04 Juli, 2009

Dari Islam ke Tasamuh

M. Faisol Fatawi

Akhir-akhir ini Islam telah dihadapkan pada persoalan yang cukup pelik. Persoalan itu terkait dengan citra dan identitas Islam. Islam yang diklaim sebagai agama rahmatan lil alamin dicoreng oleh sikap-sikap tak terpuji yang dilakukan oleh sementara orang Islam. Sebagian mereka bersikap keras (baca: intoleran) dan bahkan menganggap kafir siapa saja yang bersebrangan dengan keyakinannya, lebih-lebih terhadap orang yang tidak seagama. Sikap seperti itu sama sekali tidak mencerminkan semangat progresifitas Islam itu sendiri. Di mata mereka, Islam telah dipandang dan dijadikan sebagai sistem teologi yang ideologis, kaku dan jumud.
Islam adalah agama keselamatan dan penyelamatan, yang diperkenalkan oleh nabi Muhammad Saw melalui wahyu dari Allah ke hadapan masyarakat Arab yang tribal. Islam menanamkan kepada mereka nilai-nilai progresifitas dan kemanusiaan dalam membangun peradaban masyarakat dengan prinsip keadilan (al-adalah), persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah) dan solidaritas (at-tadlamun). Karena prinsip universal yang ditawarkan inilah, Islam kemudian bisa diterima oleh masyarakat Arab. Ini bisa dilihat dalam sejarah, dengan banyaknya suku yang dengan sukarela mendukung perjuangan nabi Saw: sebagian mendukung dan menyatakan masuk Islam, sementara yang lain sebatas mendukung.
Nama Islam berasal dari akar kata salima yang berarti ’selamat dari’. Ia mengikuti wazan (bentuk) af’ala yuf’ilu sehingga menjadi aslamayuslimuislam yang memiliki arti ’menyelamatkan’ dan ’tunduk dan berserah diri kepada’. Makna yang pertama merupakan makna dasar, sedangkan makna yang kedua merupakan makna turunan. Makna dasar melingkupi makna turunan. Artinya, makna pertama lebih merupakan misi utama yang diemban dalam sebuah agama yang bernama Islam. Sementara, makna kedua lebih mengacu pada hubungan ta’abbudi antara hamba dengan Tuhan yang telah menurunkan Islam.
Dalam al-Qur’an, Islam dengan pengertian hubungan ta’abbudi dapat ditemukan dalam sejumlah ayat. Diantaranya, ayat 112 dari surat al-Baqarah yang menyatakan: ”Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Di sini, dapat dilihat dengan jelas bahwa tindakan ’menyerahkan diri’ lebih bersifat ta’abbudi dan individualistik (antara diri seseorang dengan Tuhan). Dan tindakan itu hanya akan berarti jika dibarengi dengan berbuat kebajikan.
Rasulullah Saw dalam banyak kesempatan lebih sering menggunakan pengertian Islam dengan makna ’penyelamatan’. Suatu saat beliau mengatakan: ”orang muslim adalah mereka yang selamat dari lidah dan tangannya.”; ”Islam yang paling baik adalah bahwa engkau memberi makan kepada orang yang lapar dan menyebarkan perdamaian diantara orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”; ”orang muslim bukanlah orang yang mencerca dan pengutuk.”; dan lain-lain. Dalam pengertian seperti itu, nabi Saw. telah meletakkan Islam dalam konteks sosial. Maka, seolah-olah beliau mengatakan bahwa Islam adalah tindakan penyelamatan dari hal-hal yang buruk dan jahat; tidak menyakiti orang, membiarkan kelaparan dan seterusnya.
Medan pengertian Islam yang lain juga dapat dilihat dari sabda rasulullah Saw: ”agama yang disukai oleh Allah adalah agama yang hanif dan samhah.” Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya menjelaskan bahwa arti hanif dan samhah adalah amal perbuatan yang jauh dari kebatilan; jauh dari pemaksaan dan kesempitan. Dalam sabda yang lain dijelaskan: ”Allah akan mengasihi orang-orang yang bersikap samhah kerika mereka menjual, membeli dan memutuskan.” Di sini, samhah berarti bertindak dermawan dan tidak mempersulit.
Jadi, ada sinergisitas makna antara Islam-hanif-samhah. Islam adalah sebuah agama yang mengandaikan upaya terus-menerus untuk melakukan penyelamatan, sedangkan hanif dan samhah mengisyaratkan adanya sikap keterbukaan untuk berdialog dengan ’yang lain’ dengan cara-cara yang santun dan baik; tidak memaksakan kehendak dan main klaim sendiri. 
Sebenarnya, trio makna seperti ini menjadi basis teologis ’beragama Islam’ sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah. Banyak fakta sejarah kenabian yang dapat kita jadikan bukti untuk itu. Ketika Rasulullah saw di Madinah, beliau mempersilahkan kepada para delegasi Krsiten Najran untuk melakukan kebaktian di masjid. Dalam Kitab as-Sirah an-Nabawiyah li Ibn Hisyam disebutkan, bahwa ada serombongan delegasi Kristen Najran bertandang menghadap Rasulullah Saw. Saat itu beliau sedang shalat Ashar di masjid. Usai beliau sholat Ashar, para delegasi itu meminta izin kepada nabi supaya diperkenankan melaksanakan sembahyang (kebaktian, red) di masjid. Rasulullah pun menjawab: ”Biarkan mereka melakukan kebaktian di masjid ini.”
Sikap keberagamaan Islam yang samhah juga ditunjukkan oleh Rasulullah Saw kepada para musuh-musuhnya. Ketika peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), beliau sama sekali tidak menunjukkan sikap marah dan kebencian kepada mereka yang pernah memusuhi sebelum berhijrah ke Madinah. Nabi justru mengatakan kepada mereka: ”idzhabu wa antum thulaqa’.” (Pergilah, kalian semua bebas). 
Sungguh sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw itu sangat agung, luhur dan mulia. Islam sejatinya dipahami dalam cerminan sikap beliau yang seperti itu. Akhlak nabi adalah al-Qur’an (kana khuluquhu al-qur’an). Dalam perspektif akhlak kenabian, beragama tidaklah sekedar menjalankan ajaran dan perintah-perintah-Nya, lalu menyebut ’yang lain’ sesat. Tetapi, ber-Islam adalah meyakini dan menjalankan perintah-Nya, lalu menyelamatkan umat manusia dengan perbuatan yang dilakukannya, dan menghargai ’yang lain’, sehingga Islam betul-betul menjadi rahmah bagi semua orang yang ada di muka bumi.[MFF]

0 komentar: