03 Juli, 2009

Sekolah Unggulan, Bukan Segalanya

Oleh: M. Faisol Fatawi

Tahun ajaran baru sekolah telah tiba. Menjadi kebiasaan, bahwa di sana-sini ribuan calon siswa sibuk mencari sekolah-sekolah favorit (unggulan). Dengan berbekal nilai akhir ujian Nasional, mereka menyerbu dan mendaftarkan diri untuk diterima menjadi siswa di sekolah yang menjadi pilihannya; memburu sekolah favorit atau sekolah RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasiol). Setiap calon siswa dan orang tuanya berharap-harap cemas.
Para pengamat pendidikan mempredeksikan, bahwa pada tahun ini sekolah-sekolah negeri atau sekolah RSBI akan kebanjiran siswa baru. Tingginya minat siswa untuk masuk ke sekolah negeri unggulan (seperti SMP atau SMA RSBI) menjadi ancaman serius bagi sekolah-sekolah swasta, khususnya sekolah kelas menengah ke bawah. Bahkan lebih jauh lagi, sekolah tersebut dikhawatirkan tidak mendapatkan siswa alias ‘tutup usia’.
Di beberapa tempat menunjukkan bahwa para pendaftar telah melebihi kuota meskipun meskipun pagu online yang dikeluarkan oleh pihak Diknas di masing-masing kota belum dikeluarkan. Tetapi sebaliknya, meskipun pendaftaran sudah dibuka, sekolah-sekolah pinggiran tetap saja sepi dari pendaftar. Jika ini yang terjadi, maka dapat dipastikan persaingan di sekolah-sekolah negeri atau sekolah RSBI sangat ketat. Nilai ujian akhir nasional menjadi taruhan yang nyata. Dapat dipastikan, yang nilai UAN-nya menengah ke bawah akan tersingkir dengan sendirinya. Lalu kemana mereka yang tidak lolos itu? Tentu mereka akan masuk ke sekolah-sekolah yang tingkatnya berada di bawah sekolah-sekolah unggulan itu.
Dapat dikatakan, bahwa antusisme masyarakat untuk memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah unggulan atau sekolah RSBI, baik swasta maupun non swasta, merupakan wujud penyakit baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gejala ini terjadi sebagai akibat dari sistem pendidikan kita yang terlalu melebihkan aspek nalar yang cenderung positifistik; tingkat kecerdasan dan kelulusan diukur dengan nilai dan angka-angka. Bahwa lulusan sebuah lembaga pendidikan diharuskan memiliki standar konpetensi yang nyata; lulus sekolah harus siap kerja sesuai dengan bidang yang digeluti. Pendidikan kita seolah menanamkan nilai kepada peserta didik bahwa nasib hidup hanya bisa ditentukan dengan nalar dan nilai yang tinggi.
Sekolah-sekolah unggulan atau RSBI bukanlah segalanya. Kesuksesan peserta didik (siswa) tidak hanya ditentukan melalui sekolah unggulan. Setidaknya, ada tiga faktor yang menentukan kesuksesan seorang siswa dalam belajar. Pertama, pihak keluarga. Keluarga merupakan kunci utama dalam membentuk dan mendidik karakter dan pengetahuan seorang anak. Perhatian seorang ayah atau ibu sangat dibutuhkan dalam rangka memberikan dorongan dan rangsangan ilmu pengetahuan bagi anak. “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Sesungguhnya, orang tuanyalah yang dapat menjadikannya beragama Yahudi, Nasrani dan atau Majusi,” demikian dalam sebuah hadits dinyatakan. Jadi bagaimanapun juga, rumah adalah tempat pertama dan utama bagi seorang anak.
Kedua, lingkungan masyarakat. Masyarakat memiliki pengaruh yang tidak kalah penting dibanding dengan lingkungan keluarga di dalam mendidik anak. Lingkungan masyarakat dapat memberikan kontrol sosial bagi perilaku setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Tak jarang, karena lingkungan masyarakat yang baik, seseorang yang semula berperilaku jelek menjadi pribadi yang baik. Tetapi sebaliknya, seringkali seseorang yang dibesarkan dalam keluarga yang baik berubah menjadi jelek karena salah pergaulan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, nabi Saw dalam sebuah sabdanya menyatakan: “[Lihatlah] tetangga sebelum [mendirikan] rumah.”
Ketiga, guru atau para pendidik. Guru adalah seorang yang mengajari dan mentransfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Tugas utamanya, mengarahkan murid menjadi orang yang mengetahui. Guru menjadi tambatan bagi murid dalam pengetahuan sesuai dengan bidangnya. Ia bertanggungjawab atas pengetahuan siswa di sekolah.
Ketiga faktor tersebut di atas, mempunyai peran penting dalam mencetak pendidikan seorang siswa yang unggul. Keterkaitan antara faktor-faktor tersebut menjadi sebuah keniscayaan dalam keberlangsungan sebuah pendidikan. Dengan kata lain, kualitas sebuah pendidikan hanya dapat diwujudkan jika setiap pihak (keluarga, masyarakat dan guru) menyadari fungsinya masing-masing, dan menjadikannya sebagai satu bagian yang saling terkait.
Sebagian orang mungkin tidak menunjukkan greget terhadap maraknya sekolah-sekolah unggulan atau RSBI seperti yang dapat disaksikan sekarang ini. Sikap seperti ini dilatarbelakangi oleh sebuah anggapan bahwa suksesanya siswa dalam menempuh ujian akhir nasional atau mahirnya seorang peserta didik, tidak karena faktor guru, tetapi karena para siswa yang masuk ke sebuah sekolah unggulan memang sudah memiliki kemampuan sebelumnya. Artinya, jika para siswa mampu meraih prestasi, maka itu bukan karena gurunya. Anggapan ini mungkin juga ada benarnya.
Di sisi lain, kita dapat melihat kurangnya perhatian orang tua terhadap pendidikan anaknya. Dalam arti, bahwa orang tua seringkali menganggap urusan pendidikan berada di tangan seorang guru. Seluruh tanggungjawab pendidikan diserahkan kepada guru. Kesuksesan seorang siswa ada di tangan guru. Orang tua tidak lagi mau tau urusan pelajaran anaknya di rumah. Seiring dengan itu, masyarakat juga acuh tak acuh terhadap lingkungan di sekitarnya. Masyarakat sekarang cenderung hidup individual, tidak mau perhatian dengan orang lain.
Oleh karena itu, seyogyanya orang tua siswa memberikan perhatian dan melakukan fungsi kontrolnya terhadap perkembangan pengetahuan dan perilaku anaknya pada saat di rumah; tidak menyerahkan begitu saja pada pihak guru. Sementara lingkungan sosial harus dijadikan sebagai ‘rumah’ kontrol bersama antar anggota masyarakat, dan seorang guru menjalankan fungsi dirinya sebagai orang yang metransfer ilmu pengetahuan serta sekaligus memberikan uswah bagi mereka. Maka, komunikasi antara orang tua, guru dan masyarakat menjadi sebuah keharusan.
Bagi mereka yang tidak terjaring di sekolah-sekolah unggulan atau favorit, baik negeri maupun swasta, tidak usah gusar dan khawatir. Pendidikan tidak hanya ditentukan oleh guru (sekolah yang unggul), juga tidak saja oleh lingkungan keluarga, serta tidak juga hanya oleh lingkungan masyarakat. Laiknya sebuah tanaman. Tanpa perhatian pemiliknya, sebuah tanaman tidak akan dapat tumbuh dengan baik. Tanaman itu tidak akan tumbuh subur jika ditanam tidak pada tempatnya. Pupuk pun tidak berguna, jika tanaman itu tidak pernah dirawat dengan baik. Untuk menjadikan tanaman yang baik sehingga dapat menghasilkan hasil yang unggul, maka dibutuhkan perhatian pemiliknya, tempat yang layak dan pupuk yang secukupnya.[MFF]

1 komentar:

Dewasa ini, tidak sedikit pendidikan (baca: sekolah) yang masih menganggap siswa bagaikan kertas kosong yang bebas untuk ditulisi apa saja semua gurunya. Bahkan, hal ini kebanyakan dilakukan sekolah-sekolah yang nota bene “dianggap” unggul oleh sebagian kalangan. Sekolah unggul inilah yang akan mencetak siswa menjadi “seragam”, yang ujung-ujungnya ketika di akhir tahun pelajaran dapat lulus ujian nasional dan memperoleh nilai yang bagus pula. Namun, di balik kesuksesan kelulusan tersebut, ternyata belum mampu mengantarkannya untuk menghadapi kenyataan dan pelbagai problem sosial dalam hidupnya. Memang, benar apa yang ditulis Saudara M. Fasiol, bahwa Sekolah unggul, bukanlah segalanya!!!. Yang perlu mendapat perhatian lebih dan dikembangkan adalah bagaimana sekolah tersebut mampu membentuk pribadi yang unggul , bukan sekolahnya yang unggul.


Sesungguhnya setiap anak dilahirkan cerdas dengan membawa potensi dan keunikan masing-masing yang memungkinkan mereka untuk menjadi cerdas. Howard Gardner menyatakan terdapat delapan kecerdasan pada manusia yaitu: kecerdasan linguistik/verbal/bahasa, kecerdasan matematis logis, kecerdasan visual/ruang/spasial, kecerdasan musikal/ritmis, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Tugas orangtua dan pendidik-lah mempertahankan sifat-sifat yang menjadi dasar kecerdasan anak agar bertahan sampai tumbuh dewasa, dengan memberikan faktor lingkungan dan stimulasi yang baik untuk merangsang dan mengoptimalkan fungsi otak dan kecerdasan anak.
Pada prinsipnya, tidak ada dua individu yang memiliki kecerdasan sama. Suatu individu mengaku belajar lebih baik dengan satu cara tertentu, sebagian yang lain mengaku bisa belajar dengan cara yang lain pula. Setiap orang memiliki gaya belajar yang unik. Tidak ada suatu gaya belajar yang lebih baik atau lebih buruk daripada gaya belajar yang lain. Tidak ada individu yang berbakat atau tidak berbakat. Setiap individu secara potensial pasti berbakat—tetapi ia mewujud dengan cara yang berbeda-beda. Tidak ada individu yang pintar, individu yang bodoh. Ada individu yang cerdas secara logika-matematika, namun ada juga individu yang cerdas di bidang kesenian. Pandangan-pandangan baru yang bertolak dari teori Howard Gardner mengenai inteligensi ini telah membangkitkan gerakan baru pembelajaran, antara lain dalam hal melayani keberbedaan gaya belajar pebelajar. Suatu cara pandang baru inilah yang mengakui ke-unik-an setiap individu manusia.