24 Juli, 2009

Mendialogkan Kembali Agama dan Filsafat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Ketika kita hendak mendialogkan filsafat dengan wahyu, ‘kendala’ yang selalu kita hadapai adalah masalah nalar berpikir yang menvonis filsafat sebagai barang haram yang harus dijauhi, yang diyakini tidak akan mencapai titik temu dengan wahyu; atau bahkan hanya merusaknya. Hal semacam ini hampir menjadi doktrin agama. Pemilahan antara ilmu umum dan ilmu agama merupakan wujud nyata yang lahir dari pendikotomian filsafat dengan dan peminggirannya dari agama.
Mendialogkan kembali filsafat dengan wahyu bukanlah sekedar menghapus pendikotomian antara keduanya. Atau paling tidak, melakukan labelisasi ilmu pengetahuan. Persoalannya tidak sampai di sini saja. Tetapi kita juga harus membuka struktur nalar berpikir, baik pada tingkat epistemik maupun tingkat kultural-historis.
Artinya, kita harus kembali membaca pengalaman sejarah yang telah membentuk nalar berpikir umat Islam sehingga mampu membangun peradabannya, atau mencapai masa keemasannya yang dalam sejarah disebut dengan ashr tadwin. Masa ini diraih melalui proses dialektis yang cukup lama antara ‘diri Islam’ dengan ‘yang lain’.
Mendiskusikan wahyu dan akal (filsafat) sama halnya dengan menyoal dua tradisi berpikir yang berbeda; tradisi berpikir Yunani dan Arab-Islam. Yunani dikenal dengan peradaban akal (hadharah al-aql) dan Arab-Islam identik dengan peradaban teks (hadharah al-nash).
Filsafat hadir ke tengah dunia Islam beberapa abad kemudian (II Hijriyah), jauh setelah diturunkannya wahyu kepada Nabi Saw. Filsafat hadir sebagai budaya pendatang (al-wafid), sementara wahyu menjadi warisan budaya masa lalu (al-mauruts al-qadim).
Pertemuan filsafat dengan wahyu telah mengubah wajah peradaban umat Islam. Filsafat memiliki kontribusi dalam pembangunan peradaban dan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan, filsafat dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama (wahyu). Munculnya buku seperti tahafut al-falasifah menjadi bukti mengenai mulai dibukanya genderang perang dengan filsafat. Akibatnya, filsafat sampai sekarang selalu dipandang bertentangan dengan agama (wahyu); ia adalah barang haram yang harus dijauhi.
Al-Kindi mendefinisikan filsafat sebagai ilmu mengenai hakekat segala sesuatu, yang dicapai dengan kemampuan manusia. Bagi seorang filosof, tujuan mengetahui adalah mengetahui kebenaran; semua apa yang ia lakukan demi menemukan kebenaran, bukan tindakan yang sia-sia. Sementara al-Khawarizm berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu mengenai hakekat sesuatu dan usaha untuk melakukan hal-hal yang patut dilakukan (ma huwa ashlah).
Diantara ciri-ciri filsafat adalah berpikir kritis, logik dan argumentatif. Kritis berarti mau melakukan pemeriksaan kedua (mengoreksi ulang) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh paham awam. Memiliki pengetahuan banyak tidak dengan sendirinya akan mendorong kita untuk memahami, karena pengetahuan banyak belum tentu mengajar akal untuk mengadakan evaluasi kritik terhadap fakta-fakta yang memerlukan pertimbangan yang bersifat konsisten dan koheren.
Logis dan argumentatif berarti berpikir secara sistematis dengan berpijak pada premis-premis untuk mendapatkan konklusi yang sehat dan masuk akal. Ia adalah kemampuan untuk memeriksa suatu argumen dari segi konsistensi logika untuk mengetahui akibat-akibat logis dari asumsi-asumsi dan untuk menentukan kebenaran suatu bukti yang dipakai oleh seorang filosof. Hal ini diperlukan untuk memahami watak dari sebuah pemikiran yang benar dan mengungkapkan cara berpikir yang sehat.
Problem utama yang muncul ketika hendak mendialogkan wahyu (agama) dan filsafat adalah masalah epistemologi. Yaitu, masalah asal (origins); apakah sumber-sumber pengetahuan?, dari mana pengetahuan yang benar itu datang, dan bagaimana kita dapat mengetahui? Ini menjadi problem mendasar bagi seorang muslim dalam memperlakukan wahyu dan filsafat.
Secara simplistis, mungkin dapat digambarkan bahwa wahyu berasal dari Allah sedangkan filsafat bertumpu pada akal manusia. Wahyu adalah ilmu Tuhan (al-ilm al-ilahi), sementara filsafat adalah ilmu manusia (al-ilm al-insani). Pengetahuan dalam konteks wahyu tidak lain adalah pengetahuan yang bersumber dari firman Allah (yang dalam hal ini teks al-Qur’an); pengetahuan menjadi hak prerogratif Tuhan. Sedangkan pengetahuan dalam konteks filsafat berarti bahwa pengetahuan itu didapat melalui proses berpikir akal manusia. Jelas, antara keduanya tidak dapat dipertemukan.
Bahwa wahyu (agama) dan filsafat adalah dua hal yang berbeda. Keduanya memiliki wilayah dan hakekatnya masing-masing. Lalu, bagaimana mendudukkan keduanya?
Ibnu Rusyd dalam bukunya Fashl al-Maqal berpendapat bahwa agama dan filsafat merupakan dua bangunan yang bersifat aksiomatik-hipotetik-deduktif. Kebenarannya harus dilihat dalam masing-masing dirinya, bukan di luarnya. Kebenaran yang dicari adalah kebenaran dalam proses mencari argumen/dalil (istidlal), dan bukan kebenaran prinsip-prinsip dan premis-premis. Karena, prinsip dan premis dalam agama, sebagaimana dalam filsafat, merupakan sesuatu yang dicipta, yang harus diterima dengan tanpa penalaran rasional (burhan). Jika seorang filosof hendak membahas persoalan agama, maka pertama-tama ia harus menerima prinsip-prinsip agama. Sebaliknya, jika seorang agamawan hendak membahas masalah filsafat, maka ia harus menerima prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh filsafat. Jadi, meskipun berbeda, agama dengan filsafat bertemu dalam hal pencapaian tujuan, yakni kebenaran.
Untuk itu, Ibnu Rusyd mengajukan teori takwil yang bertumpu pada tiga prinsip. Pertama, agama (teks al-Qur’an) selalu sesuai dengan apa yang ditetapkan akal, baik sebatas makna literal maupun melalui pentakwilan. Perbedaan antara keduanya sebatas cara menyampaikan dan menjelaskan kebenaran; akal menggunakan rasio dan agama menggunakan sense dan imajinasi. Agama berbicara kepada semua manusia, karena tujuannya yang mendasar adalah meluruskan perilaku manusia. Maka, agama berbicara kepada akal, sense dan imajinasi; menggunakan cara rasional, dialektis dan retoris. Di sini, takwil berarti mengubah pernyataan-pernyataan yang bersifat dialektis dan retoris, menjadi pernyataan yang rasional; menjadi ‘akal murni’.
Kedua, bahwa bagian-bagian dari al-Qur’an saling menafsirkan antara satu dengan yang lain. Artinya, jika secara zahir ayat bertentangan dengan keputusan akal, maka mesti di tempat lain akan ditemukan makna hakiki dari ayat tersebut; makna yang sesuai dengan makna yang diputuskan akal. Ini berarti bahwa takwil adalah usaha untuk merekonstruksi pernyataan-pernyataan agama secara rasional dengan tetap menjaga kesatuan internal (teks).
Ketiga, bahwa sebagian hal yang terdapat dalam agama, ada yang dapat ditakwil dan ada yang tidak dapat ditakwil. Agama berpijak pada tiga hal yang tidak dapat ditakwil; (1) peneguhan terhadap Allah, (2) peneguhan terhadap kenabian, dan (3) peneguhan terhadap hari akhir. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menyerukan keimanan kepada Allah, malaikat, rasul dan hari akhir, tidak boleh ditakwil. Namun, selain ayat-ayat yang memuat prinsip tersebut di atas dapat ditakwil dengan syarat: (1) tetap memperhatikan karakteristik stailistika bahasa Arab dalam mengungkapkan, (2) memperhatikan kesatuan internal pernyataan-pernyataan (teks) agama, dan (3) tetap mempertimbangkan tingkat pengetahuan bagi orang yang akan melakukan takwil.
Allah adalah akal ketuhanan (al-aql al-ilahi) yang universal. Ia menjadi sumber dari segala sumber akal dan segala yang maujud. Ilmu Allah bersifat sempurna (tamm) yang menjadi sumber bagi segala sistem yang ada di dunia. Oleh karena itu, tidak tepat jika kita mengatakan bahwa ilmu Allah itu bersifat juz’iy (parsial) atau kulliy (menyeluruh); Allah mengetahui hal-hal kecil saja atau hal-hal yang besar (global) saja.
Pengetahuan Allah berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah merupakan sebab (al-illah) bagi segala yang maujud. Sementara pengetahuan manusia dicapai akibat dari pemahaman terhadap sebab, dan karena itu bersifat baru dan berubah-ubah. Pengetahuan Allah adalah ‘yang ghaib’ (al-gha’ib) yang bersifat mutlak, sedangkan pengetahuan manusia adalah ‘yang nyata’ (al-syahid) yang bersifat terbatas. ‘Yang nyata’ tidak dapat dianalogikan pada ‘yang ghaib’.
Secara epistemik, semua pengetahuan berpijak pada kausalitas. Mengetahui akibat (konsep/pengetahuan) tidak akan dapat diperoleh dengan sempurna kecuali dengan mendalami sebab-sebabnya. Mengingkari hubungan kausalitas antara sebab dan akibat dapat membatalkan sebuah pengetahuan dan atau bahkan akan menepis pengetahuan itu sendiri.
Secara ontologik, segala yang maujud di dunia pada hakekatnya merupakan bentuk dari sebab (al-sabab) dan akibat (al-musabab). Usaha manusia dalam memahami sebab dan akibat dapat melahirkan pengetahuan. Hanya saja, pengetahuan manusia selalu bersifat terbatas. Karena secara alami, manusia tidak mampu memamahami dan mencermati seluruh tata-urutan (sistem) yang ada di dunia.
Seorang filosof dapat memahami agama dalam frame agama itu sendiri, dan seorang agamawan (al-alim al-diniy) dapat menggunakan kategori-kategori dan kepastian logik dalam memaknai pernyataan (teks) agama. Keduanya dapat bertemu dan bermuara pada satu titik, yaitu kebenaran. Agama menginginkan keutamaan praksis dengan jalan membawa manusia kepada perilaku yang utama (al-suluk al-fadhil) secara langsung. Sedangkan filsafat menuntut keutamaan praktis melalui pengetahuan teoritis yang dapat mendorong si empunya kepada perilaku yang utama. Di sini, antara filsafat dan agama menemukan basis ontologis yang sama.[mff]

Buku bacaan selanjutnya:
1. Al-Kindi, Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah, t.p., t.t.
2. Muhammed Abid Aljabiri, Nahnu wa Turats: Qira’ah Muashirah, al-Markaz al-tsaqafi al-Arabi, 1993
3. Ibn Rusyd, Fashl al-Maqal fima baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, t.p., 1895
4. Ibn Rusyd, Manahij al-Adillah fi Aqa’id al-Millah, t.p., 1955
5. Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, t.p., 1901
6. Muhammed Athif al-Iraqi, al-Manhaj al-naqdi fi Falsafah Ibn Rusyd, Dar al-Ma’arif, 1980
7. Abdul Mun’im al-Hifni, al-Mu’jam al-Falsafi, al-Dar al-Syarqiyah, 1990
8. Harold H. Titus dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Bulan Bintang, 1984

0 komentar: