian dikenal dengan teologi. Dalam hal ini, umat Islam tidak saja dihadapkan pada model keimanan yang dipegang teguh oleh kelompok Sunni, tetapi juga Khawarij, Muktazilah, Murji'ah, Syi'ah, dan lain-lainnya.
Perbedaan konsep keimanan mendorong mereka (umat Islam) untuk melebarkan sayap perbedaan di dalam wilayah hukum praktis (fiqh). Puluhan bahkan ratusan produk hukum Islam (fiqh) difatwakan dari waktu ke waktu. Maka, muncullah apa yang kita kenal dengan madzhab fiqh: barangkali Syafi'i, Maliki, Hambali, Hanafi, Dawud Dzahiri, al-Laitsi, dan al-Auza'i hanyalah beberapa aliran yang dapat kita kenali sampai sekarang melalui khazanah pengetahuan yang ada.
Tentu perbedaan pemahaman yang termanifestasikan ke dalam madzhab seperti yang terjadi di masa silam akan lain bentuknya di zaman sekarang ini. Kini, perbedaan dalam beragama itu menjelma ke dalam organisasi-organisasi modern sebagaimana yang ada saat ini, meskipun secara genealogi pengetahuan--kadang--tidak dapat melepaskan diri dari formulasi konsep sebelumnya. Tetapi, tak jarang pula yang secara terang-terangan mengikuti madzhab yang sebelumnya pernah eksis atau kadang mengklaim dirinya tidak bermadzhab sama sekali.
Semua kenyataan perbedaan itu merupakan realitas historis akan adanya pluralitas internal dalam tubuh Islam. Islam adalah tunggal dan sekaligus plural. Islam adalah ibarat payung besar yang menaungi berbagai ragam pemahaman terhadapnya. Perbedaan internal justru semakin menampakkan keindahan dan sekaligus kekuatan Islam itu sendiri. Menganggap bahwa Islam itu tunggal sama dengan mengingkari realitas sejarah umat Islam itu sendiri.

Dialog Antar-kebenaran
Tidak ada seorang pun atau kelompok di dunia ini yang bisa mengklaim bahwa dirinyalah orang yang paling benar atau berada dalam kebenaran. Hanya Tuhan yang Mahabenar, karena segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bersumber dari-Nya. Isyarat ini secara jelas telah dinyatakan misalnya saja dalam QS al-Baqarah: 147 dan Ali Imran: 60: "Kebenaran berasal dari Tuhan-mu, dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang ragu".
Dalam konteks pluralitas internal Islam, isyarat yang ditunjukkan ayat tersebut di atas semakin menemukan signifikansinya. Artinya, bahwa tidak dibenarkan adanya klaim kebenaran (truth claim) mutlak bagi masing-masing kelompok dalam internal Islam. Bagi mereka, yang ada hanyalah kebenaran nisbi yang bersifat sangat relatif.
Maka jelaslah, bahwa dalam Islam tidak ada klaim kebenaran. Sikap itu bertentangan dengan ajaran agama. Sikap merasa benar sendiri antar-sesama pengikut agama (internal) tidak saja mencoreng citra agama itu sendiri, tetapi juga telah mengaburkan misi progresifitas agama dalam menata dan membangun peradaban manusia ke arah derajat yang lebih mulia.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi masing-masing kelompok (aliran) internal dalam agama Islam untuk melakukan dialog. Yaitu, mendialogkan kebenaran yang dicapai sebagai bentuk dari pengalaman dalam memahami dan menghayati ajaran dan teks-teks keagamaan. Dalam dialog juga harus dilakukan--dengan meminjam istilah Ali Harb--kritik kebenaran (naqd al-haqiqah). Kritik kebenaran ini tidak berarti saling mencari kelemahan argumentasi: yang lemah argumentasinya itulah yang salah sedangkan yang kuat argumentasinya itulah yang benar. Tetapi, mendialogkan kebenaran sebagai bentuk pencerahan penalaran (pemahaman) dalam membangun kehidupan umat manusia.
***
Seperti dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa "Ia (al-Qur'an) tidak dapat berbicara, yang berbicara atas nama al-Qur'an adalah orang-orangnya". Itu artinya bahwa akal seseorang dan tingkat pengetahuan pemahaman merekalah yang menentukan dan membentuk makna (kebenaran). Jika memang demikian, lantas sampai kapan fatwa atau tuduhan sesat terhadap individu dan kelompok (aliran) dalam agama bisa diakhiri? Tuduhan-tuduhan sesat dalam beragama tidak lain merupakan bentuk dari teror atas nama kebenaran.[mff]

Wajah Seks dalam Agama-agama

Oleh: M.Faisol Fatawi

Seks merupakan masalah yang penting bagi kehidupan manusia. Masalah ini hadir di dalam diri kita secara alami. Setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu, naluri seks langsung bekerja. Karena begitu penting, maka tak heran jika agama --yang telah diklaim sebagai pedoman kehidupan-- turut serta menjadikan seks sebagai hal yang harus diatur dalam agama. Bahkan hampir dapat dipastikan, bahwa tidak ada agama yang menafikan masalah seks.
Dalam setiap agama, seks dianggap sebagai sesuatu (baca: sarana) yang bertujuan prokreasi, yakni meneruskan ciptaan Tuhan. Manusia pertama dikabarkan beranak pinak, sehingga hubungan seksual digunakan untuk meneruskan dan melanggengkan ras keturunannya. Karena itu, masalah seks dalam agama telah menampakkan wajah sakralitasnya. Dengan kata lain, bahwa urusan seks dalam agama tidak saja menjadi masalah biologis semata, tetapi menjadi hal yang "suci".
Wajah seks yang seperti itu dapat dilihat dalam tradisi agama-agama yang lahir di belahan tanah India, dimana seks ditampilkan secara vulgar dengan model ilahiah dan sekaligus kemanusiaan. Dalam hal ini, kita dapat menemukan cerita-cerita yang menggambarkan sosok seorang dewa yang dipahami sebagai lambang keperkasaan kejantanan (baca: seksual). Dewa itu tidak lain adalah Siwa: sang dewa seks dan sekaligus dewa asketisme. Gambaran seperti ini tertulis dalam epik Mahabarata.
Gambaran lebih jelas juga dapat disaksikan dalam buku panduan seks yang sangat terkenal seperti Kamasutra. Buku ini bisa dikatakan sebagai "kitab suci" yang tidak saja memuat pujian-pujian kepada para dewa, tetapi sekaligus berisi tentang seni hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Bahkan membacanya menjadi semacam kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang calon pengantin.
Demikian halnya tradisi keyakinan agama yang tumbuh subur di dataran Cina. Gagasan mengenai masalah seks dalam tradisi agama Cina (khususnya Taoisme) tidak dapat lepas dari teori yang telah dikembangkan dari I Ching. Ada Yin dan Yang. Yin adalah simbol kelembutan seorang perempuan, sedangkan Yang merupakan simbol keperkasaan laki-laki. Untuk memperoleh energi seksual yang luar biasa, antara Yin dan Yang harus disatukan. Pertukatan timbal balik antara keduanya, diyakini mampu menghasilkan keserasian yang sempurna dan hubungan seksual, bahkan konon dapat meningkatkan stamina dan memperpanjang usia. Gagasan Yin dan Yang ini menyerupai gagasan In dan Yo di Jepang.
Sementara itu, gagasan mengenai seks dalam tradisi agama-agama Semitik tidak menampakkan wajah yang begitu syuur. Wajah seks lebih dibungkus dalam kerangka normatifitas teks, yang cerminannya dapat ditemukan dalam pengalaman seorang nabi. Baik dalam Islam, Kristen maupun Yahudi, tidak ditemukan adegan-adegan tertentu yang termanifestasikan ke dalam bentuk buku panduan maupun pahatan-pahatan berbentuk cerita, yang bersifat visual.
Demikianlah, agama-agama menggambarkan dan berbicara tentang persoalan seks dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, hal yang tidak dapat dinafikan bahwa agama telah memberikan makna baru terhadap masalah seks, dari sekedar persoalan badaniah-alami menjadi persoalan yang sakral: aktifitas seksual merupakan bentuk ibadah dan menjadi bagian ritus pemujaan.[mff]

27 November, 2009

Membunuh Nafsu Hewani

Oleh: M. Faisol Fatawi

Setiap manusia dilahirkan dengan nafsu. Nafsu merupakan wajah lain dari kemauan atau keinginan. Dalam diri manusia, nafsu laksana ruh yang dapat mendorong dalam melakukan sesuatu. Semua amal perbuatan seseorang mesti didahului oleh kemauan. Dorongan nafsu dalam diri seseorang selalu bermuara dalam dua pilihan, mengarah pada jalan kebajikan atau jalan keburukan; ketakwaan atau kekufuran (lihat QS. asy-Syams). Siapa yang mampu mengendalikan keinginan nafsunya ke arah yang baik, maka ia mendapat tempat yang mulia. Sementara siapa yang terbelenggu oleh nafsunya maka akan mendapat balasan yang hina. Bagi manusia, nafsu dapat menjadi kekuatan positif sejauh ia dapat mengendalikannya.
Istilah nafsu merupakan kata serapan dari lafaz nafs yang berarti diri, isi atau inti dari sesuatu yang bersifat halus. Istilah nafs seringkali dihadapkan dengan sesuatu yang bersifat materi, dan oleh karena itu muncul anggapan bahawa dalam diri manusia terdapat nafs dan madiyah (materi). Nafs bagi diri manusia tidak lain adalah ruh, sedangkan madiyah merupakan jasad atau wadag. Ruh seringkali identik dengan kesucian, sementara wadag dianggap sebagai sesuatu yang penuh dengan kotoran. Dikotomi seperti ini sampai sekarang masih dipegang sebagai pandangan dalam sementara umat Islam.
Sebuah adagium filsafat sering kita dengar, bahwa manusia didefinsikan sebagai hewan yang berakal (al-insan huwa al-hayawan al-nathiq). Manusia adalah sejenis (bergenus) hewan. Yang membedakan adalah manusia memiliki kemampuan untuk bernalar atau berpikir dengan kekuatan akal yang dimilikinya, sementara hewan tidak memiliki potensi sebagaimana yang dalam diri manusia.
Dengan kapasitas kemampuan seperti itu, maka manusia ditempatkan sebagai makhluk yang mulia atau yang dalam bahasa agama disebut dengan ahsan taqwim. Bahkan Allah secara nyata menyebut bahwa diri-Nya telah memuliakan anak turun Adam, sehingga ia disodori amanat dan mereka pun menerima untuk memikul amanat itu (QS. al-Isra’: 70). Perjanjian inilah yang kemudian lebih dikenal dengan perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan.
Secara garis besar, nafsu yang bercokol dalam diri manusia dikelompokkan menjadi dua. Yaitu, nafsu yang bergerak ke arah kebaikan atau yang dalam istilah al-Qur’an disebut sebagai nafs al-muthma’innah yang baginya akan mendapat tempat yang mulia di sisi Tuhan (QS. al-Fajr: 27-30). Sementara yang lain adalah nafsu yang senantiasa mendorong manusia untuk melakukan kejelekan dan keburukan. Nafsu jenis yang terakhir inilah yang identik dengan nafs al-hayawaniy. Nilai kemanusiaan seseorang akan menurun setingkat nilai kebinatangan manakala mereka tidak mampu mengendalikan potensi yang dimilikinya. Nafsu yang muthma’innah harus selalu dipelihara dan dipertahankan, sementara nafsu yang al-hayawaniy harus dihilangkan dari diri manusia.
Dalam diri manusia, nafsu al-hayawaniy harus ‘dihilangkan’, sehingga tidak melahirkan perilaku-perilaku atau amal perbuatan negatif. Momen Idul Adha kali ini mungkin dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita untuk ‘membunuh nafsu hewani’ yang bercokol dalam diri setiap insan; muara lahirnya perilaku mencuri, korupsi, iri dan dengki, sifat pemarah dan seterusnya. Penyembelihan hewan kurban merupakan isyarat simbolik akan hal itu, dan bukan sekedar memisahkan nyawa hewan dari wadagnya dengan diiringi tahmid dan takbir, lalu dagingnya kita bagi-bagikan kepada yang lain, dan kemudian dinikmati bersama. Jika penyembelihan itu dipahami sebagai kegiatan bagi-bagi daging dan lantas dinikmati bersama—dan melenceng dari pesan esensialnya, tentu hal ini tidak berbeda dengan kegiatan ‘mayoran’ untuk makan-makan bersama. Na’udzu billah min dzalik![mff]

26 November, 2009

Simbolisme Hewan Kurban

Oleh: M. Faisol Fatawi

Idul Adha adalah salah satu momen penting dalam Islam. Ia merupakan hari besar kedua setelah Idul Fitri. Di hari yang agung ini, setiap muslim diperintah untuk banyak melantunkan bacaan takbir dan tahmid. Tak kalah penting lagi, penyembelihan hewan kurban dilakukan seusai shalat Ied. Penyembelihan ini telah menjadi ikon tersendiri. Bahkan kata Idul Adha itu sendiri mengandung arti “hari penyembelihan”, yakni penyembelihan hewan kurban.
Cerita mengenai penyembelihan hewan kurban telah masyhur dan termaktub dalam al-Qur’an. Bahwa nabi Ibrahim dalam suatu mimpi didatangi oleh malaikat Jibril, dan mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya (Ismail). Rasa berat menggelayuti diri Ibrahim, namun apa boleh buat semua itu merupakan perintah Allah. Sang putra Ismail juga tidak pantang surut ketika mengetahui bahwa perintah penyembelihan dirinya datang dari Allah. Justru, Ismail malah berusaha sekuat tenaga menepis keraguan ayahnya. Akhirnya, upacara penyembelihan disiapkan. Leher Ismail telah siap menerima gesekan pedang. Namun, yang terjadi justru Allah mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba.
Kini, penyembelihan hewan kurban telah menjadi ritual dan tradisi keagamaan bagi umat Islam dimanapun mereka berada. Tidak semua orang diwajibkan untuk berkurban, hanya mereka yang mampu saja. Dalam praktinya, tradisi keagamaan yang satu ini terkesan dipahami sebagai bentuk ritual penyembelihan tahunan dan kadang dijalankan mirip dengan pemberian santunan yang bersifat karikatif, atau bahkan dijadikan sebagai ajang hura-hura dan senang-senang, sehingga lupa pada makna esensialnya. Sungguh sebuah ironi jika memang ini yang terjadi.
Sebenarnya, ritual penyembelihan hewan kurban merupakan ilustrasi yang bagus untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal antara hamba dengan Tuhan. Dalam hal ini terjadi pertukaran benda: hamba mempersembahkan hewan kurban dan Allah sebagai Dzat maha tinggi yang menerima. Nabi Ibrahim dengan suka rela mengorbankan putra tercintanya, namun oleh Allah diganti dengan seekor domba, lalu Allah memerintahkan Ibrahim untuk membuka matanya dan menyadari bahwa Allah telah menerima kurbannya.
Hubungan antara manusia dengan Tuhan tentu berbeda dengan hubungan manusia dengan makhluk yang lain. Dalam proses komunikasi melalui hewan kurban tergambar bahwa hamba yang berkurban menyadari akan apa saja yang diinginkan dan dikehendaki oleh Tuhan, dan bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan apa-apa selain tunduk pada kehendak-Nya. Jelas, ini merupakan bentuk kepasrahan penuh manusia kepada Tuhannya. Ketundukan seperti ini penting dalam rangka perjalanan spriritual untuk mendatangi dan menghadap sang Khalik kelak, karena memang hanya kepada Allah-lah tempat kembali.
Dalam proses ritual penyembelihan hewan kurban juga dapat ditemukan sebuah bentuk penegasan persahabatan dan solidaritas sosial. Hewan kurban yang telah disembelih tidak dibuang secara sia-sia. Dagingnya dibagi-bagikan secara merata. Baik yang miskin maupun yang kaya mendapat bagian yang sama. Karena memang secara syar’i tidak ada nash yang mengatur untuk itu. Tidak seperti zakat misalnya, yang mustahiq-nya sudah ditentukan.
Pada akhirnya, kita pun tidak dapat memungkiri bahwa ritual penyembelihan hewan kurban merupakan suatu tindakan religius yang diyakini dapat merubah keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya. Ia telah menjadi media komunikasi antara yang duniawi dan yang sakral. Antara hamba dan Tuhannya. Sebuah dialog yang tak akan pernah berakhir selama nafas kehidupan terus berjalan. Kita butuh kearifan hati dan kejernihan pikiran untuk memahami dan memaknai arti dari sebuah penyembelihan hewan kurban.[mff]

25 November, 2009

Wukuf dan Semesta Kemanusiaan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Istilah wukuf berasl dari kata w-q-f yang berarti berhenti. Wukuf merupakan salah satu rangkaian ibadah (ritual) yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sedang melaksanakan haji. Wukuf di Arah berarti berhenti sejenak di tempat itu. Waktu wukuf adalah awal zuhur tanggal 9 Dzul Hijjah sampai sebelum terbit matahari tanggal 10 Dzul Hijjah. Wukuf menjadi rukun kedua di dalam ibadah haji.
Wukuf menjadi momen yang sangat penting bagi jamaah haji tidak saja dari aspek ritualitas keagamaan ibadah haji, tetapi sebagai peristiwa sejarah kemanusiaan. Terdapat peristiwa penting yang mengiringi kenapa wukuf itu menjadi hal yang istimewa dalam haji. Tepatnya, di Arafah nabi menyampaikan pidato terakhirnya ketika sedang berhaji bersama para sahabat-sahabat beliau, atau yang kemudian di kenal dalam sejarah Islam sebagai haji wada’ (haji perpisahan). Dalam pidato itulah, berkali-kali Rasulullah Saw mengatakan: “Ambillah manasik dariku, karena barangkali setelah tahun ini kalian tidak bisa menemuiku lagi.”
Ada hal-hal penting yang dapat kita ambil hikmah dari peristiwa wukuf di Arafah. Ketika para hujjaj berhenti (mampir) di Arafah sejenak, Arafah menjadi lautan yang dipenuhi oleh ribuan manusia. Semuanya hadir ke tengah lapang Arafah dengan memakai baju ihram yang serba putih-putih, tidak ada satupun yang berberda warnanya. Baik mereka yang kaya maupun miskin, yang berkulit hitam maupun putih, baik yang tampan maupun yang berwajah buruk, yang tua maupun yang muda, dan seterusnya, semuanya berjubel menjadi satu dalam tanah lapang Arafah. Ketika itu, semua manusia sama. Tidak ada satupun yang berbeda. Semua di hadapan sang Khaliq sama rata. Nilai-nilai ke-egaliter-an menjadi pesanyang tidak dapat ditolek oleh setiap mereka yang berhaji.
Oleh karena itu, wukuf di Arafah sebenarnya menjadi dimensi ruang dan waktu bagi manusia untuk menumbuhkan sikap keadilan semesta. Dalam batas ruang dan waktu, para hujjaj selama di Arafah merasakan adanya persamaan sejati antar sesama umat manusia melalui pengalaman riil. Dimensi ruang dan waktu tentang adanya perasaan yang sama bukan sekedar menjadi sesuatu yang imajiner. Tetapi, semua itu berada dalam ruang dan waktu yang riil dan nyata.
Kalau merunut sejarah, kita mungkin jadi teringat akan sabda nabi Saw ketika berkhutbah kepada para umat Islam di Arafah pada saat haji Wada’. Terdapat korelasi antara pesan khutbah yang disampaikan oleh baginda Rasul dengan peristiwa wukuf di Arafah dalam pelaksanaan ibadah haji Wada’. Baginda Nabi dalam pidatonya ketika itu mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu. Bapak kalian adalah satu. Kalian semua dari Adam, dan Adam [diciptakan] dari tanah. Semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah orang yang baik taqwanya. Tidak kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali taqwanya ...” Cuplikan khutbah ini mengisyaratkan perhatian Rasulullah terhadap pentingnya persoalan kemanusiaan. Sebuah pesan kemanusiaan yang luhur, yang di dalamnya seseorang menemukan jati dirinya sebagai makhluk yang sama, yaitu sama dalam sifat kemanusiaan dan haknya sebagai ciptaan Tuhan.
Oleh karena manusia pada hakekatnya adalah sama di hadapan Tuhan, maka tidak sepatutnya antar sesama melakukan perilaku yang dapat saling merugikan. Berbuat zalim dan menyakiti orang lain pun tidak diperbolehkan. “Sungguh harta dan darah kalian adalah haram bagi kalian semua,” demikian dalam bagian lain dari khutbah Nabi di Arafah saat haji Wada’.
Sampai sini, saya semakin yakin bahwa peristiwa wukuf—yang harus dilakukan oleh para jamaah haji itu—tidak saja menjadi ajang sesaat untuk menikmati panorama alam bumi Arafah (yang gersang sebagaimana kebanyakan pemandangan daerah gurun pasir lainnya). Tetapi, wukuf harus dijadikan sebagai momen dan tempat untuk mengajari diri sendiri akan pentingnya nilai-nilai tentang semesta kemanusiaan; nilai persamaan antar sesama dan solidaritas kemanusiaan, sehingga tidak mudah tersulut emosi untuk menyakiti orang lain.
Baginda Rasul pernah menyatakan: “Haji adalah Arafah.” Barangkali, ini menjadi isyarat bagi kita akan pentingnya wukuf di Arafah, tidak saja dalam konteks haji tetapi juga dalam konteks historisnya. Maka, sangatlah rugi bagi mereka yang berhaji khususnya, dan umat Islam pada umumnya, yang melupakan makna (hikmah) esensial dari peristiwa besar wukuf di Arafah itu.[mff]

24 November, 2009

Peta Gerakan Sosial Baru

Oleh: M. Faisol Fatawi

STUDI dan teori mengenai gerakan sosial banyak dituliskan dalam
beberapa tahun terakhir. Studi itu sangat menarik karena banyaknya
fenomena yang berkembang sejak awal abad ke-20, terutama lahirnya
sejumlah gerakan perlawanan, khususnya gerakan prodemokrasi (prodem)
pada 60-an di banyak negara di semua belahan dunia.

Sekalipun demikian, gerakan sosial sering kali secara implisit
didefinisikan secara heterogen terhadap sejumlah fenomena sosial dan
politik seperti revolusi, sekte-sekte keagamaan, organisasi-
organisasi politik, atau satu isu yang mengampanyekan banyak hal pada
sebuah kesempatan didefinisikan sebagai gerakan sosial.

Selengkapnya baca:

Membongkar Sejarah Penciptaan Manusia dalam al-Qur'an

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sampai sekarang sejarah asal-usul manusia di muka bumi masih menjadi objek kajian yang hangat. Berbagai usaha dan teoritisasi dilakukan. Salah satu teori yang paling terkenal, yang dikemukakan oleh Darwin menyatakan, bahwa manusia berasal dari Kera. Tak pelak, kebenaran teori itu pun dipertanyakan oleh banyak pihak, bahkan mendapat tanggapan keras dari para ilmuwan umumnya dan para agamawan khususnya. Seiring dengan itu, para antropolog sibuk menemukan fosil yang diduga fosil manusia tertua. Ada Pithecantrophus Erectus, Meganthropus Erectus, Wajakensis Soloensis, Homo Sapien, dan lain sebagainya. Namun semuanya masih belum dapat menjawab secara pasti misteri dibalik asal-usul (penciptaan) manusia di muka bumi.
Dalam tradisi pemikiran Islam, misteri asal-usul manusia di muka bumi dihubungkan dengan kisah penciptaan nabi Adam. Bahwa nabi Adam-lah manusia pertama di muka bumi. Darinya Hawa’ diciptakan, dan dari keduanya itulah --setelah memakan buah khuldi dan diusir dari Sorga diturunkan ke muka bumi-- lahir anak keturunannya, termasuk kita semua ini yang menjadi anak turun Adam. Pemahaman seperti ini terus diproduksi dan direproduksi oleh kalangan mayoritas muslim. Bahkan kalau kita menyangkalnya berarti dianggap telah mengingkari al-Qur’an. Alasannya mudah, yaitu karena memang demikianlah al-Qur’an mengisahkan.

Selengkapnya baca:

Catatan dari Balik Penjara

Oleh: M. Faisol Fatawi

Bagi sebagian orang, penjara mungkin tempat yang sangat menakutkan karena itu sebisa mungkin dihindari. Namun bagi sebagian yang lain, penjara merupakan kawah candradimuka, tempat untuk menempa diri, bahkan sekolah gratis untuk mematangkan konsep, keahlian, dan keterampilan. Penjara menjadi surga bagi mereka yang ingin menggembleng kepribadian.

Pengalaman di penjara juga dirasakan Wilson bersama para aktivis Pro Demokrasi (Prodem) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai ganjaran atas usahanya merobohkan kekuasaan Orde Baru.

Keterlibatan para aktivis Prodem dalam menumbangkan kekuasaan Orde Baru, telah menyeret Wilson dan sejumlah aktivis Prodem dan PRD ke balik jeruji sel di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, LP Kali Sosok, dan LP Tangerang. Wilson ditangkap karena dianggap melawan negara dengan tuduhan merongrong kestabilan, maka mereka menerima tuduhan subversi.

selengkapnya baca:

Belajar Membangun Negara dari Plato

Oleh: M.Faisol Fatawi

Saat ini, bangsa Indonesia diterpa ‘penyakit’ serba ketidakjelasan, baik di bidang politik, ekonomi, moral, dan sosial. Krisis ekonomi berkepanjangan, rasa tidak percaya terhadap pemegang kekuasaan dan pelaksana pemerintahan, perseteruhan antar politisi, pejabat negara yang korup, dan yang paling mutakhir geger antara ‘cicak dan buaya’ atau entah apa lagi. Seolah-olah, kita hidup di sebuah negeri yang serba banyak masalah, tak beres. Negeri yang tak layak dijadikan tempat kelahiran dan perkembangan suatu harapan masa depan. Kita butuh pada negara ideal (utama) yang didalamnya tatanan masyarakat dan sendi-sendi kehidupannya berjalan normal: berkeadilan dan beprikemanusiaan.
Di tengah kondisi seperti itu, ada baiknya kalau kita mengambil pelajaran dari pesan-pesan yang disampaikan Plato dalam dialog antara dirinya dengan kawan-kawannya dalam bukunya The Republic (Republik). Menurut Plato, satu hal yang harus dipahami sebelum kita menciptakan negara utama adalah ide tentang (tujuan) penciptaan negara. Negara lahir karena berbagai kebutuhan umat manusia. Masing-masing Individu tidak ada yang sanggup mencukupi kebutuhannya sendiri. Agar kebutuhan tersebut terpenuhi, maka antara satu sama lain harus saling take and give. Yang satu memenuhi kebutuhan yang lain. Semakin banyak kebutuhan yang diperlukan, semakin banyak pemenuhan kebutuhan tersebut. Ketika semuanya kumpul dalam suatu habitat, maka disebut negara.
Menciptakan negara utama tidak mudah, butuh kecakapan keutamaan tertentu. Pertama, bahwa sebuah negara bisa menjadi negara utama manakala dikendalikan oleh keutamaan bijaksana. Kepandaian mengatur negara merupakan jenis pengetahuan. Pengetahuan yang bijaksana dapat diperoleh dari pengetahuan akan tujuan kemanusiaan yang menjadi objek politik, dan tujuan kemanusiaan hanya berpijak pada pengetahuan teoritis. Di sini, bijaksana dalam pengetahuan praktis dan pengetahuan teoritis menjadi suatu keniscayaan dalam menciptakan negara utama. Tak heran, jika Plato mengakui bahwa hanyalah para filsof (orang yang bijak) yang dapat mengarahkan negara menjadi negara utama, karena mereka adalah ahli kebijaksanaan.
Kedua, keutamaan keberanian. Apa yang dimaksud oleh Plato dengan keberanian adalah kemampuan mengetahui masalah, memelihara sesuatu, dan berkata dalam kondisi apapun. Yakni, seseorang harus tetap berusaha untuk bertahan, baik dalam kesenangan maupun penderitaan, di bawah nafsu atau ketakutan. Bukannya malah kehilangan pikiran. Keberanian diperoleh bukan semata-mata karena diharuskan hukum, tetapi harus ditanamkan dan dipersiapkan sebaik mungkin kepada semua individu sehingga tidak lapuk ditelan waktu dan kondisi. Oleh karena itu, penyelamatan ide dari yang benar yang sesuai dengan hukum tentang bahaya yang nyata dan yang salah tetap disebut dan dipertahankan sebagai keberanian.
Ketiga, negara utama dapat ditegakkan dengan sikap kesederhanaan. Negara tak mungkin dijalankan oleh individu-individu yang jiwanya dipenuhi nafsu keserakahan terhadap hal-hal duniawi. Berbagai kesenangan dan nafsu tertentu harus dikendalikan. Karena kesenangan dan nafsu tersebut, kita menemukan kelas-kelas dalam negara. Ada superior dan inferior. Kelas-kelas itu harus berjalan seirama dalam sebuah keseimbangan yang merupakan persetujuan yang secara mendasar dari yang superior dan inferior tentang hak untuk memimpin, baik negaranya atau setiap individu.
Akhirnya, kualitas negara menjadi baik apabila keadilan ditegakkan. Keadilan harus didasarkan pada prinsip bahwa seseorang harus mengerjakan satu hal saja. Karena satu orang mengerjakan satu saja, maka secara otomatis pekerjaan itu pun dikerjakan sendirian. Ini berarti, orang yang adil adalah bukan menjadi orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain. Maka melakukan pekerjaan atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu, dalam pandangan Plato, bisa dianggap sebagai keadilan.
Plato mengibaratkan keadaan negara dengan keadaan jiwa manusia. Keempat keutamaan tersebut yang terdapat dalam negara juga ada dalam jiwa setiap individu, dan dari setiap individu keutamaan itu berubah menjadi kebiasaan dan prinsip negara. Keempat keutamaan itu harus berjalan secara korelatif dan sederhana, meskipun mungkin timbul perbedaan. Keadilan bisa muncul dalam negara manakala kekuatan kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan berjalan sepatutnya, sesuai dengan kadar dan waktu yang semestinya. Kini, tercipta sudah negara utama itu.
Demikianlah Plato menguraikan apa saja yang dapat mengantarkan sebuah negara menjadi negara utama. Semoga kita dapat mengambil pelajaran![mff]

23 November, 2009

Filsafat Sejarah

Oleh: M. Faisol Fatawi


Fakta sejarah seringkali dipandang kebanyakan orang sebagai sebuah dokumen tentang serangkaian peristiwa pada masa lalu. Bahwa ia adalah kumpulan kejadian sebagai akibat dari aktifitas manusia dalam rangka berinteraksi dengan dunia di luar dirinya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Ini berarti, sejarah itu adalah catatan tentang sesuatu yang statis (baca: mati).
Adalah G.W.F. Hegel, bapak filsafat kritis, yang melihat fakta sejarah dengan sudut pandang lain. Menurut Hegel, semua organisasi manusia yang stabil, semua masyarakat agama dan politik, didasarkan pada prinsip yang jauh berada di luar kendali satu atau banyak orang. Setiap orang, dalam setiap iklim dan jaman, dilahirkan, hidup dan bergerak. Semua itu bukan merupakan hasil dari kontrak sosial, dan bukan pula hasil dari penemuan seseorang.
Namun fakta itu merupakan perwujudan objektif dari rasio yang tidak terbatas, sebuah dorongan pertama dari Dia yang membuat darah semua manusia untuk tinggal di muka bumi, yang telah menentukan jaman sebelum ditetapkan, dan ikatan tempat tinggal mereka saat merasakan ketidakmujuran dan menemukan dirinya. Rasio memiliki esensialnya sendiri. Bahwa manusia yang tidak sempurna ada di dalam penghambaan, sementara itu kesempurnaan eksistensi sosial pada umumnya dipandang sebagai satu pembebasan dari penghambaan tersebut.
Menurut Hegel, ada dua pertimbangan dasar. Pertama, ide tentang kebebasan sebagai tujuan akhir dan mutlak. Kedua, sarana untuk merealisasikannya, yaitu sisi subjektif pengetahuan dan kehendak, dengan hidup, gerak, dan aktifitasnya. Keduanya memiliki saling keterkaitan yang erat.
Kita mengenali ide dalam bentuk tertentu kesadaran akan kebebasan dan kehendak itu sendiri yang meliputi ide rasio yang murni dan sederhana, atau yang juga kita sebut dengan subjek: ruh secara aktual ada di dalam dunia. Sementara pada saat yang sama kita mempertimbangkan subjetivitas, bahwa pengetahuan dan kehendak subjektif adalah pemikiran. Antara ide rasio yang mempunyai sisi objektif dan personalitas yang berpikir dan menghendakinya, yang memiliki sisi subjektif membentuk kesatuan hakiki.
Ide atau rasio adalah kompleks yang tidak terbatas dari segala sesuatu, hakekat dan kebenarannya utuh. Ia meruapakan kebenaran, keabadian, dan esensi yang berkuasa secara mutlak; ia mewujudkan dirinya dalam dunia, dan di dunia tidak ada perwujudan yang lain kecuali ide dan kemurnian serta keagungannya. Namun pada saat yang sama, rasio menimbulkan akibat akibat dalam sejarah dunia karena ia memberikan kesempatan kepada kita kesempatan untuk mengkaji secara mendalam berbagai persoalan yang menimbulkan kesulitan yang terbesar
Oleh karena itu, bagi Hegel sejarah adalah ide tentang ruh di dalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasannya. Ia lahir sebagai keseluruhan moralitas dan realitas kebebasan, dan akibatnya sebagai kesatuan objektif dari unsur ide dan sarana untuk merealisasikannya.
Ketika ruh mencapai kebebasannya, maka ia akan membutuhkan sebuah kode tentang undang-undang dan konstitusi. Di situlah subordinasi rasional alam atas rasio yang berlaku dalam adanya sendiri, dan kekuatan yang ia rasakan untuk mewujudkan bujukan lahiriah akan terlihat dengan jelas. Bahwa rasio menguasai dunia, dan akibatnya menguasai sejarah.
Dalam hal ini, nampak seolah-olah pemikiran harus merendahkan apa yang sudah pasti, pada realitas fakta. Filsafat bermukim di dalam ide yang dihasilkan jiwa, tanpa mengacu pada aktualitas. Mendekati sejarah dengan demikian –menurut Hegel-- menawan hati, spekulasi dapat diharapkan untuk menyatakan sebagai materi yang pasif. Ia membiarkannya dalam kebenaran aslinya, dengan memaksanya sesuai ide tirani, dan dengan menguraikannya, sehingga ungkapannya adalah a priori.
Jika sejarah membicarakan apa yang terjadi di masa lampu atau memprediksikan apa yang bakal terjadi, maka sejarah dalam kerangka filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh Hegel membicarakan tentang apa yang ada, yang mempunyai eksistensi abadi, yakni rasio.[mff]

22 November, 2009

Film 2012 dan Hantu Modernitas

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kehadiran film 2012 begitu menghebohkan. Hampir semua pihak dibikin terperangah terhadapnya. Sebagian kita mungkin sedikit percaya bercampur was-was akan kiamat yang bakal terjadi tahun 2012 mendatang sebagaimana yang diilustrasikan dalam film tersebut. Namun, tidak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan film itu. Dan tak tanggung-tanggung ada juga yang mengharamkan untuk menontonnya dengan alasan bertentangan dengan ajaran agama karena terjadinya kiamat tidak dapat diprediksi dan diketahui oleh siapapun; kiamat hanya urusan Tuhan.
Film 2012 dibuat dengan mengacu pada kalender suku Maya di Guatemala. Dalam kalender suku itu diprediksi akan terjadi kiamat, dimana diperkirakan akan ada sejumlah planet atau benda angkasa yang keluar dari orbitnya, dan ini yang nantinya akan menabrak bumi. Atau matahari akan melepaskan beberapa energinya sehinga akan berpenharuh terhadap suhu di planet yang kita tempati (bumi). Khusus yang terakhir ini dapat berpengaruh terhadap mencairnya es di dua kutub (Urata dan Selatan), atau bahkan dapat mengubah kutub magnet bumi.
Dalam dunia sastra, terdapat istilah science fiction (fiksi saintis). Yakni, karya-karya fiksi yang bernuansa atau mengandung muatan pengetahuan saintis. Meskipun isinya sangat saintis, namun jenis sicience fiction, sebagai karya cipta-rekaan, tetap saja bukan merupakan dunia nyata yang sesungguhnya. Strukturnya tetap bersifat imajiner, meskipun bervisi pengetahuan (sains).
Film 2012 dapat dimasukkan dalam kategori science fiction itu. Karya fiksi seperti itu bukanlah satu-satunya dan lahir baru kali ini saja. Beberapa film seperti Independent Day, Star Track, Star War dan lain-lain sebagaimana yang sudah tidak asing lagi bagi kita, semuanya bervisi saintis. Di dunia Timur juga dapat ditemukan karya-karya fiksi yang hampir sama, seperti Hay bin Yaqdzan karya Ibn Thufail, Thouq Hamamah yang ditulis oleh Ibn Hazm, Ebsal wa Salomon sebagaimana yang ditulis oleh Ibn Sina, Manthiq al-Thair-nya Fariduddin Aththar dan seterusnya. Karya-karya fiksi seperti itu selalu mengiringi dunia kita dari waktu ke waktu.
Seorang ahli antropologi kebudayaan, Van Peursen, telah mengklasifikasikan strategi proses terbentuknya kebudayaan umat kedalam tiga tahap. Pertama, tahap mitis. Yakni, sikap manusia yang merasakan dirinya berada dalam kepungan kekuatan-kekuatan gaib yang berada di sekitarnya. Kedua, tahap ontologis yang berarti dalam tahap ini manusia secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak dari adanya kepungan-kepungan dari kekuatan yang gaib. Mereka mulai menyusun pengetahuan atau teori-teori mengenai hakekat segala yang maujud. Sementara itu ketiga adalah tahap fungsional yang berarti dalam tahap ini manusia memasuki apa yang disebut dengan dunia modern. Manusia tidak lagi terpesona oleh sika-sikap mitis, dan tidak pula mengambil jarak dengan objek penyeledikikan yang dilakukan. Mereka mencari jalan terobosan baru mengenai masalah-masalah lama.
Dunia modern yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi dan informasi seperti sekarang ini, tentunya merupakan proses berkelanjutan dari tiga tahapan dalam strategi kebudayaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Van Peursen tersebut di atas. Sebagai bentuk dari usaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditemukan di tengah kehidupan, kemajuan yang telah dicapai manusia era modern seperti saat ini dapat dikategorian kedalam tahap fungsional. Tetapi pada saat yang sama, tahap fungsional tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tahap kebudayaan yang bersifat final. Ketika tahap kebudayaan manusia sudah melewati tahap mitis dan ontologis, maka bukan berarti kedua tahap itu tidak pernah dilalui lagi oleh mereka.
Ketiga tahapan tersebut di atas, yang dilalui oleh manusia dalam membangun kebudayaannya, bukan merupakan tahapan hirarkis yang jika satu tahapan dilalui maka tidak akan dilalui selamanya. Hubungan ketiga tahapan itu bersifat menyatu di dalam kehidupan kebudayaan umat manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa di saat manusia mencapai tahap fungsional, maka di sana akan muncul kontradiksi-kontradiksi (yang berbentuk kepungan persoalan-persoalan atau kekuatan-kekuatan baru yang tak kasat mata) yang ditimbulkan dari kemajuan yang mereka capai. Maka, setiap tahap fungsional dicapai, maka tahap mitis dan ontologis muncul dalam bentuknya yang lain. Begitu seterusnya, sebuah proses kebudayaan hadir ke tengah dunia di tangan umat manusia.
Sebenarnya, film 2012 dapat kita pandang sebagai hasil dari kemajuan kebudayaan umat manusia. Ia menjadi hasil kreasi pikiran manusia yang luar biasa di satu sisi, dan merupakan wujud kecanggihan teknologi untuk melakukan rekayasa peristiwa ‘kiamat’. Singkatnya, film 2012 tidak lain merupakan wujud dari modernisasi kalender suku Maya yang bertumpu pada pikiran primitif. Dengan sentuhan tangan manusia modern dan kemajuan teknologi, prediksi pikiran suku Maya itu diubah menjadi dunia yang ‘nyata-nyata’ dapat dinikmati oleh panca indera semua orang.
Saya melihat, bahwa lahirnya film 2012 merupakan bentuk lain dari masuknya alam pikiran manusia modern ke dalam tahapan mitis seperti yang dinyatakan oleh Van Peursen. Film 2012 mencerminkan bentuk ketidak-berdayaan manusia di tengah kepungan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi mengakibatkan ketidak-berdayaan manusia itu sendiri. Atau dengan kata lain, kemajuan modernitas melahirkan kekuatan-kekuatan ‘gaib’ yang baru, yang--secara sadar atau tidak sadar—menuntut manusia untuk bergelut memecahkannya, sehingga mereka harus mendefinisikan ulang tentang diri dan segala yang mengitarinya; menyusun kembali pengetahuan atau teori-teori mengenai hakekat tentang segala sesuatu.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari kembalinya tahapan alam pikiran mitis tersebut. Kita yang hidup di tengah kemajuan modernitas cenderung menolak jika alam pikiran dianggap mitis. Yang selalu muncul adalah anggapan bahwa modernitas identik dengan alam pikiran rasional. Rasionalitas menjadi tolak ukur dalam menilai segalanya, sampai-sampai alam modernitas dianggap lawan dari kemunduran (baca: alam mitis).
Hilangnya kesadaran akan munculnya tahapan alam pikiran mitis di tengah kehidupan modern menyisakan problem yang cukup serius. Manusia menjadi angkuh dengan kerasionalitasan yang dimilikinya. Jika ini yang terjadi, maka manusia akan kehilangan kesadaran kritisnya yang paling otentik yang selalu ada di dalam bawah sadarnya. Manusiapun menjadi teralienasi dengan tantangan dan kekuatan-kekuatan yang muncul di sekitarnya. Alam pikirannya menjadi kosong meskipun nalar rasionalitas menjadi pijakan pirinsipnya.
Film 2012 melahirkan apa yang saya sebut dengan hantu-hantu modernitas. Melalui permainan media, wacana tentang kiamat seperti yang divisualisasikan lewat film 2012 secara terus-menerus diproduksi—terlepas dari strategi pemasaran untuk mendongkrak laris-manisnya film itu ke hadapan publik pemirsa. Efeknya, lahir wacana tentang kengerian dan kekhawatiran akan terbuktinya film tersebut di sana-sini pada tahun 2012 mendatang; memunculkan ruang pikiran publik yang serba was-was dan berada dalam ketidak-pastian—dalam pengertiannya yang negatif.
Sebagai pengetahuan, alam pikiran mitis dapat memberikan arah kepada perilaku manusia, dan menjadi semacam pedoman kebijaksanaan, sehingga dapat menggapai kejadian-kejadian dan daya-daya keuatan alam di sekitarnya. Maka, kita harus sadar bahwa jangan sampai hantu-hantu modernitas (film 2012) yang lahir dari kreasi tangan-tangan modernitas mencerabut alam pikiran mitis kita. Karena, pikiran mitis itu menjadi bakat alami manusia. Suatu saat kiamat pasti terjadi, tetapi entah kapan?[mf]

21 November, 2009

Memaknai Ulang Jihad

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sejak semula, Islam diturunkan ke muka bumi dengan membawa nilai kemanusiaan; keadilan (al-adalah), persaudaraan (al-ukhuwah), solidaritas sosial (al-tadlamun al-ijtima'i), dan persamaan (al-musawah). Nilai-nilai ini merupakan cahaya yang dapat menerangi dan membimbing umat manusia (baca: masyarakat Arab-Jahiliah) pada saat itu menuju jalan kehidupan yang humanis-berperadaban.
Dalam konteks dakwah Islam, jihad fi sabilillah mempunyai signifikansi makna demi idealisme tertinggi, yang termanifestasi dalam dua tujuan. Pertama, mengganti sistem tatanan masyarakat--baik ekonomi, sosial, budaya dan politik--yang bobrok, penuh permusuhan, perselisihan, kecurangan …dst; mendekonstruksi dasar-dasar dan kerangka tatanan sosial yang sarat dengan kelaliman dan keburukan, dengan sistem yang "soleh".
Tujuan pertama itu dapat dilakukan secara sempurna dengan menjatuhkan rezim yang bobrok dan menggantinya dengan rezim baru yang berlandaskan keadilan, kepatuhan pada sistem dan hukum perundang-undangan yang dalam Islam dikenal dengan syara'. Dalam rezim ini, rakyat memiliki kesamaan hak dan perlakuan. Tidak ada diskriminasi antara yang kaya dan miskin, elit dan jelata, Arab dan non-Arab, berkulit hitam dan putih. Tentara Islam juga dibentuk bukan untuk memerangi pasukan musuh yang notabene kafir, tetapi mereka yang tetap setia pada rezim lama dan melindungi sisa-sisa kekuatan yang mencoba menghalang-halangi pelaksanaan sistem keadilan yang dibawa oleh Islam.
Kedua, penyebaran dakwah dan akidah Islam. Islam tidak bisa dipaksakan pada individu-individu, tetapi setiap individu memiliki hak penuh untuk menolaknya dan menikmati segala bentuk kebebasan beragama mereka dengan kompensasi pembayaran pajak (jizyah). Penyebaran dilakukan bukan untuk menggiring manusia secara paksa mengimani Islam. Tetapi, dalam dimensi ini jihap bertujuan untuk mengenalkan Islam dan memberitahu umat manusia bahwa di sana ada agama dan sistem yang disebut dengan Islam, yang memiliki kaidah-kaidah khusus.
Jizyah harus dibayar sebagai satu-satunya alternatif untuk menghindari rekayasa birokratik yang mengharuskan orang-orang (non-muslim) untuk ikut terlibat dalam aktifitas birokrasi pemerintahan Islam yang tidak mereka imani. Lebih dari itu, ia merupakan jalan (cara) untuk tetap mempertahankan akidah, dan alternatif untuk menghindari pemaksaan sistemik yang tidak bisa dihindari lagi sebagai konsekwensi logis atas kompleksitas sosial. Jizyah juga bukanlah harga yang harus dibayar demi sebuah kebebasan, tetapi lebih merupakan harga yang harus dibayar demi rasa keadilan dan perlindungan.
Dalam kerangka dua tujuan itu, maka ekspansi yang pernah dilakukan Islam dapat dipandang sebagai kehidupan keadilan dan era baru bagi bangsa-bangsa dan rakyat yang tertindas. Ia seperti suntikan yang kuat berisi nilai-nilai, moralitas, dan hormon-hormon yang mengalir ke dalam darah rakyat, sehingga mereka bisa hidup kembali setelah sekian lama berada dalam cengkraman sebuah kekuasaan yang despotik. Ekspansi seperti ini tidak lain merupakan ekspansi yang humanis dan populis (al-fath al-insani al-sya'bi).
Jihad pun (dalam pengertian qital) dalam Islam hanya boleh dilakukan sebagai jalan terakhir manakala pihak kaum muslimin terpaksa. Artinya, ketika kaum muslimin lebih dulu diserang dan tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh, misalnya negosiasi dengan pihak lawan. Dengan kata lain, bahwa jihad (dalam pengertian qital) merupakan peperangan defensif: menyerang apabila diserang.
Khusus mengenai jihad dalam pengertian qital, al-Qur'an secara tegas memberikan arahan. Yaitu, pertama perang merupakan keseriusan murni yang tidak boleh diselingi kesantian, peremehan, penyepelehan dan atau guyonan. Sikap teledor dalam peperangan tidak saja berbuntut pada kekalahan, tetapi juga akan berdampak pada tindakan sembrono yang dapat mengakibatkan banyaknya nyawa melayang, baik di pihak lawan maupun kawan. Ini artinya, bahwa kapanpun dan bagaimanapun jihad (qital) diperbolehkan, namun Islam tetap menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kedua, al-Qur'an memberikan batasan minimum dalam perang. Artinya, bahwa tidak diperbolehkan menggunakan peralatan senjata, apapun jenisnya, yang melebihi kekuatan senjata musuh, termasuk di dalamnya menggunakan sarana-sarana yang lebih buruk. Batasan minimal ini diakseleratifkan dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, dalam perang tidak dibenarkan jika ada yang sampai membabat habis pepohonan, membakar harta benda dan rumah-rumah, dan atau melakukan tindakan anarkis lainnya, setelah musuh benar-benar dalam keadaan kalah atau terdesak. Sampai-sampai para keluarga yang ditinggalkan (gugur di medan perang) harus tetap dihormati dan diperlakukan secara manusiawi.
Oleh karena itu, Jamal Albana--dengan mencermati konteks sekarang--memandang bahwa tidak tepat jika jihad dipahami sebagai qital (perang secara fisik). Alasannya, karena jihad yang pernah dilakukan di masa-masa awal Islam telah kehilangan semangat keislaman yang sesungguhnya: humanis dan populis. Semangat anti kekerasan yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, telah digantikan oleh kepentingan etnis, fanatisme kelompok. Semangat inilah--menurut jamal Albana-- dalam sejarah Islam mengakibatkan bencana bagi umat Islam di belahan Eropa. Maka, saatnya jihad dikembalikan kepada makna yang sesungguhnya.
Kehidupan merupakan pilihan fundamental antara kebaikan dan keburukan. Islam melalui kitab sucinya menjadikan setan sebagai sumber kekuatan jahat. Setan selalu berperan untuk menyeret manusia ke jalan kemaksiatan dan keburukan. Ia selalu menjadi musuh abadi manusia dalam kehidupan ini.
Sementara itu, kebaikan bersumber dari Allah melalui wahyu yang telah diturunkan kepada nabi-Nya. Dialah sumber hidayah dan cahaya yang menerangi kehidupan. Hidayah itu adalah ilmu, hati nurani, kebajikan, kebaikan, petunjuk para nabi dan ajaran-ajaran kitab suci (al-Qur'an).
Di tengah pilihan-pilihan itu, antara kebaikan dan keburukan, setiap insan muslim dituntut untuk senantiasa bersikap siaga. Siaga untuk selalu berusaha menghindari keburukan. Demikian pula, siaga untuk selalu menyongsong kebaikan. Sikap siaga menuntut adanya upaya perjuangan keras secara terus-menerus. Perjuangan melawan keburukan dan perjuangan untuk selalu berada di jalan kebaikan.
Menurut Jamal Albana, jihad adalah sebuah weltanchaung dalam memandang dan menjalani kehidupan. Ia merupakan tuntunan abadi dalam Islam. Jihad tidak berarti perang (qital) atau mati syahid di jalan Allah, tetapi bagaimana menjalani hidup ini agar tetap eksis di jalan-Nya: jihad untuk tetap memenuhi panggilan kebaikan yang datang dari Allah, dan meninggalkan segala bentuk keburukan. Inilah makna jihad yang sebenarnya (haqiqi) dan paling mendasar dalam Islam.
Sampai sekarang, memang masih ada sementara umat Islam yang memahami jihad dengan perang secara fisik atau pertumpahan darah. Namun pemahaman seperti ini dalam Islam keliru dan menyimpang. Kekeliruan mereka terletak bahwa mereka salah dalam memahami konteks ayat-ayat yang berisi seruan untuk berperang (qital). Lebih-lebih, ayat-ayat yang membicarakan tentang masalah perang (qital) dalam al-Qur'an tidak lebih dari 15 halaman. Namun anehnya, minimnya ayat-ayat qital ini justru menjadi masalah pembicaraan yang intens dan sangat luas dalam kajian di bidang fiqh dan lebih-lebih dalam sirah kenabian. Hal ini cukup memberikan pengaruh dalam pemahaman umat Islam akan legalitas berjihad dalam pengertian memerangi musuh Allah demi tujuan li i'lai kalimatillah. Pemahaman seperti ini--sekali lagi--harus dibongkar dan diluruskan.
Jihad yang haqiqi adalah terus-menerus berupaya berada dalam jalur kebaikan demi memperjuangkan kemaslahatan umat manusia (khususnya umat Islam) dan melawan dengan sekuat tenaga berbagai bentuk upaya yang dapat menghancurkan eksistensi manusia. Singkatnya, jihad dalam Islam merupakan suatu semangat dan sikap yang dapat mengangkat derajat kemanusiaan umat manusia demi terciptanya tatanan masyarakat yang penuh dengan keadilan, persaudaraan, solidaritas, perdamaian, kemajuan, dan egalitarinisme. [mf]

20 November, 2009

Kenisbian Sebuah Penafsiran

Oleh: M. Faisol Fatawi


Dalam Islam, tidak ada teks atau kitab perundang-undangan yang diakui oleh kelompok keagamaan secara teologis kecuali al-Qur'an. Semua kelompok meyakini bahwa al-Qur'an adalah teks yang diwahyukan dan diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya melalui perantara malaikat. Al-Qur'an adalah satu-satunya teks yang selalu dipahami dan diinterpretasikan oleh umat Islam sebagai pegangan yang melandasi gerak dan langkah kehidupan mereka.
Sejak awal perjalanan sejarah yang ditempuh oleh Islam, kecenderungan untuk menyatukan (unifikasi) teks al-Qur'an dalam satu ikatan belum pernah muncul. Pada masa nabi saw masih hidup pun tidak pernah ditemukan teks al-Qur'an dalam bentuknya yang sudah tersusun rapi. Kalaupun toh ada, itu pun hanya letupan-letupan kecil, yakni tulisan dalam pelepah-pelepah, batu-batu, dan atau daun-daun korma secara sporadis. Kecenderungan untuk melakukan unifikasi teks al-Qur'an ini baru muncul ke permukaan pada masa-masa belakangan. Bahkan kecenderungan ini merupakan sesuatu yang asing dalam Islam masa awal atau paling tidak sesuatu yang tak terpikirkan.
Sejarah memang membuktikan, bahwa teks al-Qur'an baru dibukukan dan diunifikasi secara resmi pada masa khalifah Usman bin Affan dalam wujudnya yang seragam dan dapat kita saksikan seperti sekarang ini. Ini dapat dikatakan sebagai usaha yang sangat mulia. Meskipun khalifah Usman berhasil membukukan dan menyeragamkan teks al-Qur'an ke dalam satu bentuk mushaf yang kemudian dikenal dengan mushaf Usmani, tetapi usaha ini menuai protes dari banyak kalangan sahabat. Oleh karena usaha ini tidak mendapatkan dukungan yang bulat dari seluruh umat Islam pada saat itu, maka tak pelak di sana tetap saja terjadi perbedaan bacaan (qira'at).
Perbedaan bacaan (qira'at) tersebut minimal dipicu oleh karakteristik tulisan Arab itu sendiri. Kadang, sebuah perbedaan bacaan dipicu oleh tidak adanya titik pada huruf-huruf resmi, dan kadang disebabkan oleh perbedaan harakat dalam bagan huruf-huruf yang diam. Dua hal ini merupakan faktor utama lahirnya dinamika perbedaan bacaan dalam teks al-Qur'an. Munculnya perdebatan seputar bacaan Al-Qur'an dalam generasi awal tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini. Dan ragam bacaan itu mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan. Inilah karakteristik tafsir tahap paling awal dalam Islam.
Seiring dengan diterimanya suatu bacaan tertentu oleh berbagai kalangan masyarakat yang kemudian dikenal dengan bacaan masyhurah, karakteristik penafsiran yang lebih cenderung memperhatikan perbedaan bacaan itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Generasi umat Islam berikutnya senantiasa cenderung menjadikan al-Qur'an sumber untuk mencari justifikasi kebenaran atas pemikiran yang dipeganginya. Mereka menjadikan kitab ini sebagai sandaran untuk menunjukkan kesesuaian pikirannya dengan Islam dan apa yang dibawa oleh nabi.
Secara alami, kecenderungan seperti ini dan cara interaksinya dengan al-Qur'an menjadi lahan subur bagi lahirnya penulisan tafsir aliran yang dengan cepat terlibat dalam kancah persaingan dengan penafsiran yang simplistis. Al-Qur'an pun dipahami sesuai dengan perspektif atau cara pandang aliran masing-masing: tafsir dalam perspektif teologi (kaum rasionalis), tafsir dalam perspektif tasawuf Islam, tafsir dalam pandangan sekte-sekte keagamaan, dan di tengah dunia modern al-Qur'an juga ditafsirkan sedemikian rupa sebagai respon atas perkembangan peradaban terkini.
Di tengah munculnya berbagai aliran keagamaan Islam, al-Qur'an sebagai core text menjadi taruhan tertinggi: sebuah kewenangan mutlak, senjata perang, sumber harapan dan tempat suaka yang tak dapat digantikan dalam waktu-waktu permusuhan. Upaya menafsirkan al-Qur'an tidak lagi dapat bebas dari tujuan dan orientasi tertentu, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Oleh karena itu, tafsir memiliki bias kepentingan. Masing-masing mengaku menjadi pemegang "wewenang Tuhan". Di sini, saya jadi teringat dengan pernyataan sayyidina Ali karromallohu wajhah bahwa “al-Qur’an tidak bisa berbicara, tetapi yang berbicara adalah pembacanya.” Maka, dengan keterbatasan dan kelebihannya, setiap penafsiran menyimpan kepentingan (baca: ideologi penafsir)-nya. Dan ini harus diwaspadai agar—ketika membaca tafsir—kita tidak terjebak pada klaim kebenaran (truth claim) yang sebenarnya bersifat nisbi. [mf]

19 November, 2009

Mengurai Makna Islam

Oleh: M. Faisol Fatawi

“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (QS Ali Imran: 19)

Mengapa nama agama kita itu Islam? Pertanyaan ini mungkin sedikit mengganggu pikiran kita, karena selama ini kita menerima begitu saja kalau agama yang kita peluk adalah Islam. Atau mungkin kita akan menjawabnya, bahwa memang seperti itulah yang termaktub dalam Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas (Surat Ali imran: 19) –malah ayat lain meneguhkan “siapa yang tidak menjadikan Islam sebagai agama, maka ia tidak akan diterima” (Ali Imran: 85). Tetapi kita juga akan terkejut dan bahkan sedikit tidak akan percaya jika kita membaca Al-Qur’an yang diriwayatkan oleh Ibnu Masud, salah seorang sahabat yang keilmuannya diakui oleh Nabi Saw, yang menyatakan, bahwa Inna al-Dina Inda Allahi al-Hanifiyah (Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Hanif). Lalu mengapa agama kita tidak diberi nama agama Hanif saja?
Meskipun dalam riwayat bacaan yang dianggap sah oleh mayoritas ulama, “Islam” lebih populer untuk dijadikan nama agama bahkan mungkin tidak boleh ditawar dan dipertanyatakan lagi, namun yang jelas Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa “Islam” adalah agama yang masih segaris dengan agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim As. Dengan kata lain, bahwa “Islam” adalah penerus agama nabi Ibrahim As. yang dalam beberapa ayat disebut dengan “agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Al-Baqarah: 135), “ikutilah agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Ali Imran: 95), “…dan ia mengikuti agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (An-Nisa’: 125), dan “katakanlah aku telah ditunjukkan oleh Tuhanku pada jalan yang lurus, agama yang benar; agama nabi Ibrahim As. yang lurus (hanif)” (Al-An’am: 161).
Mencermati beberapa ayat tersebut, dapat ditarik benang simpul bahwa agama yang dibawa oleh nabi Muhammad Saw. –yang sekarang namanya kita sebut dengan Islam—adalah sama dengan agama yang dibawa oleh nabi Ibrahim As. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa agama islam adalah agama hanif, dan sebaliknya agama hanif adalah agama islam. Setidaknya persamaan ini dapat kita telusuri melalui pemahaman mendalam tentang kedua makna kata itu sendiri: islam dan hanif.
Kata islam dan hanif serta berbagai kata turunannya dapat ditemukan dalam Al-Qur’an berkali-kali. Dalam beberapa kamus dinyatakan, bahwa kata islam dari kata salima yang berarti selamat, ketundukan, perdamaian, dan ketentraman. Sedangkan kata hanif berasal dari hanafa yang berarti lurus dan mengikuti aturan. Pada suatu tempat, kedua kata tersebut digunakan secara berpisah, sementara pada tempat yang lain keduanya digunakan secara bersamaan: lihat misalnya surat Ali Imran: 67, bahkan setiap orang yang sholat, setelah takbir pertama, senantiasa membaca “inni wajjahtu wajhiya li al-ladzi fathara al-samawati wa al-ardli hanifan musliman wama ana min al-Musyrikin” (sungguh saya menghadapkan wajahku pada Dzat (Tuhan) yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh ketundukan dan kelurusan, dan saya bukan termasuk orang musyrik).
Dalam sebuah hadis Nabi saw dinyatakan, bahwa “seorang muslim adalah orang yang dapat menyelamatkan orang lain dari mulut dan perbuatannya”. Apa yang dapat ditangkap dari pernyataan hadis itu, bahwa tindakan pro aktif dalam upaya selalu menjaga perdamian, menciptakan keselamatan dan ketentraman merupakan tanggungjawab bagi yang muslim. Menciptakan ketentraman dan keselamatan butuh pada sikap diri yang senantiasa saling menjunjung tinggi kesepakatan atau aturan main bersama yang didasarkan atas kepentingan dan demi eksistensi bersama (baca: kemanusiaan). Ketentraman dan keselamatan tidak berarti apa-apa manakala diri tidak mengikuti aturan bersama. Di sinilah kita dapat menemukan medan makna kata islam dan hanif, sebuah makna universal, progresif dan visioner. Keduanya bergerak secara simultan dan dialogis. Barangkali makna visioner dan progresif inilah yang menjadi landasan dan pijakan agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. dan nabi Ibrahim As, sehingga –tak heran—antara kedua agama tersebut dinyatakan sebagai satu keturunan: sama-sama agama yang menegakkan eksistensi dan martabat kemanusiaan menuju keselamatan dan perdamaian bersama.
Struktur makna terdalam dari kedua kata tersebut di masa Nabi Saw. kemudian dijadikan pijakan untuk menegakkan dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan: ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan), dan adalah (keadilan). Nilai dasar perjuangan ini menjadi daya tarik suku-suku di semenanjung jazirah Arab untuk bergabung dengan beliau. Sejarah mencatat, bahwa suku Aus dan Khazraj adalah suku pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Muhammad, karena kedua suku tersebut –pada saat itu—masuk dalam daftar suku yang paling tertindas: mencari dukungan nabi agar terbebas dari cengkraman kelas aristokrat Makkah. Kita juga dapat menengok kembali “Piagam Madinah” yang pernah ditulis oleh Nabi Saw. Piagam ini memuat kesepakatan bersama untuk selalu menjunjung tinggi persaudaraan, persamaan, dan keadilan di antara sesama: lintas individu, agama, kelompok, etnik, dan budaya.
Sampai di sini, kita dapat menangkap, bahwa sebenarnya islam dan hanif itu merupakan sistem makna yang luas, universal-progresif-visioner, lintas individu, agama, etnik, dan budaya. Makna itu melampaui kata itu sendiri, lebih-lebih jika Islam dan Hanif itu dijadikan sebagai sistem nama belaka. Lalu bagaimana dengan penamaan agama Islam kita sekarang ini? Ada apa dengannya sehingga pertanyaan sebagaimana tersebut di awal tulisan ini dikemukakan?
Biarkan nama Islam itu seperti apa adanya. Kita tidak usah menggantinya dengan nama Hanif atau nama-nama yang lain. Dua nama agama tersebut di atas sebagaimana yang terdapat dalam riwayat bacaan yang berbeda, dihadirkan dalam tulisan ini untuk melihat kemungkinan makna yang selama ini tidak (ter)dipikirkan, untuk menata dan membangun kembali kesadaran beragama dan praktiknya, serta syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar dapat mendekati makna agama dan beragama yang sesungguhnya.
Menjadi kegelisahan kita bersama, jika Islam dijadikan sebagai tameng individu atau kelompok dengan mengatasnamakan Tuhan. Akhir-akhir ini kita sering melihat gejala mengatasnamakan Islam. Kalau tidak Islam berarti harus diperangi atau diislamkan. Ini terjadi karena Islam telah dijadikan sebagai sebuah identitas yang parsial-ekslusif, bukan identitas yang melebihi identitas individu, agama, etnik, dan budaya, dan selanjutnya digunakan untuk menilai diri di luar dirinya. Seringkali kita mengajak berjihad di jalan Allah demi Islam, sementara kita tidak sadar bahwa peperangan itu sendiri akan mengakibatkan ribuan korban jiwa dan mengancam ketentraman bersama, bahkan mengobarkan api permusuhan. Kita telah mempersempit medan makna Islam sehingga pandangan keislaman kita menjadi lebih picik dan tertutup. Sekarang tiba saatnya kita mengembalikan makna Islam pada sistem maknanya sendiri yang progresif-visioner, lintas individu, agama, kelompok, etnik, dan budaya. [mf]

18 November, 2009

Ketika Masyarakat Melupakan Sejarah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Akhir-akhir ini Depag membagikan beasiswa studi di perguruan tinggi Islam negeri—meskipun ini bukan yang pertama kali. Beasiswa itu diberikan secara mutlak (mulai semester pertama sampai terakhir). Beasiswa ‘langka peminat’ namanya. Upaya ini dilakukan dalam rangka menarik minat masyarakat agar mereka mau belajar di bidang keilmuan tertentu. Satu diantara bidang keilmuan yang ditawarkan untuk mendapatkan beasiswa langka peminat tersebut adalah bidang sejarah peradaban/kebudayaan Islam. Bagi siapa saja yang berminat belajar di jurusan (bidang) sejarah peradaban/kebudayaan Islam ini, maka akan mendapat jaminan gratis kuliah sampai selesai.
Upaya membuka beasiswa langka peminat sebagaimana tersebut diatas menunjukkan keseriusan Depag dalam mengembangkan bidang kajian sejarah Islam khususnya, dan pembangunan dunia pendidikan pada umumnya di satu sisi. Tetapi pada saat yang sama, upaya tersebut mengundang keprihatinan kita semua. Kita prihatin karena ternyata concern masyarakat Islam khususnya, telah mencapai titik nadir; masyarakat ternyata tidak tertarik lagi dengan sejarah. Bagi mereka, sejarah seolah tidak memiliki arti apa-apa sehingga tidak tertarik untuk mengkaji dan mendalaminya. Sudah sedemikian parahkah masyarakat Islam kita sehingga emoh dengan sejarah, sampai-sampai Depag harus menawarkan studi gratis di jurusan sejarah Islam?
Sejarah merupakan catatan dan rekaman mengenai peristiwa-peristiwa atau momen-momen penting yang telah terjadi masa lalu. Ia menjadi bagian hidup yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Setiap masyarakat selalu memiliki catatan sejarahnya, baik sejarah itu kelam maupun jaya. Sejarah berisi tentang rekaman berbagai aktifitas, seperti pengetahuan, tradisi, adat-istiadat, ritual-ritual, waktu peperangan dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan manusia. Maka dapat disebutkan, sejarah tidak lain adalah identitas hidup manusia dimanapun berada.
Sedemikian pentingnya sejarah bagi kehidupan umat manusia, agama Islam memberikan perhatian lebih terhadapnya. Dalam surat al-Hasyr dinyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwahlah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya seseorang melihat apa yang telah terjadi untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan.” Ayat tersebut menegaskan kepada kita tentang perintah untuk menengok kebelakang (baca: melihat) atas apa-apa yang telah berlangsung untuk kepentingan hari esok. Melihat kembali masa lalu berarti mengambil ibrah darinya. Ini sejatinya dilakukan demi kemaslahatan hidup pada saat berikutnya.
Pada hakekatnya, setiap manusia hidup dalam tiga batasan waktu. Yaitu, masa lalu (al-madli), sekarang (al-hadlir) dan masa depan (al-mustaqbal). Waktu yang pernah dilalui oleh manusia dengan berbagai bentuk aktifitas yang dilakukan, masuk dalam batasan masa lalu. Masa yang sedang dilalui, menunjukkan waktu sekarang. Sementara itu, masa yang akan dilalui dinamakan dengan masa datang. Hubungan manusia dengan masa lalu bersifat flash back, hubungan dengan masa sekarang bersifat kekinian dan hubungan dengan masa akan datang bersifat prediktif. Menengok masa lalu berarti melihat dan membaca kembali segala yang pernah terjadi. Sedangkan melihat masa sekarang berarti merasakan dan menjalani apa-apa yang sedang dijalankan. Sementara melihat masa depan berarti menanti sesuatu yang akan terjadi. Apa yang terjadi pada masa lalu tidak dapat dirubah dan apa yang akan terjadi di masa mendatang dapat direncanakan sebelumnya.
Disadari maupun tidak disadari, manusia cenderung mengabaikan pentingnya waktu/masa (dahulu, sekarang dan mendatang). Masa dianggap sebagai sekedar perjalanan momen-momen. Bahkan yang sering kita lakukan terkait dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, adalah memperlakukannya sebagai rutinitas pergantian waktu semata, sehingga kita sering kehilangan kontrol dalam bertindak atau melakukan sesuatu; apa yang sudah pernah dilakukan, apa yang sedang dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Jika memang kebiasaan seperti ini yang sering kita lakukan dalam mensikapi waktu, maka tentunya kita sebagai orang muslim masuk dalam kategori orang yang merugi (coba perhatian QS. al-Ashr: 1-2).
Sungguh, fenomena ketidak-tertarikan masyarakat Islam khususnya, terhadap sejarah merupakan gejala yang memilukan. Kita berharap semoga langkanya peminat dari masyarakat Islam terhadap sejarah peradaban/kebudayaan Islam sebagaimana disebut di atas, hanya sebatas kealpaan sesaat, dan tidak menjalar menjadi nalar-epistemik masyarakat Islam kita. Jika tidak, maka sebuah tragedi sejarah paling kelam dalam sejarah-sejarah umat manusia akan terjadi; manusia lupa sejarah dan berarti ia akan teralienasi dari otentisitas dirinya.[mf]

16 November, 2009

Kemauan dan Kesempatan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Jalaluddin Arrumi, seorang sufi agung dan masyhur, pernah mengilustrasikan sebuah cerita tentang seorang mahasiswa dan tukang kebun. Singkat ceritanya, suatu ketika ada seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Baghdad sedang menanti waktu senggang belajar. Mahasiswa itu duduk-duduk santai di samping lahan kebun yang mengitari sekolahan. Pandangannya tertuju pada buah-buah mangga yang bergelantungan di atas pohon, sehingga hatinya terbersit untuk memetiknya.
Sang mahasiswa itu pun mencari akal untuk menghindari si penjaga kebun mangga. Secepat mungkin ia melompati pagar kebun, dan berjalan mengendap-endap di balik rerimbunan pohon mangga yang lebat. Rasa bahagia tergurat di wajahnya, ketika mahasiswa tersebut dapat memetik mangga dan memakannya dengan lahap. Namun tanpa disadari, perbuatan mahasiswa itu diketahui oleh si penjaga kebun. Maka tak pelak, adu mulut pun terjadi antara mahasiswa dan penjaga kebun itu.
“Kenapa kamu nekat masuk dan makan buah mangga? Tahukah kalau mangga itu bukan milikmu?” Tanya penjaga kebun.
“Kata siapa? Mangga itu milik Tuhan. Tuhan menjadikan semua yang hidup di muka bumi untuk kita semua,” sahut sang mahasiswa yang sedang belajar filsafat itu.
Penjaga kebun terdiam seribu bahasa. Ia tidak kuasa mematahkan argumentasi mahasiswa itu. Penjaga kebun tersebut diam sejenak. Ia tidak mau kehilangan akal, dan dibodohi oleh mahasiswa filsafat itu. Ia berpikir sejenak. Tiba-tiba, ia pun lantas menghadiaihi mahasiswa itu dengan sebuah pukulan yang cukup keras.
“Apa salahku? Bukankah sudah aku katakan kalau mangga itu milik Tuhan?” tanya mahasiswa itu.
“Aku tahu apa maksud ucapanmu itu. Tetapi tidakkah kamu juga tahu kalau pukulanku dating atas insiatif Tuhan. Jadi, sesungguhnya yang memukul tadi bukan aku, tetapi Tuhan,” serunya dengan gaya filosofis dan diplomatis.
Akhirnya, mahasiswa filsafat itu tak kuasa apa-apa. Mereka berdua hanya terdiam seribu bahasa, sambil saling memelototi mata. Mereka berdua pun bubar dengan tanpa meninggalkan sepatah kata.
Menurut Rumi, cerita tersebut di atas merupakan metafora dari sebuah pengalaman hidup seseorang. Yang menjadi penting dari cerita bukan terletak pada tindakan pencurian mangga dan pemukulan terhadap mahasiswa. Tetapi, tindakan keduanya lahir karena dipicu oleh kemauan dan kesempatan untuk melakukan pencurian dan pemukulan. Dengan kemauan dan kesempatan yang dimiliki, mahasiswa itu memakan mangga dengan tanpa izin, dan dengan kemauan dan kesempatan pula sama si penjaga kebun melakukan pemukulan balasan. Ironinya, masing-masing menggunakan kemauan dan kesempatan itu dengan ‘atas nama Tuhan’.
Di sini, saya baru mafhum ternyata betapa berartinya kemauan dan kesempatan itu. Setiap tindakan kita, baik yang baik maupun yang buruk, ternyata tidak dapat dipisahkan dengan ‘kemauan dan kesempatan’. Bahkan antara keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Seseorang yang hanya memiliki kemauan tanpa mempunyai kesempatan, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa. Demikian pula dengan orang yang memiliki kesempatan tanpa dibarengi dengan kemauan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kemauan dan kesempatan merupakan kenikmatan yang luar biasa melebihi nikmat-nikmat yang lain, seperti kesehatan, kekayaan, pangkat dan lain-lainnya.
Dalam bahasa agama, kemauan mungkin dapat disandingkan padanannya dengan kehendak (iradah). Setiap orang memiliki kehendak atau kemauan. Bahkan dalam beberapa ayat al-Qur’an dinyatakan secara terang-terangan bahwa manusia dengan kehendaknya diberi kebebasan untuk menentukan apa yang akan dipilih untuk me[di]lakukan; manusia merdeka dalam mengaktualisasikan kemauanya.
Namun demikian, dengan tanpa bermaksud menyibukkan diri lebih jauh pada persoalan kehendak atau kemauan sebagaimana yang diperdebatkan oleh para ahli teolog muslim, kemauan merupakan potensi dasariah yang dimiliki oleh setiap insan. Persoalannya adalah tinggal bagaimana si pemiliknya mendayagunakan dan memenejnya. Mungkin atas dasar inilah, para sufi memandang kamauan sebagai ‘kehendak’ untuk mengenal dan mengabdi kepada Tuhan. Maka, kemauan pun menjadi kunci segalanya. Barangkali kemauan menjadi ‘akal kreatif’ (al-aql al-khallaq) yang dapat mengantarkan seseorang menuju semesta ketuhanan yang tak terbatas. Dan karena manusia tidak dapat melepaskan diri dari dimensi ruang dan waktu, maka jalan untuk mendayagunakan ‘akal kreatif’ (baca: kemauan) itu pun memiliki hubungan yang erat dengan kesempatan.
Seorang mahasiswa filsafat dan penjaga kebun, sebagaimana dalam ilustrasi cerita tersebut di atas, masing-masing memutuskan untuk (yang satu) memakan buah mangga yang tidak miliknya dengan mengatasnamakan Tuhan dan (yang satu lagi) memukul mahasiswa itu dengan mengatasnamakan Tuhan. Keduanya melakukan semua itu karena kemauan dan kesempatan yang mereka miliki. Jika akhir-akhir ini kita dihadapkan pada perseteruan antara ‘cicak dan buaya’ dalam kasus Bibit-Candra (KPK) dengan Polri, maka semua itu berpulang pada kemauan dan kesempatan. Dalam hal ini siapa yang menjadikan kemauan sebagai ‘akal kreatif’ untuk melakukan kejujuran? Kiranya cukup sulit untuk menjawab pertanyaan ini.
Yang jelas, mendayagunakan kemauan menjadi ‘akal kreatif’ dan bukan ‘akal destruktif’ merupakan tugas berat bagi setiap orang beragama. “Siapa yang hari ini lebih jelek daripada hari kemarin, maka ia terlaknat. Siapa yang hari ini sebanding dengan hari kemarin, maka ia merugi. Dan siapa yang hari ini lebih baik dengan hari kemarin, maka ia beruntung,” demikian dikatakan dalan sebuah hadits nabi Saw. Setiap orang memiliki kemauan dan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang terbaik bagi diri dan orang di sekitarnya. Sebaliknya, dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki, setiap orang bisa berbuat yang terjelek bagi diri dan orang lain. Mendayagunakan kemauan menjadi ‘akal kreatif’ butuh pada perjuangan yang tidak gampang (al-jihad al-akbar). Wallahu al’lam! [mf]

13 November, 2009

Mendialogkan Agama, Science dan Tradisi

Oleh: M. Faisol Fatawi

Suatu ketika seorang teman bercerita tentang pengalamannya melakukan penelitian di salah satu desa di Gunung Kidul Jogjakarta. Teman penulis bercerita, seraya menirukan apa yang telah dicritakan oleh salah seorang warga, bahwa ada salah seorang anggota keluarga sakit keras –yang kalau dalam perkiraan medis orang itu dipastikan akan meningga dunia. Berbagai usaha sudah dilakukan demi kesembuhannya: lewat do’a-do’a, dukun-dukun, jampi-jampi, bahkan sampai pengobatan medis maupun alternatif. Namun hasilnya sia-sia, si pasien tak kunjung sembuh. Akhirnya, salah seorang anggota keluarganya memutuskan untuk kembali pada tradisi (kebiasaan) yang diwariskan oleh para pendahulunya, yaitu mengitari rumah sebanyak tiga kali dalam keadaan telanjang bulat. Wal hasil, si pasien sembuh dari sakitnya. Si pasien pun kembali sehat seperti sediakala.
Sekilas cerita tersebut mungkin lucu atau bahkan terkesan sengaja diada-adakan, namun itu adalah fakta yang benar-benar terjadi. Yang paling penting dari cerita itu adalah tindakan mengitari rumah sebanyak tiga kali dalam keadaan telanjang bulat atas dasar kembali pada tradisi orang-orang terdahulu, dan justru dengan tindakan seperti itulah si pasien bisa sembuh. Lalu apa relevansinya dengan konteks diskusi science dan agama?
Tindakan mengitari rumah dengan telanjang bulat jelas tidak mencerminkan prilaku yang disahkan atau kurang etis jika dilihat dari sudut pandang agama. Agama senantiasa mengajarkan kepada para pemeluknya untuk berdo’a kepada Tuhan di saat mengalami musibah. Berdo’a merupakan tata cara yang diajarkan dan bahkan sangat dianjurkan dalam agama. Tidak ada aturan agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk telanjang bulat sambil mengitari rumah demi kesembuhan si pasien.
Demikian pula tindakan mengitari rumah dengan telanjang bulat tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang medis. Dalam logika medis, penyakit yang hinggap dalam tubuh pasien harus diteliti melalui beberapa tahap pendiagnosaan, sebelum sampai pada kesimpulan jenis penyakit dan pengobatannya. Sudah barang tentu pengobatannya berbeda sesuai dengan jenis penyakit. Jelasnya secara medis logika science kedokteran tidak bisa menerima tindakan telanjang bulat tersebut.
Kita memang harus mengakui, bahwa ketiga wilayah tersebut (agama, science dan tradisi alami) berbeda antara satu sama lainnya. Tradisi alami berpijak para praktek-praktek yang telah dilakukan oleh para pendahulu, agama lebih menjadikan retorika teks-teks suci, dan science lebih pada logika matematis. Perbedaan ini justru sering disalah-pahami. Akibatnya, ketiga wilayah tersebut cenderung menyisakan “konflik” di tengah kehidupan modern.
Dalam pandangan sebagian agamawan, agama dipahami sebagai aturan yang melingkupi segalanya, yang mewakili semua kebenaran, sehingga segala yang di luar wilayah ini harus tunduk padanya: agama adalah solusi segalanya. Mereka yang mendukung science pun kadang angkuh, menganggap bahwa science pun dapat mengatasi segala kesulitan yang dihadapi manusia. Sementara pemegang tradisi alami lebih kurang terbuka (menutup diri) atas temuan-temuan science, sehingga mereka emoh menggunakan segala produk science.
Ilustrasi cerita di atas mengisyaratkan sebuah kenyataan kepada kita, bahwa ada hal (baca: kebenaran) yang terjadi di luar science maupun agama. Cara menyembuhkan penyakit dengan berpijak pada tradisi ternyata dapat menggantikan penyembuhan secara medis dan menggantikan tatanan agama (baca: do’a). Jika agama menyarankan kepada si pasien dengan membaca do’a-do’a kepada Tuhan demi keselamatannya, dan jika science kedokteran memberi pengobatan kimiawi setelah mendiagnosa penyakit demi kesembuhannya, maka mengitari rumah dengan telanjang –dalam konteks ini—telah menggantikan keduanya. Di sini tradisi (alami) telah melakukan apa yang dilakukan oleh agama dan science kedokteran, yaitu mampu menjadi solusi buat kesembuhan si pasien.
Kenyataan bahwa tradisi (alami) mampu memberikan penyelesaian, semakin membuka mata kita akan keterbatasan masing-masing wilayah tersebut. Pada satu titik mungkin agama dapat memberikan solusi, namun pada titik lain tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian pula science, pada satu sisi harus diakui sumbangan yang diberikan di tengah kehidupan, namun pada sisi lain tidak berkutik sama sekali. Kemampuan tradisi alami dalam beberapa kasus tertentu untuk menggantikan agama dan science pun tidak dapat dimutlakkan. Ini berarti memutlakkan kebenaran peran masing-masing hanya akan berujung pada sikap menganggap benar sendiri: semua bersifat nisbi.
Agar ketiga wilayah tersebut tidak berjalan dengan klaim kebenaran perannya masing-masing, maka semestinya kita tidak meletakkannya secara berhadap-hadapan. Antara satu sama lain harus didialogkan. Mendialogkannya berarti berupaya saling mengisi antara satu sama lain dengan menyadari keterbatasannya masing-masing. Agama dapat dijadikan sebagai landasan moralitas bagi science dan kelangsungan tradisi. Science bisa memberikan kemudahan bagi praktek keagamaan dan pengembangan tradisi. Tradisi pun dapat dijadikan sebagai kekuatan progresif demi perkembangan kreatif kebudayaan (agama dan Science).[mf]

12 November, 2009

“Wajah” Tuhan di Tengah Pluralitas Agama

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sampai saat ini, wacana tentang Tuhan masih menjadi objek pembicaraan menarik manusia, bahkan bisa dikatakan bahwa sejarah mendiskusikan Tuhan sama tuanya dengan sejarah munculnya manusia di muka bumi. Di mata umat manusia, Tuhan merupakan realitas tertinggi, sumber bagi segala yang maujud di kolong jagat raya. Sebagai sumber kehidupan, Tuhan pun dimaknai, dipahami, dan diartikulasikan oleh berjuta-juta umat menjadi sebuah tatanan aturan yang melandasi praksis kehidupan mereka. Dari sini, manusia mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) di muka bumi.
Dalam agama, meyakini keberadaan Tuhan menjadi pilar paling penting. Pilar ini yang kemudian disebut dengan sistem teologi. Tuhan inilah yang menjadi sumber kebenaran agama. Legitimasi kebenaran agama adalah Tuhan itu sendiri. Tak heran, seringkali pemeluk agama meyakini bahwa agama yang dianutnya merupakan kebenaran Tuhan. Tetapi masalahnya, agama itu tidak satu macam. Lalu bagaimana memahami Tuhan dalam konteks pluralisme agama? Bukankah Tuhan yang terkonsepsikan dalam agama-agama merupakan hasil kreatif dari imajinasi pemeluknya?
Mendiskusikan wajah Tuhan sebagaimana yang tersirat dalam pertanyaan tersebut semakin mendapatkan signifikasinya, manakala dunia kini disibukkan dengan semakin maraknya aksi kekerasan yang berlatarbelakang agama yang disinyalir akan mengancam kehidupan antar umat bergama, bahkan perang atas nama agama.
Di Indonesia misalnya, kita dapat melihat fenomena aksi kerusuhan dan kekerasan yang terjadi di Ambon dan Maluku dimana puluhan rumah ibadah dibakar dan ribuan manusia dibunuh. Atau mungkin masih terbayang di dalam benak kita peristiwa pengeboman WTC di Amerika oleh sekelompok jaringan dengan mengatasnamakan agama. Serangkaian peristiwa tersebut mengingatkan kita pada tesis yang diajukan oleh Samuel Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilization) terutama antara peradaban Islam dengan Barat yang Kristen.
Mencermati fenomena peristiwa tersebut, kita harus sedikit membuka cara penuhanan yang kita lakukan. Logika penuhanan masyarakat agama-agama masih lebih bersifat tekstualis. Tuhan yang diyakini dan dipahami dalam agama-agama hanya didasarkan pada bunyi atau pernyataan teks suci: gambaran dan sifat-sifat Tuhan selalu tertumpu padanya. Oleh karena itu, Tuhan yang dipersepsikan oleh umat Islam yang disesuaikan dengan al-Qur'an dan Tuhan yang dipersepsikan oleh umat Kristiani yang berpijak pada al-Kitab berbeda dan tidak akan pernah sama. Pemeluk Islam di mata Tuhan umat Karistiani tentu saja menjadi sekelompok orang yang dicap ingkar, dan karenanya harus mendapat ganjaran neraka; pemeluk Kristen juga akan mengalami hal yang sama di mata Tuhan-nya umat Islam.
Dalam konteks pluralitas agama, mungkin ada baiknya kita belajar dari cara penuhanan yang ada dalam tradisi sufi yang dikembangkan tokoh seperti Ibn al-Arabi atau Jalaluddin ar-Rumi. Dasar filosofis yang digunakan oleh keduanya dalam memahami Tuhan adalah bahwa hanya ada satu wujud yang hakiki, yaitu Tuhan ¬al-haq. Tuhan menampakkan diri dalam banyak bentuk yang terdapat di jagad raya ini. Hakekat Tuhan berarti kesatuan yang mutlak dari keseluruhan. Oleh karena itu, menyembah Tuhan melalui berbagai konsep, baik monoteisme maupun politeisme, tidak masalah, sebab hakekat yang dituju adalah satu, yaitu Tuhan al-haq. Dalam konteks ini, agama hanyalah kulit luar (baju).
Rumusan ketuhanan yang diajukan oleh kedua tokoh sufi tersebut mungkin lebih memberikan peluang keterbukaan bagi pemeluk agama jika kita bandingkan dengan rumusan yang lazim digunakan oleh agama-agama pada umumnya. Pandangan kedua tokoh itu, secara implisit mengisyaratkan bahwa di mata pemeluk agama (penyembah Tuhan) tidak ada Tuhan yang objektif. Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama bersifat terbatas, terbatas pada teks suci, sehingga tidak dapat dipertemukan dengan Tuhan milik pemeluk lain. Perbedaan konsep Tuhan tidak lebih dari sekedar order of nature.
Tidak ada agama yang tidak meyakini adanya Tuhan, terlepas dari berbagai konsep yang ada: berapa jumlah, bagaimana sifat dan bentuknya. Wujud Tuhan dalam pandangan agama Kristen dipahami sebagai konsep trinitas, dalam agama Islam konsep tauhid, dan seterusnya sesuai dengan agama masing-masing. Namun sekali lagi, yang perlu disadari adalah bahwa konsep-konsep itu tidak lebih dari sekedar penggambaran dalam memahami dan menghadirkan Tuhan dalam praksis kehidupan di dunia, hasil kreatifitas imajinasi manusia. Meskipun berbagai upaya telah dikerahkan untuk memahami Tuhan sehingga melahirkan konsep yang berbeda, namun hakekat Tuhan itu sendiri masih tidak dapat dijangkau: siapapun dan kapanpun seseorang tidak akan dapat mengerti Tuhan yang sebenarnya. Barangkali titik yang mempertemukan semua agama itu adalah pengakuan akan adanya Tuhan. Inilah yang musti harus dijadikan --dengan meminjam istilah Hasan Hanafi-- landasan aksiomatis, bahwa adanya Tuhan adalah benar.
Menjadikan keberadaan Tuhan sebagai landasan aksiomatis seperti tersebut di atas, patut diajukan dalam konteks keberagamaan sekarang ini, karena betapapun perbedaan konsep ketuhanan yang ada dalam setiap agama ternyata semua itu hanyalah perbedaan persepsi terhadap Tuhan itu sendiri. Ternyata Tuhan dalam perspektif pluralitas agama --dengan masih meminjam pandangan kaum sufi-- merupakan common platform. Sampai sini, kita berharap bahwa dalam praksis beragama, kita tidak semestinya hanya menggunakan sudut pandang teologis, tetapi sudut pandang kemanusiaan yang didasarkan pada kesatuan eksistensi untuk hidup bersama di muka bumi. Praksis mewujudkan cita-cita kemanusiaan itulah merupakan komitmen ketuhanan yang terdapat dalam setiap agama.
Komitmen tersebut merupakan dambaan seluruh umat beragama. Proses membangun dunia yang lebih manusiawi adalah bagian yang tak terpisahkan dari refleksi agama. Keberlangsungan (signifikansi) agama pun akan sangat terkait dengan realitas yang berada di luarnya. Masalah-masalah sosial seperti penindasan, ketimpangan ekonomi, hegemoni politik, dan lain-lainnya yang mengancam eksistensi manusia, menjadi bagian yang inhern dalam ketuhanan (agama). Komitmen ketuhanan mungkin hanya akan bermakna jika diarahkan untuk masa depan kemanusiaan katimbang hanya membenturkan konsep mengenai eksistensi diri-Nya dengan eksistensi diri-Nya yang dipahami dan dimilik oleh agama lain. Ketika itu, kita telah mempermainkan eksistensi Tuhan sebagai robot-robot yang manut kepada kita, padahal hakekat Tuhan tidak demikian, jauh dari semua itu.
Akhirnya, kita seharusnya tidak memfungsikan agama (baca: Tuhan) sebatas kepentingan yang sempit, namun di bawah bayang-bayang Tuhan kita menatap masa depan kemanusiaan demi eksistensi manusia itu sendiri. Dengan menyadari, bahwa wajah Tuhan yang kita pahami merupakan hasil pencerapan pikiran kita atas realitas yang adi kodrati dan penuh misteri, maka seharusnya kita menyadari akan pentingnya mendialogkan arti kehadiran Tuhan di tengah kehidupan sehari-hari dalam konteks pluralitas agama.[mf]

11 November, 2009

DISKURSUS GENDER DALAM TAFSIR AL-BAHR AL-MUHITH

Oleh: M.Faisol Fatawi


Agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sejak awal diutus, nabi Saw telah mengenalkan prinsip-prinsip universal-progresif Islam kepada bangsa Arab, yaitu tauhid, persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), solidaritas sosial (al-tadhamun al-ijtimaíy). Prinsip tauhid menggantikan konsep berketuhanan yang serba materialistik (penyembahan dan penghambaan terhadap berhala), persaudaraan menggeser sikap egoistik yang bercokol dalam diri masyarakat yang hidup dalam serba menang-menangan, persamaan menghapus sistem tatanan sosial yang tribalistik, sedangkan solidaritas sosial mengubur cara pandang individualistik yang telah tertanam dalam lubuk kesadaran sosial masyarakat Arab. Alih-alih, Islam hadir ke tengah mereka untuk melakukan transformasi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Salah satu tradisi buruk bangsa Arab yang sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka mengubur bayi perempuan secara hidup-hidup (wa’du al-banat). Masyarakat Arab sangat malu jika mereka mendapatkan karunia bayi perempuan. Hadirnya seorang anak perempuan bagi mereka sama halnya dengan tamparan yang sangat memalukan, yang—mungkin—tidak akan dapat dilupakan seumur hidup. Bayi perempuan berarti aib bagi keluarga. Oleh karena itu, Islam datang dengan melarang praktik pembunuhan nyawa anak manusia yang tak berdosa sebagaimana yang ditradisikan oleh masyarakat Arab. Secara tegas Islam melarang mereka agar tidak membunuh bayi-bayi perempuan yang tidak berdosa itu. Islam menghapus tradisi itu dan memberikan hak hidup bagi nyawa si bayi perempuan. Baik bayi perempuan maupun laki-laki, keduanya sama memiliki hak hidup serta harus dilindungi dan mendapat pemeliharaan yang semestinya dari kedua orang tuanya.
Pembunuhan terhadap bayi perempuan tersebut menggambarkan betapa bangsa Arab, saat pertama kali nabi Saw diutus, telah menodai kehormatan kaum perempuan. Ini merupakan bentuk subordinasi terhadap kaum perempuan. Sikap subordinatif seperti ini juga dapat dilihat dalam pertanyaan (baca: protes) Asma’ binti Yazid kepada Rasulullah. Ceritanya, Asma’ binti Yazid pernah menghadap Rasulullah Saw. Ia menguraikan isi hatinya kepada beliau: “Demi bapak dan ibuku, aku ini adalah utusan kaum perempuan menghadap kepadamu. Tidak seorang perempuan pun yang ada di Timur maupun Barat mendengarkan jalan keluarku ini kecuali mereka sama dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah telah mengutusmu dengan kebenaran (haqq) kepada kaum laki-laki dan perempuan, sehingga kami percaya kepadamu dan kepada Tuhan yang telah mengutusmu. Sesungguhnya kami kaum perempuan ini adalah orang-orang yang sebatas mengurusi persoalan rumah tangga kalian, menjadi tambatan syahwat kalian dan orang-orang yang mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, hai kaum laki-laki, dilebihkan dari kami dengan bisa melakukan shalat Jumát, berjamaah, menengok orang sakit ... Kami menjaga harta kalian saat kalian meninggalkan rumah, kami menyulam baju-baju kalian dan kami merawat anak-anak kalian. Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melakukan hal yang sama dengan yang kalian lakukan untuk mendapatkan pahala?”
Ungkapan isi hati Asma’ tersebut di atas jelas tidak lahir dari tempat yang kosong. Perasaan itu merupakan reaksi alami atas keadaan sosial yang sedang berkembang di tengah masyarakat Arab yang berada dalam dominasi kaum laki-laki (patriarki). Seolah-olah Asma’ binti Yazid yang mewakili para perempuan ketika itu berharap andai saja Islam dapat membawa sesuatu yang lebih baik katimbang keadaan yang sedang berkembang terkait dengan persoalan perempuan dan perannya di tengah masyarakat.
Maka, dalam situasi sosial yang demikian, Islam datang dengan mengangkat martabat kaum perempuan. Rasulullah Saw pun menyatakan: “al-nisa’ syaqaíqu al-rijal” (kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki). Seorang perempuan bukanlah saudara tiri bagi kaum perempuan. Laiknya seorang saudara, kaum perempuan mendapat pernghormatan yang sama sebagaimana kaum laki-laki.
Lebih lanjut, al-Qurán menjunjung tinggi kaum perempuan dengan mengabadikan identitasnya dalam salah satu surat al-Qurán, yaitu surat al-nisa’ yang berarti perempuan. Istilah al-nisa’ menjadi ikon pembebasan bagi kaum perempuan; penghargaan dan penghormatan terhadap eksistensinya. Ikon ini mengisyaratkan kepada kita bahwa ada suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan kaum perempuan pada saat itu, sehingga al-Qurán harus menjadikannya sebagai nama sebuah surat. Dalam kosakata al-nisa’ terdapat pesan progresif pembebasan kaum perempuan pada masa nabi Saw untuk mengangkat citra mereka sebagai manusia yang harus dipertimbangkan dan dihormati sebagaimana manusia yang lain.
Apa yang dilakukan Rasulullah Saw sungguh merupakan langkah yang progresif. Ini mestinya dimaknai sebagai spirit pembebasan Islam untuk menempatkan status sosial yang sama bagi kaum perempuan di sisi kaum laki-laki di muka publik. Sayangnya, spirit ini kemudian dibaca secara terbalik. Ayat-ayat al-Qurán yang terkait dengan kaum perempuan seringkali dibaca dan dipahami dalam sudut pandang kepentingan kaum laki-laki, jauh dari spirit pembebasan awal. Akibatnya, diskursus mengenai kaum perempuan dalam tafsir-tafsir keagamaan tidak menampakkan cakrawala yang progresif dan jalan yang mulus bagi hakekat dan eksistensi diri seorang perempuan di tengah kehidupan modern seperti sekarang ini.

• Mengenal Sosok Abu Hayyan
Abu Hayyan dilahirkan di Matakhsyarsy, sebuah desa di Granada, pada akhir bulan Syawal 654 H (Nashiruddin al-Dimasyqi: 1393 H, 63). Ia menghembuskan nafas terakhir di Kairo pada 28 Shafar 745 H. Dimakamkan di pekuburan Shufiyah di luar daerah Bab al-Nashr, dan dishalatkan gaib di masjid jami’ al-Amawi di Damaskus (al-Imad al-Hambali: t.t., 147).
Nama lengkapnaya adalah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi al-Gharnathi. Lebih dikenal dengan sebutan atsir al-din. Seorang guru besar dan imam di bidang ilmu Nahwu. Ia juga mendapat sebutan Abu Hayyan. Sebutan yang terakhir ini tergolong sebutan aneh. Karena keanehan sebutan inilah, Abu Hayyan menjadi lebih dikenal luas dalam belantara keilmuan Islam. Abu Hayyan menyatakan: “jika sebutan [Abu Hayyan] itu aneh, yang hampir tidak seorangpun menyamai sebutan tersebut dizamannya, maka sebutan tersebut menjadi melambung dan beritanya akan dikenal oleh para sahabat karib, sebagaimana sebutan Abu Hayyan yang diberikan kepada nama saya Muhammad. Seandainya sebutan Abu Abdullah atau Abu Bakar dialamatkan kepada saya, sehingga melahirkan kesamaan penyebutan, tentu saya tidak akan terkenal.”
Dalam meniti karier intelektual, Abu Hayyan berguru kepada para ilmuan muslim ternama pada zamannya di bumi Andalusia, Mesir dan tempat-tempat yang lain. Menurut kesaksian Ibn Hajar, bahwa Abu Hayyan pernah menimba ilmu pengetahuan kepada empat ratus guru. Ia telah banyak mengantongi ijazah (lisensi) pengetahuan dari banyak guru. Pertama kali, berguru ke al-Khathib Yusuf bin Ibrahim bin Abi Rihanah al-Andalusiy, kemudian kepada Abu al-hasan Ali bin al-Bukhari (Nashiruddin al-Dimasyqi: Vol. I, 63), di samping Abu Ja’far bin al-Zubair, Abu Ja’far bin al-Thiba’, Abu Ali al-Hasan bin Abd al-Aziz bin Abi al-Ahwash al-Fihriy.
Pada tahun 679 H, Abu Hayyan meninggalkan daratan Andalusi dan pergi menuju Mesir untuk mencari ilmu. Kepergiannya ke Mesir didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam dari lubuk hati para ilmuan pada masa itu akan usia udzur yang menggerogoti mereka, sehingga ditakutkan tidak ada generasi sesudahnya yang dapat mewarisi ilmu yang mereka tekuni. Dalam sebuah cerita yang dinyatakan oleh al-Suyuthi disebutkan, bahwa sebagian ilmuan (ahli) Logika, Filsafat, Matematika dan ilmu Alam pernah mengeluh kepada penguasa: “Kami sudah tua. Kami takut, jika kami semua mati, tidak ada orang (murid) yang menguasai ilmu-ilmu tersebut, yang dapat dimanfaatkan oleh penguasa, setelah generasi kami.” Mendengar keprihatinan inilah, Abu Hayyan lantas menyahutinya dengan seraya berkata: “saya mengisyaratkan untuk menjadi mereka ... maka saya pun pergi karena takut hal itu terjadi.”
Sementara itu, dalam ilustrasi yang lain disebutkan bahwa kepergian Abu Hayyan dari Andalusia disebabkan oleh adanya perseteruan antara dirinya dengan sang guru Abu Ja’far bin al-Thiba’. Ceritanya, Abu Hayyan telah berguru kepada Abu Ja’far bin al-Thiba’ dan Abu Ja’far bin al-Zubair. Suatu ketika antara kedua guru Abu Hayyan tersebut terlibat suatu persoalan. Dari Abu Ja’far al-Zubair, Abu Hayyan mendapat “suntikan” ilmu pengetahuan sehingga ia menulis sebuah buku yang didalamnya berisi sanggahan kepada Abu Ja’far al-Thiba’ mengenai lemahnya riwayat yang datang darinya. Kemudian persoalan ini diajukan kepada penguasa. Maka, penguasa pun mencari-cari Abu Hayyan dan hendak menangkapnya. Abu Hayyan sembunyi, dan lalu mengayuh perahu pergi menuju ke Timur.
Mesir ketika itu dikuasai oleh kerajaan Mamalik. Atas perintah sang raja, ia mendirikan sekolah khusus ilmu Nahwu, tepatnya pada tahun 704 H. Setelah itu menjadi guru tafsir di Qubbah al-Malik al-Manshur pada masa raja al-Nashir. Pada saat itu usianya menginjak 57 tahun. Ia juga menggantikan Muhammad bin al-Nahas untuk mengajar ilmu Nahwu. Abu Hayyan pergi ke Makah untuk menjalankan ibadah haji, dan di sana bertemu dengan Abu al-hasan Ali bin Shalih al-Husaini. Kemudian ia menuju Syam dan kembali ke Kairo untuk menetap di sana sampai akhir hayat (Mazid Ismail Na’im: 1984).
Sebelum memutuskan pergi ke Mesir, Abu Hayyan dikabarkan sempat memperluas cakrawala pengetahuannya dengan menimba ilmu ke negeri Maroko dan Afrika Utara. Di sana, ia bertemu dengan banyak guru dan belajar berbagai ilmu pengetahuan (Walid muhammad al-Saraqibi: 2005).
Sebagai sosok ilmuan, Abu Hayyan juga menjadi rujukan bagi anak zamannya. Ia dikenal oleh semua generasi muslim, di dunia Islam belahan Barat maupun di belahan Timur. Banyak generasi muslim di zamannya berguru kepada dirinya, dan menjadi ilmuan terkenal. Mereka adalah Syeikh Taqiyuddin al-Subki, al-Jamal al-Isnawiy, Ibn Aqil, Sirajuddin al-Balqiniy dan lain-lain.
Seiring dengan ketenarannya, sosok Abu Hayyan telah dikenal luas oleh para ilmuan muslim yang lain. Ia memiliki posisi intelektual yang tidak bisa dianggap remeh. Di mata yang lain, kedalaman ilmu dan kecerdasan intelektualnya diakui. Lisanuddin bin al-Khathib bersaksi bahwa Abu Hayyan adalah “satu-satunya sosok ilmuan yang genius, cerdas dan kuat hafalannya, ahli dalam bahasa Arab dan tafsir, serta menguasai metode periwayatan.” Bahkan al-Subki menyebutnya sebagai satu-satunya ahli Nahwu: bak lautan luas yang tak mengenal daratan, laksana Ka’bah yang senantiasa didatangi orang dari segala penjuru alam, dan bagaikan pohon rindang yang memberikan kesejukan kepada semua orang.
Abu Hayyan merupakan ilmuan yang multi talenta. Ia menulis buku dalam berbagai bidang keilmuan: tafsir, hadits, fiqh, tasawuf, Nahwu, Sharaf, bahasa, Balaghah, Arudh, sejarah, biografi dan agama-agama non-Islam. Semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara karyanya adalah Tafsir al-Bahr al-Muhith dan al-nahr al-Mad min al-Bahr. Keduanya dalam bidang tafsir. Irtisyaf al-Dharb min Lisan al-Arab, al-Tadzyil wa al-Takmil fi Syarh al-Tashil dan Manhaj al-Salik ila Alfiyah Ibn Malik. Ketiganya dalam bidang Nahwu (Jalaluddin al-Suyuti, Vol. 1: 280). Ditambah lagi, Taqrib al-Muqrib li Ibn Ushfur, Ithaf al-Arib bima fi al-Qurán min al-Gharib dan Íqd al-Laáliy.

• Abu Hayyan dan Tradisi Intelektual Negeri Andalusia
Sejak tahun 92 H sampai 138 H, negeri Andalus telah dikuasai oleh para keturunan Bani Umaiyah. Kemudian dilanjutkan oleh para khalifah Bani Umaiyah untuk yang kedua kalinya sampai 424 H. Lalu dilanjutkan oleh para muluk ath-thawa’if. Diantara para muluk ath-thawa’if itu adalah Bani Ibad di Isybiliah, Bani Nashr di Granada dan Bani Zhi an-Nus di Toledo. Satu per satu wilayah kekuasaan para muluk ath-thawa’if jatuh saling bergantian, hingga akhirnya Granada dan Andalus pada tahun 898 H.
Pada masa muluk ath-thawa’if, belahan negeri Andalus mendapat gelombang serangan dari orang-orang muslim Afrika bagian Utara. Mereka bangkit untuk memperjuangkan agama dan hak-haknya. Hingga pada akhirnya orang-orang Murabithun berhasil menguasainya pada abad V sampai VII H.
Sesungguhnya, para penakluk dari negeri Arab, mulai dari masa Musa bin Nushair sampai masa khalifah an-Nashir, mereka telah mengusung pengetahuan mengenai bahasa, puisi dan lain-lainnya, yang ada di Syam ke negeri Andalus. Hal ini karena sebagian mereka adalah orang-orang terdidik. Hanya saja, pengetahuan yang mereka bawa itu masih belum tersistematisasikan secara cermat. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai masa khalifah Abdurrahman an-Nashir yang mana ia sangat getol untuk membangun kekuasaannya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para penguasa Daulah Abbasiyah. Menyadari bahwa ia tidak memiliki para ilmuwan yang mampu menyebarkan kebudayaan Arab di tengah-tengah masyarakat Andalus, maka Abdurrahman an-Nashir memutuskan untuk ”memboyong” pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan Timur (ahl al-masyriq) (Ahmad Amin, 1966: 30).
Maka tak pelak, langkah awal yang dilakukan demi tujuan penyebaran kebudayaan Arab di Andalus adalah usaha-usaha untuk mengadopsi pengetahuan yang ada di belahan Timur dengan mengirim utusan untuk belajar ke sana. Sebagian besar dari mereka berangkat ke Timur untuk menemui para ilmuwan di sana, lalu belajar kepadanya dan menimba darinya berbagai ilmu pengetahuan seperti fiqh, ilmu syari’ah, kalam, hadits dan lain-lainnya. Sebagian yang lain memang ada yang pergi ke Timur secara khusus hanya untuk tujuan belajar bahasa dan Nahwu (Muhammad Ied, 1989: 31).
Kendatipun perkembangan ilmu keislaman di Andalus lebih terlambat jika dibandingkan dengan di belahan Timur, namun abad VI H telah menjadi momen penting bagi puncak kegemilangannya. Dalam fase ini, berbagai kajian dan diskusi mengenai ilmu-ilmu pengetahuan keislaman, mulai ilmu kebahasaan sampai fiqh, dilakukan. Para ilmuan muslim mulai berlomba-lomba berkarya. Namun yang tidak disadari, justru dalam kondisi semangat yang tinggi untuk mengkaji ilmu pengetahuan keislaman itulah para ilmuan muslim mulai terjebak dalam taklidisme. Mereka tidak lagi kreatif dalam pengertian yang sebenarnya. Hanya mengulang dan mengulang kreatifitas yang sudah ada sebelumnya. Bahkan terjebak pada model perdebatan dan perselisihan pemikiran keislaman (seperti fiqh, teologi dan ilmu kebahasaan) yang berkepanjangan.
Di tengah kultur taklidisme-intelektual seperti itulah, muncullah pembaharuan pemikiran keislaman yang lebih dikenal dengan mazhab Zhahiriy yang di-pioner-i oleh Dawud al-Zhahiriy. Sebuah model berpikir yang lebih menekankan pada teks al-Qur’an dan hadits, dan menolak segala hal yang bersifat zhanni. Konsekwensi dari model berpikir seperti ini adalah bahwa segala sesuatu yang secara eksplisit tidak ada di dalam teks (al-Qur’an dan hadits) bukan merupakan bagian dari teks itu sendiri: ia adalah bagian dari sesuatu yang harus ditakwil atau dibaca dengan menggunakan akal, karena ia bukanlah teks. Oleh karena itu, qiyas harus ditolak karena menerima qiyas sama saja dengan menyamakan sesuatu yang tidak ada di dalam makna eksplisit teks, dan ini batal. Semula model berpikir zhahiriyah ini adalah murni pembaharuan pemikiran keagamaan di bidang fiqh. Tetapi sejalan dengan waktu, menjadi ideologi para penguasa di Andalus.
Sejarah mencatat, bahwa negeri Andalus telah menjadi rahim bagi lahirnya berbagai revolusi pemikiran. Dalam dekapan kultur intelektual Andalus, lahir sederetan pembaharuan pemikiran, Ibn Rusyd dengan pemikiran politik dan filsafatnya, serta Dawud Zhahiri dengan mazhab Zhahiriyahnya. Sosok intelektual lainnya yang tidak bisa dilepaskan dengan Andalus adalah Ibn Hazm dan al-Syathibi dengan corak kritisisme intelektualnya. Hal ini semakin menguatkan bahwa tradisi pemikiran di Andalus (Barat/Maghrib), yang diwariskan dalam Islam, lebih progresif-kritis-rasional katimbang tradisi pemikiran keislaman di Timur (masyriq) (Muhammaed Abid al-Jabiri; 1990).
Secara kultural, ada beberapa faktor yang melatari karakteristik tradisi pemikiran di negeri Andalus, yang cenderung menempuh jalan dan metode yang tidak digunakan dalam model pemikiran Islam di wilayah Timur pada saat itu. Pertama, hilangnya ”khazanah masa lalu” (al-mauruts al-qadim) di Andalus. Para penduduk asli Andalus selalu memelihara agama mereka yaitu Yahudi dan Nasrani. Mereka tidak mentransfer sedikitpun kebudayaan masa lalu mereka kedalam kebudayaan Arab-Islam. Hal ini karena kebudayaan di Andalus tidak begitu kuat dan jaya sebelum Islam datang, sehingga tidak dapat menampakkan eksistensinya di tengah kebudayaan penakluk/pendatang (Arab-Islam) (Muhammaed Abid al-Jabiri, 1998: 32-33).
Sebagaimana dicatat oleh para sejarawan, bahwa sejak dulu Andalus kering dari ilmu pengetahuan. Para pendudunya juga tidak banyak memberikan perhatian terhadap ilmu. Kondisi seperti itu terus berlangsung sampai kaum muslimin datang menaklukkan Andalus. Setelah itu, penduduk Andalus baru mengenal ilmu pengetahuan dari wilayah Timur, namun hanya tebatas pada ilmu Syari’ah dan bahasa. Ini terjadi pada masa Abdurrahman an-Nashir yang telah menjadikan kekuasaan Bani Umaiyah di Andalus sebagai kekuasaan Bani Umaiyah jilid kedua yang bermusuhan dengan khilafah Abbasiyah dan Fathimiyah.
Sampai sini, muncullah faktor kedua yang menjadikan perkembangan kebudayaan di Andalus berbeda dengan kebudayaan di Timur. Yaitu, kemerdekaan wilayah Andalus dari kekuasaan para khalifah Abbasiyah dan khalifah Fathimiyah, baik secara politik-ideologis maupun pertarungan kebudayaan secara luas. Sejak ditaklukkan oleh Islam, bumi Andalus secara kultural bergerak dalam kebudayaan Islam awal, yakni Islam-nya para sahabat dan tabiin yang selalu memegang teguh riwayat dan dalil-dalil naqli dalam memperoleh pengetahuan, baik dalam hal agama, bahasa maupun yang lain. Kondisi seperti ini berbeda dengan di wilayah Timur dimana mazhab-mazhab fiqh, Nahwu dan Kalam berkembang pesat.
Apabila sebagian aliran politik dan mazhab pemikiran di wilayah Timur telah bergaung di bumi Andalus, dibawa oleh para dai atau melalui perjalanan ke Timur dengan tujuan berhaji, belajar atau berdagang, maka riak-riak aliran dan mazhab itu tidak dapat melebarkan sayapnya atau sampai mendominasi. Gelombang kebudayaan pendatang ini tetap saja menjadi kebudayaan marjinal dan bahkan tidak mungkin dapat mencuat atau berkembang pesat. Ada gerakan Muktazilah di utara Marokko, dan di sana juga ada gelombang kebatinan. Tetapi semua itu tidak sempat menjamah negeri Andalus. Ini yang menjadikan Andalus tetap berada pada jalur ”akidah salaf” dalam pengertiannya yang paling awal dan bukan dalam pengertian Ahlussunnah-nya mazhab al-Asy’ari.
Ketika daulah Umaiyah berdiri di Andalus, maka pada awalnya menganut mazhab Ahli Syam (penduduk setia Bani Umaiyah) dan mazhab Imam al-Auzai yang tidak berbeda dengan mazhab pendatang dari segi memegang naql dan riwayah. Ketika kekuasaan daulah Abbasiyah di Timur menjadikan mazhab Abu Hanifah sebagai ideologi negaranya, maka bani Umaiyah di Andalus memberikan keluasan pada mazhab Maliki.
Apabila kita menemukan bahwa mazhab Hanafi dijadikan sebagai ”tameng” ideologi kekuasaan Abbasiyah, dan apabila mazhab Maliki dijadikan sebagai jalan untuk menopang kekuasaan Umaiyah di Andalus, maka itu artinya bahwa pihak penguasa telah menjadikan mazhab sebagai senjata ideologi di tengah masyarakat muslim, baik di Timur maupun di Barat. Jadi, pihak penguasa telah memainkan agama sebagai politik ideologi untuk membentengi legitimasi kekuasaannya: menjaga diri dan membela dari yang lain. Inilah faktor ketiga (Muhammad Abed al-Jabiri, 1998: 35).
Daratan Andalus memang telah menjadi tempat bagi berkembangnya mazhab Zhahiriyah. Setidaknya, dalam dua periode kekuasaan, yaitu Murabithun dan Muwahidun, model berpikir mazhab Zhahiriyah memperluas pengaruhnya di daratan Andalus. Bahkan mazhab Zhahiriyah sempat menjadi ideologi penguasa ketika itu.
Abu Hayyan dilahirkan dan berkembang dalam zaman keemasan mazhab Zhahiriyah. Ia hidup dalam fase antara abad V dan VII H. Sebuah fase waktu dimana orang-orang Murabithun sedang memegang tampuk kekuasaan di wilayah Andalus. Meskipun Abu Hayyan hidup di Andalus tidak lebih dari dua puluh tahun, namun agaknya cara berfikir mazhab Zhahiriyah tidak dapat mengubah jalan pikirannya ketika menetap di Kairo. Dalam literatur-literatur Islam disebutkan, Abu Hayyan mengikuti mazhab Zhahiriyah (Nashiruddin al-Dimasyqi, vol. I: 63). Bahkan menjadi salah satu tokoh besar mazhab Zhahiriyah sebagaimana al-Imam Dawud bin Ali al-Ashfahani (Dawud al-Zhahiri), al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Dawud al-Zhahiri, al-Imam al-Nahwiy Nafthaweih, Ali bin Hazm al-Andalusi, al-Hafizh Ibn Thahir al-Qaisaraniy, Abu Turab al-Zhahiri, Abu Abdurahman bin Aqil al-Zhahiri dan Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy.

• Karakteristik Tafsir al-Bahr al-Muhith
Tafsir al-Bahr al-Muhith yang ditulis oleh Abu Hayyan termasuk kitab tafsir bi al-ra’yi sebagaimana tafsir Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’ al-Matsani karya Abu al-Fadhal Syihabuddin al-Sayyed Mahmud Afandi al-Alusi dan tafsir Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu al-Sa’ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Imadi al-Hanafi. Tafsir ini menggunakan akal sebagai metode pembacaan dalam memahami makna al-Qur’an dengan tetap mempertimbangkan unsur internal dan eksternal teks al-Qur’an itu sendiri.
Tafsir al-Bahr al-Muhith merupakan rujukan pertama bagi orang yang hendak mengetahui berbagai ragam i’rab kata-kata dalam al-Qur’an. Dalam tafsir ini, Abu Hayyan juga memperhatikan aspek-aspek balaghah dan mengulas hukum-hukum fiqh. Ia banyak menukil penafsiran imam Zamakhsyari dan Ibn Athiyah, terutama dalam persoalan-persoalan Nahwu. Kemudian ia mengakhiri pendapat kedua imam tafsir tersebut dengan ulasan dan catatan kritis. Perhatian terhadap persoalan-persoalan Nahwu tampak menjadi ikon yang menonjol bagi tafsir ini, di samping masalah ragam bacaan ayat dan nasikh-mansukh.
Jika tafsir al-Bahr al-Muhith diperhatikan, maka akan ditemukan beberapa karakteristik yang sangat mencolok. Pertama, pembahasan dimulai dengan mendiskusikan kosa kata ayat, dan kemudian masing-masing kata atau kalimat dijelaskan dan diuraikan maknanya. Kedua, menyebutkan asbabun nuzul ayat, jika memang ada, dan dilanjutkan dengan penguraian ayat secara sempurna. Ketiga, memperhatikan munasabah (kesesuaian) ayat. Artinya, makna ayat yang sudah dijelaskan, dihubungkan dengan kesesuaian ayat sebelumnya. Keempat, menyebutkan ragam bacaan ayat al-Qur’an dan menguraikannya sesuai dengan konteks (perspektif) linguistik Arab. Kelima, menukil pendapat ulama, baik salaf maupun khalaf, kemudian memilih dan men-tarjih-kannya sesuai dengan kekuatan dan kejelasan dalil. Kenam, memberikan perhatian terhadap aspek-aspek balaghah dalam sebuah ayat yang hendak ditafsirkan. Ketujuh, mendiskusikan persoalan hukum-hukum fiqhiyah, dengan mengutip pendapat ulama fiqh, dan memilihnya sesuai dengan kekuatan dalil serta rasional.
Jamal Musthafa al-Najjar mengklasifikasikan penafsiran bi al-ra’yi dalam islam kedalam beberapa trend. Di antaranya, tafsir ensiklopedis (mausu’i), kebahasaan (balaghi, lughawi dan nahwi), fiqih (fiqhy), rasional kemasyarakatan (aqliy ijtima’i), dan moral kemasyarakatan (adabiy ijtima’i). Dan, tafsir al-bahr al-Muhith dimasukkan dalam kategori tafsir kebahasaan yang rasional (Jamal Musthafa al-Najjar, 1998).

• Mitos penciptaan kaum Hawa
Sudah maklum, bahwa asal-muasal kaum perempuan dalam doktrin agama Islam diyakini sebagai makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk kaum laki-laki. Keyakinan ini sudah mendarah-daging di dalam pikiran setiap orang Islam, meskipun bertolak belakang dengan isyarat penciptaan manusia sebagaimana yang tersurat dalam ayat-ayat al-Qurán. Ayat-ayat al-Qurán justru menyebut asal-muasal semua manusia yang diciptakan dari air mani atau debu.
Cerita mengenai penciptaan kaum perempuan dari tulang rusuk laki-laki berawal dari kisah dramatik nabi Adam di surga. Pemahaman seperti itu didasarkan pada penafsiran terhadap ayat pertama dalam surat al-nisa’, yaitu ayat min nafs wahidah wa khalaqa minha zaujaha (QS. al-Nisa’: 1). At-Thabari melalui tafsirnya Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qurán, sebuah tafsir ensiklopedis pertama dalam dunia Islam, mengatakan bahwa Allah menjadikan pasangan kedua (al-zauj al-tsani) dari nafs yang satu (nafs wahidah). Yang dimaksud dengan pasangan kedua tersebut tidak lain adalah Hawa’. Tafsiran ini didasarkan pada keterangan (atsar) yang diriwayatkan oleh Mujahid, Qatadah, al-Suda, Ibn Abbas dan Ibn Ishaq. Salah satu keterangan yang dipaparkan oleh at-Thabari dapat dilihat sebagaimana berikut (al-Thabari, vol. VII: 515-516):

“Allah menempatkan Adam di surga. Adam berjalan sendirian tanpa teman (zauj) yang dapat membuat tenang dirinya. Suatu waktu Adam tidur. Ketika tersadar dari tidurnya, ia mendapati seorang perempuan sedang duduk di atas kepalanya. Perempuan itu diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk Adam. Maka, Adam pun bertanya: “siapa kamu?”. “Aku adalah seorang perempuan (imraáh),” jawabnya. Adam balik bertanya: “untuk apa kamu diciptakan?” Perempuan itu menjawab: “supaya kamu tenang di sisinya”

Dalam memahami kata nafs wahidah at-Thabari mendasarkan pada tradisi berbahasa masyarakat Arab. Menurutnya, meskipun kata nafs berbentuk nakirah-muannats dan mengandung pengertian yang umum, tetapi pengertiannya tidak lain adalah Adam. Status semantik nafs wahidah yang mengandung pengertian seorang laki-laki (rajul) dapat ditemukan padanannya dalam puisi-puisi Arab. Dalam hal ini, al-Thabari menyitir sebuah puisi: abûka khalîfatun waladathu ukhrâ, wa anta khalîfatun dzâka al-kamâl (bapakmu adalah seorang khalifah yang dilahirkan oleh yang lain, dan engkau adalah seorang khalifah. Itulah kesempurnaan).
Ibn Ishaq dalam memahami arti nafs wahidah seperti tersebut di atas, secara jelas, menyadari akan keterpengaruhan penafsirannya dengan tradisi kitab Taurat. Artinya, pemahaman bahwa Hawa’ diciptakan dari tulang rusuk Adam merupakan pemahaman yang sama dan berkembang di kalangan orang-orang Yahudi. Ibn Ishaq dalam meriwayatkan sebuah atsar menyatakan, “sebagaimana berita yang sampai kepada kami dari para Ahli Kitab pemegang kitab Taurat” (al-thabari, vol. VII: 516). Maka tidak heran, jika penafsiran mengenai penciptaan Hawa’ dari tulang rusuk Adam ditolak oleh sebagian pemikir muslim. Penafsiran ini diyakini telah dipengaruhi oleh cerira-cerita israiliyat dan bukanlah murni pemahaman yang bersumber langsung dari Rasulullah Saw.
Meskipun demikian, penafsiran seperti itu tetap menjadi penafsiran yang dominan di tengah masyarakat Islam. Bahkan menjadi wacana yang selalu di[re]produksi secara terus menerus sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi kodrat kaum perempuan bahwa mereka diciptakan dari tuang rusuk Adam (baca: kaum laki-laki). Bahkan untuk menguatkan pemahaman seperti itu, tidak jarang dari para ulama menyitir sebuah hadits nabi Saw: “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang keras. Jika engkau salah dalam meluruskannya, maka engkau mematahkannya. Dan patahnya tulang itu berarti thalaq (perceraian).”
Pandangan mainstream seperti itu berbeda sama sekali dengan pandangan Abu Hayyan. Abu Hayyan nampak memiliki pandangan yang humanis mengenai pengertian ayat penciptaan manusia. Menurutnya, Hawa’ tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi dia diciptakan dari bahan yang jenisnya sama dengan bahan yang dibuat untuk menciptakan Adam, yaitu turab (tanah liat). Abu Hayyan membangun pendapatnya berdasarkan pada pengertian hadits tentang penciptaan kaum perempuan dari tulang rusuk, dan takwil atas ayat al-Qur’an (min nafs wahidah) sebagaimana dalam QS al-Nisa’ ayat 1.
Menurut Abu Hayyan, hadits yang menjelaskan tentang penciptaan Hawa’ dari tulang rusuk Adam, sebagaimana yang banyak dijadikan legitimasi pendapat mayoritas seperti telah disebut di atas, mengandung pengertian tamtsiliy (metaforis) dan bukan pengertian haqiqi sebagaimana lahirnya teks. Secara litelar, hadits memang menyatakan bahwa “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang keras”, tetapi hal ini tidak berarti bahwa seorang perempuan itu benar-benar diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang keras merupakan metafor dari: pertama, ketidak-menentuan akhlak perempuan, dan kedua karena perempuan cenderung tidak dapat konsisten dalam satu sikap; ia selalu berubah-ubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Abu Hayyan, dengan seraya membantah pendapat Ibn Athiyah, mengatakan Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. XI: 11):

“Ibn Athiyah mengatakan, bahwa pendapat ini (penciptaan Hawa’dari tulang rusuk Adam, penj.) dikuatkan oleh hadits shahih yang menyatakan “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang keras. Jika engkau salah dalam meluruskannya, maka engkau mematahkannya. Dan patahnya tulang itu berarti thalaq (perceraian).” Hadits tersebut seharusnya mengandung pengertian metaforik (tamtsiliy) atas ketidak-menentuan akhlak kaum perempuan, dan karena mereka tidak konsisten dalam satu kondisi, yakni perangai yang susah (diatur). Oleh karena itu, mereka seperti tulang rusuk yang keras, sebagaimana akhlak (perangai) manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti sifat ketergesa-gesaan.”

Selanjutnya, dalam memahami hadits mengenai penciptaan perempuan tersebut, Abu Hayyan menginginkan sikap yang lebih rasional. Dengan menukil pendapat para ahli ta’wil, ia menjelaskan bahwa kata al-mar’ah, sebagaimana yang tersurat dalam hadits (inna al-mar’ah khuliqat min dhil’i a’waj), mengacu pada pengertian ‘perempuan’ pada umumnya. Kata al-mar’ah mengandung pengertian jenis (al-jins), yaitu jenis manusia yang berkelamin perempuan. Oleh karena itu, memaknai kata al-mar’ah dengan Hawa’ tidak dapat diterima. Atau dengan kata lain, ia tidak boleh diartikan dengan Hawa’. Maka, dalam hadits pun dinyatakan inna al-mar’ah dan bukan inna hawa’. Jadi, tidak tepat kalau dikatakan bahwa Hawa’ diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Pemahaman seperti itulah yang juga digambarkan di dalam surat al-Nisa’ ayat satu:

يا ايها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء (النساء: 1)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. al-Nisa’: 1)

Mencermati ayat tersebut, Abu Hayyan menfokuskan pada redaksi ayat min nafsin wahidatin wa khalaqa minha zaujaha. Karena, redaksi ayat ini menjadi muara pemaknaan atas penciptaan kaum perempuan. Abu Hayyan mengajukan dua pertimbangan. Pertama, bahwa dalam kata minha terdapat mudhaf yang dibuang, yaitu kata jins. Kedua, bahwa kata min sebagaimana yang terdapat dalam ayat memiliki pengertian ibtida’ al-ghayah (awal dari tujuan). Kedua pertimbangan ini memiliki ilmplikasi yang signifikan dalam memaknai ayat.
Berdasarkan pertimbangan pertama, redaksi ayat yang sebenarnya berbunyi wa khalaqa min jinsiha zaujaha. Maka, pengertiannya menjadi “dan dari jenisnya Allah menciptakan isterinya”, bukan “dan dari diri Adam Allah menciptakan isterinya”. Di sini, kata jenis mengacu pada jenis bahan dasar yang dijadikan untuk menciptakan Adam. bahan itu adalah tanah liat (thînah atau turab). Tentunya, kesimpulan pengertian seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan kedua. Kata min mengisyaratkan pengertian bahwa Adam adalah orang pertama, yakni awal dari tujuan (ibtida’ al-ghayah) dalam penciptaan manusia. Penciptaan Adam lebih dahulu dibanding dengan Hawa’. Ketika penciptaan awal manusia terjadi pada diri Adam, maka al-Qur’an pun menyatakan min nafs wahidah. Ketika Allah mampu menciptakan Adam sebagai manusia pertama dari tanah liat (turab), maka Allah juga mampu menciptakan Hawa’ dari jenis yang sama dengan Adam (Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. IV: 11).
Senada dengan pengertian tersebut, Abu Hayyan juga memberikan alternatif pertimbangan yang lain. Yaitu, bahwa tidak ada pembuangan mudhaf dalam redaksi ayat wa khalaqa minha zaujaha. Tetapi, kata ganti ha harus dikembalikan pada kata muqaddarah yang berupa al-thinah (tanah liat yang menjadi bahan penciptaan Adam), bukan kembali pada kata nafs. Maka, pengertian ayat menjadi “dan dari tanah liat yang menjadi bahan penciptaan Adam Allah menciptakan isterinya” (Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. IV: 11). Dengan kata lain, bahwa Hawa’ diciptakan dari bahan yang dijadikan Allah untuk menciptakan Adam. Pengertian seperti ini sejalan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang lain.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa Hawa’ tidaklah diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang selama ini diyakini oleh mayoritas mufasir khususnya, dan umat islam pada umumnya. Tetapi, ia diciptakan dari jenis bahan yang sama sebagaimana Adam diciptakan, yaitu turab. Maka, pengertian ayat dapat dipahami menjadi ‘bahwa bangsa kalian berasal dari nafs yang satu. Nafs itu diciptakan dari turâb (tanah liat)’ dan darinya Hawa’ diciptakan’.

• Rijâl dan Qawwâm: Sebuah Konstruk Sosial
Kaum perempuan, sebagaimana mitos penciptaannya, sampai sekarang masih diyakini menempati posisi yang subordinatif. Secara kultural, merekapun ditempat sebagai manusia yang harus berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Dalam istilah Jawa, mereka adalah konco ing wingking. Maka dalam praktiknya di tengah kehidupan masyarakat, seluruh pengambilan keputusan berada di tangan kaum laki-laki, baik di wilayah publik maupun domestik.
Anehnya, pandangan mengenai kesuperioritasan laki-laki seperti itu dianggap sebagai pandangan Islam. Hampir seluruh mufasir al-Qur’an, baik modern maupun klasik, mengamini pandangan tersebut. Pandangan serupa kemudian dituangkan dalam fatwa-fatwa hukum sebagaimana yang ada di dalam kitab-kitab fiqh. Di antara ayat al-Qur’an yang sering dijadikan landasan pandangan ini adalah:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwâm) bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. Al-Nisa: 1)

Berdasarkan ayat tersebut, para mayoritas mufasir meyakini bahwa kaum laki-laki di atas kaum perempuan, dan posisi ini merupakan sesuatu yang given. Yakni, bahwa Allah memang secara kodrati menempatkan dan mengunggulkan posisi kaum laki-laki di atas perempuan. Karena itu, kesuperioritasan laki-laki tidak bisa dirubah dan bersifat mutlak. Para mufasir juga menggunakan ayat lain untuk mendukung pendapatnya dengan ayat:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Pandangan mayoritas mufasir yang seperti ini tentu berlawanan dengan semangat egalitarianisme yang dibawah oleh Islam. Al-Qur’an sendiri di tempat yang lain justru meletakkan posisi yang sama antra kaum laki-laki dengan perempuan. Bahkan tidak sedikit dari hadis-hadis nabi Saw yang mendukung semangat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Coba saja kita perhatikan sabda nabi berikut (Sulaiman al-Umar, vol. I: 55):

“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan rupa kalian. Tetapi, Allah melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim)

Sementara itu, al-Qur’an mengakui persamaan status keagamaan perempuan dengan status laki-laki, sebagaimana sebagaimana status sosialnya. Maka, al-Qur’an menyatakan:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Dalam ayat itu, al-Qur’an secara tegas mengakui bahwa setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, mendapat ganjaran yang sama-sama besar. Sekecil apapun amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia, tetap mendapat balasan yang sama. Jadi, tidak ada perbedaan status sedikitpun antara laki-laki dan perempuan dalam hal ganjaran atas perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang. Masih banyak lagi ayat yang menyatakan seperti itu. Lalu mungkinkah ada kontradiksi antara ayat yang mengakui persamaan status antara laki-laki dan perempuan dengan ayat yang menyatakan kesuperioritasan laki-laki atas perempuan sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas mufasir?
Marilah kita mencermati sekali lagi ayat 34 dari surat al-Nisâ’, yang menjadi pijakan utama dalam melegitimasi posisi kaum laki-laki. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwâm) bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Dalam memahami ayat, mayoritas mufasir memaparkan bahwa ada konteks (asbabun nuzul) yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Said bin Rabi’ dinyatakan, bahwa salah seorang pemuka Anshor diumpat oleh istrinya, Habibah binti Zaid bin Zubair. Kemudian ia ditampat oleh seuaminya. Diperlakukan seperti itu, Habibah mengeluhkan kepada bapaknya, yang kemudian membawanya kepada nabi Saw. Bapaknya mengatakan: “wahai yang mulia, engkau telah mengawinkan anak saya, tetapi suaminya menamparnya.” Nabi pun menganjurkan Habibah untuk meng-qishash (membalas) suaminya. Lalu turunlah ayat tersebut. Maka, nabi pun membatalkan perintahnya kepada Habibah untuk membalas suaminya seraya mengatakan: “aku menginginkan sesuatu, tetapi Allah menghendaki yang lain. Kehendak Allah jauh lebih baik” (al-Thabari, Tafsir Surat al-Nisa’: ayat 34).
Agaknya, tindakan suami memukul para istrinya telah menjadi tradisi di kalangan para pengikut nabi. Oleh karena itu, nabi mendesak mereka untuk tidak bertindak kasar dan tidak memukul kepada istri-istri mereka. Fakhrudin al-Razi, dengan mengutip riwayat yang datang dari Umar, menyebutkan: “Bahwa kami di masyarakat Quraisy, kami para suami mampu menguasai istri-istri. Ketika kami tiba di Madinah, kami mendapati istri-istri penduduk Madinah menguasai suami-suami mereka. Setelah istri-istri kami berinteraksi dengan mereka, para istri kami ternyata mulai berani, yakni menentang suami. Maka, aku datang kepada nabi Saw dan menyatakan bahwa para istri sudah mulai berani kepada suaminya. Nabi pun kemudian mengizinkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, sekelompok perempuan berkeliling di rumah istri-istri nabi. Semua mengadukan perlakukan suaminya terhadap dirinya. Nabi berkata: “pada malam hari ada tujuh puluh perempuan yang berkeliling di rumah keluarganya. Mereka mengadukan perlakuan suami-suami mereka, yang kalian tidak mendapati yang terbaik diantara mereka. Maksudnya, bahwa orang-orang yang telah memukul istri-istri mereka tidaklah lebih baik daripada orang-orang yang tidak memukul istri-istri mereka” (Fakhruddin al-Razi, tafsir surat al-Nisa’: ayat 34).
Mencermati ilustrasi yang dipaparkan oleh al-Razi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur sosial kota Makkah mengikuti sistem patriarkal, sementara di Madinah sistem matriarkal mendominasi. Tetapi, secara kesuluruhan sistem patriarkal berlaku di masyarakat Arab. Paling tidak ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu tidak dapat mengabaikan kondisi seperti itu. Indikasi ini ditunjukkan oleh sikap nabi Saw yang cenderung menerapkan qishash dengan memberikan balasan yang setimpal kepada suami yang telah menampar istrinya sebagaimana dalam cerita tersebut di atas. Keinginan nabi adalah merubah dominasi sistem patriarkal itu sebagaimana dalam pernyataannya: “aku menginginkan sesuatu.” Tetapi, Allah berkehendak lain. Lantas, bagaimana pengertian ayat itu?
Memang harus diakui, mayoritas dalam memahami dan menafsirkan ayat tersebut masih terjebak dengan bunyi teks dan mengabaikan konteks turunnya. Hal ini yang mengakibatkan dominasi kaum laki-laki semakin kuat dan mendapat legitimasi teologisnya. Pengertian teks seolah tertutup oleh eksplisit bunyi teks, sehinga pengertian yang datang darinya tidak dapat diganggu gugat. Teks sudah berakhir dan tidak mungkin dapat dirubah, tetapi realitas sosial terus berubah seiring dengan perjalan waktu. Tarik menarik antara teks dan konteks sosial tempat dilahirkannya teks tetap menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam setiap memahami ayat.
Barangkali, Abu Hayyan dapat disebut sebagai satu-satunya mufasir yang keluar dari pakem penafsiran yang ada, khususnya dalam memahami dan menafsirkan ayat 34 surat al-Nisa’. Abu Hayyan menyadari bahwa asbabun nuzul ayat itu tidak bisa diabaikan. Karena, ia merupakan konteks yang mendorong turunnya ayat.
Kata qawwâm sebagaimana yang dipakai oleh ayat tersebut di atas merupakan kata yang digunakan untuk seseorang yang mampu melaksanakan tanggungjawab terhadap sesuatu. Dalam tradisi bahasa Arab dinyatakan: hâdza qiyâmu al-mar’ati wa qawâmuhu yang berarti orang itu yang mengurusi persoalan istri dan memberi perhatian dengan menjaganya. Kata qawwâm merupakan bentuk shighat mubâlaghah (bentuk hiperbola). Ia boleh dikatakan dengan qayyâm dan qayyam. Oleh karena itu, dalam sebuah hadis dikatakan “anta qayyâm al-samâwât wa al-ardh wa man fîhinna.” yang berarti “Engkau adalah penjaga langit, bumi dan apa saja yang ada di dalamnya.” Jadi, kata qawwâm atau qayyâm berarti orang yang mampu melaksanakan dan menjaga tanggungjawab yang dipikulnya atau diberikan kepadanya. Seseorang disebut qawwâm jika ia memenuhi kriteria tersebut.
Kata qawwâm merupakan atribut yang digunakan untuk menegaskan status rijâl. Kata qawwâm menerangkan kata rijâl. Kata qawwâm menjadi khabar dan kata rijâl menjadi mubtada’. Jadi, status rijâl diterangkan. Abu Hayyan memberikan ilustrasi yang menarik tentang keterkaitan status qawwâm pada kata rijâl. Menurutnya, seorang rijâl dapat memiliki status qawwâm jika di dalam diri rijâl tidak terpenuhi kriteria-kriteria ke-rijâl-annya. Oleh karena itu, ia manyatakan bahwa dalam struktur ayat terdapat jumlah yang muqaddarah (tersembunyi). Bunyinya adalah al-rijâlu qawwâmûna ala al-nisâ’ [in kânû rijâlan]. Jika diartikan, maka menjadi “rijâl itu adalah orang-orang yang qawwâm atas nisâ’” (Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. IV: 118) Secara tegas Abu Hayyan (vol. IV: 119) mengatakan:

“Oleh karena itu, sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat tersebut mengalami pembuangan. Taqdir-nya adalah al-rijâlu qawwâmûna ala al-nisâ’ in kânû rijâlan. Dalam puisi Arab dinyatakan: akullu imr’in tahsabanna imra’an, wa nârin tûqadu bi al-laili naran (apakah kalian mengira bahwa setiap orang itu adalah benar-benar orang, dan api yang dinyalakan di malam hari itu benar-benar api).”

Dalam kutipan tersebut di atas, Abu Hayyan mengutip sebuah puisi. Ia menegaskan bahwa seseorang yang—dalam bahasa Arab—disebut dengan umru’un atau al-mar’u bisa saja dia bukan orang dalam pengertian yang sebenarnya. Bisa saja, pada hakekatnya dia bukanlah orang, tetapi sesuatu atau benda yang dianggap orang. Begitupula nyala api yang dilihat di waktu malam bisa saja bukan api yang sebenarnya. Tetapi mungkin ia merupakan benda yang—secara kebetulan– menyala dan dianggap api. Tidak semua orang yang disebut dengan al-mar’u adalah orang dalam pengertian yang sesungguhnya, dan tidak semua benda yang disebut al-nâr adalah api yang sebenarnya. Jadi, kata al-mar’u dan al-nâr adalah sistem bunyi (lafadz) yang mengacu pada sebuah objek benda tertentu melalui sebuah mediasi pikiran (asosiasi) seseorang terhadap objek yang dilihat. Asosiasi pikiran dalam proses penamaan suatu objek (benda) tidak dapat dipisahkan dengan konteks yang melingkupi dirinya. Analisis linguistik yang seperti ini digunakan oleh Abu Hayyan dalam kaitannya memahami pengertian kata rijâl.
Kata rijâl, menurut Abu Hayyan, memiliki pengertian orang yang memiliki ketangguhan, yaitu tangguh dalam mengurusi dan menjalankan tanggungjawab. Orang yang tangguh adalah orang yang kuat. Masyarakat Arab sering mengatakan: “al-rajulu baina al-rajûliyah wa al-rajulah” yang berarti ‘seorang rajul antara kejantanan dan kelelakian’. Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengertian rajul dalam kultur bahasa Arab mengacu kepada sifat ketangguhan atau kekuatan. Maka, seseorang akan disebut rajul jika ia memiliki keunggulan atau kelebihan atas yang lain; bisa berupa kekuatan, ketangguhan, kecerdasan dan lain-lain.
Pengertian rajul seperti yang diuraikan oleh Abu Hayyan, tampaknya, bukan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Pengertian rajul pada dasarnya tidak identik dengan dan mengacu pada jenis kelamin tertentu. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya dapat disebut dengan rajul jika ia memiliki ketangguhan, kekuatan dan keungulan. Oleh karena itu, orang yang kuat berjalan kaki baik laki-laki atau perempuan, menurut kamus-kamus Arab, disebut dengan rajul atau rajîl. Orang perempuan yang memiliki ketangguhan juga disebut dengan rajulah. Bahkan dalam sebuah ungkapan dinyatakan: “kânat â’isyah radhiyallahu anhâ rajlatu al-ra’yi”. Artinya, ‘Aisyah adalah seorang yang tangguh pikirannya.’ (Abdurrazaq al-Husaini, t.t.).
Makna rajul, menurut Abu Hayyan, tidak lain adalah orang yang memiliki kekuatan. Kata itu tidak dapat diklaim dan dinisbatkan begitu saja kepada jenis kelamin tertentu; misalnya rajul berarti orang laki-laki. Pengertiannya juga tidak diidentikkan dengan bentuk fisik laki-laki. Abu Hayyan (vol. IV: 118) menyatakan:

“Yang dimaksud dengan rajul adalah orang yang memiliki ketangguhan. Tidak semata-mata orang yang memiliki jenggot. Banyak orang yang mempunyai jenggot, tetapi ia tidak bisa memberi manfaat, tidak mampu menangkal madharat dan tidak memiliki kehormatan.”

Ke-rajul¬-an seseorang bukan ditentukan oleh ciri-ciri fisik. Memang pada umumnya, kaum laki-laki memiliki jenggot, tetapi identitas kelelakian tidak ditentukan oleh jenggot. Banyak orang yang berjenggot memiliki kemampuan yang kurang. Di sini, Abu Hayyan tampaknya melakukan pembedaan antara jenis kelamin (gender) dengan kondisi atau ciri fisik-biologis. Jenggot merupakan ciri fisik-biologis yang pada umumnya lazim dimiliki oleh kaum laki-laki, tetapi tidak setiap orang yang berjenggot dapat disebut sebagai rajul. Sifat ke-rajul-an dapat dimiliki oleh siapapun, baik laki-laki atau perempuan. Atau dengan kata lain, baik laki-laki atau perempuan bisa masuk dalam pengertian rajul. Ini artinya, pengertian rajul bukan merupakan pengertian yang permanen melekat pada salah satu jenis kelamin.
Pengertian rajul berbeda dengan al-dzakar. Jika rajul lebih dimenekankan pada sifat keperkasaan atau ketangguhan yang bisa dimiliki oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, maka pengertian al-dzakar lebih mengacu pada jenis kelamin laki-laki secara fisik-bilogis; misalnya seorang laki-laki memiliki anggota tubuh tertentu (permanen) yang tidak bisa disamakan dengan perempuan. Maka, seorang laki-laki disebut dengan al-dzakar karena memang secara fisiologis mempunya buah dzakar. Jadi, pengertian rajul tidak dapat disamakan dengan al-dzakar. Atau sebaliknya, pengertian al-nisa’ disamakan dengan al-untsa atau al-mu’annats.
Pembedaan antara pengertian rajul dan al-dzakar seperti itu telah banyak diakui oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan makhluk secara berpasang-pasangan. Mereka selalu menyatakan bahwa al-dzakar (laki-laki) adalah pasangan al-untsa (perempuan), dan sebaliknya al-untsa (perempuan) adalah pasangan al-dzakar (laki-laki). Justru, mereka tidak pernah menggunakan istilah rajul adalah pasangan nisa’. Secara tegas, al-Qur’an membedakan pengertian antara al-dzakar dan al-untsa. Oleh karena itu, Allah dalam firman-Nya menyatakan: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan al-dzakar (laki-laki) dan al-untsa (perempuan).” (QS. Al-Najm: 45). Dan “Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: al-dzakar (laki-laki) dan al-untsa (perempuan).” (QS. Al-Qiyamah: 39). Bahkan dalam cerita mengenai kelahiran Maryam, al-Qur’an jelas-jelas menyatakan bahwa al-dzakar (laki-laki) tidaklah seperti aluntsa (perempuan) (lihat QS. Ali Imran: 36).
Atas dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa pengertian rajul, sebagaimana dalam ayat 34 surat al-Nisa’, mengacu pada pemaknaan sosial-kultural. Implikasinya, konsep qawwâm bisa berlaku untuk semua jenis kelamin (gender). Baik seorang laki-laki maupun perempuan, masing-masing sama-sama memiliki peluang untuk bisa menjadi qawwâm di tengah rumah tanggah jika sifat ke-rajul-an benar-benar ada dan dimiliki oleh setiap orang. Seorang rajul akan menjadi qawwâm di tengah keluarga jika ia betul-betul rajul.
Untuk menguatkan pendapat ini, Abu Hayyan bahkan mengakui bahwa ‘banyak perempuan yang mampu mengalahkan laki-laki’, karena keunggulan atau kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada seseorang sehingga ia menjadi rajul, tidak bersifat given. Tetapi, merupakan kelebihan yang diperoleh melalui keutamaan, dan tidak atas dasar kekuatan dan kekuasaan (menang-menangan). Al-Qur’an sendiri telah mengabadikan contoh keperkasaan perempuan melalui cerita seorang ratu negeri Saba’, yaitu Bilqis, sebagaimana yang terdapat dapat dalam surat al-Saba’. Cerita al-Qur’an ini merupakan fakta yang menguatkan bahwa perempuan bisa saja mengungguli laki-laki. Ini bukan merupakan satu-satunya fakta, tetapi dalam realitas sosial dapat ditemukan fakta yang sama, dan jumlahny tidak sedikit. Mungkin ini pulalah yang disadari oleh Abu Hayyan, sehingga ia mengatakan ‘banyak perempuan yang mampu mengalahkan laki-laki’. Ia tidak mengatakan ‘sedikit’.
Begitulah, al-Qur’an memberikan kelebihan tertentu kepada laki-laki atas kaum perempuan pada saat itu karena konteks sosial yang didominasi oleh sistem patriarkal. Tetapi, al-Qur’an juga menjelaskan kelebihan yang diberikan itu bukanlah bersifat inheren yang ada di dalam diri laki-laki. Atau sebaliknya, kelemahan itu inheren pada diri perempuan. Dengan demikian, masalah kelebihan yang menjadi syarat ke-qawwam-an seseorang bukan berupa kelebihan jenis kelamin.

• Epilog
Bagitulah pandangan Abu Hayyan mengenai persoalan gender. Dengan pikiran-pikirannya yang luas, ia telah memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan penuh progresif. Pembacaannya terhadap ayat-ayat telah melampaui anak zamannya. Sebuah pembacaan yang sangat jarang kita temukan dalam buku-buku tafsir, baik klasik maupun modern.
Masalah tarik menarik antara teks dengan konteks telah menjadi persoalan yang mengiringi dunia penafsiran al-Qur’an sejak dahulu sampai sekarang. Seringkali, teks selalu didahulukan, sementara konteks diabaikan—kalau tidak boleh dikatakan tidak sama sekali. Watak teks adalah bahwa ia tidak pernah berubah, sedangkan realitas selalu berubah dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Ini yang terus menjadi ketegangan: memenangkan teks atau konteks.
Barangkali, karakteristik penafsiran Abu Hayyan terhadap persoalan gender ini dapat dijadikan sebagai model dalam mensikapi persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan, yang menuntut pendasaran pada teks al-Qur’an. Abu Hayyan telah menampilkan dua cara pembacaan terhadap teks, meskipun belum tentu sepenuhnya diterapkan dalam ayat-ayat yang lain. Yaitu, memperhatikan aspek internal dan aspek eksternal teks. Aspek internal meliputi penelaahan terhadap apa-apa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Sementara aspek eksternal terkait dengan latarbelakang materiil dan spirituil yang melingkupi diturunkannya al-Qur’an.
Kita mungkin tidak pernah berpikir bahwa pada era abad pertengahan akan dapat kita temukan sosok mufasir yang progresif seperti Abu Hayyan. Anggapan yang selalu muncul adalah era klasik dan segala produk pemikirannya tidaklah semaju yang kita lihat sekarang. Pandangan seperti ini jelas lahir dari kurangnya pengetahuan dan ketidak-tahuan kita akan khazanah intelektual islam masa lalu.



Daftar Bacaan


Abd al-Hayy bin al-Imad al-Hanbali, Syudzurat al-Dzahab, vol. VI.
Abu Hayyan al-Andalusi wa al-Bahr al-Muhith, diakses dari http//www.Islamweb.net
Abu Hayyan Muhamad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Juz IV, VI dan VII.
Abu Zakaria al-Nawawi, Riyaâdh al-Shâlihîn, (t.t., t.p.).
Ahmab bin Ali bin Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kaminah fi A’yani al-Ma’iah al-Tsaminah, vol. IV.
Ahmad Amin, Zahru al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), cet. IV.
Al-Jauhari, al-Shihâh fî al-Lughah; Muhamad bin Muhamad bin Abdurazaq al-Husaini, Tâj al-Arûsy min Jawâhir al-Qâmûs.
At-Thabari, Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qurán, QS. al-Nisa’: 1, vol. VII.
Dr. Al-Husaini Muhammad al-Qahwaji, Ta’addud Ara’ Abu Hayyan fi al-Mas’alah al-Wahidah, http://www.alukah.net/articles/1/2551.aspx
Dr. Haidar Mukhtar Mahmud, al-Munasabah al-Qur’aniyah fi Tafsir al-Bahr al-Muhith. Diakses dari http://www.bishahcoll.edu.sa/portal/news.php?action=view&id=20
Dr. Mazid Ismail Na’im, Abu Hayyan al-Nahwi al-Andalusi wa Manhajuhu fi Kitab al-Irtisyaf al-Dharb min Lisan al-Arab, dalam Majalah al-Turats al-Arabi, edisi 13 dan 14, tahun ke IV, Oktober – Januari 1984.
Dr. Muhammad Ied, Ushul al-nahwi al-Arabi fi Nazhri an-Nuhat, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989).
Dr. Walid Muhammad al-Saraqibi, “Mazhahir Tsaqafah Abi Hayyan al-Andalusi fi Dhau’i Kitabihi al-Tadzyil wa al-Takmil” dalam Majalah al-Ghad, Damaskus, edisi 98, tahun ke XXV, Haizuran 2005.
Fakhrudin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib.
Ibnu Rusyd, Kasyf an Manahij al-Adillah fi Aqa’id al-Millah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 1998), cet. I.
Imam Muhammad bin Abd al-Wahab, Fadhl al-Islâm, Vol. I.
Imam Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyâf, Vol. I.
Jalaluddin al-Suyuthi, Bughyat al-Wu’at, vol. I.
Jamal Musthafa al-Najjar, al-Tafsir bi al-Ra’yi (Kairo: Mathba’ah al-Husain al-Islamiyah, 1998).
Muhamad bin Abi Bakar bin Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Radd al-Wafir, ditahkik oleh Zuhair al-Syawisy (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1393 H), cet. I, vol. I.
Muhamad bin Abi Bakar bin Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Radd al-Wafir, vol. I.
Muhamad bin Abi Bakar bin Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Radd al-Wafir, vol. I.
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi (Beirut: Markaz Dirasat Wihdah al-Arabiyah, 1990), cet. III.
Thabrani, Musnad al-Syâmiyyîn, hadis no 1652. Redaksi lain juga dapat dilihat misalnya, Syekh Nashir bin Sulaiman al-Umar, al-Hikmah, vol. I.
www.iu.edu.saeduthanawi1usultafsir4.htm.mht