Oleh: M. Faisol Fatawi
Dalam ortodoksi Islam, pengertian nabi dan rasul dipahami secara berbeda. Rasul adalah seorang hamba yang mendapat wahyu dari Allah dan sekaligus turunkan kepadanya syari’at untuk diajarkan kepada umatnya. Sementara nabi didefinisikan sebagai orang yang diberi wahyu oleh Tuhan tetapi tidak diberi syari’at untuk diajarkan kepada umatnya. Martabat kerasulan dan kenabian berakhir seiring dengan wafatnya baginda Muhammad Saw. Dengan kata lain, sepeninggal baginda Muhammad Saw tidak ada lagi orang yang bisa mengaku dan dianggap sebagai rasul dan nabi. Pengertian seperti ini telah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat Islam.
Namun demikian, Ibnu Arabi, seorang sufi agung yang sangat terkenal dalam dunia Islam, meyakini bahwa kenabian masih bisa berlanjut. Menurut Ibnu Arabi, nabi itu dibagi menjadi dua; pertama kenabian khusus dan kedua kenabian umum. Kenabian khusus adalah kenabian yang disertai dengan syari’at, sedangkan kenabian umum adalah kenabian yang tidak disertai syari’at. Jenis kenabian yang pertama (yang khusus) sudah berakhir, sementara jenis kenabian yang kedua (yang umum) belum berakhir. Jenis kenabian yang terakhir masih terus berlangsung sampai hari kiamat.
Ibnu Arabi lantas menjelaskan, bahwa kematian baginda Muhammad Saw tidak dapat memutus tugas malaikat Jibril untuk menyampaikan ilham kepada orang-orang terpilih. Mereka adalah wali-wali dan ulama-ulama Allah. Allah mengilhamkan kepada mereka yang terpilih berbagai rahasia dan berita samawi. Dari mereka terpancar pengetahuan ilahi mengenai segala yang ada di jagad raya, supaya umat manusia tidak tersesat dalam kegelapan.
Meskipun penjelasan Ibnu Arabi ini tampak keluar dari pemahaman ortodoksi, tetapi ia relatif dapat diterima dan dinalar dengan jelas. Kita mungkin masih teringat dengan sebuah hadits nabi yang sering diulang-ulang secara terus-menerus, yang menyatakan bahwa “Para ulama adalah pewaris para nabi.” Predikat menjadi ‘pewaris nabi’ bagi para ulama bukan berarti para ulama akan menjadi nabi sebagaimana kenabian baginda Muhammad; tidak dalam pengertian kenabian yang khusus—sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Arabi—yang bersifat final. Status menjadi ‘pewaris’ musti dipahami sebagai kedekatan martabat. Para ulama menjadi pewaris nabi dalam hal kondisi (ahwal), tindakan (fiil), perkataan (qaul) dan pengetahuan (ilm). Seorang nabi menjadi panutan, pembimbing dan penunjuk jalan bagi umatnya. Dengan cara yang sama, para ulama musti menjadi panutan, penunjuk jalan dan pengganti (khalifah) nabi atas umatnya.
Seorang ulama semestinya menganjurkan orang-orang untuk belajar, dibimbing dan dituntun menuju jalan yang benar. Ia menganjurkan umatnya untuk selalu mendekatkan diri pada pengatahuan. Atau jika tidak, umatnya akan dihinggapi kebodohan dan tersesat terus-menerus. Pengetahuan tidak berhenti seiring dengan meninggalnya Nabi Saw. Jika pengetahuan itu berhenti sepeninggal nabi, maka umat manusia akan terjerumus kedalam lembah kebodohan dan kesesatan. Di sini, dapat kita lihat secara jelas fungsi sosial-pengetahuan yang diemban oleh para nabi dan ulama sekaligus. Namun demikian, kesamaan fungsi ini tidak menjadikan kesamaan derajat antara seorang nabi dan ulama. Derajat nabi lebih tinggi daripada derajat ulama.
Ulama yang merupakan bentuk jama’ dari kata alim merupakan orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah (ahkam Allah). Hukum Allah tidak terbatas pada hukum-hukum agama, tetapi mencakup hukum-hukum alam atau yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan sunnatullah. Nabi Saw mendapat pengetahuan ilahi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dan tidak terbatas pada pengetahuan hukum agama. Kenabian baginda Muhammad Saw menjadi logos ketuhanan yang menyinari seluruh jagat raya dan isinya. Logos ketuhanan itu bersifat menyeluruh bagi semua kehidupan. Oleh karena itu, tidak tepat jika pengertian ulama hanya dikhususkan untuk pengetahuan agama, semantara pemilik pengetahuan non agama tidak disebut dengan ulama.
Generasi awal Islam tidak mengenal pembedaan antara pemilik pengetahuan agama dan pemlik pengetahuan non agama. Pengertian ulama mengacu pada mereka yang memiliki pengetahuan, apapun bidang dan jenis pengetahuan yang dimiliki. Kenyataan yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur Islam klasik adalah orang yang ahli filsafat disebut dengan al-failasuf, orang yang pintar dalam bidang logika disebut dengan ahl al-manthiq, orang yang ahli mengobati disebut dengan al-thabib, orang yang menonjol di bidang agama disebut dengan rijal al-din dan seterusnya. Semuanya masuk dalam kategori ulama. Mereka disebut ulama karena dipercaya menguasai dan memiliki pengetahuan, dan dengan pengetahuannya mereka mengajarkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Mereka inilah pewaris para nabi dalam mentransmisikan pengetahuan kepada umat manusia.
Kenyataan yang terjadi di tengah kehidupan kita adalah justru ulama mendapat pengertian sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama atau hukum agama. Orang yang memiliki pengetahuan di luar bidang agama disebut dengan ilmuwan. Munculnya dikotomi antara ulama dan ilmuwan seperti yang sedang terjadi merupakan representasi nyata dari perseteruhan antara agama dan filsafat yang sudah berlangsung sejak lama dalam sejarah pengetahuan Islam. Maka tidak heran, pengertian ulama mengalami penyempitan, hanya terkait dengan mereka yang mempunyai pengetahuan agama atrau hukum agama. Sementara sebutan ilmuwan yang merupakan terjemahan serapan dari istilah ulama lebih diidentikkan dengan mereka yang mempunyai dan menguasai pengetahuan non agama.
Apabila ulama menjadi pewaris para nabi karena kepemilikan pengetahuannya, maka demikian juga para ilmuwan dapat menjadi pewaris para nabi. Seorang ulama dan ilmuwan sejati adalah mereka yang memiliki pengetahuan hukum Allah, yang dengan pengetahuannya ia harus menjadi panutan, kepercayaan dan pengganti (khalifah) para nabi atas umatnya. Seharusnya, mereka menjadi pewaris para nabi dalam hal kondisi (ahwal), perbuatan, perkataan dan pengetahuan. Oleh karena itu, derajat dan maqam mereka tinggi. Kemuliaan derajat mereka, dikiaskan oleh nabi Saw dengan sabdanya: “Keutamaan orang yang berilmu itu bagaikan bulan dan bintang.”
Dengan demikian, ulama adalah ilmuwan, dan ilmuwan adalah ulama. Keduanya sama-sama menjadi pewaris para nabi. Ini mudah diucapkan, tetapi berat di hati. Karena, sabda “Para ulama adalah pewaris para nabi.” telah menjadi jargon dan senjata yang lebih dulu dikuasai oleh mereka yang ‘merasa’ menguasai pengetahuan hukum agama.[mff]
29 Juli, 2009
Nabi, Ulama dan Ilmuwan
08.19.00
No comments
0 komentar:
Posting Komentar