11 September, 2009

Zakat dan Etika Sosial

Oleh: M.Faisol Fatawi

Dalam agama Islam, zakat merupakan pilar terpenting. Ia termasuk rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Kedudukan zakat tampak semakin jelas manakala Qur’an menyebutkannya sebanding dengan kedudukan shalat. Ada sekitar dua puluh tujuh ayat dalam Qur’an yang menjelaskan kewajiban untuk menunaikan zakat dan melaksanakan shalat yang dirangkai secara sejajar dan berurutan dalam satu ayat. “Aqimu al-Shalah wa Atu al-Zakah” (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat), demikianlah kira-kira bunyinya.
Secara bahasa, zakat berarti bertambah dan berkembang. Adapun dalam istilah fiqh zakat dikenal dengan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah harta yang diberikan kepada orang yang berhak pun bermacam-macam sesuai dengan jenis barang yang harus dizakati. Orang yang berhak pun beragam: menurut ketentuan Qur’an ada delapan golongan (QS at-Taubah: 60).
Di samping zakat, jenis pemberian barang kepada orang lain disebut dengan shadaqah dan infaq. Kalau operasional zakat diatur secara khusus dengan adanya beberapa ketentuan-ketentuan tertentu, maka shadaqah atau infaq lebih bebas dari itu. Jumlah perintah bersedekah atau infaq di dalam Qur’an dapat kita temukan hampir sebanding dengan jumlah ayat yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, bahkan mungkin lebih.
Aspek paling utama yang membedakan zakat sebagai rukun agama dengan rukun-rukun yang lain adalah bahwa zakat memiliki keterkaitan langsung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Dengan kata lain, zakatlah satu-satunya rukun Islam yang pelaksanaannya terkait langsung dengan praktek kehidupan manusia. Kesaksian syahadat hanya menyangkut perjanjian individu dengan Tuhannya, shalat dilaksanakan di hadapan Tuhan sebagai pintu penghambaan, puasa dilakukan dengan cara menahan diri dari lapar dan dahaga, dan haji dilangsungkan di hadapan Ka’bah, namun zakat dilakukan dengan memberikan sejumlah harta benda kepada manusia.
Selain itu, zakat merupakan rukun agama yang menjadi sarana untuk menuju sebuah maqam antara individu dengan Tuhannya dan antara individu dengan sesama. Melalui pintu masuk zakat, seorang muslim tidak saja memasuki pintu penghambaan (hablum minallah), tetapi secara sadar maupun tidak ia telah memasuki sisi sosial kemasyarakatan. Hablum minallah (hubungan dengan manusia) sekaligus hablum minannas (hubungan dengan Tuhan).
Membangun tata kehidupan yang damai merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum kita menghamba pada Tuhan. Kita tidak mungkin melakukan ibadah kecuali kita berada dalam situasi dan kondisi yang tenang dan damai. Agar tatanan kehidupan berjalan di atas kedamaian dan ketenangan, maka harus dibangun pola hubungan antar individu dengan individu yang lain secara seimbang. Antara satu sama lain harus saling membantu: yang kaya membantu yang miskin dan yang kuat menolong yang lemah.
Dalam pengertian ini, zakat adalah sebuah pilar agama yang mengisyaratkan perlawanan terhadap segala bentuk sikap individualis, sebuah sikap yang mementing diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain sebagai satu kesatuan kehidupan di atas dunia. Pengingkaran terhadap adanya wujud individu lain yang berada di luar dirinya melahirkan sikap tertutup: menolak keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.
Si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, dan seterusnya, merupakan satu kesatuan kehidupan yang faktanya tidak dapat ditolak. Seseorang yang kaya tidak akan pernah disebut (baca: berstatus) kaya manakala tidak ada orang yang secara materiil berada di bawahnya (baca: si miskin). Demikian halnya seorang disebut kuat manakala di sana ada yang tidak kuat. Ada hubungan timbal balik yang saling menguatkan keberadaan kedua belah pihak. Sekarang, tinggal bagaimana kita memaknai hubungan tersebut: apakah dimaknai sebagai hubungan yang saling menekan, menguasai, menghimpit, atau menindas?
Hubungan antar sesama (atau yang dalam bahasa agama lebih tegas disebut dengan hablum minannas) merupakan titik tolak dari semua kehidupan. Semakin kita dapat memahami dan memaknai hubungan ini, maka keberadaan hidup dan diri (dzat) semakin berarti dalam mengisi kehidupan itu sendiri. Di sana kedirian kita dapat ditemukan. Selama kedirian kita tidak ditemukan dalam menjalin hubungan antar sesama, maka kita pun pasti mengalami kehinaan diri (dzillah): lihat misalnya surat Ali Imran: 112).
Zakat mengingatkan dan menyadarkan kita akan arti penting menjalin hubungan antar sesama itu, sekaligus merupakan bentuk partisipasi konkrit-aktif untuk mewujudkan misi kemanusiaan agama dalam rangka melakukan perubahan sosial dan membangun peradaban dunia. Pemberian sebagian harta pada kelompok yang lemah dari si kaya mengisyaratkan sikap persaudaraan kemanusiaan.
Apabila zakat mencakup dimensi kemanusiaan, maka zakat itu merupakan sarana-bertujuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan material dan ideal. Ia memberikan penjelasan mengenai penderitaan yang dimengerti sebagai sesuatu yang tidak adil. Kalau seseorang secara individual tidak menginginkan hidup dalam kesusahan dan penderitaan, maka orang lain juga tidak menginginkan seperti itu. Kalau seseorang secara pribadi ingin hidup dalam serba kecukupan, maka begitu pula dengan orang lain. Kebahagiaan itulah yang dicari dan didambakan oleh setiap individu. Wujud kebahagiaan dalam zakat adalah membangun kebahagiaan bagi orang lain demi kemaslahatan bersama yang di dalamnya kebahagiaan itu sendiri dibangun. Dalam pengertian sarana-bertujuan ini, mengeluarkan zakat berarti menggupayakan tegaknya kemaslahatan dan kebahagiaan bersama.
Dengan demikian, zakat merupakan etika (akhlak) sosial. Ia merupakan wujud tanggungjawab sosial dalam memandang kesatuan hubungan kemanusiaan dalam kerangka tindakan kemasyarakatan. Kalau perintah mengeluarkan zakat dalam berbagai ayat dipersandingkan dengan perintah melaksanakan shalat, itu berarti status perintah zakat sejajar dengan status perintah shalat. Apabila shalat –sebagaimana dalam sebuah hadis-- merupakan tiang agama, barang siapa yang tidak mengerjakannya sama dengan merobohkan agama dan barang siapa yang mengerjakannya berarti mengokohkan agama, maka tidak mengeluarkan zakat pun berarti sama dengan merongrong agama. Tak heran, karena pertimbangan inilah, orang yang tidak mengeluarkan zakat dikategorikan sebgai kafir. Kafir bukan dalam arti tidak mempercayai Allah, Nabi, malaikat, dan atau rukun iman yang lain, tetapi kafir dalam pengertian tertutupnya hati nurani atas tanggungjawab kemanusiaan: menyepelekan akhlak (baca: etika) sosial.
Dengan zakat itu dapat dipahami sebagai pertama, konsep agama tentang dunia yang dirasionalisasikan dari satu pandangan untuk totalitas hubungan antar pribadi manusia yang diatur secara normatif. Kedua, merupakan diferensiasi sikap etis yang dapat dipakai orang untuk menguji norma-norma. Ketiga, ia mengembangkan konsep pribadi yang universal sekaligus individualis yang berkaitan dengan suara hati dan tanggungjawab moral. Dengan demikian zakat merupakan konstruksi paradigmatis-normatif yang dapat dimanfaatkan untuk menyususn sebuah strategi kebudayaan untuk mengendalikan sistem dan integrasi sosial.
Dimensi etis-sosial seperti itu dalam kalangan masyarakat Islam masih belum terbangun.. Zakat masih dipahami sebagai kewajiban yang lebih terkesan sebagai tanggungjawab teologis. Karena itu, zakat pun “lebih” dipahami sebagai ritual tahunan belaka yang bersifat karikatif. Bahkan tak jarang didramatisir sedimikian rupa untuk mengukuhkan kepentingan individu: melegitimasi kedudukan diri di tengah masyarakat.[mff]

09 September, 2009

Nuzulul Qur’an dan Budaya Baca Kita
Oleh: M. Faisol Fatawi

Nuzulul Qur’an berarti turunnya al-Qur’an. Al-Qur’an, kitab umat Islam yang agung dan mulia ini, diturunkan pada bulan Ramadhan. Tepatnya di gua Hiro’, baginda Muhammad Saw menerima wahyu pertama pada malam 17 Ramadhan. Al-Qur’an yang suci diturunkan pada bulan yang suci pula.
Dalam cerita yang sudah masyhur disebutkan, bahwa ketika baginda Rasulullah Saw menerima wahyu pertama dari Allah melalui malaikat Jibril, tubuh beliau bergetar hebat dan seluruh keringatnya mengucur deras. Beliau Saw ketika itu diperintah oleh malaikat Jibril untuk menirukan wahyu yang telah dibawanya. “Iqra’,” begitulah perintah malaikat Jibril. Tetapi nabi pun tidak bisa menirukannya, hingga berkali-kali Jibril mengulainya sampai beliau bisa. Setelah baginda nabi bisa menirukannya, maka dibacakanlah lima ayat pertama dari surat al-Alaq; iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq ... dst.
Usai menerima wahyu pertama dari Jibril, baginda Rasul pun pulang ke rumah. Sesampai di rumah beliau disambut oleh sang istri tercinta, Siti Khadijah. Sang istri merasa kaget dengan kondisi beliau yang menggigil seperti kedinginan. Baginda Rasul menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya di gua Hiro’ kepada Siti Khadijah. Kemudian Khadijah menceritakannya apa yang dialami oleh suaminya itu kepada saudaranya, Waraqoh bin Naufal. Satu jawaban yang terlontar dari bibir Waroqoh, sang Rahib itu. Yaitu, bahwa Rasulullah Saw telah mendapat wahyu dari Allah, dan bahwa orang yang mendatangi beliau ketika di gua Hiro’ tidak lain adalah orang yang pernah mendatangi nabi Musa, yakni malaikat Jibril. Singkatnya, sejak saat itu baginda Muhammad Saw telah diutus sebagai nabi dan rasul Allah.
Kata iqra’ yang merupakan wahyu pertama yang diturunkan kepada baginda nabi tidak lain adalah kalimat perintah (fi’il amar) yang berarti bacalah!. Di sini, perintah membaca dapat dikategorikan kedalam tiga pengertian. Pertama, membaca dalam pengertian dzikir kepada Allah dengan membaca nama-nama Allah atau kalimat-kalimat thoyyibah dan lain-lain. Atau termasuk juga dalam kategori pertama melakukan tadabbur atas segala yang diberikan Allah kepada umat manusia. Pengertian seperti ini lebih cenderung pada dimensi teologis-keimanan.
Kedua, membaca sebagai aktifitas jasmani yang melibatkan panca indera atau anggota tubuh yang ada, seperti mata, pikiran dan seterusnya. Pengertian kedua ini merupakan pengertian yang dapat diambil dari konteks keseluruhan lima ayat dari surat al-Alaq yang telah diturunkan kepada baginda nabi Saw. Konteks yang dimaksud adalah bahwa di dalam ayat ini Allah telah menghubungkan dengan proses penciptaan manusia dan pengajaran terhadap manusia dari yang semula tidak mengerti menjadi orang yang memiliki pengetahuan.
Oleh karena itu, membaca dalam pengertian yang kedua itu merupakan proses pemerolehan pengetahuan. Membaca yang dimaksud adalah creative reading (membaca yang kreatif). Dalam creative reading, aktifitas membaca tidak berjalan sekedar membaca begitu saja, tetapi membaca itu dapat memberikan dampak, seperti tambahan pengetahuan, atau bahkan marangsang terjadinya dialektika pengetahuan dalam batin dan pikiran pembaca. Membaca seperti ini lebih dekat pada aktifitas pengetahuan (al-amaliyah al-ma’rafiyah). Dan tumbuh berkembanganya ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari aktifitas membaca yang seperti itu.
Turunnya al-Qur’an telah diawali dengan perintah iqra’ yang merupakan bentuk ujaran yang bersifat aktif. Artinya, bahwa perintah “bacalah!” menuntut adanya respon audiens (mukhathab) untuk memenuhi tuntutan sebagaimana yang diinginkan oleh orang pertama (mutakallim wahdah). Secara mafhum mukhalafah perintah iqra’ dapat dipahami sebagai perintah untuk membuang kebodohan, dan menimba ilmu pengetahuan. Dengan membaca, seseorang akan mendapat pengetahuan, informasi dan hal-hal yang baru.
Al-Qur’an diturunkan tidak saja dapat dipandang sebagai bukti kenabian baginda Muhammad Saw., tetapi juga sebagai titik revolusi kesadaran pengetahuan umat manusia, khususnya bagi umat Islam untuk melakukan perubahan diri, dari ketidak-tahuan menuju diri ‘yang mengetahui’ (al-dzat al-arif)—arif di sini bukan dalam pengertian kaum sufi. Membaca adalah tonggak awal yang dapat merangsang tumbuhnya aktifitas pengetahuan yang lain, seperti menulis; membaca dan menulis adalah dua aktifitas yang sangat dekat dalam proses pemerolehan pengetahuan. Maka tidak heran, jika Adones menyebutkan bahwa eksistensi al-Qur’an telah merangsang tumbuhnya wawasan untuk menulis.
Sebagian intelektual Islam awal menyatakan bahwa al-Qur’an berarti bacaan, karena berasal dari kata qara’a. Baik al-Qur’an maupun iqra’, keduanya memiliki derivat kata yang sama. Membaca al-Qur’an adalah ibadah. Lebih ‘beribadah’ lagi, menjadikan aktifitas membaca sebagai budaya dalam keseharian kita. [mff]

03 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (3)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Oksidentalisme: Menantang Barat
Oksidentalisme ini merupakan kelanjutan dan realisasi dari proyek Kiri Islam sebagai proyek peradaban untuk menentang hegemoni Barat. Concern dari Oksidentalisme adalah mempersoalkan ke-centralan peradaban Barat (eurocentriscity); menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada tingkat peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan menelanjangi secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep keinternasionalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya mengakhiri mitologi kebesaran peradaban Barat.
Menjadikan Barat sebagai subjek berarti menceburkan identitas diri sendiri ke dalamnya, dan ini bahaya karena akan tercerabut dari akar kediriannya. Bagi Hanafi kita perlu menjaga identitas dari kepunahan yang disebabkan oleh westernisasi. Untuk itu mestinya ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan: 1) qur’an melarang untuk “membebek” pada orang lain, terutama non-muslim, karena mereka adalah musuh Islam yang akan memberangus identitas diri kita, 2) kita harus membuang budaya ikut-ikutan (taklid), 3) kita harus meneladani kembali pemikiran Islam Klasik yang mampu menciptakan budaya besar tanpa kehilangan identitasn, 4) kita mesti tetap memegang dan mengembangkan budaya kritik, meskipun faktanya pemikiran Islam banyak diwarnai oleh budaya Barat, 5) memperhatikan gerakan Islam sekarang yang berada di Barat, dan 6) meneladani sikap para pendahulu yang gigih mempertahankan diri dari serangan luar.
Dalam pandangan Hanafi, ptaktek Oksidentalisme pernah terjadi pada abad pertengahan, saat itu Islam bertemu dengan peradaban Yunani Kuno –ini yang dalam sejarah disebut dengan masa kodifikasi (ashr al-tadwin). Pada saat itu, Islam menjadi subjek untuk mengkaji peradaban Yunani. Menurutnya proses itu berlangsung secara gradual lewat: 1) penerjemahan yaitu dengan memperhatikan bobot muatan makna daripada lafaz untuk ditransref ke dalam bahasa Arab, 2) pensyarahan yaitu dengan memperhatikan objek untuk dijelaskan struktur kandungan lafadz dan makna secara bersamaan, 3) rangkuman yaitu dengan mengambil inti pemikiran tanpa mengurangi sedikitpun, 4) menyusun kembali peradaban al-wafid (peradaban tamu) dengan menjelaskan dan menyempurnakannya, 5) menyusun objek-objek peradaban al-wafid dengan mendialogkan pada peradaban yang dimiliki (al-mauruts), 6) melakukan kritik terhadap budaya al-wafid dengan meletakkan posisi dan mengembalikan pada lingkungannya, dan 7) menolak teks al-wafid dengan mempertanyakannya.
Pada akhirnya, hasil yang ingin dicapai, menurut Hanafi, dengan Oksidentalisme ini adalah menguasai kesadaran Barat-Eropa; memahami kesadaran Barat-Eropa sebagai realitas sejarah yang in historis; mengembalikan pada batas kelamiahannya dan mengakhiri perang peradaban serta mengembalikan filsafat Eropa pada tempatnya; mengeksplorasi genuin budaya lokal dari setiap peradaban masyarakat; melapangkan kreatifitas diri masyarakat dan mebebaskannya dari tipuan
nalar; melapangkan proses kreatif-efektif untuk mengurangi budaya konsumtif sehingga mampu menguasai yang lain; menulis kembali sejarah peradaban dunia secara seimbang; memulai babak baru filsafat sejarah dengan berangkat dari Timur; mengakhiri orientalisme dan menjadikannya sebagai objek; menjadikan oksidentalisme sebagai ilmu yang cermat; membentuk kelompok pakar pengkaji nasional yang memperhatikan peradabannya sendiri dari cara pandang tempat ia tinggal, bukan cara pandangn orang lain (Barat); membentuk generasi baru yang dapat disebut dengan para filosof; melakukan pembebasan diri dari pijakan ontologis kediriannya, bukan sekedar pengetahuan; dan menciptakan babak baru dunia kemanusiaan yang berdasarkan pada persamaan, terbebas dari unsur-unsur etnisitas.
• Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Bahwa Hanafi adalah pemikir yang akrab dengan tradisi filsafat Marx. Pandangan populistik-sosialistik-nasionalistik yang pada dasa warsa 60-an menjadi pandangan yang mendominasi negara-negara Arab, yang menjadi ideologi pan-Arabisme, telah mewarnai pemikirannya. Tak heran jika Hanafi pun mencita-citakan persatuan umat Islam sebagaimana yang diperjuangkan oleh al-Afghani. Ia menggunakan metode dialektika dalam mensistematisasikan pengetahuan dan pengalamannya ke dalam satu keutuhan yang inklusif. Proses sejarah berlangsung lewat konfrontasi dialektis dimana tesis menimbulkan anti tesis dan keduanya diangkat menjadi sintesis.
Dalam pemikiran Hasan Hanafi, metode tersebut dipakai ketika untuk menentukan titik pijak dalam melakukan pembaharuan tradisi: menjelaskan posisi kita di tengah tiga realitas: tradisi masa lampau, tradisi Barat, dan realitas kontemporer. Dan tradisi itu, menurutnya, toh hanya bisa dijelaskan dengan sejarah; mengetahui susunan dan akarnya, lalu menfungsikannya untuk melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, ia menghindari pendekatan pragmatis terhadap tradisi, karena ini –seringkali-- berujung pada ideologisasi.
Hanafi dalam proyek pembaharuan juga menfungsikan agama sebagai spirit gerak menuju keluar. Agama itu memberikan spirit pembebasan manusia. Ia harus bergerak dari seperangkat aturan normatif (akidah) menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat revolusioner. Dalam menangkap semangat ini, Hanafi merujuk pada teks-teks agama. Memahami kembali teks-teks agama pun tidak dapat ditolak, bahkan menjadi sebuah keniscayaan, lebih-lebih untuk mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena kalau tidak demikian kita akan tercerabut dari akar dan identitas diri sendiri. Ia pun tak tanggung-tanggung melakukan kritik internal. Di sinilah kita dapat mengatakan kalau ia menggunakan hermeneutika sebagai pisau bedah untuk merealisasikan semua itu.
Persentuhan Hasan Hanafi dengan tradisi filsafat Eropa, rupanya tidak dapat menghindarkan dirinya untuk menggunakan fenomenologi. Fenomenologi ini digunakan oleh Hanafi untuk menghindari pembahasan metafisis yang tidak memiliki relevansi lagi untuk menggambarkan realitas manusiawi dan realitas ilahi. Dalam rekonstruksinya terhadap ilmu kalam misalnya, ia menghindari pembahasan tentang sifat dan dzat ketuhanan yang telah menjadi titik perdebatan teologi klasik. Bagaimanapun juga Tuhan tidak dapat diketahui oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, ia meletakkan ketuhanan sebagai landasan aksiomatis. Yang terpenting baginya kemudian adalah membumikan teologi klasik menjadi teologi yang antroposentris.
Pada kesempatan yang lain, Hanafi tampak menggunakan penggabungan dari berbagai madzhab, terutama pada khazanah intelektual klasik: menjadikan tradisi berpikir rasionalistik yang pernah dikembangkan oleh –seperti—muktazilah, Imam Maliki (Madzhab Maliki), Ibnu Rusyd, dan al-Kindi. Penggabungan berbagai metode (baca: cara berpikir) ini lebih dikenal dengan metode eklektik. Metode ini tak dapat dipugkiri ketika kita membaca pikiran Hasan Hanafi, khususnya dalam proyek kiri Islamnya.
• Catatan Akhir
Bagaimanapun juga proyek peradaban Hasan Hanafi merupakan proyek yang sangat besar dan merupakan jawaban atas zamannya. Banyak pengamat yang menuduhnya sebagai agen modernis, namun ia segera menampiknya. Malah ia menyatakan bahwa proyek pembaharuannya itu merupakan kelanjutan dari para pembaharu yang mendahuluinya, dengan berpijak pada semangat inovatif-proresif yang menisbatkan diri pada pemikir abad pertengahan semisal Ibnu Rusyd, semangat rasionalisme muktazilah, cara berpikir imam Maliki.
Namun juga tidak jarang dari kalangan pemikir Arab lain yang mengatakan sebaliknya, bahwa Hanafi adalah seorang islamis-salafis. Di antara yang menyatakan demikian Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Jam’ah. Sementara pemikir lain ada yang memasukkan Hanafi sebagai “pemikir organik” dalam pengertian Gramcsi: maksudnya seorang pemikir yang tidak sekedar masuk dalam komunitas masyarakat dan membawa kecemasan kelompoknya, ia telah mempermainakn dirinya sebagai orang yang merepresentasikan kelompok terpandang dan kesadaran hati nurani manusia, namun ia sendiri tidak sadar kalau kecemasan itu juga mewakili dirinya sendiri.
Semangat Hanafi untuk menundukkan Barat karena alasan peradabannya yang hegemonik, dengan menandinginya lewat proyek Oksidentalisme-nya, menyeret dirinya ke dalam "pertarungan" antar peradaban. Atas dasar apakah ia menantang Barat? Atas nama kemanusiaan atau primordialitas keagamaan? Kalau atas nama kemanusiaan, manusia yang mana? Kalau atas nama agama, bukankah agama juga menolak segala bentuk penindasan? Lalu siapa menghegemoni siapa? Di sinilah keangkuhan Hanafi: ia hadir seolah-olah mewakili kanabian dan kerasulan, membalik tatanan sejarah dunia.
Ada satu ciri yang membedakan antara Hasan Hanafi dengan sederetan pemikir Arab-Islam yang lain. Yaitu Hanafi berangkat dari fenomena “pertarungan kelas”. Hanafi melihat bahwa Islam tidak berdaya berhadapan dengan proses proletarisasi massa yang dilakukan oleh sekelompok kelas penguasa (masuk di dalamnya para kapitalis). Tema keadilan –di mata Hanafi—semakin menampakkan urgensitasnya setelah rakyat banyak dirugikan oleh politik pintu terbuka presiden Anwar Sadat yang mendukung gerak laju kapitalisme, bahkan pada saat yang sama terjadi mistifikasi agama oleh pihak tertentu untuk melegitimasi kepentingannya.
Masyarakat Islam, khususnya Mesir, pada saat itu memiliki beberapa kelemahan mencolok. Di antaranya, masyarakat (Mesir) memiliki ketergantungan yang tinggi pada penguasa, kemunafikan, kekaburan, rasa hormat terhadap tabu-tabu sosial, non sense reality, dan kecenderungan untuk mengkultuskan individu. Sementara pengaruh-pengaruh destruktif dari luar tidak lebih daripada sebagai katalisator.
Tak pelak, Hasan Hanafi memusatkan kajiannya pada peran agama di tengah perubahan sosial: dengan menangkap kembali pesan pembebasan agama (keadilan, persamaan, keberpihakan pada kaum dlu’afa, dan lain-lain). instrumentalisasi dan manipulasi agama yang telah dan sedang dilakukan oleh kelompok tertentu (pihak penguasan dan sebagian tokoh agamawan) harus dihentikan karena mematikan daya kritis agama. Tidak jalan lain untuk menghentikannya kecuali dengan mencoba menggali pesan-pesan revolusioner Islam sebagai langkah untuk mengadakan kritik sosial.

02 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (2)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)
Kiri Islam merupakan ideologi gerakan revolusi kebangkitan umat Islam: mendapat inspirasi dari seksesnya revolusi Iran, kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar (Jamaludin al-Afghani), serta tampil sebagai sosok reformis terhadap tradisi intelektual Islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkap realitas dan tendensi sosial politik. Ia berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam, yaitu antara yang kaya-miskin, kuat-lemah, penindas-tertindas, dan lain-lainnya.
Kiri Islam juga bisa saja disebut dengan Shahwah al-Islam atau Yaqdha al-Islam, Nahdlah Islamiah, al-Ba’ts al-Islami, dan al-Wa’yu al-Islami. Namun apabila Yaqdha al-Islam atau Shahwah al-Islam hanya merujuk pada kebangkitan islam yang saat ini menjadi wacana utama seluruh dunia Islam kecuali di dunia suni, maka Kiri Islam bermaksud mentransformasikan kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif, dari kesadaran rasional menuju revolusi realitas. Namun apabila ketiga nama terakhir lebih menonjolkan revolusi internal katimbang eksternal, maka Kiri Islam ingin menggerakkan kedua revolusi itu secara serentak.
Kiri Islam dikonotasikan dengan gerakan kiri keagamaan dalam sejarah agama-agama: merupakan terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Ia adalah istilah akademik dan ilmiah, sebuah istilah politik yang berarti resistensi dan kritisisme serta menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Namun ia juga bukan Islam yang berbaju Marxis, karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam islam itu sendiri. Bukan eklektik antara Marxisme dan islam, karena ini akan menunjukkan pemikiran yang tercerabut dari akar, tanpa ada pertautan erat dengan realitas umat islam. Yang jelas ia mengusik kemapanan.
Kiri Islam lahir karena ketidakberhasilan pembaharuan yang telah berlangsung selama itu: lahir setelah melihat pertama, kooptasi kekuasaan terhadap Islam yang mana Islam hanya dijadikan sekedar sistem ritus dan kepercayaan ukhrawi, kedua bahwa liberalisme yang pernah ada tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan dunia Barat, ketiga Marxisme yang menentang kolonialisme dan berpretensi mewujudkan keadilan, ternyata tidak diikuti oleh pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai kekuatan dalam merealisasikan kemerdekaan nasinal, dan keempat ternyata nasionalisme revolusioner yang telah berhasil merubah secara radikal sistem politik tidak berlangsung lama.
Di samping itu, Kiri Islam juga masih tetap berpijak pada khazanah intelektual masa lampau, dengan menjadikan pandangan rasionalistik muktazilah, cara berfikir Imam Maliki, filsafat rasionalisnya Ibnu Rusyd atau al-Kindi, sebagai pijakan paradigmatik independen pemikiran keagamaannya. Tetap memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu normatif-tradisional murni, misalnya tentang ulum al-qur’an dengan mengutamakan dimensi realitas, al-hadis dengan mengutamakan matan teks, dan ilmu tafsir dengan mengutamakan pada tafsir perseptif (al-Syu’uri).
Dengan demikian, sebagai ideologi revolusioner bagi kebangkitan Islam, Kiri Islam mengusung tiga agenda, pertama pembaharuan tradisi Islam masa lampau, kedua menantang peradaban Barat dengan mengusulkan Oksidentalisme, dan ketiga melakukan analisis realitas dunia Islam.
• Pembaharuan Tradisi
Proyek pembaharuan tradisi masih memiliki keterkaitan erat dengan Kiri Islam. Bukan berarti pembaharuan tradisi adalah satu hal dan Kiri Islam adalah hal lain. Bagi Hanafi sendiri Kiri Islam adalah sebuah proyek peradaban. Kiri Islam –kalau boleh dikatakan—adalah baju ideologi reavolusioner bagi kebangkitan Islam untuk menentang segala bentuk kemapaan. Tidak ada tabrakan antara proyek pembaharuan tradisi dan Kiri Islam.
Bagi Hasan Hanafi, tradisi merupakan starting point (nuqthah al-bidayah) sebagai tanggungjawab peradaban. Pada saat ini, demikian dinyatakan Hanafi, kita berada dalam pergulatan tradisi sebagai bagian dari pergulatan sosial. Selama tradisi menghegomoni kita, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus melawannya untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus berhati-hati dengan tradisi itu sendiri. Dalam melakukan pembaharuan, tradisi adalah sarananya.
Tradisi menurut Hanafi dapat ditemukan dalam berbagai level. Pertama, tradisi itu bisa kita temukan dalam berbagai bentuk tulisan: buku, manuskrip, atau lain-lainnya, yang tersimpan di berbagai perpustakaan atau tempat-tempat lain. Kedua, tradisi bisa juga berupa konsep-konsep, pemikiran, dan atau ide-ide yang masih hidup dan hadir di tengah realitas. Jika yang pertama lebih bersifat materialistik, maka yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian kedua-duanya tidak dapat dilepaskan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah. Ia bisa berubah-ubah sesuai dan berganti-banti, dibentuk oleh setiap generasi sesuai dengan tantangan zaman.
Ketika tradisi itu tidak saja berupa khazanah tertulis dan juga tidak sekedar dunia teoritis yang otonom, maka sebenarnya tradisi itu merupakan khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat yang dengannya, secara sadar atau tidak, setiap individu diarahkan dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu, bisa saja tradisi masa lampau hidup dan mengarahkan prilaku masa kini. Di sinilah tradisi itu menjadi pandangan hidup. Bisa saja kita hidup di era modern, namun masih tetap berpijak pada tradisi masa lampau.
Dalam proyek pembaharuan tradisi, Hasan Hanafi memberikan landasan teoritis dengan meletakkan model garis segitiga. Masyarakat islam berada dalam tiga lingkup: tradisi masa lampau yang diwakili oleh tradisi Islam masa lampau dan ini disebut dengan turats al-ana, tradisi Barat yang disebut dengan turats al-akhar, dan realitas kekinian yang langsung dan sedang dihadapi oleh setiap individu.
Pada saat yang sama ketiga bagian tersebut melingkupi kita. Tradisi masa lampau hadir dalam realitas kehidupan kekinian kita sebagai suatu warisan (al-mauruts) dan tradisi barat sebagai “tamu” (al-wafid). Keduanya sama-sama mempunyai peluang dalam mengarahkan perilaku kehidupan manusia. Dari sini, Hanafi lalu menyederhanakan ketiga bagian itu menjadi pemikiran (al-fikr) dan realitas (al-waqi’) atau al-nqql dan al-ibda’. Kehadiran tradisi masa lampau sebagai tradisi diri sendiri dan tradisi Barat sebagai tradisi orang lain di tengah kehidupan tidak dapat ditolak. Ialah yang selama ini beroperasi mengarahkan perilaku kita: dalam menghadapi tantangan realitas kekinian apakah kita menggunakan tradisi masa lampau, Barat, atau bentuk eklektik dari keduanya? Atau dalam konteks realitas kekinian bagaimanakah kita menjalin hubungan antara tradisi al-ana dan tradisi al-akhar?
Secara de jure, Hanafi menyatakan bahwa kita harus memulai dari al-ana (tradisi diri sendiri), namun ia secara de facto –masih menurut dirinya sendiri—juga menyatakan bahwa sikap ini salah. Sebaliknya, kita juga tidak bisa memulai dari Barat, karena ia memang lawan dari kita, meskipun realitasnya membenarkan demikian. Maka sudah saatnya, menurut Hanafi, kita mengusung objek dari tingkat emotif pada tingkat praksis, dari sekedar reaksi menjadi analisis ilmiah yang lurus.
Bahwa tradisi al-akhar dan tradisi al-ana tidak dapat menafikan realitas kekinian. Usaha untuk merekonstruksi tradisi masa lampau yang juga memasuki tantangan realitas kekinian dapat membantu menghentikan proses westernisasi di mana pada saat yang sama terjadi dalam realitas sekarang. Rekonstruksi tradisi masa lampau tidak dapat tercapai kecuali harus mengerti tradisi lawannya (tradisi Barat) demi kemaslahatan umum. Sementara mensikap tradisi Barat secara krtitis dapat membantu dalam berpijak pada tradisi itu sendiri sebagai alternatif untuk melarikan diri darinya, dan mengeksplorasi kembali tradisi masa lampau katimbang harus meninggalkannya. Ketika tantangan kontemporer itu merupakan realitas kekinian yang di dalamnya kedua tradisi itu dibangun kembali secara bersamaan, maka sikap kritis terhadap kedua dapat menampakkan realitas itu sendiri dan memberikan hipotesa terhadap tantangan itu sendiri.
Oleh karena itu, Menurut Hasan Hanafi, ada tiga cara, yaitu menganalisis pembentukan dan latar belakang tradisi, mengamati pembekuan dan pensakralan tradisi, dan mencermati bagaimana tradisi itu berlawanan dengan kemaslahatan umum.

01 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (1)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Hasan Hanafi: Biografi dan Perjalanan Ilmiahnya
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Pebruari 1935, dari keluarga Bani Suwayf, sebuah propinsi di Mesir dalam. Menginjak usia lima tahun, ia berguru al-qur’an pada Syaikh Sayyid di Jalan al-Benhawi, namun ini hanya berlangsung beberapa bulan. Lima tahun ia menghabiskan waktunya di sekolah dasar, yaitu madrasah Sulaiman Gawiys yang terletak di kompleks perbatasan benteng Shalah al-Din al-Ayyubi. Studinya dilanjutkan pada sekolah pendidikan guru, yatitu al-Muallimin, namun menjelang naik ke tingkat (kelas) lima ia pindah ke madrasah al-Silahdar. Selama lima tahun, ia menamatkan sekolah menengahnya pada madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, dengan empat tahun di bidang kebudayaan dan satu tahun di bidang pendidikan. Sementara gelar kesarjaannya disabet dari Fakultas Adab (Sastra Arab) pada Universita Kairo jurusan Filsafat.
Pada 11 Oktober 1956, Hasan Hanafi melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne. Kurang lebih sepuluh tahun ia menghabiskan studi di “sarang” para orientalis Barat. Desertasinya setebal 900 halaman tentang Ushul Fiqh (Essai sur la methode d’Exegese) mendapat penghargaan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Pada tahun 1966, dia kembali ke Mesir dan mengabdikan diri pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, tempat belajarnya semula, sampai tahun 1971. Setelah itu, ia menjadi dosen tamu di Universitas Temple, Amerika Serikat, hingga tahun 1975. Kemudian selama dua tahun menjadi dosen kehormatan di Universitas Fez, Maroko. Antara tahun 1985 sampai 1988, menjadi staf pengajar pada Universitas Tokyo dan Universitas PBB di Jepang. Pernah menjadi dosen pada Universitas Los Angles, Amerika dan Universitas Cape Town, Afrika Selatan. Sementara karier kepangkatannya, pada tahun 1995 ia diangkat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Pernah bertindak sebagai sekretaris jenderal pada sebuah organisasi Himpunan Filosof Mesir yang ia pelopori pada tahun 1986. Hasan Hanafi juga pernah menjadi anggota Ikatan Penulis Asia Afrika, anggota Solidaritas Gerakan Asia Afrika.
• Tahap Kesadaran Intelektual Hasan Hanafi

a. Kesadaran Nasionalisme (1948 – 1951)
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Hasan Hanafi tidak begitu banyak mengerti persoalan politik. Ia pun bangga dengan pasukan udara Jerman: tak mengerti siapa Nazi itu. Ia hanya berkeyakinan bahwa mereka tidak akan menyengsarakan dan menyakiti masyarakat Mesir, dan bahwa mereka adalah musuh dari lawannya, yaitu Inggris. Ia hanya menghabiskan masa liburnya untuk pulang kampung, Bani Suwaif, untuk menghindari kecamuk perang di Kairo.
Awal kesadaran nasionalisme yang sebenarnya, sebagaimana diakui oleh Hasan Hanafi, yang berpengaruh pada dirinya adalah terjadinya perang Palestina tahun 1948. Ia pun belum mengerti secara benar batasan antara pengkhianat dan pejuang (mujahid) negeri, meskipun banyak pasukan dari kedua belah pihak jatuh bergelimpangan. Pada tahun ini pula, ia bergabung dengan Jamiyah al-Syuban al-Muslimin (Organisasi Pemuda Islam), menjadi prajurit sukarela di Palestina, namun ditolak sebab umur belum mencukupi. Baru pada tahun 1951, ikut berjuang dalam perang pembebasan Terusan Suez.
b. Kesadaran Keagamaan (1952 – 1956)
Awal tahun 1952, tepatnya pada bulan Januari, di Kairo terjadi peristiwa besar, sebuah usaha mrnggulingkan Partai Wafd dan persekongkolan antara kalangan istana dan kolonialis Inggris untuk mematikan gerakan Nasionalisme Mesir. Hanafi berpihak pada kubu Nasionalis pembebasan Mesir ini: ia pun menyuarakan pembebasan tanah air dan penyatuan Lembah Sungai Nil. Pada 23 Juli 1952, di Mesir kembali terjadi peristiwa penting yang kemudian dikenal dengan Revolusi Juli. Sebuah revolusi yang mampu merubah tatanan sosial, politik dan kultural negeri Mesir: dari sistem monarki menuju republik. Kemudian Hanafi memutuskan untuk bergabung dengan Jamaah Ikhwan al-Muslimin.
Pada Maret 1954 perundingan antara gerakan Nasionalis Mesir dan Inggris dilaksanakan. Dicapailah beberapa kesepakatan. Namun kesepakatan itu di mata aktifis Ikhwan, sangat menguntungkan Inggris. Oleh karena itu, Ikhwan semakin menggiatkan kritikan dan bahkan mengecamnya. Hanafi pada saat itu, bertugas mengedarkan selebaran kritikan yang ditujukan kepadanya.
Pada akhirnya, Hanafi keluar dari jamaah Ikhwan al-Muslimin dan bergabung dengan gerakan Nasionalisme, karena ketidaksetujuan kalangan Ikhwan terhadap revolusi Mushoddeq di Iran pada tahun 1954 yang melawan tirani, dimana Mushoddeq dituduh sebagai komunis. Hanafi semakin dekat dengan semangat revolusi untuk memerdekakan negerinya. Di sinilah kenyakinan keagamaannya akan semangat revolusi pada agama semakin mengkristal.

c. Kesadaran Filosofis (1957 – 1960)
Tahap ini, bisa dikatakan sebagai awal dari persentuhan pengetahuan Hanafi, terutama, dengan filsafat Barat, misalnya Idealistik Fichte, seorang filosof Jerman, eksistensialis-nya Kant, Cogito cartesian, dan fenomenologi Hursel dengan idealistik transendentalnya. Kesadaran ini ia temukan saat melakukan studi di Prancis, ketika hendak menulis desertasi doktoralnya yang berjudul al-Minhaj al-Islami al-Am, yang pada akhirnya selesai dengan judul L’Exegese de la Phenomenologie, L’Elat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomenologie religieux.

d. Kesadaran Terhadap Realitas Kehidupan (1961 – 1966)
Berbagai eskperimentasi kehidupan yang telah dijalani oleh Hasan Hanafi pada akhirnya merubah cara pandangnya semula, yaitu dari idealistik ke praksis. Suatu saat, ia pernah mendengarkan penjelasan seorang mahasiswa dari Afrika Utara tentang analisis kelas atas kondisi kaum muslimin. Saat itu, Hanafi mengakui bahwa ia masih berpendirian bahwa Islam itu adalah wahyu dari Tuhan. Ia pun belum paham makna asbab nuzul yang sebenarnya.
Kemudian Hanafi pun, berusaha membumikan kesadarannya, dengan melakukan kajian terhadap, misalnya saja, wahyu, akal, atau realitas atau kehidupan, realitas, dan yang ada, atau identitas dan akal, atau ilmu dan iman. Ia juga melakukan kajian tentang kritik sejarah teks suci. Bersamaan dengan kepulangannya ke negeri asal pada tahun 1966, ia menyadari bahwa jihad ashgar telah selesai dan sekarang sudah saatnya melakukan jihad akbar.

e. Kesadaran Politis (1967 – 1971)
Pada tahun-tahun ini, sekembalinya dari Prancis, Hasan Hanafi meleburkan diri ke dalam proses pencernaan pemikiran-pemikiran Pan-Arabisme secara langsung. Fase ini dikatakan sebagai kesadaran politik bukan dalam pengertian keperpihakan praksis sebagaimana yang pernah ia lampau masa mudanya. Namun lebih sekedar panggilan abadi seorang pemikir –semisal dirinya— yang harus bertanggung jawab dengan problem-problem yang melanda negara berkembang seperti Mesir. Apa yang dilakukannya adalah dalam rangka analisa sosio-politis struktur masyarakat Mesir demi kepentingan penegakan negara. Tak heran, jika pada fase ini Hanafi lebih banyak melakukan berbagai aktifitas ilmiah, misalnya menghadiri seminar atau diskusi, dan atau menulis buku seperti merampungkan buku tentang penjelasan teoritis terhadap Turas dan Tajdid: sikap kita terhadap tradisi masa lampau, atau buku tentang studi filsafat Islam. Menulis lebih menjadi perhatiannya demi kepentingan umat. Dan pada bulan September 1971, Hanafi pergi ke Amerika Serikat, menjadi dosen tamu.

d. Kesadaran Keagamaan Yang Revolusioner (1972 – 1975)
Selama berada di Amerika Serikat, Hanafi banyak mengenal semangat agama yang revolusioner. Ia banyak membaca buku seperti teologi pembebasan, teologi revolusi, teologi sekuler, teologi kematian Tuhan, dan lain-lainnya. Perhatian yang menarik Hanafi adalah bagaimana membebaskan manusia dari perspektif islam: tema-tema seperti peradaban dan kesadaran kelas, agama dan revolusi, ilmu sosial nasionalistik, dan lain-lainnya. Tampaknya inilah yang kemudian mempengaruhi pikirannya tentang “dari teologi menjadi antropologi sosial” sebagaimana dalam bukunya Min al-Aqidah ila al-Tsaurah.
Tema pembebasan ini justru semakin mendesak, khususnya setelah rakyat banyak dirugikan oleh politik pintu terbuka Presiden Sadat yang sangat menyuburkan kapitalisme Mesir. Dan pada saat yang sama terjadi ketidakberdayaan islam dalam menghadapi ploretarisasi massa. Lebih-lebih terjadi mistifikasi agama oleh pihak pemerintah. Ini disimbolkan oleh hubungan antara al-Azhar dengan pemerintah.

e. Kesadaran Akan Pembelaan Pemikiran (1976 – 1981)
Setelah tema-tema pembebasan ia rampungkan dan dilalui, Hanafi mulai memikirkan bagaimana masyarakat dapat maju. Baginya yang harus dihadapi untuk saat itu adalah bukan masalah teori lagi, namun masalah keberlangsungan dari teori tersebut. Karenanya, ia pernah menyatakan “aku berlindung pada Tuhan dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Setelah terjadi dua revolusi di Mesir, menurut Hasan Hanafi, saat-saat inilah yang pas untuk mensosialisasikannya lewat media massa, yaitu dengan tetap menegakkan pemikiran di hadapan pemikiran lainnya. Ia pun lantas menganggap penting untuk menegakkan tema-tema tentang tanggungjawab kekinian atas peradaban Arab, agama, dan pembebasan kultural. Semua itu dalam rangka menegakkan peradaban nasional-populistik.

f. Kesadaran Akan Timur (1982 – 1987)
Setelah Hasan Hanafi mempelajari berbagai literatur Barat dan mengolahnya kembali menjadi sebuah pemahaman baru demi kelangsungan kepentingan umat Islam, ia menyadari bagaimana mungkin peradaban Islam masih menjadi peradaban yang inferior. Kenyataan ini semakin tampak jelas di matanya, ketika berkali-kali ia melakukan kunjungannya di berbagai negara di belahan Timur yang berbasis muslim, seperti Bangkok, Manila, Filipina, dan lain-lain. Dari hasil kunjungannya itu, Hanafi menyimpulkan bahwa Barat telah menjadi model kemodernan kita. Inilah yang kemudian mengusiknya untuk menundukkan Barat dengan menjadikannya sebagai objek kajian ilmiah yang kemudian dikenal dengan ilmu Oksidentalisme (ilm al-istighrab).

g. Kesadaran Pembangunan Ilmiah (1988 – sekarang)
Inilah kesadaran terakhir dalam perjalanan idividual –sosok seperti Hanafi—dalam kiprah intelektualnya tentang proyek pembaharuan peradaban. Kesadaran pembangunan ilmiah ini lebih merupakan usaha teorisasi ilmiah sebagai respon terhadap realitas kekinian (yang kita hadapi sekarang). Dengan teorisasi ini, demikian kata Hanafi, kita akan dapat keluar dari jeratan tradisi (teks-teks) masa lampau. Ini baru dapat terlaksana setelah manusia keluar dari kegelisahan atau kegamangan duniawi dan membebaskan diri dari tantangan atau problemnya demi menyongsong masa depan perjalanan sejarah.