30 Juli, 2009

Aku Menulis, Maka Aku Ada

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sudah menjadi tabiat manusia, bakat berbicara secara lisan lebih dahulu muncul katimbang kemampuan membaca. Seorang bayi yang lahir ke muka bumi misalnya, ia pasti lebih dahulu mempunyai kemampuan untuk bertutur kata dengan meniru bahasa orang-orang yang ada di sekelilingnya. Beberapa tahun kemudian sang bayi baru diajari atau belajar membaca.
Membaca merupakan fase kedua bagi seorang anak dalam belajar berbahasa: mengenali segala hal yang terdapat di sekelilingnya. Membaca membutuhkan dan melibatkan proses kognitif. Jika dalam fase bertutur kata (berbicara) seseorang hanya tinggal meniru apa yang diucapkan dan didengarkan, maka dalam fase belajar membaca ia harus mengenal dan berinteraksi dengan simbol-simbol bunyi dan benda yang disimbolkan dengan susunan huruf. Dalam fase ini, seseorang yang membaca berarti ia menjalani proses dialektik antara simbol bunyi dengan wujud bendanya. 
Hal lain yang penting terkait dengan belajar bahasa adalah menulis. Kegiatan menulis berbeda dengan membaca atau bertutur kata. Jika kegiatan membaca melibatkan proses dialektika pikiran antara simbol bunyi dengan bendanya, maka kegiatan menulis melibihi dari itu. Menulis melibatkan proses pemikiran atau gagasan yang lebih mendalam. Seseorang yang sedang melakukan kegiatan menulis, berarti ia sedang mengeluarkan apa yang ada didalam pikirannya untuk dituangkan dalam bentuk simbol bunyi sehingga dapat dinikmati oleh orang yang membacanya. 
Kegiatan membaca mudah dilakukan dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun yang mampu. Meskipun demikian, membaca sulit untuk dilakukan. Banyak orang lebih suka membiasakan diri dengan ngobrol-ngobrol bersama daripada membaca. Kita sendiri lebih sering untuk berbincang-bincang daripada membaca. Faktanya, membudayakan ‘membaca’ lebih sulit katimbang kebiasaan ‘tutur tinular’, yaitu mencari informasi dengan bertanya atau sekedar ngobrol-ngobrol antar sesama. Dan lebih sulit lagi, membiasakan diri dengan budaya menulis. Budaya menulis merupakan pintu gerbang untuk melakukan transformasi sosial dalam rangka membangun peradaban umat manusia ke arah yang lebih tinggi.
Sejarah membuktikan, bahwa sebuah peradaban yang besar ditandai oleh munculnya karya-karya tulis. Peradaban Yunani menjadi agung karena sentuhan tangan-tangan para pemikir besar seperti Aristoteles, Plato dan seterusnya, yang tulisan-tulisannya masih kita baca dan menjadi rujukan sampai sekarang. Peradaban Islam pun menjadi dikenal di semenanjung Eropa karena karya-karya besar yang terlahir dari para intelektual muslim ketika itu; sebut saja Ibnu Rusyd (di Barat dikenal dengan Averrous), Ibnu Sina (di Barat dikenal dengan Avecena), Jabir bin Hayyan (di Barat dikenal dengan Algebra) dan seterusnya. Begitulah, kemajuan suatu peradaban selalu tidak dapat dilepaskan dari budaya tulis-menulis yang kuat. 
Melihat kenyataan seperti itu, saya jadi tergelitik salah satu nama surat dalam al-Qur’an. Nama surat itu adalah al-qalam. Jika diterjemahkan kedalam bahasa kita, kata al-qalam berarti pena. Lantas, apa menariknya dengan nama pena sehingga di pakai untuk menamai firman Allah? Apa hubungannya dengan kemajuan suatu peradaban? 
Jika kita membaca surat al-qalam (pena), maka kita akan disambut dengan ayat yang berbunyi: “Nun, demi pena dan apa-apa yang mereka tulis.” Penulis tafsir al-Bahr al-Muhith mengutip salah satu pendapat yang menyatakan, bahwa al-qalam yang dimaksud adalah pena sebagaimana yang fungsinya sudah dikenal oleh manusia untuk menulis. Tentunya, jika Tuhan memiliki pena, namun pena itu tidak seperti yang ada dalam gambaran dan pemahaman manusia. Pena Tuhan berbeda dengan pena yang dipakai manusia. 
Allah mencatat segala sesuatu (baca: keputusan-Nya) di lauh mahfudz dengan pena. Melalui pena (al-qalam), Allah mencipta dan menulis seluruh kehidupan di alam jagat raya (al-ka’inat). Allah menulis (mencatat), maka dunia menjadi aja. Oleh karena itu, makna mataforik dari pena, sebagaimana yang disumpahkan oleh Allah, menurut sebagian mufassir dimaknai sebagai simbol bagi tegaknya ilmu pengetahuan. Maka, dalam sumpah demi pena (al-qalam) dan apa-apa yang mereka tulis, terdapat manifestasi ‘logos ketuhanan’ yang berarti pengetahuan. 
Melalui pena, Allah menulis dan mencatat segala kehidupan, dan kemudian segalanya menjadi ada. Atau, ayat pertama dari QS. al-Qalam dapat diterjemahkan secara filosofis, “Aku menulis (mencatat) segala sesuatu, maka kehidupan menjadi ada.” Segala yang maujud tidak lain adalah manifestasi atau citra-citra dari Tuhan. Oleh karena itu, pena juga diartikan sebagai manifestasi dari ‘kreatifitas Tuhan’ yang paling agung. Jika Tuhan saja, bersumpah atas nama pena dan apa-apa yang tertulis, maka tidak salah jika kita membangun peradaban umat manusia ini dengan menulis. Ya, ‘aku menulis, maka aku ada.’ Bukankah pena (al-qalam) menjadi awal dari kehidupan segala yang maujud?[mff]

0 komentar: