27 Desember, 2009

Islam dan Pembebasan

Oleh: M. Faisol Fatawi

• Islam: Sebuah Transendensi Yang Menyejarah. Islam memuat sistem nilai yang luhur dan tinggi (baca: Par Excellence). Sebagai agama yang menurut al-Qur’an merupakan keturunan spritual Ibrahim, ia mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Hidup melalui perantaraan para nabi-Nya: Kebenaran hanya milik dan ada di tangan-Nya, dan segala gerak-ruang-waktu yang ada bersumber dari-Nya. Keberadaan Islam adalah untuk menyatakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengikuti ajaran-ajaran-Nya sebagai kesadaran kognitif dalam tindakan pemeluknya. Ini berarti bahwa Islam sebagai agama yang ada, melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bersifat profan dari keseluruhan tindakan dan peristiwa sejarah yang dilakukan manusia. Ketika agama menekankan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat misalnya, sebenarnya ia sedang membantu manusia yang fana-manusiawi dalam kesungguhan upayanya menempuh jalan kebaikan universal dan merajut nilai-nilai keabadian. Mendistorsi agama pada sejumlah ritus-ritus dan kegiatan sekuler belaka, tanpa mendialogkan dengan transendensi nilai yang dikandung, sama dengan membangun dunia yang absurd dan tidak bermakna. Penolakan untuk mengaitkan transendensi dengan berbagai petualangan [peristiwa] sejarah yang profan justru merupakan ungkapan dari “kegagalan” seorang dalam beragama.
• Wahyu, Kenabian dan Perubahan Sosial. Allah menurunkan wahyu kepada umat manusia melalui nabi-Nya guna menciptakan, merencanakan dan mengarahkan semua urusan alam dan manusia menurut kehendak-Nya. Secara teologis, ini berarti bahwa Allah adalah sumber segala kekuatan, pengetahuan, kebijaksanaan, keadilan dan kasih sayang. Wahyu berarti suatu cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah realitas dalam sejarah keselamatan manusia. Apabila nabi Adam berjuang menentang kebodohan dan kezaliman, Hud menentang orang-orang yang arogan (mustakbirin), Saleh memperjuangkan kesetaraan, Ibrahim menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, Syu’aib melawan ketidakadilan ekonomi, Musa membebaskan kaum buruh, Isa memimpin kaum lemah, maka Muhammad memperjuangkan berdirinya sebuah tatanan sosial manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur kebenaran, kesetaraan sosial dan persaudaraan. Betapapun struktur fundamental, lembaga-lembaga, adat-istiadat, hukum-hukum, moral-moral masyarakat di zaman mereka berbeda-beda, tetapi kehadiran mereka sama-sama menyerukan kebenaran, mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang tertindas dan membawa kesetaraan dan persaudaraan kepada mereka. Mereka hidup, bekerja dan bejuang di dalam sebuah masyarakat atau zaman pra-feodal dan pra-ilmiah di mana agama menjadi bahasa idiom dan metode untuk menafsirkan atau mengekspresikan realitas.
• Hermeneutika Keimanan; Masalah Tauhid-Taqwa. Tauhid dan taqwa merupakan pilar terpenting dalam ajaran agama Islam. Secara implisit, pengakuan atas ke-esaan Tuhan dan taqwa sebagai instrumen fundamental dalam mewujudkan hakekat kemanusiaan, mengingatkan kepadanya pada pertama, persoalan ketuhanan atau akidah (ilahiyat), dan kedua, persoalan kemanusiaan (insaniyah) secara bersamaan. Dalam prilaku beragama, semestinya konsep tersebut (tauhid-taqwa) mempunyai implikasi signifikan: mendorong seseorang untuk melakukan pemahaman secara terus-menerus, memberikan keseimbangan estetis dan relegius-spiritual dalam kehidupan, dan menumbuhkan komitmen pemeluk agama dalam proses berdialog antara dirinya dengan perubahan realitas sosial.
• Teologi Pembebasan: Dari Kesadaran Menuju Aksi. Dalam sejarah Ilmu Keislaman, formulasi teologi klasik menitik-beratkan pada persoalan-persoalan dogmatis-metafisis: surga-neraka, keadilan Tuhan, qada’-qadar dst. Persoalan ketuhanan (Ilahiyat) lebih menjadi fokus perdebatan dan kajian. Karenanya kategori yang muncul kemudian adalah mukmin-kafir-fasiq atau Dar al-harb-Dar al-Islam, dan melahirkan perebutan klaim kebenaran (Truth Claim) antar sesama. Ini pada gilirannya hanya memproduksi wacana-wacana yang berwatak eksklusif, yang teralienasi dari persoalan-persoalan kekinian misalnya saja kemiskinan, ketertindasan kaum buruh (proletar), hak asasi manusia, konflik ras, agama, suku dan sebagainya. Lalu apa peran teologi atau agama di tengah persoalan kemanusiaan yang sangat kompleks tersebut, jika ia hanya mampu memproduksi masalah ketuhanan?
Sampai sini, kita mesti meformulasikan kembali sikap “berteologi” atau “beragama” dengan membangun landasan paradigmatisnya. Ada empat unsur paradigmatis yang menjadi semangat agama [Islam] dalam sejarah pembebasan umat manusia; 1) Kemerdekaan (al-Hurriyah), kemandirian seorang hamba [manusia] sebagai hasil karya penciptaan Allah yang Maha Tinggi, 2) Persaudaraan (al-Ukhuwah), rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemajemukannya, 3) Keadilan Sosial (al-Adalah), bukan sekedar persamaan, namun pencukupan syarat atau sarana dasar kehidupan bagi semua, 4) Kemanusiaan (al-Insaniyah), cinta kepada kemanusiaan. Karena itu, “berteologi” atau “beragama” tidak saja melaksanakan amalia ritual-individu, tetapi lebih dari itu membangun dunia dalam rangka pembebasan umat manusia. Jika teologi klasik merupakan keyakinan yang didasarkan pada apriori dan usaha apologetis untuk memahami Tuhan, maka teologi yang membebaskan merupakan usaha-usaha metodis untuk memahami dan menafsirkan kebenaran wahyu dengan menitik-beratkan pada wilayah praksis. Selanjutnya, yuk diskusi bareng...![mff]

0 komentar: