19 Juli, 2009

Tafsir Sosial atas Isra' Mi'raj

Oleh : M.Faisol Fatawi

Isra’ Mi’raj adalah salah satu peristiwa penting yang menyertai perjalanan dakwah nabi Muhammad Saw. Dalam peristiwa ini, beliau diperjalankan dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha, kemudian dari sana diangkat ke langit yang paling tinggi (sidrat al-muntaha) dan kembali lagi ke tempat semula dalam waktu semalam. Peristiwa tersebut mengundang perdebatan sekaligus keraguan di kalangan masyarakat Arab saat itu. Bagaimana mungkin Muhammad bisa melakukan itu?, sungguh tidak masuk akal!, itulah barangkali sanggahan keraguan yang dilontarkan oleh para pemimpin kafir-Quraisy. Wal hasil, para kafir-Quraisy pun tidak mempercayainya. Sikap keraguan juga sempat muncul dari sahabat dekat beliau. Satu-satunya sahabat beliau yang pertama kali mempercayainya adalah Abu Bakar –yang karena pembenarannya terhadap peristiwa tersebut ia lantas mendapat julukan as-Shiddiq.
Perdebatan serupa juga muncul di kalangan umat islam kemudian. Perdebatan itu muncul bukan berkaitan dengan substansi kejadian, yaitu apakah peristiwa Isra’ Mi’raj ini benar-benar terjadi?, namun hanya berkenaan dengan apakah nabi di-isra’-mi’raj-kan dengan roh dan jasadnya sekaligus atau rohnya saja. Maka muncullah dua pendapat, pendapat pertama menyatakan bahwa nabi di-isra’-mi’raj-kan dengan jasad dan rohnya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh mayoritas umat islam. Kedua, pendapat yang meyakini bahwa beliau ber-isra’-mi’raj dengan rohnya saja.
Yang terpenting bagi kita, terlepas dari perdebatan yang terjadi di kalangan umat islam tersebut, bahwa peristiwa itu sampai kini terus di[ber]maknai dan diperingati oleh umat islam, baik lewat serangkaian acara dan haflah maupun tradisi ritual lainnya. Ini menunjukkan bahwa peristiwa tersebut cukup memiliki signifikansi tersendiri dalam praktek keberagamaan umat islam: kita berusaha mengambil sari ibrah darinya untuk dimanfaatkan dalam prilaku keseharian sebagai seorang yang beragama.
Di mata mayoritas umat islam, peristiwa Isra’ Mi’raj dipandang sebagai peristiwa spektakuler yang kejadiannya ditujukan untuk membuktikan eksistensi Muhammad sebagai seorang nabi atas kekuasaan Allah. Agaknya makna inilah yang sering ditonjolkan dalam hampir setiap peringatan, dan selalu diulang-ulang. Menurut hemat penulis, menonjolkan dimensi makna Isra’ Mi’raj sebagai mukjizat kenabian semata hanya akan berujung pada persoalan metafisis, tidak pernah menyentuh makna di balik apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat tempat beliau berdakwah, sehingga pesan sosial dan signifikansinya bagi kehidupan sosial hilang. Sampai sini, kemudian peristiwa tersebut menjadi a historis: cerita tentangnya diulang terus-menerus seolah-olah peristiwa itu terjadi di luar poros sejarah kemanusiaan.
Membaca pesan sosial dari peristiwa Isra’ Mi’raj, kita musti tidak dapat melepaskannya dari konteks sosial masyarakat Arab saat itu. Karena konteks inilah yang menjadi –dengan meminjam istilah Immanuel Kant— syarat-syarat kemungkinan (condition of possibility) terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj. Tanpa kondisi sosial peristiwa tersebut tidak memiliki arti apa-apa dan mungkin tidak akan terjadi. Realitas (masyarakat Arab) yang berada di luar kejadian peristiwa inilah yang menjadikan kita dapat mencerna dan memahami rasionalitas makna peristiwa itu.
Sudah maklum, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada saat nabi berdakwah di kota Makkah. Dalam catatan sejarah islam dinyatakan, bahwa kota Makkah pada saat nabi Muhammad Saw mendakwahkan risalah Tuhan (Islam) merupakan pusat kota perdagangan sekaligus pusat tempat sesembahan masyarakat Arab. Sebelum menjadi kiblat umat Islam, bangunan Ka’bah menjadi gudang patung sesembahan masyarakat Arab dari segala penjuru jazirah, lebih-lebih kaum kafir-Quraisy. Lebih dari seratus buah patung, berikut jenis dan bentuknya, ada di dalam Ka’bah dan sekitarnya. Di halaman Ka’bah itu pula berbagai macam patung sesembahan diperjualbelikan.
Melihat kondisi masyarakat seperti itu, Muhammad Abed Aljabiri (1989) berpendapat bahwa dakwah nabi Muhammad Saw. dengan “semboyan” dakwah la ilaha illa alloh-nya tentu saja mempunyai dampak ekonomis. Dikatakan demikian, karena menerima semboyan dakwah tersebut berarti harus siap menjauhi dan melepaskan diri dari praktek penyembahan terhadap patung. Semakin banyak orang yang menerima dakwah nabi, maka semakin banyak orang yang meninggalkan penyembahan terhadap patung. Sebagai konsekwensi dari semakin berkurangnya orang yang tertarik pada patung semsembahan adalah sedikitnya mereka yang membeli patung, dan ini tentu akan mengurangi omset penjualan. Di sini dakwah nabi tentu saja akan dapat mengancam kepentingan para penjual patung. Atas dasar pertimbangan itulah, dakwah nabi Muhammad Saw tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk kota Makkah saat itu, bahkan malah mendapat tekanan keras dari kalangan tokoh Quraisy semisal Abu Jahal dan Abu Lahab, karena dapat mengancam kepentingan mereka.
Seiring dengan itu, lahir kelompok masyarakat elit (superior). Kelas ini diwakili oleh para tuan tanah, pemilik perkebunan di daerah Hijaz dan sekitarnya, pemilik modal, properti, dan bentuk kapital yang lain. Kelas kepentingan ini dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan shanadid al-Quraisy atau aristokrat Quraisy (Khalil Abdul Kariem, 1993).
Kelas shonadid al-Quraisy (kelas masyarakat superior) memainkan peran penting di tengah masyarakat dalam menentukan kebijakan publik. Mau tidak mau mereka yang tidak mampu menjadi hamba-hamba pengabdi harus tunduk pada kelas pemegang sentra produksi: menjadi tukang kebun, pegawai pengrajin, pembantu rumah tangga (budak), pesuruh, dan lain sebagainya. Kelas ini selalu hidup di bawah jaminan, tekanan, dan semena-mena tuannya. Apabila dakwah nabi itu membawa risalah persamaan hak, pemerataan kekayaan, persaudaraan, dan keadilan dengan tauhid sebagai payungnya, tentu bertentangan dengan kenyataan masyarakat, khususnya penduduk kota Makkah. Buktinya, justru di tengah masyarakat Makkah-lah nabi mendapat perlakukan lebih kejam. Bahkan dapat dibilang dakwah nabi di kota Makkah kurang sukses.
Mencermati situasi sosial masyarakat Arab seperti itu, peristiwa Isra’ Mi’raj dapat dibilang hadir sebagai simbol perlawanan kultural (counter of culture) atas menggejalanya budaya yang serba materialis-hedonis. Gejala ini dapat dilihat pada penuhanan dan penjualan patung. Melanggengkan penyembahan patung tidak lain adalah mempertahankan kepentingan individu tertentu untuk menguasai sentra perdagangan: memperkaya diri dengan harta yang bergelimang untuk dapat memainkan kebijakan publik. Siapa yang kaya itulah yang akan dijunjung dan dihormati, bahkan didengar petuahnya oleh masyarakat. Dengan kekayaan melimpah segala yang menjadi keinginannya dapat terpenuhi. Inilah hukum yang berlaku di tengah masyarakat Arab saat itu.
Budaya materialis-hedonis hanya mengantarkan seseorang pada realitas yang mati, kering, dan kaku, karena segala yang ada di sekitarnya selalu diukur dengan materi, tidak lebih dari itu. Spiritualitas dan mentalitas mereka pun serba materialistik. Ini yang menyebabkan nurani mereka tumpul, dan sensibilitas nurani kemanusiaannya mati kutu, sehingga mereka cuek atas segala problem kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masyarakat.
Untuk menyembuhkan spiritualitas dan mentalitas yang serba materialis-hedonis itu, diperlukan sebuah terapi spiritual. Barangkali meminjam istilah ilmu Psikologi, spiritual healing (penyembuhan spiritual). Terapi ini berguna untuk mengembalikan dan membangun kembali kesadaran nurani kemanusiaan yang telah mati tertimbun puing-puing materi dan kekayaan. Setidaknya, hasil lawatan nabi dalam Isra’ Mi’raj adalah perintah melakukan sholat lima waktu. Dan terapi spiritual itulah dapat dibilang sebagai salah satu manfaat dan fungsi dari ritual sholat itu.
Peristiwa Isra’ Mi’raj itu sudah berlalu. Tetapi tidak salah kalau kita menghadirkan dan mengendapkannya dalam lubuk terdalam untuk selalu memperbaharui mentalitas, spiritualitas, dan kesadaran kita akan segala persoalan kemanusiaan yang sedang terjadi di tengah masuarakat. Mungkin mentalitas dan kesadaran kita sudah tercemari oleh budaya materialais-hedonis sehingga kita tidak dapat keluar dari krisis kemanusiaan yang berkepanjangan sebagaimana yang dapat kita saksiakan di negeri ini.[MFF]

0 komentar: