27 Desember, 2009

Nabi Muhammad dan Negara Arab-Quraisy

Oleh: M.Faisol Fatawi

Akhir-akhir ini, tema tentang negara Islam menjadi bahan diskusi atau perbincangan di tengah para intelektual muslim. Seperti yang kita ketahui, ada dua arus besar dalam menanggapi isu itu. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa Islam telah mengenal dan bahkan mensyariatkan pemeluknya untuk menegakkan dan mendirikan negara Islam. Kelompok ini meyakini, bahwa perintah pendirian negara Islam itu ada dalam syariat Islam: syariat Islam harus ditegakkan dan harus didukung oleh negara, oleh karena itu harus ada negara Islam. Inilah yang telah dilakukan oleh Nabi Saw. di Madinah (negara Madinah). Menurut kelompok ini, menolak berdirinya negara Islam berarti telah melenceng dari syariat Islam.
Berbeda dengan pandangan tersebut, kelompok yang kedua berpendapat bahwa konsep negara Islam tidak ada. Dalam syariat Islam (al-Qur'an) pun tidak ditemukan perintah untuk mendirikan negara Islam. Menjalankan syariat Islam tidak harus dengan mendirikan negara Islam. Bahwa eksperimentasi politik Nabi Saw. di Madinah (negara Madinah) lebih sekedar "tuntutan" sejarah dalam rangka menjalankan misinya. Oleh karena itu, masalah mendirikan negara Islam hanyalah masalah yang sama sekali bersifat historis, bukan merupakan syariat Islam.
Baik kelompok yang pertama maupun yang kedua, masing-masing telah menjadikan eksperimentasi politik nabi Saw. di Madinah sebagai pijakan. Persoalannya hanya beda interpretasi. Yang pertama memahami eksperimentasi itu secara tekstual, yaitu sebagai bagian integral dari sunah rasul yang wajib diikuti: ia adalah syariat itu sendiri. Sementara yang kedua memahami eksperimentasi itu lebih terbuka, yaitu ia bukan bagian integral dari ajaran nabi. Meskipun bukan merupakan bagian yang integral, namun pengalaman politik nabi tersebut --bagi kelompok kedua-- masih menjadi rujukan sebagai model negara demokratis dan oleh karena itu pada diri nabi Saw. tercermin profil seorang negarawan yang sejati dan otentik. Yang pertama menjadikan pengalaman politik nabi sebagai bentuk negara yang final, sementara yang kedua lebih mengambil prinsip-prinsip yang dijadikan landasan negara Madinah, bukan bentuknya.
Lalu mengapa pengalaman politik Nabi Saw. di Madinah (negara Madinah) itu harus selalu dijadikan rujukan untuk diinterpretasikan dalam memahami konsep negara dalam ranah politik Islam? Apakah itu merupakan rujukan satu-satunya? Benarkah negara Madinah itu didirikan oleh nabi? Tidak adakah perspektif lain yang mungkin dapat kita jadikan sebagai titik tolak pembacaan di luar pengalaman politik Madinah itu? Barangkali karena telah menjadikan pengalaman politik di Madinah sebagai satu-satunya rujukan itulah, kedua arus pemikiran tentang politik Islam dihadapkan pada jalan buntu, bahkan cenderung berhadap-hadapan. Yang terjadi justru polarisasi pemikiran yang semakin kuat.
***
Kajian yang dilakukan oleh Khalil Abdul Karim mungkin bisa menjadi titik terang atas beberapa pertanyaan di atas dan perspektif lain dalam masalah politik Islam. Buku setebal 369 halaman ini telah membongkar negara Madinah yang --konon-- didirikan oleh nabi. Ia menunjukkan kepada pembaca bahwa negara yang ada di Madinah adalah negara Arab-Quraisy, sebuah negara yang di dalamnya para keturunan dari suku Quraisy mendominasi posisi-posisi strategis dalam mengambil kebijakan publik, yang sangat menguntungkan suku Quraisy. Semula negara ini telah dipersiapkan oleh Qushoy bin Kilab, kakek paling tua nabi Muhammad. Kemudian dilanjutkan oleh Hasyim dan Abdul Mutholib, sebelum jatuh ke tangan Muhammad Saw. Muhammad hanyalah penerus negara yang telah dipersiapkan oleh kakeknya itu, bukan pendiri.
Wilayah-wilayah di jazirah Arab ketika itu sedang mengalami kefakuman politik. Tak satu pun dari sekian banyak suku-suku Arab berdiri dalam satu kedaulatan. Yang ada hanyalah antara suku yang satu dengan lainnya saling menyerang. Kondisi yang seperti ini direspon secara baik oleh Qushoy bin Kilab dengan berniat menegakkan satu kedaulatan politik (suku Quraisy) yang memayungi semua suku-suku Arab.
Untuk mewujudkan niatnya, Qushoy bin Kilab mula-mula menguasai kota Makkah yang ketika itu menjadi central politik, ekonomi dan agama, dengan membeli kunci Ka'bah dari salah seorang ahli waris Bani Zahroh. Ini dilakukan karena suku Quraisy pada saat itu merupakan suku yang marginal, yang hidup di tebing-tebing, lereng gunung dan jauh dari pusat keramaian. Setelah Ka'bah berada dalam kekuasaan Qushoy, semua keturunan suku Quraisy dipanggil untuk menetap dan mengurusi kota Makkah. Di sinilah, suku Quraisy mulai memperluas pengaruhnya lewat transaksi perdagangan, berbagai perdamaian (hilf al-fudlul), dan bentuk-bentuk hubungan diplomasi yang lain, hingga menjadi suku yang mampu menguasai suku lainnya.
Dominasi politik suku Quraisy semakin kuat manakala para keturunan suku Quraisy seperti Bani Abdi Dar, Abdi Manaf dan Abdi Syam, menjadikan tradisi ritual keagamaan masyarakat jazirah Arab sebagai media sosialisasi diri. Berbagai usaha dilakukan untuk mempermudah dan mengenakkan setiap orang yang melakukan ibadah haji dan umroh ke Ka'bah. Mereka membangun saluran air, memberi makan dan minum kepada setiap orang yang haji, memberi jaminan keamanan kepada setiap yang datang ke sana dan lain-lainnya. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan kepada khalayak masyarakat yang datang bahwa suku Quraisy adalah suku yang baik, dermawan, terpandang, kaya dan berbagai sifat positif lainnya. Tak heran jika kemudian mereka disebut dengan ahl al-haram (penduduk yang terhormat).
Sebagai kelancaran untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dan sekaligus memutuskan kebijakan publik, maka dibangunlah dar al-nadwah. Tempat ini dibangun di dekat bangunan Ka'bah. Musyawarah yang berlangsung di dalam dar al-nadwah hanya boleh diikuti oleh para sesepuh keturunan Quraisy: mayoritas mereka berusia empat pulu tahun ke atas. Di dalam dar al-nadwah inilah segala persoalan dibahas dan dimusyawarahkan, mulai politik sampai sosial-kemasyarakatan.
Secara geopolitik tidak dapat dibantah, bahwa dua negara besar, kerajaan Byzantium dan Persia, berada dalam ketidak-berdayaan. Kondisi ini juga dipahami secara cermat oleh nabi Muhammad Saw, di samping landasan dasar pendirian negara Arab-Quraisy yang sudah ada, yang telah diwarisi dari para kakek-kakeknya. Barangkali kenyataan inilah yang "mengharuskan" Muhammad untuk mengatakan bahwa kerajaan Byzantium dan Persia, beberapa tahun lagi, akan jatuh (lihat QS ar-Rum: 2 - 4), bahkan dalam kesempatan lain, jauh sebelum turunnya ayat tersebut beliau pernah mengatakan akan menaklukkan kedua kerajaan tersebut namun dibantah oleh salah seorang musyrik dan turunlah surat Ali Imran: 26. Hingga akhirnya Muhammad berhasil menegakkan suatu kedaulatan politik di Madinah, dan ini --sekali lagi-- menurut Khalil Abdul Karim adalah negara Arab-Quraisy.
Negara itulah yang diwarisi dan dijalankan oleh para sahabat sepeninggal nabi Muhammad. Negara itu tetap berada dalam kendali para keturunan suku Quraisy: sejak khulafaur rasyidun, pemerintahan Bani Umaiyah, Bani Abbasiyah, bahkan sampai lahirnya negara-negara kecil di Ceuta Cordova.
***
Berbagai fakta sejarah yang diungkapkan oleh Khalil Abdul Karim tersebut telah membuka alam pikiran kita, bahwa betapa masyarakat sejarah selama ini telah terjebak pada "kebenaran" fakta sejarah yang semu, karena bahwa segala yang dilakukan nabi Muhammad tidak pernah dilihat sebagai kontinuitas sejarah sebelum kenabian (pra Islam). Selama ini para pemikir muslim berdebat soal pengalaman politik nabi di Madinah (negara Madinah) tanpa melihatnya sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masa sebelumnya. Membaca sejarah sebagai sesuatu yang terputus dengan masa sebelumnya berarti tidak meletakkannya sebagai sesuatu yang in historis, tetapi a historis.
Bagaimanapun juga pengalaman politik nabi merupakan bagian sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari masa sebelumnya (pra Islam). Justru ketika meletakkan pengalaman itu sebagai kontinuitas dari masa sebelumnya, maka umat Islam akan dapat menemukan signifikansi pengalaman historis kenabian di tengah kehidupan sehari-hari. Jangan dikira bahwa Islam itu muncul begitu saja, tak memiliki kontinuitas dengan era sebelumnya, sehingga dengan enteng dapat dikatakan bahwa Islam itu pencerahan sedangkan masa sebelumnya era kegelapan atau jahiliyah.
Apa yang telah dinyatakan oleh Khalil Abdul Karim sebagaimana yang telah diuraikan di atas bisa saja mengundang perdebatan yang cukup panjang, bahkan dengan serta-merta akan ditolak oleh sebagian umat Islam. Tetapi sebenarnya apa yang telah dilakukannya adalah meletakkan sejarah pengalaman kenabian (baca: agama Islam) sebagai bagian dari kajian budaya: bagian yang sama sekali terpisah dari masa sebelumnya. Sebuah perspektif lain yang masih jarang dilakukan oleh pemikir muslim pada umumnya.[mff]

0 komentar: