02 Juli, 2009

Pesantren, Penerjemahan dan Post-Kolonialisme

Oleh: M. Faisol Fatawi


“Siapa yang menguasai bahasa suatu kaum, maka ia akan selamat dari makar¬-nya” Diktum ini mengingatkan kepada kita betapa pentingnya menguasai bahasa suatu kaum. Karena, dengan mengerti bahasa suatu kaum, seseorang tidak akan terpedaya oleh si pemilik bahasa. Ini artinya, bahwa bahasa itu tidak saja berfungsi menjadi alat komunikasi, tetapi juga menjadi sarana untuk mengelabui, menipu atau bahkan menguasai.
Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, penguasaan bahasa tetap menjadi kunci utama. Kaum penjajah di Indonesia, mulai dari Belanda, Portugis sampai Jepang, semua menjadikan bahasa sebagai modal penting untuk menaklukkan masyarakat setempat. Dengan menguasai bahasa Indonesia, kaum penjajah memperdaya penduduk hingga jatuh ke dalam cengkramannya.
Di era sekarang ini, penjajahan seperti yang pernah dialami oleh masyarakat Indonesia berabad-abad mungkin sudah tidak ada. Namun penjajahan melalui penguasaan bahasa tetap ada. Salah satu media yang digunakan adalah menerjemah (baca : relasi kuasa pengetahuan). Ini sering dikaitkan dengan munculnya era kolonialisme baru (post-kolonialisme) setelah hilangnya model kolonialisme secara fisik. Kolonialisme tidaklah berakhir dengan berakhirnya pendudukan kolonial. Ada resistensi psikologis-kultural-pengetahuan yang muncul akibat kolonialisme. Jadi, ada dampak kolonial yang inklusif, baik mengenai peristiwa historis dari pertemuan kolonial maupun perpisahannya di antara episode-episode dan fragmen-fragmen dari suatu sejarah yang masih dalam proses.
Wacana post-kolonialisme lahir dari anti-humanisme postrukturalisme dan ilmu kemanusiaan baru, suatu pandangan kekuasaan Barat sebagai simptom epistemologi dan pedagogi Barat. Wacana ini pertama kali diperkenalkan dalam dunia sastra. Ashcroft dan kawan-kawan menunjukkan bahwa sastra dan teori post-kolonialisme memiliki dua concern utama, yaitu dominasi-subordinasi dan hibriditas-kreolisasi. Dominasi dan subordinasi merupakan sebuah hubungan yang tidak hanya terjadi antar-negara atau antar-etnis, tetapi juga dalam sebuah negara atau dalam suatu etnis tertentu. Hibriditas mengacu pada sutau penciptaan format-format transkultural baru di dalam zona-hubung produk kolonialisasi. Sementara kreolisasi menekankan bahasa sebagai sebuah praktik kultural dan penciptaan bentuk-bentuk ekspresi baru yang penting bagi bahasa itu sendiri.
Post-kolonialisme dapat dilihat sebagai resistensi teoritis terhadap amnesia yang membingungkan akibat penjajahan. Ia merupakan sebuah proyek disipliner yang dicurahkan untuk menunaikan tugas akademik guna menilik-ulang ; mengingat-ulang, dan secara krusial menyelidiki masa lalu kolonial. Proses kembali ke masa kolonial menyingkapkan suatu hubungan antagonisme dan hasrat resiprokal antara penjajah dan yang dijajah. Masa lalu kolonial tidaklah merupakan waduk dari sederetan pengalaman dan praktik-praktik politik yang harus diteorisasikan dari prospektif yang objektif dan tercerahkan tentang masa kini. Tetapi, sekaligus merupakan serangkaian aktifitas diskursif dan konseptual yang intens, yang ditandai oleh banyaknya pemikiran dan tulisan tentang identitas kultural dan politis dari subjek-subjek terjajah.
Dalam studi-studi post-kolonialisme disebutkan, bahwa menerjemah tidak saja dianggap sebagai proses transfer pengetahuan secara murni, tetapi juga menjadi cara untuk meng-objek-an atau mencitrakan sesuatu. Ketika seseorang menerjemahkan suatu kata, maka ia tidak sekedar mencarikan padanannya. Tetapi ia, secara sadar atau tidak, memasukkan atau mengurangi medan-medan makna yang dikandung oleh kata aslinya. Di sini, bahasa bukan sekedar alat untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan sesuatu, tetapi mendefinisikan. Dan dengan demikian, bahasa menjadi seuatu yang kompleks, yang di dalamnya akan dapat ditemukan cermin budaya sosial suatu masyarakat. 
Douglas Robinson dalam kajiannya mengenai terjemah dan pengaruh kolonialisme menyebutkan, bahwa terjemah telah menjadi corong untuk meng-objek-kan, mencitrakan dan bahkan mendefinisikan identitas budaya masyarakat yang dijajah. Robinson memberikan contoh apa yang dilakukan oleh Belanda di Hindia. Menurutnya, bahwa orang-orang Belanda telah menjadikan terjemah sebagai praktik kolonialisme. Mereka telah menerjemahkan praktik kekerasan yang ada di belahan negeri ini dengan diktator, dan menggantinya dengan hukum-hukum demokrasi. Praktik kekerasan bagi masyarakat Hindia bukanlah tradisi yang membahayakan, tetapi oleh Belanda dianggap membahayakan : tidak membahayakan bagi masyarakat Hindia dan membahayakan bagi Belanda. Begitulah, terjemah oleh Belanda dijadikan sebagai praktik untuk mengubah medan semantik suatu pengertian secara epistemik dan paradigmatis.

Meneguhkan Peran Sosial-Intelektual Pesantren 
Jika kita mencermati pendidikan yang paling indigenous di Indonesia, maka tentulah pesantren menjadi wujud nyatanya. Pesantren adalah satu-satunya institusi pendidikan yang memiliki akar kuat dalam masyarakat, dan merupakan khas Indonesia.
Kata pesantren terdiri dari gabungan kata pe, santri dan akhiran an, yang berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri berasa dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara itu, menurut sebagian yang lain, istilah santri berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang mengetahui dan paham tentang buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang pengetahuan.
Sejak pesantren ada, peran institusi pendidikan yang satu ini tidak bisa diabaikan. Pesantren dengan sangat mengesankan telah berhasil melakukan transformasi sosial di sekitarnya dari segala bentuk kemungkaran menuju kesalehan, keharmonisan, kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Peran seperti itu menjadi suatu keniscayaan bagi pesantren sebagai institusi yang dilahirkan atas kehendak dan kebutuhan masyarakat.
Paling tidak ada dua hal yang dapat ditemukan pada pesantren sebagai institusi pendidikan yang khas, yang berbeda dengan institusi pendidikan yang lainnya. Pertama, sistem pendidikan di pesantren dijalankan secara otonom atau beridiri sendiri. Tidak ada bentuk penyeragaman antara pesantren yang satu dengan yang lain. Bahkan tidak ada campur tangan dari pihak luar.
Kedua, semangat non matrialisme atau non komersialisme dalam pengelolahan pendidikan. Sebagai institusi pendidikan, pesantren tidak mematok biaya pendidikan yang sangat mahal sehingga tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Masalah biaya pendidikan tidak begitu penting. Justru, saat institusi pendidikan yang lain melambungkan biaya pendidikan, pesantren malah tidak terpengaruh sedikitpun, yakni tetap mematok biaya yang murah. Oleh karena itu, tak heran jika pesantren disebut sebagai institusi pendidikan yang ‘merakyat’.
Agaknya, kekhasan seperti itu yang dimiliki pesantren memiliki pengaruh yang cukup nyata bagi kalangan santri didiknya. Tidak adanya semangat non matrialisme dalam pengelolahan pesantren, secara tidak langsung, menumbuhkan sebuah semangat agung, yaitu melakukan transformasi keilmuan dan pengetahuan. Bahwa tujuan utama pendidikan adalah melakukan perubahan sosial, dengan dimulai dari diri sendiri, melalui transfer keilmuan. Pendidikan untuk pengetahuan dan bukan pendidikan untuk materi.
Sementara itu, ketiadaan campur tangan dari pihak luar dalam pelaksanaan pendidikan pesantren, telah menumbuhkan etos kemandirian bagi masyarakat pesantren itu sendiri. Kemandirian ini dapat mendorong santri didik pesantren dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol terhadap masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dengan jelas pada peran masyarakat pesantren dalam menumbuhkan kontrol sosial-politik terhadap pemerintah.
Begitulah, pesantren telah memainkan peran yang sangat besar dalam sejarah pencerdasan bangsa. Pesantren benar-benar tidak sekedar menjadi institusi yang berfungsi menjalankan pendidikan dan penyadaran santri dan masyarakat sekitar, tetapi lebih dari itu menjadi representasi kultur masyarakat tradisional yang unik, terpisah dari dunia luar dan mempunyai karakteristik sendiri. 

Pesantren Sebagai Pusat Penerjemahan
Pesantren dan terjemah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya bagaikan anak kandung dalam melakukan transformasi sosial dan pembangunan peradaban manusia. Baik terjemah maupun pesantren, masing-masing mempunyai peran yang menonjol dalam transformasi pengetahuan. menjadi pelopor untuk mengobarkan semangat tersebut, dan menjadi pusat-pusat penerjemahan.
Di pesantren, kegiatan menerjemah bukan berarti tidak ada. Kegiatan menerjemah di pesantren pada umumnya telah berjalan bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Dalam menyampaikan pelajaran, seorang kiai biasanya membaca dan memaknai kitab kuning yang gundul di hadapan para santri didiknya. Dengan kitab kuning yang sama, para santri mendengarkan sambil memaknai sebagaimana yang dibacakan sang kiai, dengan huruf Arab pegon.
Di luar kebiasaan itu, kadang santri diwajibkan untuk mengikuti model belajar baca kitab yang biasanya disebut dengan ‘ngaji sorogan’. Dalam ngaji sorogan ini, seorang santri dituntut belajar memaknai ‘kitab gundul’ secara mandiri. Hasilnya dibacakan di hadapan sang kiai untuk ditashih ketepatan arti (memaknai) dan status gramatikalnya. Namun betapapun demikian, semua itu berjalan secara lisan. Artinya, bahwa kegiatan menerjemah di pesantren lebih cenderung dipraktikkan secara lisan ketimbang dijalankan dalam bentuk tulisan yang bisa dinikmati oleh khalayak pembaca. Menerjemah dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa yang baku masih langka, sehingga kalaupun toh seorang santri mampu membaca dan memaknai kitab kuning dengan fasih, ia masih mengalami kegagapan atau hambatan untuk mengungkapkannya kedalam bahasa sasaran dalam bentuk tulisan.
Bagaimanapun juga, menerjemah adalah ketrampilan. Dalam kemampuan terjemah ada unsur bakat. Tetapi, bakat saja tidak bisa membantu banyak manakala perangkat untuk menerjemah itu sendiri tidak dimiliki. Perangkat yang dimaksud adalah bahasa. Yaitu, penguasaan bahasa, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
Penguasaan bahasa tidak hanya sekedar menguasai perangkat dasarnya saja, seperti tata bahasa (nahwu-shorof) dan sebagainya. Agar mampu menerjemah dengan baik, seseorang harus melatih dan membiasakan diri. Hal ini mengingat menerjemah itu melibatkan kemampuan untuk memahami bahasa sumber di satu sisi, dan kemampuan untuk merekonstruksi bahasa sumber kedalam bahasa sasaran di sisi lain. 
Dalam sejarah perkembangan peradaban umat manusia, kegiatan penerjemahan merupakan pilar atau sendi penting. Sebuah peradaban yang ingin terus maju, musti menjadikan kegiatan penerjemahan sebagai salah satu bidang utama dalam peradabannya. Hal ini karena dengan menerjemah, transfer keilmuan atau pengetahuan bisa dilakukan. Melalui kegiatan penerjemahan, rahasia ilmu pengetahuan dari suatu bangsa dapat dikembangkan kepada bangsa-bangsa yang lain. Menerjemah merupakan tuntutan sebuah peradaban.
Peran penerjemahan dalam membangun peradaban dapat dilihat secara nyata dalam sejarah panjang perkembangan umat islam. Sejarah islam mencatat, bahwa masa khalifah al-Makmun merupakan tonggak yang sangat menentukan bagi kejayaan peradaban islam abad tengah. Dalam mewujudkan ‘ambisi’-nya untuk memajukan peradaban umat islam, khalifah al-Makmun memerintahkan kepada para ilmuan pada saat itu untuk menerjemahkan berbagai karya para intelektual Yunani. Bahkan demi kepentingan semua itu, sang khalifah membangun perpustakaan khusus yang—dalam catatan sejarah—dinamai dengan bait al-hikmah. Di dalam pepustakaan ini, para penerjemah bekerja mentranslit karya-karya berbahasa Yunani, bahkan Persia dan Hindia. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh penerjemah yang terkenal, seperti Hunain bin Ishaq, Yuhana ibn Masawaih, Abdul Masih bin Na’imah al-Himsi, Ibn Muqaffa, Yahya bin al-Bithriq, dan lain-lainnya.
Konon, keputusan khalifah al-Makmun untuk melakukan kegiatan penerjemahan secara massif tersebut didasarkan pada mimpi. Suatu ketika khalifah al-Makmun bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki berpakaian putih. Laki-laki itu duduk di atas singgasana khalifah al-Makmun. Kemudian al-Makmun bertanya: “siapa kamu?”. Laki-laki itu menjawab: “Aku Aristoteles.” Lalu khalifah al-Makmun bertanya lagi: “Wahai sang filsof, aku ingin bertanya apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu menjawab: “baik itu adalah apa yang baik menurut akal”. “Kemudian apa lagi?”, tanyanya kembali. Laki-laki itu pun menjawab: “apa yang baik menurut sayari’at”. Khalifah al-Makmun pun masih mengajukan pertanyaan lagi: “lalu apa lagi, hai sang filsof?” laki-laki itu menjawab: “apa yang baik menurut kebanyakan orang (jumhur)”.
Terlepas dari cerita tersebut, yang jelas kegiatan penerjemahan itu dilatarbelakangi oleh dua hal. Yaitu, motifasi praktis dan kultural. Secara praktis, pada saat itu bangsa Arab-Islam butuh untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis bisa membantu untuk meringankan urusan yang terkait dengan kepentingan umat islam. Ilmu-ilmu itu adalah kimia, kedokteran, fisika, matematika, astronomi dan lain sebagainya.
Sementara itu, di kalangan umat islam saat itu ada kebutuhan untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan semisal Persia, Yunani, dan Hindia untuk menguatkan sistem hukum islam dan menangkal akidah yang datang dari luar islam. Perjumpaan antara tradisi Arab-islam dengan tradisi-tradisi di luarnya, pada titik tertentu, melahirkan pertentangan atau bahkan mempengaruhi kehidupan keberagamaan umat islam. Demi kepentingan itu, maka dibutuhkan pengetahuan yang mampu membentengi diri dari pengaruh-pengaruh negatif atau serangan kultur dari luar. Penerjemahan buku Logika karya Aristoteles misalnya, ditengarai dimaksudkan untuk tujuan itu.
Kini, zaman khalifah al-Makmun sudah berlalu. Pengaruh nyata atas kegiatan penerjemahan tersebut telah disaksikan oleh sejarah. Yang jelas, dengan diawali kegiatan penerjemahan itulah, peradaban islam mengalami puncak kejayaan dan dikenal di belahan dunia. Bahkan pada perkembangan selanjutnya peradaban islam—menurut sebagian pendapat—jauh lebih penting dibanding dengan peradaban Cina dan Hindia, karena peradaban islam inilah yang kemudian menjadi sumber ilmu pengetahuan Barat. Beberapa abad kemudian, orang-orang Eropa mengenal tulisan-tulisan Arab, dan menerjemahkannya kedalam bahasa Latin. Ilmuwan muslim seperti al-Kindi, Ibnu Sina (Avicena), Ibn Rusyd (Averrous), al-Khawarizmi, al-Ghazali dan al-Biruni, telah menjadi bahan rujukan bagi orang-orang Barat.
Fenomena kegiatan yang serupa juga dapat kita temukan pada bangsa Jepang. Jepang pada masa kebangkitannya telah mempelajari dan menerjemahkan berbagai buku-buku Barat dengan penuh semangat. Semangat penerjemahan itu lahir didorong oleh isi proklamasi Tennoo 6 April 1868 yang berbunyi “mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyak mungkin untuk pembangunan negara”. Maka, beratus-ratus pemuda dikirim oleh Jepang untuk belajar ke Eropa. Kemudian mereka menerjemahkan ratusan buku. Buku-buku hasil terjemahan itu dipelajari kembali—khususnya—oleh mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan Barat. Hasilnya, Jepang pun tampil menjadi negeri raksasa teknologi dan ekonomi, yang tak kalah dengan negara-negara maju lainnya.
Sebagai institusi pendidikan yang sudah eksis berabad-abad, pesantren dituntut untuk mampu berdialok dengan zaman. Kini, zaman terus berubah. Arus modernisasi dan globalisasi telah memasuki nafas kehidupan umat. Bahkan mempengaruhi cara berpikir dan pandangan hidup mereka. Di tengah ketertinggalan keilmuwan dan pengetahuan umat islam seperti sekarang ini, pesantren dituntut harus tetap menjadi lokomotif pembangunan peradaban manusia. 
Sejarah terus berjalan. Tetapi, tidak salah jika kita menjadikan sejarah itu sendiri sebagai guru yang paling berharga dalam kehidupan. Agama mendorong umat manusia untuk belajar dari sejarah. “Waltandzur nafsun ma qaddamat lighad”. Jika sejarah mebuktikan bahwa kegiatan penerjemahan telah menjadi pilar terpenting dalam pembangunan peradaban umat manusia, maka tidak salah jika pesantren menjadi pelopor untuk mengobarkan semangat penerjemahan, dan bahkan menjadi pusat-pusat bagi kegiatan penerjemahan tersebut. 
Meskipun tradisi membaca kitab kuning menjadi ikon yang tidak dapat dipisahkan dengan dunia pesantren, namun memberikan bekal skill menerjemah kepada para santri juga merupakan hal yang sangat penting. Membaca kitab kuning merupakan tradisi lisan (oral tradition). Kelemahan tradisi ini sebagai wahana transfer pengetahuan adalah jangkauannya terbatas pada audien yang hadir. Sementara dengan skill menerjemah seorang santri diharapkan dapat mentransfer pengetahuan melalui media tulis-menulis sehingga dapat dinikmati oleh khalayak luas, lebih-lebih di era kemajuan teknologi dan informasi seperti ini. Untuk itu, memasukkan skill menerjemah sebagai kurikulum pesantren menjadi kebutuhan ”mendesak”. 
Dengan menjadikan tradisi menerjemah sebagai tradisi ilmiah, pesantren tidak saja menjalankan peran dan fungsinya untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan. Tetapi, pesantren telah melakukan proses mengembalikan citra dan identitas tentang dirinya (sebagai penjaga dan pemelihara ajaran Islam). Dengan lain kata, pesantren telah menjadikan Islam sebagai subjek (fa’il) dan bukan objek (maf’ul) dalam mendefinisikan dan mencitrakan dirinya. Peran seperti ini dapat dilakukan pesantren lebih mudah karena pesantren telah menjadi gudang pengetahuan agama Islam yang paling nyata.[MFF]

0 komentar: