22 Juli, 2009

Kita Butuh pada Teologi Inklusif

Oleh: M. Faisol Fatawi

Hantu terorisme itu datang lagi. Seolah tidak pernah lelah, hantu terorisme itu terus bergerak leluasa di negeri ini. Bekerja mencari mangsa dengan meledakkan bom-bom di tempat keramaian, terutama tempat berkumpulnya orang-orang yang dianggap musuhnya. Setelah sempat tidak terdengar, kini hantu terorisme itu muncul untuk yang kesekian kalinya di Hotel JW Marriot dan tetangganya Rizt-Carlton Mega Kuningan Jakarta. Sekali ledak, maka luluh lantahlah bangunan di sekelilingnya, dan jatuhlah puluhan korban. Ledakan bom itu terjadi tepatnya pada 17 Juli yang lalu.
Spekulasi kuat menyatakan bahwa bom bunuh diri yang terjadi beberapa pekan lalu itu terkait dengan JI. Peledakan bom itu memiliki keterkaitan dengan peledakan bom sebelumnya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Amrozi cs di Bali. Singkatnya, pengeboman tersebut terkait dengan kelompok-kelompok agama tertentu yang memiliki ideologi keras dengan menjadikan jihad sebagai keyakinannya. Untuk yang kesekian kali, coba kita serahkan saja peristiwa peledakan bom kali ini kepada pihak yang berwenang untuk menyidik. Karena, memang tidak ada salahnya kita mencoba untuk percaya kepada bangsa ini untuk mengungkap hantu-hantu terorisme itu.
Dalam sejarah Nusantara disebutkan, bangsa kita tidak mengenal tradisi teror-meneror. Karena teror-meneror—apalagi dengan meledakkan bom di tempat umum—merupakan sikap tidak ksatria. Tradisi bangsa ini adalah tradisi yang majemuk dan plural. Negeri yang kita cintai ini dibangun atas dasar kemajemukan, baik dalam hal keyakinan, agama, budaya, bahasa dan seterusnya. Barangkali, tanpa ada kemajemukan bangsa Indonesia tidak akan pernah ada. Tidak ada alasan hanya karena berbeda pendapat, keyakinan, rasa dan atau yang lain-lain, bangsa kita saling memakan atau membunuh kawan sendiri. Bahkan berpuluh-puluh tahun kita jarang—kalau tidak boleh dikatakan tidak sama sekali—menyaksikan pertengkaran hebat antar berbagai macam agama dan keyakinan yang bersemai di negeri ini. Kita semua, dengan perbedaan yng dimiliki, akur-akur saja. 
Praktik bom bunuh diri yang sering terjadi di negeri ini semakin menunjukkan akan adanya musuh yang nyata. Yaitu, musuh yang berwujud ’ideologi’ atau keyakinan yang menghalalkan darah setiap orang yang dianggap musuh. Ironinya, musuh itu berjubah ’agama’ tertentu yang seringkali diakaitkan dengan Islam. Atau pelakunya meyakini hal itu sebagai bagian dari ajaran Islam (dengan konsep jihadnya). 
Kita semua masih ingat bahwa Islam dilahirkan bukan untuk kekerasan. Rasulullah mendeklarasikan Islam sebagai agama yang toleran (samha’) atau sebagai koreksi atas dekadensi moral (li utammima makarimah al-akhlaq). Maka tidak benar jika ada yang mengatakan bahwa bom bunuh diri merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Jihad terbesar tidak lain adalah memerangi hawa nafsu, bukan membunuh nyawa-nyawa yang tidak berdosa, apapun agama dan keyakinan yang dianutnya. 
Mencermati peristiwa bom bunuh diri di Hotel JW Marriot dan Rizt Carlton tersebut, saya jadi ingat sekte Khawarij, sebuah aliran teologi dalam dunia Islam. Kelompok Khawarij mempunyai keyakinan bahwa tidak ada hukum selain hukum Allah (la hukma illa Allah); mereka pun menganggap selagi sebuah pemerintahan, negara, khilafah atau apapun yang sejenisnya, tidak dijalankan berdasarkan hukum Allah maka dianggap kafir. Sementara itu, cara perjuangan untuk menegakkan cita-cita negara seperti yang mereka maksud adalah menghalalkan darah mereka yang dianggap musuh (bukan Islam). Jika pelaku pengeboman yang selama ini terjadi di Indonesia benar-benar dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti Nurdin M. Top, Amrozi, Imam Samudra dan kawan-kawan, maka dapat dipastikan bahwa ada kemiripan cara dan keyakinan antara kelompok pengebom yang mengatasnamakan agama Islam dengan sekte Khawarij ini. Jika hal ini benar, mungkinkah kelompok-kelompok tersebut merupakan metamorfosa dari gerakan Khawarij? Mungkinkah ini yang disebut dengan Neo-Khawarij?
Sekarang, musuh nyata bangsa ini adalah ideologi atau keyakinan yang menghalalkan darah setiap orang yang dianggap musuh, lebih-lebih musuh yang diatasnamakan agama (baca: kafir), yang diusung oleh kelompok atau jaringan tertentu, apapun nama dan sebutan kelompok-kelompok itu, baik keagamaan maupun non-keagamaan. Kita musti mewaspadai kelompok atau jaringan ideologi keagamaan yang menanamkan teologi kekerasan atas nama agama ini, yang akhir-akhir ini semakin tumbuh subur dan menjelma kedalam bom bunuh diri. 
Agar peristiwa pengeboman seperti yang terjadi beberapa hari lalu tidak terulang, maka kedepan perlu dikembangkan dan diajarkannya sebuah teologi inklusif yang diimplementasikan melalui kurikulum bidang keagamaan di sekolah-sekolah. Teologi inklusif ini penting untuk menanamkan nilai perbedaan dan hikmahnya sejak dini sehingga kita bisa hidup berdampingan dengan aman dan tanpa ancaman apapun. Atau mungkinkan kita akan hidup dalam ketidak-nyamanan dengan ancaman bom di sana-sini. Atau mungkin kita harus saling bunuh membunuh untuk mempertahankan keyakinan masing-masing?[MFF]

0 komentar: