05 Juli, 2009

Nabi Muhammad dan Pilpres Kita

Oleh: M. Faisol Fatawi

Pilpres tinggal menghitung hari. Batas waktu kampanye masing-masing calon sudah habis. Dalam masa tenang tidak diperkenankan setiap calon untuk melakukan kampanye, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Masyarakatpun sudah tidak lagi dapat menyaksikan kampanye, baik lewat media cetak, televisi maupun media elektronik yang lain.
Selama kampanye, masing-masing calon presiden dan calon wakilnya memaparkan visi, misi dan program kerja yang hendak dijalankan jika terpilih. Program yang ditawarkan beraneka ragam, mulai dari pengentasan kemiskinan, pemberantasan korupsi, ekonomi kerakyatan, bahkan sampai pengucuran dana (modal) bagi masyarakat bawah. Semuanya masih bersifat janji, tawaran atau bahkan sekedar iming-iming supaya para pemilih di negeri ini mau memilih sang calon. Semua tawaran program itu masih berada pada level ‘andai saya jadi’ dan bukan merupakan realitas yang sesungguhnya.
Melihat kenyataan seperti itu, saya jadi teringat pada cara iklan dalam menawarkan sebuah produk atau para penjual barang dagangan di pasar yang menawarkan kepada calon pembeli. Orang seringkali tertipu dengan tawaran-tawaran dan iklan-iklan itu. Hakekat barangnya tidak sesuai dengan apa yang diilustrasikan atau ditawarkan lewat iklan. Pada titik ini, kita telah menyaksikan kampanye pilpres tak ubahnya seperti ajang iklan yang—semoga—tidak banyak tipuannya ketimbang dengan realitas yang sesungguhnya.
Siapapun yang bakal mendapat simpati dan terpilih dalam pilpres kita harus membuka pintu hati lebar-lebar untuk legowo. Tetapi, kita musti hati-hati dalam menjatuhkan pilihan. Karena, pilihan yang kita lakukan dalam waktu yang sangat singkat dapat menentukan nasib bangsa ini—minimal 5 tahun ke depan. Yang pasti, siapapun yang jadi dan program kerja apapun yang dijanjikan, tidak akan berdampak apa-apa dalam membangun dan mengentaskan bangsa ini dari berbagai keterpurukan dan permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini sehingga terjadi perubahan ke arah yang lebih berperadpan yang humanis, tanpa ia memiliki karakter kepemimpinan yang kuat dan baik.
Di sini, saya jadi teringat dengan sosok kepemimpinan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dalam melakukan perubahan sosial di tanah Arab melalui agama Islam. Ada beberapa karakter kepemimpinan yang mustinya kita meneladaninya dari baginda nabi. Pertama, sikap kejujuran (shiddiq). Setiap insan harus bersikap jujur. Jujur berarti melakukan dan berkata sesuai dengan kenyataan, tidak melakukan kebohongan baik terhadap diri sendiri, individu maupun publik. Lawan dari sikap ini adalah hipokrit alias munafik. Nabi tidak pernah melakukan kemunafikan. Justru kemunafikan harus dijadikan sebagai musuh bersama, dan kejujuran harus dijadikan sebagai sahabat sejati dalam seluruh relung kehidupan setiap umat manusia.
Kedua, sikap berani menyampaikan kebenaran (tabligh). Yakni, menyampaikan sesuatu sesuai dengan kebenaran fakta yang ada, tanpa ditutup-tutupi. Penyampaian kebenaran juga tidak boleh dibarengi dengan tendensi atau maksud yang menguntungkan diri sendiri. Semua apa yang disampaikan harus sesuai dengan kemaslahatan publik. Pesan kebenaran harus disampaikan agar masyarakat publik mengerti apa yang sebenarnya. Dalam bahasa sekarang, inilah yang disebut dengan keterbukaan.
Ketiga, dapat dipercaya (amanah). Dalam segala hal, setiap orang harus dapat dipercaya. Seorang pelaku bisnis misalnya, ia akan sukses dalam menjalankan bisnisnya manakala ia mendapat kepercayaan dari mitra bisnisnya. Kepercayaan atau yang biasa dikenal trust menjadi urgen dalam kesuksesan setiap orang. Dalam hal kepemimpinan, seorang pemimpin harus menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Karena, jika tidak maka berarti mengkhianati mereka yang telah memilihnya untuk menjadi pimpinan.
Keempat, memiliki kecerdasan (fathanah). Kecerdasan mutlak dibutuhkan oleh setiap calon pemimpin. Karena berangkat dari kecerdasan, seorang pemimpin akan dapat melakukan upaya-upaya untuk menjalankan roda kepemimpinan dan memberikan pelayanan kepada orang-orang yang dipimpin, termasuk di dalamnya memberikan solusi atas berbagai persoalan yang sedang mereka hadapi.
Terkait dengan poin yang terakhir ini mungkin kita bisa belajar dari sikap Rasulullah Saw pada saat menyelesaikan masalah perselisihan para sahabat ketika saling berebut untuk meletakkan hajar aswad di Ka’bah. Beliau menyuruh para sahabat untuk membeber sorban dan meletakkan hajar aswad di atasnya, lalu diangkat bersama-sama. Di sini, nabi begitu cerdas dalam menyelesaikan perselesihan, dan memberikan solusi yang dapat diterima oleh semua sahabat sehingga perdebatan dapat disudahi. Menyelesaikan persoalan tidak didasarkan pada kepentingan pribadi; kecerdasan tidak untuk mengelabuhi orang lain.
Keempat hal sebagaimana yang disebutkan di atas, menjadi pilar terpenting yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Pilar-pilar ini menjadi prinsip yang harus dijalankan oleh setiap orang di tengah kehidupan sosial. Setiap orang harus berpegang pada dan menjalankan sifat shiddiq, tabligh, amanah dan fathonah, karena setiap diri kita adalah pemimpin. Pemimpin bagi dirinya sendiri. Dan kepemimpinan musti dibentuk dan dimulai dari diri sendiri. “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpimnya.”
Alangkah indahnya sikap yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw. Pada zaman sekarang ini, kita tidak mudah mencari sosok pribadi seperti yang dicontohkan oleh kanjeng nabi itu. Untuk menjadi seperti itu, kita butuh komitmen moral untuk selalu melakukan proses penyadaran diri dan proses internalisasi nilai-nilai profetik yang luhur. Itulah akhlak kenabian yang harus kita warisi.
Siapapun yang jadi presiden negeri ini, tentu kita tidak ingin menyaksikan pemimpin-pemimpin yang munafik. Yang kita harapkan adalah pemimpin yang jujur dan amanah. Semakin banyak pemimpin-pemimpin yang munafik, tidak jujur dan amanah di muka bumi ini, maka—menurut beberapa sabda kanjeng nabi Saw-- tanda-tanda kiamat semakin nyata; kiamat semakin dekat. Menurut saya, kiamat di sini tidak harus dipahami sebagai kiamat yang sesungguhnya, yaitu berakhirnya jagat raya selama-lamanya. Tetapi, rusaknya tatanan masyarakat, bangsa dan negara, sehingga melahirkan kekacauan dan dekadensi dalam segala bidang kehidupan. Kita berharap, semoga Pilpres yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi tidak melahirkan pemimpin-pemimpin yang hanya bisa mengkhianati amanat rakyat. [MFF]

1 komentar:

gimana nich boss, blognya kok msh konvensional banget, keto'e perlu blogwalking..tuk belajar blogdesain