06 Juli, 2009

Geger DPT dan Revolusi Hati Nurani

Oleh: M. Faisol Fatawi

“Jangan pernah terperosok pada lubang yang sama dua kali.” Mungkin inilah kata pepatah yang semestinya dipegang tegung oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah pada pemilu legislatif yang dilaksanakan pada bulan lalu, KPU menuai protes karena ditemukan adanya daftar pemilih ganda, pemilih fiktif dan atau TPS fiktif, sekarang juga persoalannya tidak jauh berbeda dengan hal itu; persoalan pemutakhiran DPT.
Masalah DPT menjelang pilpres mencuat kembali setelah kembali ditemukan adanya daftar pemilih ganda dan pemilih fiktif dari pemutakhiran data yang telah dilakukan oleh KPU. Berdasarkan temuan yang ada, terdapat sekitar 47-an juta lebih DPT bermasalah yang tersebar di enam provinsi, yaitu DKI, Banten, Jabar, Jateng, Jogjakarta dan Jatim.
Geger DPT seperti itu muncul disebabkan oleh buruknya kualitas data yang dilakukan oleh KPU. KPU sebagai lembaga independen yang mengurusi pemilu tidak dapat bekerja dengan baik sesuai dengan fungsinya. Target yang semestinya harus dipenuhi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. Buruknya kinerja KPU dapat mencoreng pembangunan demokrasi di Indonesia.
Hal lain yang semestinya dilakukan oleh KPU terkait dengan masalah DPT kali ini adalah transparansi data kepada khalayak publik. Artinya, selama ini data pemilih tetap (DPT) tidak dipublikasikan secara luas sehingga setiap masyarakat dapat mengetahui apakah dirinya sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum, bahkan kemungkinan satu orang terdaftar sebanyak dua kali atau lebih akan dapat diketahui sedini mungkin.
Keteledoran dan kecerobohan KPU tersebut menunjukkan kegagalan kinerjanya dalam mengemban amanat rakyat untuk membangun dan menentukan kepentingan bangsa ke depan. KPU dibentuk untuk mengawal dan melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan. Lembaga ini bersifat independen agar pelaksanaan pemilu terjaga dari kepentingan partai atau kelomppok tertentu. Pesta demokrasi dilakukan hanya untuk kepentingan bangsa.
Untuk itu, ke depan KPU butuh pada sosok orang-orang yang profesional. KPU tidak boleh dijadikan sebagai ajang perebutan kepentingan untuk memasukkan pribadi yang mewakili kepentingan partai atau golongan tertentu. Orang yang tidak memiliki kapabilitas dan kemampuan yang memadai untuk mengurusi dan menjalankan fungsi KPU tidak sepatutnya ditunjuk untuk menduduki jabatan itu. Bukankah kanjeng nabi pernah mengingatkan kita: “Jika sebuah persoalan diserahkan kepada orang yang tidak ahlinya, maka tunggungulah saat (kehancurannya).
Sayangnya, isyarat yang pernah diingatkan oleh baginda Rasulullah Saw itu jarang sekali kita laksanakan secara cermat. Di negeri kita tercinta ini, hampir sebuah pos jabatan tertentu tidak dapat dipisahkan dari kepentingan, khususnya kepentingan partai atau kelompok tertentu. Coba saja kita lihat pemilihan gubernur BI, Direktur PLN, Direktur BUMN dan atau pos-pos jabatan lainnya khususnya yang memiliki fungsi strategis yang terkait dengan kepentingan bangsa ini. Hampir terjadi terjadi tarik-menarik kepentingan yang cukup alot. Dan, lembaga KPU tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang seperti itu.
Bangsa ini masih sangat jauh untuk sampai pada pembangunan demokrasi yang sesungguhnya selagi masing-masing kita belum dapat mengosongkan kepentingan dari dalam lubuk hati kita. Untuk membangun dan mewujudkan suasana demokrasi di negeri ini, ada baiknya kita belajar dari cara kaum sufi dalam mengkondisikan dirinya untuk bertemu dengan Tuhan.
Kaum sufi mengenalkan jalan takhalliy. Yaitu, mengesampingkan dan membuang segala nafsu duniawi dari hati. Setiap sufi harus mengosongkan hasrat atau kepentingan dirinya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi jika ingin bertatap muka dengan Tuhan, dan ingin mendapat ridho-Nya.
Dalam konteks pembangunan negeri ini, jalan takhalliy dapat dijadikan sebagai kontrol bagi setiap anak bangsa untuk menjauhkan hasrat, ambisi dan kepentingan masing-masing dari lubuk hati. Jatuh bangunnya sebuah bangsa bukan disebabkan oleh miskinnya teknologi atau sumber daya manusia yang menghuninya. Tetapi, hasrat, ambisi dan atau kepentingan yang tidak terkontrol. Mungkin hampir setiap orang punya cita-cita untuk membangun negeri ini, tetapi siapa yang dapat memilah antara cita-cita yang mulai itu dengan ambisi atau kepentingan? Negeri ini butuh pada revolusi hati nurani yang sesungguhnya.[MFF]

1 komentar:

Setuju, Bos. Tapi, gimana caranya reformasi hati nurani? Perlukan ikut Hanura