01 Juli, 2009

Keniscayaan Sebuah Perbedaan

Oleh: M. Faisol Fatawi

 Tak satupun dari isi jagat raya ini diciptaan Tuhan dalam bentuk yang sama. Sejarah penciptaan makhluk di muka bumi mencatat perbedaan itu. Nabi Adam diciptakan tidak sendirian, namun ditemani seorang wanita nan cantik jelita Hawa’. Ada laki-laki dan perempuan, yang kurus dan gemuk, yang pemurah dan pemarah, yang pandai dan bodoh, dan begitu seterusnya. Dalam spesies binatang pun kita mengenal berbagai macam jenisnya; juga ada yang jantan dan betina, yang keras dan lembut, dan lain-lainnya. Demikian pula dapat kita temukan dalam dunia tumbuh-tumbuhan. Semua itu merupakan kodrat perbedaan yang tidak bisa kita hindari. Sampai kapanpun kodrat tersebut tidak bisa dirubah oleh siapapun dan apapun jenis kekuatan yang digunakan, karena --memang itu-- merupakan bukti kekuasaan Tuhan.
 Dalam bahasa agama, perbedaan dikenal dengan kata al-ikhtilaf. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: “perbedaan umat adalah rahmat” (Ikhtilafu al-Aimmah Rahmah). Kalau istilah tersebut ditempatkan secara berhadap-hadapan, maka dapat diartikan dengan Zaujain (berpasangan). Dalam al-Qur’an Allah menegaskan: “Dialah Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan kamu dari jenis kamu sendiri berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak berpasang-pasangan pula, dan Dia menjadikan kamu berkembang biak melalui jalan itu” (as-Syura: 11).
 Meski manusia diciptakan dalam jenis dan bentuk yang berbeda-beda; sampai-sampai berbeda dalam --dengan meminjam istilah bahasa Jawa-- “watak, watuk, wahing” nya, namun antara satu sama yang lain tidak harus memendam rasa iri-hati. Justru dengan perbedaan itu manusia dapat melangsungkan hidupnya. Bahkan atas dasar perbedaan itulah, kita semua dapat menjalankan amanat tuhan sebagai khalifatullah di muka bumi ini. 
 Perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan, mengisyaratkan kepada kita betapa tanpa perbedaan itu masing-masing tidak dapat melangsungkan kebutuhan sehari-harinya termasuk kebutuhan biologisnya yang pada giliran selanjutnya mengosongkan arti sebuah hidup dan kehidupan yang mereka jalani. Dengan perbedaan antara yang kaya-miskin, lemah-kuat, petani-konglomerat, dan lain-lainnya, seluruh proses kehidupan akan berlangsung, hidup dan berkembang. Bagi Allah menciptakan makhluk dalam satu warna (dalam pengertian yang seluas-luasnya) adalah sebuah perbuatan yang sangat mudah, namun hal itu tidak Dia lakukan supaya dengan wujud yang berbeda-beda manusia berlomba-lomba menuju kebajikan atau kebaikan (al-Maidah: 48).
 Dalam ayat lain --dan ini merupakan ayat yang paling laris digunakan dalil oleh setiap da’i-- ditegaskan “Wahai manusia, Kami (Tuhan) menciptakan kalian menjadi laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian saling mengenal” (al-Hujurat: 13). Ayat itu seringkali digunakan dalam konteks dan wilayah yang sempit. Arti lafad Lita’arafu yang kalau dalam bahasa kita diterjemahkan dengan “supaya kalian saling mengenal” kurang dimengerti dalam pengertiannya yang luas dan filosofis. Saling mengenal atau mengerti tidak berarti antara satu dengan lainnya sekedar mengenal atau mengerti dengan menafikan rahasia di balik perkenalan itu sendiri; untuk apa mengenal dan apa yang dilakukan setelah mengenal. Inilah kenapa Allah tidak menggunakan istilah “Lita’lamu” dalam ayat tersebut.
 Abu Hilal al-Askari, salah seorang intelektual muslim yang hidup di penghujung abad keempat hijriah, membedakan antara makna kata Alima dan Arafa. Meskipun sama-sama mempunyai arti mengetahui, mengenal atau mengerti, namun makna Arafa lebih luas dan detail dibanding dengan makna Alima. Kata Alima merujuk pada arti pengenalan menurut sisi luarnya saja tanpa mengerti detail-detail yang dikenali, sedangkan kata Arafa mengacu pada arti pengenalan secara detail, menyeluruh dan mendalam. Dalam ayat al-Hujurat: 13 tersebut, sebenarnya dengan saling mengenal antara suku satu dengan yang lain, bangsa satu dengan bangsa lainnya atau kaum laki-laki dengan perempuan, kita diajak untuk mengenal dan memahami eksistensi (keberadaan) dan identitas masing-masing sehingga betul-betul mengerti posisi, hak dan kewajiban masing-masing, baik pada tingkat hubungan antara manusia dengan Tuhannya (Hablumminallah) dan antara manusia dengan manusia yang lain (Hablumminannas). Karena itu, mengapa kemudian dalam kamus tasawuf dikenal istilah “Arif billah”, yaitu seorang hamba yang sudah mencapai derajat paling tinggi sehingga mengerti Tuhannya, bukan istilah “Alim billah”.
 Sebetulnya semua manusia menginginkan hal yang sama: perdamaian, keadilan, persaudaraan, persamaan derajat, pemuliaan martabat manusia, kemerdekaan, dan sebagainya. Melalui ciptaan yang berbeda-beda, Tuhan menyerukan kepada manusia untuk memakmurkan dunia; antara yang satu dengan yang lain saling memahami dan bersama-sama mengisi kehidupan ini dengan keseimbangan, saling pengertian, menghormati hak dan kewajiban sesama. Bukan malah --dengan perbedaan itu-- saling memaksa, menindas atau bahkan merampas yang lain. 
 Kenyataan perbedaan tersebut tidak hanya meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi dan politik belaka, bahkan aspek yang paling sensitif pun, yaitu agama atau kepercayaan. Perbedaan keimanan yang dianut oleh semua manusia di dunia juga merupakan kodrat alami (baca: sunnatullah) yang harus diakui keberadaannya. Maka seseorang tidak pantas menyandang predikat “Makhluk Tuhan” apabila menafikan perbedaan keimanan tersebut. Lalu makhluk siapa? “Maka carilah Tuhan selain Aku”, mungkin itulah jawab Tuhan dalam sebuah hadis Qudsi. Atau bahkan dalam sebuah firman-Nya: “Kalau saja Tuhanmu menghendaki semua orang yang ada di muka bumi ini beriman, maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka semua beriman” (Yunus: 99).
 Meskipun pembicaraan tentang perbedaan (al-Ikhtilaf) dalam al-Qur’an disebut berkali-kali, namun nyatanya kita masih terjebak pada budaya pemaknaan yang formal. Pemahaman tentang perbedaan masih dilihat dalam ukuran hitam-putih dan salah-benar, sehingga kalaupun dapat melihat perbedaan, ujung-ujungnya kita masih menyudutkan setiap yang berbeda dengan diri kita. Masih untung kalau penyudutan itu tidak ditindak-lanjuti dengan kekuatan. 
 Apabila kehidupan ini tidak ingin dipenuhi oleh api pertiakaian dan peperangan, maka memahami arti sebuah perbedaan harus ditempatkan sebagai sebuah sunnatullah. Kita berbeda (baik agama, suku, etnis, ras, budaya, tradisi dan seterusnya) bukan berarti meniadakan keberadaan dan identitas yang lain. Meskipun kita berbeda, namun masih sama-sama berstatus sebagai hamba Tuhan yang diperintahkan untuk memakmurkan dan mengelola bumi, tidak untuk saling beradu otot. Ketika Tuhan tidak menciptakan seluruh makhluknya dalam warna yang berbeda-beda, meskipun diri-Nya sendiri mampu, lalu mengapa kita musti ngotot untuk menyeragamkannya? Dengan perbedaan itulah hidup dan kehidupan senantiasa berlangsung, dan dalam perbedaan itulah terkandung tanda-tanda kebesaran Tuhan (ayatullah). Mungkinkah kita akan mengingkarinya?.[MFF] 
 

0 komentar: