15 Juli, 2009

Menyoal Moralitas Iklan ‘Sekolah Gratis’

Oleh: M. Faisol Fatawi

Iklan pendidikan gratis yang secara gencar disosialisasikan oleh pemerintah (baca: Mendiknas) telah memberikan harapan baru bagi para orang tua yang hendak memasukkan anaknya ke sekolah. Dengan cukup meyakinkan, iklan yang dibintangi oleh “Muslimah” (seorang guru perempuan dalam film Laskar Pelangi) tersebut memberikan pesan akan adanya sekolah yang tidak dipungut biaya. Siapapun jangan pernah punya niat untuk tidak menyekolahkan anak atau saudaranya karena alasan keterbatasan biaya. Karena, sekarang sekolah tidak membutuhkan biaya alias gratis. 
Namun kenyataannya, pesan sekolah gratis tersebut tidak sesuai dengan apa yang diiklankan. Di beberapa kota, masyarakat yang menyekolahkan anaknya tetap saja harus merogoh kocek yang cukup besar. Sekolah tetap saja harus membayar. Tentunya, fakta ini tidak sesuai dengan kenyataan iklan yang disampaikan. 
Dalam tradisi praktek bahasa kita, pengertian gratis berarti mendapatkan sesuatu dengan tanpa dipungut biaya. Sesuatu yang diperoleh secara gratis tidak menuntut pengeluaran uang. Jadi, pengertian gratis tidak menuntut adanya biaya macam apapun, baik biaya itu kecil maupun besar. Oleh karena itu, sangat wajar jika iklan pendidikan gratis seyogyanya dipahami sebagai pendidikan secara cuma-cuma dengan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun.
Pendidikan gratis seperti diiklankan ternyata tidak sepenuhnya gratis. Berdasarkan data di lapangan, pemerintah melalui Mendiknas memberikan subsidi untuk biaya pendidikan berkisar antara 300-an ribu sampai 400-an ribu bagi setiap siswa. Subsidi ini hanya mencakup beberapa hal saja yang terkait dengan biaya sekolah. Tidak dapat meng-cover semua hal. Akibatnya, dalam beberapa hal pokok yang menyangkut pendidikan biaya setiap siswa ditanggung oleh pemerintah (sebesar subsidi yang diberikan), dan selebihnya dibebankan kepada pihak siswa. 
Jika kenyataan dari pengertian pendidikan gratis seperti tersebut di atas, maka itu artinya bahwa tidak ada pendidikan gratis di negeri ini yang sepenuhnya gratis, gratis dan gratis. Dalam kasus iklan pendidikan gratis ini, pemerintah telah melakukan ‘politisasi’ makna gratis. Pengertian bantuan biaya pendidikan diolah sedemikian rupa sehingga mengalami perubahan makna. Gratis yang dimaksud tidak lain adalah pemberian subsidi atau bantuan biaya dari pihak pemerintah. 
Memang, dalam subsidi terdapat pengertian gratis yang berarti memberikan sesuatu tanpa menuntut pengembalian dari pihak yang diberi. Tetapi, antara pengertian gratis dan subsidi tidak dapat disamakan. Keduanya memiliki perbedaan arti yang sangat esensial. Maka di sini, iklan gratis pendidikan dapat dikatakan sebagai bentuk permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini dilakukan dalam rangka mencari bahasa lain dari pengertian kata subsidi. 
Efek pemaknaan dari penggunaan kata ‘subsidi’ dan ‘gratis’ adalah kekerasan wacana atau yang dalam tradisi ilmu kritis-dekonstruksionis disebut dengan ‘imperialisasi’ wacana. Dalam pengertian kata ‘subsidi’ tersirat keterbatasan pihak pemberi. Sementara kata ‘gratis’ mengisyaratkan keunggulan kemampuan pihak pemberi. Kata ‘subsidi’ menyimpan kesan inferioritas dan superioritas sekaligus: keduanya selalu berada konteks yang tidak menentu. Sedangkan kata ‘gratis’ memastikan kesan superioritas, sehingga ketika dikatakan pendidikan gratis maka kesan yang ditampilkan adalah bahwa pihak pemberi menjadi berada di atas angin; mampu menanggung biaya pendidikan secara cuma-cuma. 
Iklan pendidikan gratis kita selama ini menanamkan nilai yang buruk bagi generasi bangsa, yaitu kebohongan. Seyogyanya iklan itu disampaikan secara terang-terangan tanpa harus mengatakannya dalam bentuk gratis. Apa salah dan susahnya jika iklan pendidikan gratis itu disampaikan dengan bahasa subsidi: negara telah memberikan bantuan biaya untuk pendidikan. Toh, kenyataan di lapangan yang terjadi tidak ada sekolah gratis dalam pengertian yang sesungguhnya. Masih saja ada biaya-biaya yang lain, yang memberatkan pihak siswa. 
Tentu, iklan pendidikan gratis itu tidak etis bagi anak negeri ini. Pesan yang diiklankan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya; lebih mencerminkan adanya kepentingan politik. Oleh karena itu, kita harus berani berkata jujur kepada diri kita sendiri dan generasi bangsa. Atau mungkin kita akan membangun bangsa ini dengan ketidak-jujuran?[MFF]

0 komentar: