11 Juli, 2009

Kematian Jacko dan Kemenangan SBY

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ada dua berita yang cukup menyedot perhatian masyarakat kita pada beberapa hari yang lalu. Dua peristiwa tersebut adalah kematian Michael Jackson dan pemilihan presiden. Kedua peristiwa inilah yang hampir setiap hari memenuhi berita di media massa, baik elektronik maupun cetak.
Kematian Jacko telah mengagetkan semua orang di penjuru dunia. Kepergian sang penyanyi yang mendapat julukan king of pop itu seakan membuat semua orang tidak percaya. Sebagai bentuk penghormatan terakhir, ribuan penggemar Jacko menangis histeris karena merasa kehilangan. Tak pelak, kematiannya mengundang simpati para fans yang berada di seluruh jagad dunia.
Rasa kehilangan itu dibuktikan oleh banyaknya mereka yang bersimpati kepada Jacko untuk mendatangi pemakaman jasadnya. Lebih dari tujuh belas ribu tiket yang dijual oleh panitia pemakanan Jacko ludes habis. Belum lagi ribuan yang lain merasa kecewa karena tidak kebagian tiket untuk menyaksikan pemakaman Jacko. Di samping itu, ribuan penggemar lainnya tak kalah sedihnya, mereka melepas Jacko melalui layar televisi.
Sementara banyak orang tertuju pada pemakanan Jacko di Amerika, bangsa kita telah menyaksikan pilpres yang—menurut hasil quick qount dari berbagai sumber—dimenangkan oleh calon presiden incumbent, yaitu SBY. Dengan hasil yang sangat mantap, kandidat SBY melenggang ke istana dengan tanpa hambatan sedikitpun, karena lebih dari 50 % suara pemilih menjatuhkan pilihan kepadanya. Hasil prediksi quick qount menunjukkan Mega-Pro mendapat sekitar 28 %, SBY hampir mendekati 60 % dan JK-Win berada di bawah 15 % suara. Pilpres kali ini berjalan dengan mulus, tanpa ada aral dan hambatan sedikitpun.
Lalu, apa yang menariknya dari peristiwa kematian Jacko dan kemenangan SBY? Semua orang mungkin iri dengan Jacko. Jika kita melihat antusiasme penggemar Jacko terhadap kematian dirinya sehingga dengan suka rela mereka berduyun-duyun mendatangai upacara pemakaman jasadnya. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka yang datang dari luar Amerika telah merogoh kocek yang tidak sedikit. Di sini, saya jadi teringat kematian seorang kiai. Atau saya membayangkan mungkin Jacko itu seorang kiai yang kharismanya menyedot banyak orang sehingga kematiannya meninggalkan duka lara di benak banyak orang.
Di Indonesia atau bahkan dimana-mana, jika ada seorang kiai atau ulama besar meninggal dunia, maka dapat dipastikan akan ada banyak orang yang merasa kehilangan. Atau bahkan mereka akan berduyun-duyun untuk melepas kepergiannya sebagai bentuk penghormatan terakhir kepadanya. Jasadnya pun ditangisi oleh ribuan orang karena merasa kehilangan.
Kemudian yang menarik dari kemenangan SBY adalah bahwa SBY hampir tidak mendapatkan dukungan dari para kiai atau ulama. Bahkan hampir semua organisasi sosial keagamaan di negeri ini, seperti NU, Muhammadiyah dan lain-lainnya, secara terang-terangan tidak memberikan dukungan kepada kandidat SBY. Tetapi, meskipun SBY tidak mendapat ‘sokongan’ dari organisasi sosial keagamaan yang berbasis kiai, ulama atau bahkan intelektual-agamawan, SBY tetap menjadi kandidat incumbent yang tak terkalahkan. Kemenangan SBY di sini, seolah meruntuhkan pengaruh politik kiai atau ulama. Artinya, dalam hal pilihan politik kiai atau ulama yang dahulu menjadi panutan masyarakat di dalam semua hal, sekarang mengalami pergeseran. Dalam hal pilihan politik pun, masyarakat tidak lagi menjadikan kiai atau ulama sebagai panutan.
Saya melihat kematian Jacko dan kemenangan SBY tersebut merupakan sebuah fenomena global. Ada titik temu antara kedua peristiwa tersebut, antara kematian Jacko dan kemenangan SBY. Di hadapan penggemarnya, Jacko seolah tokoh yang penuh kharismatik, yang mampu menyedot perhatian orang lain, sehingga hampir jutaan orang dengan suka rela menginginkan hadir di upacara pekaman jasadnya sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadapnya. Sebuah bentuk penghormatan luar biasa, yang melebihi pemakaman seorang tokoh agama kharismatik di manapun. Sementara, kemenangan SBY mengisyaratkan semakin memudarnya pengaruh kharismatik seorang kiai atau ulama, khususnya dalam persoalan politik atau urusan dunia.
Fenomena kematian Jacko dan kemenangan SBY dikatakan sebagai fenomena global karena masyarakat lebih cenderung dipengaruhi oleh dunia pencitraan. Di era global setiap individu dibentuk dan dikepung oleh pencitraan yang dilakukan oleh media. Eksistensi seseorang tidak ditentukan oleh substansi dirinya, tetapi dibangun oleh pencitraan melalui media-media tertentu. Maka, yang terjadi adalah subjek-subjek tidak bisa berdiri secara independen. Mereka justru bergantung pada media. Seseorang tidak lagi melihat dirinya karena potensi dan kemampuan yang dimiliki, tetapi bergantung bagaimana seorang diri dibangun melalui sebuah citra. Tak heran, jika kita sering menyaksikan popularitas subjek tertentu yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi pada saat yang sama tenggelam dengan begitu cepat. Barangkali inilah yang disebut dengan skizofrenia budaya. Sebuah fenomena budaya global yang mana segala hal ditentukan oleh citra-citra dan bukan kenyataan yang sebenarnya. [MFF]

0 komentar: