27 Desember, 2009

Menafsirkan Jejak Politik Penaklukan Nabi Muhammad

Oleh: M.Faisol Fatawi

Ketika membaca sirah nabi Muhammad, selalu terbayang di benak kita akan dua gambaran sekaligus yang menyatu dalam dirinya. Yaitu, wajah ketuhanan yang menjelma dalam kepribadian dan perilaku beliau melalui wahyu yang diturunkan kepadanya, dan sosok manusia biasa yang hidup bersama dengan masyarakat di sekitarnya. Namun demikian, sosok beliau sebagai manifestasi penyambung "lidah" Tuhan selalu diyakini oleh mayoritas umat Islam, sehingga yang tampak di hadapan mereka adalah sirah kenabian yang sakral.
Tidak demikian dengan Khalil Abdul Karim. Pemikir Mesir yang dicap dengan sebutan the red syaikh ini membaca sirah nabi melalui dimensi kemanusiaan yang melekat dalam dirinya dengan spektrum yang lebih luas. Tidak saja nabi Muhammad sebagai panutan teologi yang--diyakini ma'shum--dikontrol oleh wahyu, tetapi sekaligus seorang politikus, diplomat ulung, revolusioner, komandan perang, pimpinan kharismatik, dan lain sebagainya. Seluruh fragmen kehidupan nabi semestinya ditempatkan sebagai normal human being, serta dikaji secara ilmiah dan objektif.
Islam adalah misi dakwah ketuhanan utama yang harus disampaikan oleh nabi Muhammad. Secara de facto, tantangan "ideologis" yang membentang di depan kesuksesan misi Islam tidak lain adalah jahiliah. Agar Islam bisa menjadi tegak, maka kehidupan jahiliah yang sudah bercokol di muka bumi jazirah Arab harus dihilangkan, dan membangun tatanan baru yang dapat menggantikan dan mewakili tatanan sebelumnya. Membangun tatanan baru sebagai ganti atas tatanan jahiliah yang telah mengakar berabad-abad sebelumnya, bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Upaya pembangunan itu tidak cukup dengan seruan-seruan teologis dan moral, tetapi juga negosiasi-negosiasi yang cukup alot. Karena, tatanan kehidupan yang hendak dibangun meliputi seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi maupun agama. Semua itu mengharuskan adanya pengujian dan penilaian ulang dengan parameter-parameter yang dibawa oleh Islam.
Dalam jarak waktu yang tidak lebih dari tiga puluh tahun, Islam telah mewarnai dan menggeser tatanan kehidupan jahiliah. Dengan sangat cerdik, nabi menggunakan simbolisasi, mitologi dan metafor dalam pencitraan diri sebagai pembawa kultur baru (Islam). Mekanisme ini terus berlangsung sebagai bagian dari proses penundukan tatanan kehidupan lama.
Momen paling penting yang menunjukkan kesuksesan besar nabi Muhammad dalam bernegosiasi dengan pelaku kultur setempat (jahiliah) adalah fase yang oleh Khalil Abdul Karim disebut dengan am al-wufudl (Tahun Delegasi). Fase ini mencakup separoh masa yang dihabiskan nabi Muhammad di Yatsrib (Madinah), yakni sekitar lima tahun. Dalam tahun-tahun inilah nabi melakukan negosiasi untuk menaklukkan tatanan jahiliah yang sesunguhnya.
Sepanjang am al-wufudl (Tahun Delegasi), tidak kurang dari tujuh puluh utusan (delegasi) dari berbagai lapisan suku masyarakat Arab telah bertemu dengan nabi. Dalam menerima delegasi, nabi memberi penghormatan yang lebih, misalnya memberi julukan yang bersifat sanjungan kepada delegasi dengan sebutan tertentu (seperti pada delegasi Abd al-Qais), menghadiai binatang ternak, menyiapkan jamuan makan secara istimewa, atau bahkan sekedar memberi doa (seperti pada delegasi Ahmas). Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan service dan penghormatan yang memuaskan bagi para delegasi yang datang dari berbagai penjuru tanah Arab dengan latar belakang tradisi dan kultur masing-masing.
Jumlah delegasi yang menghadap nabi pun bervariasi. Kadang, cukup diwakili satu orang, dan kadang sampai ratusan orang. Namun yang aneh adalah bahwa tidak semua delegasi yang datang kepada nabi menyatakan bergabung dengan panji Islam, meskipun secara nyata mereka menyatakan tunduk kepada beliau. Bahkan tak jarang secara diam-diam dan terang-terangan berbalik arah memusuhi (memerangi) nabi. Mengapa ini terjadi?
Menurut Khalil, ada dua macam ketundukan yang ditampakkan oleh delegasi-delegasi masyarakat Arab kepada Muhammad. Pertama, ketundukan mereka pada otoritas negara Quraisy yang telah dibangun oleh Muhammad di Yatsrib sebagai realisasi impian leluhur tertingginya, Qushai bin Kilab. Kedua, ketundukan mereka memeluk Islam yang didakwahkan Muhammad. Hanya saja, ketundukan terhadap nabi sebagai pemegang otoritas politik negara Quraisy lebih dominan daripada murni agamis.
Sampai sini tidak heran jika kita menemukan dua model keimanan yang berkembang di kalangan umat Islam pada era nabi. Pertama, keimanan secara akidah. Artinya, bahwa ada sebagian orang yang menyatakan ketundukan (iman) kepada nabi karena akidah (ajaran) yang dibawa oleh beliau, tanpa ada pertimbangan dan motif-motif politik. Kedua, keimanan secara politik. Artinya, ada sebagian orang yang menyatakan (iman) kepada nabi karena didorong oleh kepentingan politik tertentu. Kepentingan itu bisa berupa mendapatkan keselamatan dari ancaman suku lain, mendapatkan harta rampasan perang, mengharapkan suaka politik, dan lain-lain. Kesimpulan itulah yang dalam bahasa Muhammed Abid al-Jabiri disebut dengan al-iman fi al-akidah (keimanan secara akidah) dan al-iman fi as-siyasah (keimanan secara politik).
Fase am al-wufudl telah menyiratkan bahwa sirah dakwah kenabian Muhammad merupakan sejarah yang sangat kompleks. Kompleksitas kehidupan sekitar yang dialami Muhammad (sebagai layaknya manusia yang lain) mengharuskan dan memaksanya untuk memerankan diri sebagai sosok yang betul-betul manusiawi. Karena faktanya Muhammad melayani kebutuhan-kebutuhan para delegasi yang beragam, maka kadang ia tampil dalam kapasitas sebagai penyeru ideologi baru (Islam), kepala negara Quraisy, atau bahkan komandan perang. Nabi tidak cukup menempuh dakwah dengan cara retorik.
Dukungan yang datang silih berganti dari para delegasi masyarakat Arab selama am al-wufudl telah memotifasi Muhammad untuk mencerabut tatanan jahiliah dari bumi Arab, dan mendorongnya untuk segera membuat keputusan yang jitu. Kota Makkah adalah simbol kebesaran peradaban bagi masyarakat Arab. Mendapat dukungan dari para delegasi masyarakat Arab belum cukup sebelum menguasai kota Makkah. Dengan segera pada tahun ke 10 kenabian, nabi menguasai kota itu. Peristiwa besar ini di kenal dengan fath makkah (Penaklukan Kota Makkah).
Khalil telah berhasil menelusuri fakta sejarah yang selama ini banyak diabaikan oleh sejarawan muslim pada umumnya dengan kesimpulan yang sama sekali bersebrangan dengan pandangan mayoritas. Pembacaan sejarah Khalil seperti menjadi tonggak baru dalam memahami sejarah dalam dunia Islam. Sebuah cara pembacaan sejarah yang tidak sekedar memahaminya sebagai pengetahuan tentang rentetan peristiwa yang harus dihapal. Ini berbahaya, karena hanya akan melahirkan cara berpikir yang ’superior’ di mata orang lain.[mf]

2 komentar:

Betul keh nabi muhammad buat peperangan semasa menakluki negara2 di mana nabi dan pengikut2 nya memaksa orang2 kafir memasuki islam?
kalu orang tu x masuk islam nabi muhammad akan membunuhnya!
sekedar nak bertanya sebab sejak saya mengetahui cerita ni saya membuat kajian dlm internet.
banyak cerita seperti yg diungkapkan.

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu