25 Juli, 2009

Pesan Perdamaian dalam Shalat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Shalat merupakan pilar kedua dalam rukun Islam. Jenis ibadah ini pertama kali disyari’atkan ketika Rasulullah Saw di-isra’-kan dari masjidil haram menuju masjidil aqsha, kemudian di-mi’raj-kan menuju shidratil muntaha untuk bertemu dengan Tuhan. Dalam perjalanan semalam inilah, nabi mendapat perintah untuk menjalankan shalat. Semula beliau diperintahkan shalat sebanyak 50 kali dalam sehari, tetapi pada akhirnya berubah menjadi 5 kali.
Mahmud Muhammad Thoha dalam bukunya risalah Shalah menyebutkan bahwa shalat mrupakan tasyri’ yang paling agung, yang bisa mendidik indvidu bebas untuk mencapai kebebasan mutlaknya adalah shalat. Ia adalah sarana untuk menuju sebuah maqam yang menghubungkan antara individu dengan Tuhannya, sebuah pertalian yang sempurna dan menyeluruh. Sebuah sarana yang membebaskan individu dari segala keterikatan “duniawi”.
Dimensi paling urgen yang membedakan jenis tasyri’ shalat dengan tasyri’-tasyri’ yang lain adalah dimensi penghambaan. Shalat berarti menunjukkan ketidakberdayaan diri sendiri (individu) di hadapan Dzat yang Mutlak; upaya keras (mujahadah) untuk menggapai ridho kepada Allah, karena kalau kita tidak dapat menggapainya, kita tidak akan diridhoi oleh-Nya. Ridha kepada-Nya ini merupakan pintu masuk pada penghambaan.
Melalui pintu masuk penghambaan itu, kemampuan kita dilatih untuk mengendalikan secara mutlak dorongan watak yang mengarah pada kealpaan terhadap-Nya. Maka segala kejujuran kita di hadapan-Nya pada saat bertawajjuh, dengan sendirinya, menuntut kita untuk melakukan apa saja yang menjadi kehendak-Nya.
Shalat merupakan cara bersikap untuk bergaul dengan Tuhan tanpa lengah dari-Nya, dan bergaul bersama makhluk tanpa menyakiti dan disakiti. Shalat berarti tidak saja mendekatkan diri kepada Allah, namun mendidik diri sendiri untuk mencapai kesadaran individu yang merdeka, yang tidak terputus dari otentisitas dan individualitasnya. Ia merupakan kunci untuk mencapai sikap konsisten dan jiwa yang sehat dalam bertindak membangun peradaban umat manusia.
Perdamaian di tengah masyarakat tidak akan ada di dunia ini kecuali apabila setiap individu bisa berdamai dengan diri sendiri. Seorang individu tidak akan dapat berdamai dengan diri sendiri kecuali apabila dia dapat berpikir sesuai dengan yang ia kehendaki, berkata sesuai dengan yang dia pikirkan, serta bertindak seperti apa yang ia katakan. Kemudian dampak dari tindakannya selalu baik bagi masyarakat. Siapa yang mampu berdamai dengan diri sendiri, dialah individu bebas. Dengan shalat, setiap individu dapat berdamai dengan drinya sendiri.
Agar manusia tidak dirampas oleh kebebasannya sendiri, masih menurut Mahmud Muhammad Thaha, ia harus pandai menjalankan kebebasannya. Manusia yang bebas adalah mereka yang pandai dalam menjalankan kebebasannya. Setiap individu dipandang pandai menjalankan kebebasannya apabila mampu memenuhi kewajibannya. Orang yang mampu memenuhi hak kebebasan itu tidak lain adalah orang yang pandai dalam menjalankan ibadah.
Barangkali, makna hakiki shalat seperti itulah yang seharusnya ditemukan dalam firman Allah Swt: “Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan kejih dan munkar.” Tetapi sayangnya, kita seringkali menemukan shalat hanya dijadikan sebagai ajang ‘pelarian’ sementara atau sekedar ‘kedok’ untuk menarik simpati. Shalat itu pada hekekatnya merupakan sarana untuk mendamaikan diri sendiri dengan Tuhan, dan dari situ berdamai dengan segala ciptaan-Nya. Dan perdamaian hanya bisa diwujudkan dari diri-diri yang damai.[mff]

0 komentar: