28 Juli, 2009

Mewaspadai 'Pragmatisme Keberagamaan'

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam cerita ajaran kaum sufi dinyatakan, bahwa seorang syeikh agung mengajarkan rahasia shalat kepada para murid-muridnya. Sang guru mengatakan: “Manusia mampu menjalankan shalat hanya sampai batas kemampuannya. Jika ia mengajar shalat melalui buku-buku atau seminar, maka ia tidak akan mampu memahami atau ambil bagian dari shalat dalam keadaan yang sebenarnya.”
Kemudian sang guru itu menambahkan: “Seseorang yang belajar shalat, dan yang meneruskan penerangannya dapat melampaui bagian tersebut kepada orang lain. sehingga ia juga dapat belajar serta mengembangkan shalat dalam dirinya. Shalat yang tertulis tidaklah berarti.”
Uraian ajaran kaum sufi tersebut mengingat kita pada maraknya pelatihan shalat khusyu’ yang akhir-akhir ini menjadi trend baru dalam kehidupan keberagamaan Islam. Tengoklah, spanduk, brosur dan bahkan iklan pelatihan shalat khusyu’ ada dimana-mana. Dengan uang pendaftaran dalam jumlah tertentu dan waktu yang sudah ditentukan, seseorang diajak untuk melakukan pelatihan shalat khusyu’. Dan anehnya, banyak pula orang tertarik dengan pelatihan-pelatihan seperti ini. Lantas, setelah mengikuti pelatihan dapatkah seseorang menjalankan shalat secara khusyu’?
Menurut kaum sufi, sebagaimana tersebut di atas, shalat merupakan pengalaman praktis yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang menjalankan shalat (mushalli). Shalat tidak hanya cukup di lisan atau sebatas dikatakan saja. Pengalaman shalat menjadi pengalaman batini (gnostik) sehingga tidak dapat dirasakan oleh mereka yang tidak menjalankannya. Oleh karena itu, belajar shalat berarti menjalankan shalat itu sendiri. Uraian atau penjelasan tentang shalat yang seringkali kita temukan tidak dapat mewakili tentang hakekat shalat. Untuk dapat mencapai derajat shalat yang khusu’ dibutuhkan pengamalan shalat secara terus-menerus. 
Shalat khusyu’ melibatkan proses batin yang bersifat sangat individual. Khusyu’ merupakan kondisi ketenangan batin. Jika shalat dapat diibaratkan dengan aktifitas komunikasi dengan Tuhan, maka proses komunikasi itu hanya dapat berjalan lebih efektif jika dilangsungkan dalan kondisi yang tenang. Di dalam shalat yang khusyu’ hanya ada dzikir (mengingat) kepada Allah. Kelengahan hati untuk lupa sejenak dalam shalat dapat merusak ke-khusyu-an shalat. Orang yang selalu mampu menghadirkan Tuhan (dan bukan yang lain) dalam shalatnya inilah yang disebut al-Qur’an sebagai mukmin yang beruntung.
Iman dan khusyu’ memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Karena, seseorang akan disebut mukmin yang sungguh-sungguh atau yang dalam al-Qur’an disebut dengan “ula’ika humul mu’minuna haqqa”, jika—salah satunya—mampu meng-khusyu’-kan kondisi jiwanya ketika menjalankan shalat. Iman bukan sekedar pernyataan secara lisan, peneguhan dalam hati dan pengamalan rukun-rukun agama, tetapi kondisi batin yang selalu menghadirkan Allah di dalam setiap nafas dan hidup seseorang. Ketika ia lengah, maka dalam kondisi seperti itu ia tidak dalam keadaan iman. Jadi, iman itu datang dan pergi selih berganti tergantung komitmen dan kontrol batin seseorang. Begitu pula khusyu’, ia datang dan pergi tergantung komitmen dan kontrol batin seseorang yang sedang menjalan shalat. Ini artinya, bahwa kondisi khusyu’ itu layaknya iman; kadang bertambah dan kadang menipis atau kurang (al-iman yazidu wa yanqushu). Maka, untuk mencapai kondisi khusyu’ dalam shalat diperlukan proses batin yang terus-menerus.
Gejala pelatihan shalat khusyu’ belum pernah kita temukan sebelumnya. Dalam teks-teks keagamaan pun tidak ditemukan panduan pelatihan shalat khusyu’. Hal ini karena shalat—sekali lagi—melibatkan kontak batin antara hamba dengan Tuhannya. Di sini, seseorang butuh pada cara mengkonsentrasikan batin. Pelatihan shalat khusyu’ tidak lain adalah melatih konsentrasi batin agar dapat fokus, dan bukan shalat khusyu’ itu sendiri. Melatih batin agar dapat konsentrasi merupakan satu hal, dan melatih diri agar dapat menjalankan shalat dengan khusyu’ merupakan hal lain. Dua hal ini tidak dapat disamakan.  
Pelatihan shalat khusyu’ muncul karena budaya pragmatisme kehidupan di tengah gempuran globalisasi. Di tengah budaya global, setiap individu dituntut untuk hidup serba instan dan praktis. Seorang individu tidak ingin bersusah payah untuk menggapai suatu yang diinginkan atau dituju. Budaya seperti ini merembes ke dalam cara seseorang dalam menjalankan agama. Inilah yang mungkin dapat saya sebut dengan pragmatisme keberagamaan. Pelatihan shalat khusyu’ menebarkan imajinasi kepada siapapun tentang trik-trik praktis yang dengan mudah seseorang mampu menjalankan shalat yang khusyu’; bahwa ke-khusyu’-an dapat diperoleh melalui forum pelatihan. Cara berpikir seperti ini berbahaya karena hanya akan melahirkan model berpikir yang dangkal (syathhiyah); pendangkalan pemahaman keagamaan. Bukankah beragama (baca: menjalankan shalat) membutuhkan proses komitmen batin yang terus-menerus sehingga melahirkan pemahaman yang mendalam? Maka benar apa yang diajarkan kaum sufi itu, bahwa ternyata shalat tidak cukup diajarkan lewat seminar atau forum-forum pelatihan.[mff]

0 komentar: