27 Juli, 2009

Islam dan Teologi Pembebasan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Islam memuat sistem nilai yang luhur dan tinggi (baca: Par Excellence). Sebagai agama yang menurut al-Qur’an merupakan keturunan spritual Ibrahim, ia mengajarkan kepercayaan tentang Tuhan Yang Esa melalui perantaraan para nabi-Nya: Kebenaran hanya milik dan ada di tangan-Nya, dan segala gerak-ruang-waktu yang ada bersumber dari-Nya. Dalam Islam ajaran tentang ke-esa-an Tuhan disebut tauhid. Keberadaan Islam adalah untuk menyatakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengikuti ajaran-ajaran-Nya sebagai kesadaran kognitif dalam tindakan pemeluknya atas dasar tauhid.
Satu dari sekian banyak problem utama manusia pada saat nabi menjalankan misi kenabian adalah kemusyrikan atau politeisme, sebuah kepercayaan yang mendua kepada wujud Tuhan, dan digantikan dengan tauhid (Tuhan Yang Maha Esa) yang diungkapkan dalam kalimat al-nafyu wa al-istbat (negasi-konfirmasi), yaitu tidak ada Tuhan selain Allah. Dalam kehidupan yang hakiki, percaya kepada sesuatu dapat mempengaruhi struktur kognisi seseorang dalam memahami identitas diri dan eksistensinya di hadapan yang lain, atau sebaliknya. Bentuk kepercayaan politeisme harus dihapus karena tidak saja sifatnya yang mendua, namun tidak membebaskan manusia dari kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Penolakan terhadap kebenaran Allah sebagai satu-satunya sumber kebenaran dapat menghalangi pembebasan dirinya (self liberation). Kalau kita menerima kebenaran itu, demikian dikatakan Huston Smith, maka kita akan memperoleh kebaikan dan energi yang kita perlukan. Bahwa menerima kebenaran Tuhan dapat membebaskan diri (self liberation) dari segala bentuk belenggu, yang darinya pembebasan sosial dapat dibangun.
Sejarah mencatat, bahwa masa awal kedatangan Islam nabi disibukkan dengan perjuangan untuk membebaskan masyarakat Arab dari segala bentuk keterkungkungan, kemiskinan, penindasan dan ketidak-adilan. Masyarakat Mekkah digerogoti oleh disparatis sosial dan ekonomi yang akut dan kebusukan moral. Kekerasan adalah hukum di mana suku-suku yang kuat menaklukkan dan memperbudak yang lemah. Di sana juga anak-anak yatim yang kelaparan, para budak dan orang-orang buangan dieksploitasi oleh para lintah darat, bangsawan dan pedagang. Praktek oligarki perdagangan berlangsung yang mengakibatkan tertindasnya kaum proletar. Mereka justru semakin memperkuat satatus quo. Di Thaif mereka mempunyai kebun buah-buahan dan tempat penginapan.
Semangat pembebasan yang sama juga dapat dilihat dalam sejarah para nabi yang lain. Apabila nabi Muhammad Saw. memperjuangkan berdirinya sebuah tatanan sosial manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur kebenaran, kesetaraan sosial dan persaudaraan., maka nabi Adam berjuang menentang kebodohan dan kezaliman, Hud menentang orang-orang yang arogan (mustakbirin), Saleh memperjuangkan kesetaraan, Ibrahim menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, Syu’aib melawan ketidak-adilan ekonomi, Musa membebaskan kaum buruh dan Isa memimpin kaum lemah. Betapapun struktur fundamental, lembaga-lembaga, adat-istiadat, hukum-hukum, moral-moral masyarakat di zaman mereka berbeda-beda, tetapi kehadiran mereka sama-sama menyerukan kebenaran, mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang tertindas dan membawa kesetaraan dan persaudaraan kepada mereka. Mereka hidup, bekerja dan bejuang di dalam sebuah masyarakat atau zaman pra-feodal dan pra-ilmiah di mana agama menjadi bahasa idiom dan metode untuk menafsirkan atau mengekspresikan realitas.
Karakter dan peran sosial dari berbagai kelas masyarakat yang saling bertentangan dalam al-Qur’an diistilahkan dengan mustadla’afin (kaum tertindas dan lemah), al-mutrafin (mereka yang kaya dan berkuasa), al-mustakbirun (arogan dan kasar), zalimun (kaum yang sewenang-wenang), al-mala’ (bangsawan dan elit) dan al-ardhalun (kaum rendahan). Semua itu mengisyaratkan komposisi kelas masyarakat kuno pra-feodal, di mana nabi Muhammad Saw khususnya, dan para nabi yang lain pada umumnya, menjalankan misi kenabiannya melalui wahyu pada satu sisi, dan Islam sebagai agama yang ada pada saat itu, dengan semangat pembebasannya melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bersifat profan dari keseluruhan tindakan dan peristiwa sejarah yang dilakukan manusia pada sisi lain.
Allah menurunkan wahyu kepada umat manusia melalui nabi-Nya guna menciptakan, merencanakan dan mengarahkan semua urusan alam dan manusia menurut kehendak-Nya. Secara teologis, ini berarti bahwa Allah adalah sumber segala kekuatan, pengetahuan, kebijaksanaan, keadilan dan kasih sayang dan wahyu berarti suatu cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah realitas dalam sejarah keselamatan manusia. Sistem keimanan Islam yang mendakwahkan konsep tauhid merupakan misi utama untuk menciptakan kesadaran kritis dalam struktur nalar kognitif masyarakat guna membangun dunia demi kemaslahatn bersama.
Dengan demikian, sebenarnya tauhid sebagai tema central pertama dan ciri utama yang membedakan antara Islam dengan agama lain yang berkembang di jazirah Arab pada masa kenabian --dengan meminjam istilah modern-- merupakan kunci hermeneutis dalam memahami realitas kemanusiaan. Melalui tauhid itulah lahir wacana universal tentang pembebasan, seperti persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), keadilan sosial (al-adalah), kemerdekaan (al-hurriyah) dan kemanusiaan (al-insaniyah). Semua tema-tema itu menjadi grand themes dalam agama Islam yang didakwahkan oleh para nabinya.
***
Teologi dalam Islam dipadankan dengan ilmu Kalam, meskipun pengertiannya tidak persis sebagaimana yang terdapat dalam tradisi Kristen. Ilmu Kalam dalam Islam merupakan ilmu tentang ketuhanan: objeknya adalah dzat Allah, perbuatan dan sifat-sifat-Nya dengan menggunakan metode imani dan difa’i (apologis), bersifat abstrak, normatif dan skolastis. Ini berarti bahwa teologi Islam selama ini melulu bersifat wacana ketuhanan (teosentris), tidak membahas wacana kemanusiaan. Kalau teologi Islam hanya membahas persoalan ketuhanan sehingga wacana yang dihasilkan juga melulu ketuhanan, lalu bagaimana dengan wacana kemanusiaan yang justru di era modern seperti yang kita saksikan sekarang? Apa artinya mempercayai Tuhan kalau dengan mempercayai-Nya seseorang tidak mempunyai sense terhadap persoalan kemanusiaan? Teologi Islam semestinya memuat dan memperhatikan masalah kemanusiaan itu.
Dr.Hasan Hanafi berpendapat, bahwa teologi Islam yang selama ini menjadikan Tuhan sebagai objeknya merupakan usaha yang mospro (sia-sia) karena bagaimanapun juga Tuhan dalam prilaku kehidupan manusia tidak mungkin dapat digambarkan, bahkan tak dapat diketahui dengan pasti oleh siapapun. Karena itu, paradigma berpikir yang selama ini digunakan harus dirubah. Tuhan adalah dzat yang Transenden, dan karenanya posisi Dia di alam dunia tidak bisa dijangkau (baca : dikonsepsikan). Maka Tuhan yang semula menjadi objek dalam teologi Islam harus dijadikan sebagai landasan aksiomatis, yakni kepastian kebenaran ada-Nya sudah jelas dan tidak bisa ditolak. Kalau para ulama terdahulu memfokuskan objek teologi Islam pada persoalan ketuhanan, maka sudah saatnya persoalan kemanusiaan mendapat porsi dan menjadi objek dari teologi Islam. Dari sini, lanjut Hanafi, konsep tauhid tidak sekedar konsep teoritis-dogmatis murni, namun berubah menjadi “proses melakukan” yang bersentuhan dengan praksis kehidupan manusia: membebaskan kaum miskin, menentang kesewenang-wenangan, otoritarianisme dan status quo.
Dengan demikian, teologi Islam dituntut untuk melakukan refleksi dari bawah ke atas. Ia semestinya merupakan proyeksi realitas terhadap teks-teks normatif. Bentuk pemikiran yang dapat membawa transformasi sosial adalah yang berasal dari realitasnya sendiri, bukan sesuatu di luarnya. Sikap seperti ini lebih dianggap historis dan realistis dalam melihat hubungan antara pembangunan melalui upaya transformasi sosial katimbang harus menyerah secara total di hadapan dogma-dogma keimanan (teologi).
Agama telah memainkan peran strategis dalam usaha manusia membangun dunia. Ia adalah jangkauan terjauh dari eksternalisasi diri manusia, dari peresapan-peresapan makna-maknanya sendiri ke dalam realitas. Agama berarti bahwa tatanan manusia itu diproyeksikan ke dalam totalitas kedirian. Ajaran dan keyakinan dilihat sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan tempat agama lahir. Maka di hadapan proses transformasi sosial, agama harus dipahami sebagai bentuk ekspresi dari aspek ketuhanan (ilahiyah), yang berupa kepercayaan akan adanya Allah, ke dalam tindakan sosial yang berkna disertai penghargaan terhadap hak-hak manusia dan perjuangan menegakkan keadilan, kebebasan dan persamaan manusia. Teologi pembebasan adalah satu bentuk ekspresi dari pemikiran tersebut.
Farid Esack, seorang muslim dan tokoh gerakan teologi pembebasan di Amerika Selatan, mendefinisikan teologi pembebasan sebagai sebuah kerja pembebasan agama dari struktur sosial, politik dan religious, dengan ide dasar membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan eksploitasi ras, jender, kelas dan agama. Melalui proses partisipasi individu pembebasan ini digerakkan. Asusmsi dasar teologi pembabasan Islam ini adalah al-Qur’an dan seluruh perjuangan para nabi dalam praksis pembebasan umatnya.
Sebagai kunci utama untuk memahami teologi pembabasan dalam Islam adalah melalui tauhid-taqwa. Menurutnya, pengakuan atas ke-esa-an Tuhan dan taqwa sebagai instrumen fundamental dalam mewujudkan hakekat kemanusiaan, mengingatkan pada pertama, persoalan ketuhanan atau akidah (ilahiyat), dan kedua persoalan kemanusiaan (insaniyah) secara bersamaan. Dalam prilaku beragama, semestinya konsep tersebut (tauhid-taqwa) mempunyai implikasi signifikan: mendorong seseorang untuk melakukan pemahaman secara terus-menerus, memberikan keseimbangan estetis dan relegius-spiritual dalam kehidupan, dan menumbuhkan komitmen pemeluk agama dalam proses berdialog antara dirinya dengan perubahan realitas sosial.
Serupa dengan landasan paradigmatis tersebut di atas, Asghar Ali Engineer menguraikan beberapa prinsip penting mengenai Islam sebagai teologi pembebasan. Pertama, Tauhid sebagai weltanschauung di dalam Islam harus dimaknai tidak sekedar sistem kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, namun juga dipahami sebagai unity of mankind yang tidak akan terwujud tanpa menciptakan keadilan dan kebajikan dalam masyarakat. Kalau tauhid dipahami sebatas sistem kepercayaan tanpa menyadari dimensi praksisnya, maka keimanan seseorang yang percaya bahwa Allah adalah Esa tidak memiliki arti apa-apa. Makna ketauhidan tidak memiliki nilai sama sekali, apabila seseorang lebih mementingkan teoritisasi metafisis tauhid yang bersifat abstrak dibanding dengan aspek praksis. Aspek praksis yang ditunjukkan al-Qur’an adalah semangat anti satus quo dan menciptakan keadilan dan kebajikan (al-adl wa al-ihsan).
Kedua adalah iman. Iman berasal dari kata amn yang berarti selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya dan yakin. Iman yang sebenarnya mengimplikasikan semua itu. Sebuah gagasan atau kata-kata tanpa dilatarbelakangi dengan iman, akan hanya akan berarti bagi dirinya dan memperbudak orang lain.
Sementara dalam pandangan Ziaul Haque, teologi pembebasan (dalam Islam) berasumsi bahwa al-Qur’an dan ajaran-ajaran atau sabda nabi Muhammad Saw. pada dasarnya ditujukan untuk menegakkan sebuah masyarakat di mana para ahli fiqih memainkan peranan yang pre-dominan dalam memutuskan aturan-aturan tentang kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan ekonomi dan sosial tertentu, dan bahwa ulama muslim memiliki hak untuk memerintah di dalam sebuah masyarakat muslim karena mereka adalah pewaris pengetahuan dan kebijaksanaan peninggalan nabi.
Ide dasar teologi pembebasan dalam Islam sebagai sebuah misi berdasarkan wahyu ilahi dan sebuah wahyu kebenaran, meskipun memiliki muatan sosial, tidak dapat dipisahkan melepaskan diri dari keterkaitannya dengan kerangka kerja supranatural atau metafisika karena persepsi atas realitas, kehidupan, alam dan sejarahdalam era feodal dan pra-feodal secara keseluruhan bersifat relegius. Semua pemikiran, refleksi, spekulasi, penalaran, perasaan dan emosi serta moralitas dibiasakan melalui prisma agama.
Semangat teologi pembebasan tersebut di atas dapat dikatakan sebagai upaya memahami kembali doktrin-doktrin agama di hadapan praksis kehidupan dalam konteks tertentu. Semangat pembebasan yang ada dalam teks-teks keagamaan dan praksis pembebasan sebagaimana yang tercermin dalam diri nabi para nabi di masa lalu menjadi dasar untuk melakukan praksis pembebasan dalam konteks kekinian. Jadi ada proses untuk menginterpretasikan kembali teks-teks atau pengalaman praksis pembebasan tersebut. Ini berarti bahwa teologi pembebasan Islam menggunakan metode hermeneutik.
Dalam teologi pembebasan ini, hermeneutik merupakan proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci atau wahyu menjadi relevan dengan zamannya, bertitik tolak dari sebuah realitas yang menuntut kita untuk menginterpretasikan wahyu Tuhan atau pengalaman praksis kenabian secara baru, untuk mengubah realitas seperti yang dituntutkan, dan demikian itu berulang secara terus menerus: antara teks dan konteks atau antara masa lampau dan sekarang. Proses interpretasi secara terus menerus dan berulang-ulang inilah yang disebut dengan “lingkaran Hermeneutika” (Hermeneutical Circle).
Karena teologi pembebasan merupakan upaya praksis pembebasan yang tidak terlepas dari konteks sejarah, maka sebagai metode kedua yang dipakai adalah analisa historis (Historico-Analitic). Demikian pula teologi pembebasan menggunakan metode analisa sosial (Sosialanalytic) sebab upaya praksis pembebasan itu sendiri adalah struktur sosial: membebaskan manusia dari segala sistem atau struktur yang menindas, masyarakat yang menempati posisi kelas marginal dan terekploitasi harus dibebaskan.
Dengan demikian, sebenarnya teologi pembebasan Islam merupakan upaya membangun dunia dengan membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan, ketidak-adilan, tiran dan status quo di bawah sinar keimanan. Secara tidak langsung, proses pembangunan praksis pembebasan berujung pada proses “sekularisasi”. Meskipun semangat teologi ini berpijak pada paradigma antroposentris, namun bukan berarti terlepas dari transendensi nilai ketuhanan. Menjadikan semangat antroposentris sebagai satu-satunya paradigma pembangunan masyarakat akan berdampak pada hilangnya relegiusitas sehingga berakibat pada krisis eksitensial, seseorang merasa asing dengan keberadaan dirinya sendiri. Karena itu, Muhammed Arkoun berpendapat, keengganan untuk mengaitkan transendensi dengan petualangan-petualangan historis yang tunduk pada permainan dialektis dari kekuatan ekonomis dan sosial merupakan nostalgia manusia kuno.
Untuk menjembatani manusia supaya tidak terjebak dengan problematika antara yang profan dan yang sakral atau antara spiritualisme dan materialisme, maka perlu mendialogkan transendensi nilai dengan berbagai ritus dan kegiatan sekuler. Penolakan untuk mengaitkan transendensi dengan berbagai petualangan [peristiwa] sejarah yang profan justru merupakan ungkapan dari “kegagalan” seorang dalam beragama (berteologi). Apabila Descartes dengan cogeto ergo sum-nya mengantarkan kemajuan peradaban Eropa yang antroposentris-sekuler, maka teologi pembebasan tidak ingin melepaskan dimensi relegious.[mff]

0 komentar: