03 Desember, 2009

Pemikiran Etika Aristoteles

Oleh: M. Faisol Fatawi

Biografi Singkat Aristoteles
Aristoteles dilahirkan pada tahun 384 SM di Stagyra, sebuah daerah di Thrakia, Yunani Utara. Masuk Akademia ketika berusia delapan belas tahun. Menjadi murid Plato selama dua puluh tahun, yaitu sampai tahun 347. Sekembalinya dari Athena pada tahun 335 SM (Kevin Knigth, 1999: 1), atau menurut pendapat lain tahun 334 (Titus Hepp Smith, 1975: 91), ia mendirikan sekolah yang diberi nama Lykaion (Lyceum) atau disebut juga sekolah paripetik. Pada tahun 342, pernah menjadi pendidik Iskandar Agung Muda, kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 323 melarikan diri dari Athena, setelah kematian Iskandar Agung, karena dituduh menyebarkan ajaran ateisme, dan meninggal pada tahun 322 SM (Kevin Knigth, 1999: 2).
Di antara tiga karya besar Aristoteles yang khusus berkaitan dengan etika adalah Ethica Eudemia, Ethica Nicomacheia, dan Politike. Namun yang paling mendapat perhatian dari ketiga karya tersebut adalah Ethica Nicomacheia karena merupakan ungkapan pikiran matang Aristoteles; Ethica Eudemia masih dipertanyakan orosinalitasnya (apakah ditulis oleh Aristoteles?), sementara Politike lebih menfokuskan pada masalah kenegaraan (Frans Magnis Suseno, 1999: 27-28).

Tujuan Hidup: Kebahagiaan
Setiap manusia memiliki tujuan hidup. Menurut Aristoteles, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi pada satu sisi, dan pada sisi lain tidak masuk akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang lain. Hidup manusia akan semakin bermutu manakala semakin dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan mencapai tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya secara penuh, sehingga mencapai mutu yang terbuka bagi dirinya (Richard H.Popkin & Avrum Stroll, 1982: 7-8).
Apapun yang dilakukan oleh manusia, demikian menurut Aristoteles, mesti merupakan sesuatu yang baik, demi suatu nilai. Dalam mencapai tujuan hidup, yang terpenting adalah nilai, yaitu nilai demi dirinya sendiri. Apabila kebahagiaan merupakan tujuan akhir hidup manusia, itu berarti bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan demi suatu nilai lebih tinggi lainnya. Kebahagiaan adalah yang baik pada dirinya sendiri (Jonathan Barnes, 1995: 199-203).
Menurut Aristoteles, ada tiga pola hidup yang mengandung kepuasan dalam dirinya sendiri. Pertama, hidup yang mencari nikmat, kedua hidup praksis atau politis, dan ketiga hidup sebagai seorang filsuf: hidup kontemplatif.
Maksud hidup yang mencari nikmat menurut Aristoteles bukanlah hidup hedonistik. Meskipun hampir setiap manusia mengharapkan hidup penuh kenikmatan, namun kenikmatan itu sendiri –baginya—bukanlah khas manusiawi. Ini dapat diambil contohnya pada seorang anak kecil yang gembira. Kalau anak kecil itu gembira, mestinya kita ingin menjadi anak kecil lagi. Aristoteles mengakui kenikmatan itu. Nikmat itu adalah baik saja asalkan tidak menjadi tujuan. Jadi, kenikmatan bukanlah satu-satunya tujuan untuk mencapai kebahagiaan (Frans Magnis Suseno, 1999: 31-32).
Meskipun sebagain orang sepakat bahwa kenikmatan dapat membahagiakan, namun kenikmatan itu bukanlah kenyataan itu sendiri. Kenikmatan itu tidak berdiri sendiri, tapi menyertai suatu tindakan. Bagi Aristoteles, seseorang dapat menemukan kebahagiaan sebagai tujuan akhir apabila ia menjalankan fungsinya dengan baik. Nilai tertinggi bagi manusia adalah suatu tindakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas khas manusia (K. Bertens, 2001: 243).
Apabila kebagiaan merupakan tujuan hidup manusia dan tujuan itu hanya dapat dicapai dengan menjalankan fungsinya, maka kebahagiaan –dalam pandangan Aristoteles—dapat dipahami sebagai optimalisasi fungsi. Uang misalnya, dapat membikin manusia nikmat dan dengannya ia menjadi bahagia, namun kenikmatan yang diperoleh seperti ini memposisikan dirinya sebagai pelaku yang pasif. Artinya kebahagiaan yang diperoleh itu bukan berasal dari hasil tindakan atau aktualisasi pengembangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebahagiaan itu diperoleh melalui tindakan yang aktif, dengan menyatakannya dalam bentuk tindakan.
Manusia –demikian menurut Aristoteles—tidak dapat menyatakan tindakan dan aktualitas dirinya yang khas kecuali dengan akal budi. Dengan akal budi inilah, manusia mampu mewujudkan tindakannya, dan ini sekaligus yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain (baca: binatang). Kegiatan yang khas manusiawi adalah kegiatan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi (Jonathan Barnes, 1995: 206-208).
Namun menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk yang campur, bukan makhluk rohani murni dan juga bukan fisik saja. Keduanya ada dalam diri manusia. Untuk itu manusia bisa melaksanakan kegiatan khas manusiawinya dalam pola kehidupan politis (praxis) dan kehidupan kontemplatif (Theoria). Manusia adalah jiwa yang berbadan dan badan yang berjiwa.

Theoria dan Praxis
Menurut Aristoteles, theoria dimaksudkan dengan renungan atau kontemplasi, yaitu memandang sesuatu secara mendalam, bukan pemikiran. Ini merupakan kegiatan manusia yang paling luhur, karena merealisasikan bagian jiwa manusia yang paling luhur: yang ilahi, logos, dan roh. Dalam theoria inilah roh digiatkan (Frans Magnis Suseno, 1999: 33).
Apa yang menjadi objek renungan dalam hal ini adalah realitas yang tidak berubah, bersifat abadi dan ilahi. Melalui renungan, orang akan dapat menemukan cinta pada kebajikan. Karena bersifat ilahi dan abadi, maka ia pun lebih membahagiakan manusia. Tidak ada yang lebih luhur katimbang renungan atau philoshopia. Hanya sedikit orang yang dapat ber-theoria.
Oleh karena itu, menurut Aristoteles manusia harus memasuki wilayah etis yang sebenarnya, yaitu praxis: bukan practique yang berarti perbuatan. Praxis memiliki kekhasan tersendiri. Praxis tidak membutuhkan keterampilan dan sikap cekatan sebagaimana lumrahnya segala macam kegiatan.
Menurut Aristoteles, praxis berarti tindakan atau perbuatan demi dirinya sendiri (tindakan yang merubah) bukan poesis, sebuah tindakan demi hasil di luar perbuatan itu sendiri (tindakan yang mencipta), dan juga bukan ponos, pekerjaan berat dan kasar. Yang terpenting dalam praxis adalah partisipasi untuk turutserta merealisasikan diri sebagai makhluk sosial di tengah masyarakat lewat komunikasi aktif atau pergaulan dengan sesama demi mencapai kebahagiaan: sebab tujuan tiap orang dan semua komunitas adalah sama (Frans Magnis Suseno, 1999: 34-35).
Manusia itu adalah zoon politikon. Realisasi partisipasi manusia akan semakin utuh lewat kehidupan negara. Manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama dalam memajukan negara-kota. Oleh karena itu, bagi Aristoteles, ada hubungan erat antara etika dan politik Frank N.Magill, 1990: 76-77).

Phronesis dan Keutamaan Etis
Tidak ada pengetahuan yang pasti tentang tindakan manusia. Tugas etika bukan menyediakan aturan-aturan, namun menyediakan semacam visi atau perspektif. Pesrpektif ini disebut dengan orthos logos (pengetahuan yang tepat). Pengertian yang tepat bukan tolok ukur terurai, namun lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis dalam memahami tindakan mana yang tepat untuk dilakukan dalam situasi tertentu. Dalam pandangan Aristoteles, etika menghasilkan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan orthos logos (Frans Magnis Suseno, 1999: 37-38).
Keutamaan adalah sikap batin yang dimiliki manusia. Aristoteles membedakan dua macam keutamaan, yaitu intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai atikai). Yang pertama merupakan sikap akal budi, sedangkan yang kedua adalah sikap kehendak. Keutamaan yang pertama dibagi menjadi shopia (kebijaksanaan I), nous (kemampuan mengaktifkan logos), phronesis (kebijaksanaan Praktis), episteme (ilmu pengetahuan), dan techne (keterampilan) (Frans Magnis Suseno, 1999: 37-38).
Kemampuan untuk bertindak sesuai dengan pengertian yang tepat adalah prhonesis. Shopia adalah kebijaksanaan orang yang hatinya terangkat ke tingkat alam adiduniawi: kebijakan orang yang ber-theoria. Sementara phronesis adalah kemampuan orang untuk mengambil sikap dan keputusan dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan keseharian. Menurut Aristoteles, prhonesis adalah kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam masalah baik dan buruk bagi manusia. Prhonesis tidak ada kaitannya dengan theoria. Ia tumbuh dari pengalaman dan kebiasaan (dalam arti habitus) untuk bertindak etis (Frans Magnis Suseno, 1999: 76-77).
Menurut Aristoteles, keutamaan tindakan (baca: Prhonesis) itu memerlukan kebiasaan yang mengarah kepada pilihan jalan tengah antara ekstrem-sktrem dalam prilaku; antara tujuan antara dan tujuan ultimate, yang diperoleh melalui pengambilan keputusan-keputusan (Lorens Bagus, 1996: 459). Sikap berani milsanya, merupakan keutamaan dari antara sikap pengecut dan nekad; murah hati (antara boros dan kikir); berjiwa besar (antara kejih dan kurang ajar); dan santun (antara ambisi dan tidak peduli).

Epilog
Tujuan etika dalam pandangan Aristoteles bukan pengetahuan lebih tajam, namun praxis. Bukan mengetahui apa yang baik, namun membuat orang hidup dengan baik. Tindakan dikatakan betul sejuah mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan: oleh karena itu, ia termasuk aliran etika teleologis. Pengetahuan yang diberikan oleh etika adalah pengetahuan dalam garis besar (typo), bukan rinci.[mff]


Daftar Pustaka

Fran N.Magill (ed.), Masterpieces of World Philosophy, Harper Collin: New York, 1990

Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Yunan Sampai Abad ke-19, Kanisius: Yogyakarta, Cet. III, 1999

Jonathan Barnes (ed.), The Cambridge Companion to Aristotle, Cambridge Universty: Cambridge (USA), 1995

K.Bertens, Etika, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001, Cet. IX

Kevin Knight, The Catholic Encyclopedia, Vol. I (naskah didapat dari internet)

Loren Bagus, Kamus Filsafat, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1996

Richard H.Popkin & Avrum Stroll, Philosophy, Made Simple Books: London, Cet. IX, 1982

Titus Hepp Smith, The Range of Philosophy, Wadsworth Publishing Company: California: 1975

0 komentar: