01 Desember, 2009

Mencermati Konsep Etika Kebebasan Mu’tazilah

Oleh: M. Faisol Fatawi

“… betapa tidak berartinya pengakuan Mu’tazilah terhadap “free will”
dan betapa menyesatkan jika dikatakan seolah-olah Mu’tazilah
merupakan pendukung etika murni kebebasan”
(Madjid Fakhry: 1953)

Pendahuluan
Al-Qur’an telah memaparkan secara jelas berbagai pernyataan tentang kekuasaan Tuhan atas segala yang terjadi di atas dunia ini, termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Khusus berkaitan dengan kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia, al-Qur’an tampak memberikan pernyataan yang kontradiktif. Satu sisi, kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia dijelaskan bersifat absolut, dan pada sisi lain ditegaskan bahwa manusialah yang memiliki kekuasaan atas perbuatannya.
Dalam sejarah teologi Islam, kelompok yang berpegang pada absolusitas kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia lebih dikenal dengan sebutan jabariah, sementara yang berpegang pada otoritas kebebasan perbuatan ada pada tangan manusia lebih dikenal dengan paham qodariah. Paham yang ingin menengai di antara kedua konsep ini dipelopori oleh seorang tokoh, yaitu al-Asy’ari yang dikenal dengan teori kasb-nya.
Tulisan ini, secara terfokus, berusaha memahami lebih dalam tentang ajaran teologi Mu’tazilah yang –selama ini—selama ini dikenal sebagai “pejuang” etika kebebasan atau pengibar paham qadariah.


Pancasilanya Kaum Mu’tazilah Vis-a-Vis Ideologi Negara
Dasar pertama yang dicanangkan oleh Mu’tazilah adalah al-Tauhid. Paham al-Tauhid ini tidak saja mereka gunakan untuk menghindari penyekutuan Tuhan (al-Syirk bi Allah), namun lebih jauh merupakan persoalan esensial, yaitu menafikan sifat-sifat untuk dimasukkan (dilekatkan) pada Tuhan. Allah menurut mereka bukanlah terdiri dari dzat dan sifat yang melekat pada dzat, bahkan sifat-Nya itu sendiri merupakan “kasunyatan” dzat-Nya (Ain Dzatihi). Oleh karena itu, di sana tidak ada dzat ketuhanan (dzat ilahiyah) yang padanya dilekatkan sifat berkehendak (al-iradah), kemampuan (al-qudrah), pengetahuan (al-ilm), dan lain-lainnya, sebagaimana halnya manusia. Tetapi Tuhan menurut mereka bersih (baca: suci) dari dan tidak membutuhkan pada sifat-sifat yang dapat disandarkan pada-Nya sehingga Dia dapat disebut Yang Maha Mengetahui (Alim), Yang Maha Kuasa (Qadir), dan seterusnya (Abdul Jabbar, 1965: 128-129).
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Tuhan tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki kekuatan, tidak berkehendak, dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”, demikian menurut Abu Hudzail, adalah bahwa Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Pengetahuan Tuhan adalah esensi Tuhan itu sendiri (Abu Hasan Ibn Ismail al-Asy’ari, 1930: 177-178). Lebih jauh al-Juba’i menegaskan, bahwa arti “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya adalah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat atau membutuhkan pada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Penjelasan agak berbeda juga dikemukakan oleh Abu Hasyim. Menurutnya, arti “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya adalah bahwa Tuhan memiliki keadaan untuk mengetahui (al-Syihristani, t.t.: 81).
Masih dalam kerangka menegakkan tauhid (mengesakan Tuhan), kaum Mu’tazilah memaparkan empat sifat Tuhan yang azali, yaitu hidup (al-hayat), dahulu (al-qidam), berkuasa (al-qudrah), dan mengetahui (al-ilm). Keempat sifat ini inhern dalam diri-Nya (fi dzatih), dan oleh karena itu dinamakan al-shifah al-dzatiah. Di mana pun dan kapan pun sifat-sifat tersebut ada dalam dzat-Nya (Abdul Jabbar, 1965: 74).
Prinsip berikutnya adalah al-Adl. Menurut mereka al-Adl adalah bahwa Tuhan tidak berbuat dzalim: bahwa perbuatan Tuhan adalah baik. Ketika manusia melakukan kezaliman dengan mencuri, berbohong, dan atau membunuh misalnya, maka perbuatan ini tidak mungkin disandarkan kepada Tuhan, tidak mungkin kalau semua perbuatan itu diciptakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya layak dinisbahkan kepada manusia: manusialah yang menciptakannya (Muhamad Abed al-Jabiri, 1991: 56).
Abdul Jabbar sendiri menegaskan, bahwa maksud predikat baik (hasanah) yang disandarkan pada perbuatan Tuhan adalah baik dari aspek hikmah, bukan dari aspek pandangan atau pengamatan seseorang. Sebuah perbuatan dapat dikatakan baik (hasanah) dari segi penglihatan, tetapi buruk dari segi hikmahnya. Namun sebaliknya, dianggap baik (hasanah) dari segi hikmah dan buruk dari segi penglihatan (Abdul Jabbar, 1965: 132).
Keadilan Tuhan menurut kaum Mu’tazilah digunakan dalam konteks maslahah. Segala yang diperbuat oleh Tuhan pada hamba-Nya adalah demi kemaslahatan hamba itu sendiri. Kalau toh Tuhan memberikan rasa sakit pada seorang hamba milsanya, itu hanya demi kemaslahatan dan kepentingan dirinya sendiri. Jika tidak demi kemaslahatannya, tentu Tuhan akan menyalahi kewajiban-Nya. Oleh karena itu, menurut Mu’tazilah Tuhan tidak memberikan pembebanan pada hamba-Nya kecuali sesuai dengan kepampuannya (Abdul Jabbar, 1965: 133). Dari sinilah al-Adl kemudian menjadi argumen mendasar bagi konsep etika kebebasan manusia dan kemampuannya untuk berbuat, dan pada gilirannya pertanggunganjawabnya atas perbuatan yang dilakukan (Harry Austryn Wolfson, 1976: 616).
Karena perbuatan Tuhan terhadap hamba-Nya dalam pandangan kaum Mu’tazilah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki hikmah dan demi kemaslahatan yang bersangkutan, meskipun akan berdampak pahit padanya jika dilihat dari segi penglihatan, sehingga perbuatan Tuhan diidentikkan dengan perbuatan baik (hasanah) sementara perbuatan buruk berasal dari tangan manusia, maka sangat tidak adil bagi Tuhan untuk tidak memberikan ganjaran atas apa yang telah dikerjakan oleh seorang hamba. Pemberian ganjaran atau balasan kepada hamba atas perbuatannya menjadi prinsip dasar esensial tersendiri di kalangan Mu’tazilah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan dengan al-Wa’d wa al-Wa’id.
Al-Wa’d wa al-Wa’id, menepati janji dan menjalankan ancaman merupakan perbuatan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil manakala Dia tidak menepati janji untuk memberi upah (ganjaran) kepada orang yang berbuat baik. Demikian pula ketika Tuhan tidak memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Jika Dia tidak melaksanakan janji dan ancaman-Nya, maka ini akan membuat Tuhan memiliki sifat dusta: tidak mungkin Dia bersifat ingkar, dan akan bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman musti merupakan kewajiban bagi-Nya (Harun Nasution, 1986: 133).
Menurut Abdul Jabbar, al-Wa’d adalah suatu khabar yang mengandung sampainya kemanfaatan pada yang lain atau dapat mencegah kemadlorotan padanya di masa mendatang. Sementara al-Wa’id adalah suatu khabar yang mengandung
sampainya kemadlorotan pada yang lain atau terputusnya kemanfaatan darinya di waktu mendatang. Oleh karena itu, Tuhan berjanji akan memberi pahala bagi orang yang taat dan mengancam dengan siksa bagi yang mbangkang (maksiat), sebagaimana yang telah di-nash-kan. Menyalahi hak Tuhan merupakan kedustaan, sementara berdusta adalah perbuatan buruk (qabih), dan Tuhan tidak berbuat buruk (Abdul Jabbar, 1965: 136-137). Maka tidak masuk akal jika Tuhan akan memasukkan orang mukmin ke dalam neraka, sementara orang kafir ke dalam surga.
Apabila seorang mukmin dijanjikan oleh Tuhan masuk sorga dan orang kafir masuk ke dalam neraka, lalu bagaimana dengan orang mukmin yang melakukan dosa besar seperti melakukan zina, membunuh atau perbauatan lain yang sejenis dan sebanding dengannya? Masuk neraka atau masuk sorga? Kaum Mu’tazilah menjawab pertanyaan itu, bahwa orang yang berdosa besar tidak masuk neraka dan juga tidak masuk sorga, tetapi berada di antara dua tempat atau yang lebih dikenal dengan al-Manzilah Bain al-Manzilatain yang kemudian dijadikan prinsip dasar keempat. Istilah al-Manzilah Bain al-Manzilatain juga dikenal dengan nama al-Asma’ wa al-Ahkam (Abdul Jabbar, 1965: 137).
Barangkali tokoh pertama kali yang memperkenalkan pikiran tersebut di atas adalah Wasil bin Atho’. Prinsip al-Manzilah Bain al-Manzilatain didapat oleh Wasil ketika ia mengikuti majlis Hasan al-Bashri, yaitu ketika Hasan al-Bashri ditanya tentang munculnya fenomena sebagian kaum muslimin yang menghukumi kafir dan telah keluar dari agama bagi orang melakukan dosa besar, sementara kelompok lain menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak dapat merusak keimanan, lalu Hasan al-
Bashri ditanya, bagaimana pendapat anda tentang itu? Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Wasil bin Atho’ mengajukan jawaban: “saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih mukmin atau malah kafir, tetapi ia berada di antara dua tempat (al-Manzilah Bain al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak kafir (al-Syihristani, t.t.: 48).
Prinsip dasar yang terakhir adalah al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Kaum Mu’tazilah mengatakan, bahwa merupakan kewajiban setiap muslim untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar. Seorang muslim wajib mengubah kemunkaran dengan pedang dan tangan manakala ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menurut mereka, didasarkan pada sebuah ayat, “Kalian adalah sebaik-sebaik umat yang dilahirkan untuk manusia supaya melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar” (QS. Ali Imran: 110).
Ada beberapa persyaratan untuk melaksanakan prinsip al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Pertama, seseorang harus benar-benar mengetahui bahwa yang diperintahkan (al-ma’mur bih) itu adalah kebajikan (ma’ruf), dan yang dilarang (al-manhiy anhu)itu benar-benar kemunkaran, sebab jika seseorang tidak mengenalnya dengan sungguh-sungguh, tentu apa yang akan ia lakukan berdasar pada prasangka, bukan pengetahuan, dan ini tidak boleh dilakukan. Kedua, seseorang harus mengerti kalau kemunkaran itu hadir di depannya, misalnya di depannya terlihat ada alat-alat yang tersedia untuk mabuk-mabukan. Ketiga, seseorang harus menyadari bahwa tindakan yang akan dilakukan tidak membawa dampak kemadlorotan yang lebih besar, misalnya seseorang itu melarang minum khamer tetapi pelarangannya itu menyebabkan akan terbunuhnya umat Islam dalam jumlah yang lebih besar. Keempat, seseorang harus menyadari dengan penuh keyakinan bahwa apa yang hendak ia katakan (untuk amar makruf dan nahi munkar) mempunyai pengaruh atau pasti berdampak. Kelima, seseorang harus menyadari sepenuh hati bahwa apa yang akan dilakukan tidak berdampak madlorot pada diri atau hartanya (Abdul Jabbar, 1965: 142-143).
Dalam pelaksanaan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar tersebut, Abdul Jabbar membaginya menjadi dua macam. Ada amar makruf dan nahi munkar yang hanya dapat dilakukan oleh para imam, dan yang dapat dilakukan oleh manusia pada umumnya. Yang hanya bisa dilakukan oleh para imam seperti menegakkan hukum agama, menjaga pemurnian agama Islam, mengerahkan pasukan, mengangkat hakim dan pimpinan, dan yang sejenis dengannya. Sementara yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum seperti melarang minum khamer, mencuri dan berbuat zina, dan yang sejenis dengannya (Abdul Jabbar, 1965: 148).
Kelima prinsip dasar sebagaimana tersebut di atas saling terkait antara satu sama lain, terutama tiga prinsip yang terakhir terkait erat dengan dua prinsip pertama, yaitu al-Tauhid dan al-Adl. Dengan kata lain, bahwa tiga prinsip terakhir merupakan cabang dari dua prinsip yang pertama. Prinsip al-Wa’d wa al-Wa’id terkait secara langsung dengan keadilan Tuhan untuk melaksanakan janji dan ancaman-Nya sebagaimana yang telah di-nash-kan. Demikian pula prinsip al-Manzilah Bain al-Manzilatain, karena Tuhan tidak akan adil jika hukum orang mukmin yang taat dan orang mukmin yang fasiq disamakan; hukum orang yang fasiq dengan hukum orang yang kafir juga tidak sama. Prinsip amar makruf dan nahi munkar juga masih dalam kerangka keadilan Tuhan, karena Tuhan hanya berbuat baik dan yang terbaik untuk manusia, maka segala yang tidak baik dan terbaik merupakan perbuatan manusia, dan karenanya harus dicegah. Maka tidak heran jika kaum Mu’tazilah disebut dengan Ashab al-Tauhid wa al-Adl atau al-Adliah (al-Syihristani, t.t.: 43). Lalu mengapa bisa demikian? Apakah yang terjadi sebenarnya di balik prinsip al-Tauhid dan al-Adl?
Masalah yang menggelitik hati para mutakallimin awal adalah sifat Tuhan al-Ilm. Sifat ini diperdebatkan oleh masing-masing kelompok, antara mereka yang mengakui kebebasan berkehendak manusia dan mereka yang menolak kebebasan berkehendak. Yang menolak kebebasan berkehendak menyatakan, bahwa Tuhan memiliki pengetahuan yang azali, dan oleh karena itu Tuhan pasti mengetahui sejak azali dan tentu Dialah yang telah mentakdirkan perbuatan manusia sejak azali. Kelompok ini kemudian dikenal dengan Jabariah. Sementara Mu’tazilah berpegang pada kebebasan berkehendak pada manusia.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa para penguasa Umaiyah dalam menjalankan roda pemerintahannya lebih banyak menggunakan legitimasi keagamaan, yaitu bahwa apa yang terjadi merupakan takdir dan keputusan Tuhan. Penguasan Umaiyah telah menggunakan term Khalifah Allah, dengan memaknainya sebagai utusan dan wakil Tuhan di muka bumi atau sebagai bayangan Tuhan. Segala yang mereka lakukan diatasnamakan takdir dan keputusan Tuhan: mereka telah menggunakan ideologi jabariah sebagai legitimasi kekuasaan. Karena itu, siapa saja yang melawan atau menentangnya, maka ia dituduh telah melawan otoritas Tuhan (Montgomery Watt, t.t.: 84).
Konon diriwayatkan, bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika memerintahkan untuk membunuh Amr bin Said, menyuruh melemparkan kepalanya di hadapan para mukhlishin yang telah menunggu di depan istana menanti kedatangannya, bahkan menyuruh supaya diumumkan bahwa “amirul mukminin telah membunuh teman kalian atas dasar keputusan (Tuhan)”. Ini menunjukkan bahwa penguasa Umaiyah telah menisbatkan kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiah) kepada dirinya: menggunakan konsep jabariah (Nashr Hamid Abu Zaid, 1996: 20).
Di tengah kelaliman penguasa Muawiyah inilah Mu’tazilah menegaskan prinsip al-Tauhid dan al-Adl, dengan manyatakan bahwa manusia adalah bebes berkehendak dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Sebenarnya Mu’tazilah, dengan menafikan sifat pada Tuhan (al-Tauhid) dan menagaskan kebebasan berkehendak (al-Adl), ingin mempertegas sikap oposisional-antagonistik dan mengkritik praktek para penguasa Umaiyah. Apabila penguasa Umaiyah telah menggunakan agama sebagai demi kepentingan politiknya: menundukkan agama ke dalam politik, maka Mu’tazilah juga telah menjadikan agama untuk melawan otoritas politik pemerintah Umaiyah. Sampai dapat dipahami, bahwa lima prinsip dasar yang dikemukakan oleh Mu’tazilah merupakan ungkapan teologis melawan politik Umaiyah yang sewenang-wenang dan lalim (Muhamad Abed al-Jabiri, 1991: 58-59).

Paradoksitas Konsep Kebebasan Berkehendak Mu’tazilah
Bahwa Mu’tazilah dalam beberapa literatur teologi Islam dikenal sebagai eksponen free will (kebebasan bertindak), meskipun di kalangan ulama Mu’tazilah sendiri tidak ada kesamaan pendapat mengenainya. Apa yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan aktifitas moral?, kira-kira itulah pertanyaan yang mencuat dan memaksa mereka untuk mencoba menggabungkan antara tanggungjawab manusia dan kekuasaan Tuhan.
Wasil bin Atho’, juru bicara Mu’tazilah pertama, menyatakan bahwa Tuhan itu Maha Bijaksana dan oleh karenanya ketidakadilan dan kejahatan tidak dapat
dihubungkan atau disandarkan pada-Nya. Tuhan pun tidak mungkin membuat manusia untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan-Nya. Manusia, menurutnya, mengetahui di dalam dirinya sendiri bahwa ada kekuatan dan perbuatan, dan siapapun yang mengingkarinya berarti mengingkari keniscayaan (Harry Austryn Wolfson, 1976: 617). Lebih jauh Tsumamah menegaskan, apabila perbuatan manusia berasal dari Tuhan, tentu manusia tidak berhak mendapat ganjaran atau hukuman: tidak berhak atas pujian dan celaan (Montgomery Watt, t.t.: 86-87).
Pendapat yang serupa dinyatakan oleh al-Jubai, bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri: berbuat baik dan buruk, patuh dan ingkar kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri (al-Baghdadi, t.t.: 135-136). Sementara Abdul Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan pada diri manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru (Abdul Jabbar, 1965: 324).
Pendapat liberal Mu’tazilah tentang manusia adalah pencipta tindakannya sendiri, mendapat serangan yang cukup besar dari mereka yang anti-Mu’tazilah. Dengan paham kebebasan berkehendak-nya, Mu’tazilah dinilai telah mensekutukan Tuhan atau mereka telah terjebak ke dalam paham polytheisme, bahkan Asy’ari menuduhnya sebagai orang yang tidak butuh lagi kepada Tuhan (Harun Nasution, 1986: 106).
Terlepas dari keberatan yang diajukan oleh mereka yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah, namun yang jelas paham kebebasan berkehendak sebagaimana yang diajukan Mu’tazilah telah melahirkan paradoks yang nyata. Harus dikaui, pada satu sisi Mu’tazilah adalah kelompok yang mempertahankan mati-matian keesaan Tuhan, dan untuk mempertahankannya mau tidak mau mereka harus mempertahankan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas di dunia. Namun pada sisi lain, pernyataan tentang bahwa manusia adalah pencipta tindakannya dapat dilihat sebagai pandangan yang membatasi kekuasaan Tuhan (Madjid Fakhry, 1953: 96).
Supaya dapat keluar dari paradoks tersebut dan sekaligus menangkis serangan atau keberatan yang diajukan oleh mereka yang anti-Mu’tazilah, Abu Hudzail al-Allaf mengajukan dua teori tentang tindakan manusia, yaitu bahwa ada dua macam tindakan manusia. Pertama, tindakan yang diketahui modalitasnya, dan kedua tindakan yang tidak diketahui modalitasnya. Yang pertama dari manusia dan yang kedua dari Tuhan (Madjid fakhry, 1953: 98). Sebagai contoh dari tindakan yang pertama adalah efek rasa sakit yang ditimbulkan oleh perbuatan memukul dan contoh dari tindakan kedua dapat dilihat pada rasa panas dan dingin. Tindakan yang pertama dapat dikategorikan ke dalam tindakan langsung (efek dihasilkan dari aksi (al-amal) secara berurutan), sementara yang kedua tidak langsung. Tindakan yang terakhir ini dikalangan Mu’tazilah lebih dikenal dengan al-af’al al-mutawalidah (Ibrahim Madkur, t.t.: 107-108).
Mu’tazilah juga berusaha keras merasionalisasikan paradoks-paradoks tersebut dengan mencoba memperkenalkan gagasan tentang nature. Menurut mereka, apapun yang terjadi di luar jangkauan kemampuan manusia, itu disebabkan oleh Tuhan melalui tuntutan penciptaan (alam), misalnya saja batu yang bergerak. Maka apapun yang terjadi di alam itu disebabkan oleh tindakan awal Tuhan secara tidak langsung (Madjid Fakhry, 1953: 100).
Lebih jelas Mu’ammar mengatakan, bahwa eksistensi body berasal dari Tuhan, sementara eksistensi aksiden harus dikaitkan dengan aksi (tindakan) dari body itu sendiri, baik secara alami maupun disadari dalam diri manusia. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan, bahwa Tuhanlah yang menyebabkan munculnya aksiden kecuali secara tidak langsung melalui agen body yang memunculkan aksiden-aksidennya secara alami. Ini dilakukan Mu’ammar untuk menghindarkan tanggungjawab Tuhan atas perbuatan dosa manusia di dunia (Madjid Fakhry, 1953: 102). Pendapat Mu’ammar ini sangat dengak dengan pendapat an-Nazzam tentang tindakan manusia; manusia adalah substansi yang berkehendak dengan body. Manusia diberi kekuatan, inisiatif, dan pengetahuan (Madjid Fakhry, 1953: 103).
Usaha tokoh Mu’tazilah untuk keluar dari paradoksitas pemahaman yang telah mereka bangun; dengan prinsip tauhid mereka hendak menegakkan kekuasaan mutlak Tuhan pada satu sisi, dan kebebasan berkehendak manusia sebagai wujud keadilan Tuhan pada sisi yang lain, dengan mengajukan konsep al-af’al al-mutawallidah berujung pada pemisahan dua wilayah, yaitu dunia kehendak dan dunia alam. Pemisahan ini akan berakibat fatal pada pemecahan yang memadai terhadap problem kebebasan, yang berarti bahwa manusia bebas memutuskan untuk dirinya sendiri meskipun ia tidak mampu menjalankan keputusan-keputusannya. Gagasan tentang nature juga hanya akan menempatkan efek dengan secara mudah pada tahapan yang lebih jauh di luar jangkauan kehendak manusia.
Kategori bahwa manusia itu mampu menentukan dirinya sendiri atau mampu bertindak dengan dirinya sendiri, merupakan kategori simplistis yang diajukan oleh Mu’tazilah dengan berangkat dari gagasan teologis; mengenai keesaan dan keadilan Tuhan, yang terkait dengan realitas politik pada saat itu. Untuk melindungi gagasan itu mereka mencoba merasionalisasikan problem tentang tindakan manusia dengan cukup mempostulatkan bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri; mampu bertindak dengan dirinya sendiri.
Meskipun Mu’tazilah mengasumsikan bahwa manusia adalah pencipta tindakannya sendiri, namun tetap terjebak pada pemostulatan metafisika atom dan aksiden, yang secara umum ditandai sebagai occusionalism. Prinsip dasar dari metafisika ini adalah segala sesuatu di dunia terdiri dari dua elemen penting, atom dan aksiden.


Penutup
Semuanya sepakat bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun mengkaji tentang kehendak manusia dan keterbatasannya dalam realitas kehidupan tetap akan menyimpan misteri, bahkan tampak paradoks di hadapan kekuasaan Mutlak Tuhan. Sampai aliran filsafat yang paling kritis pun akan menghadapi paradoks-paradoks itu dalam mencermati esensi tindakan manusia sebagai makhluk Tuhan. Usaha yang telah dilakukan Mu’tazilah merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari itu.
Bagaimanapun juga pemikiran Mu’tazilah tentang problem kehendak manusia merupakan sumbangan intelektual yang berharga bagi dunia Islam. Kritik dan ana- lisis cermat harus tetap dilakukan terhadapnya untuk mengoreksi paradigma yang
ditimbulkannya dan melihat kemungkinan paradigma lain yang –mungkin—lebih dapat diterima oleh semangat anak zaman. [mff]

Daftar Pustaka

Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, ditahklik oleh Imam Ahmad bin Husein bin Abi Hasyim, Abdul Karim Usman (ed.), (Maktabah Wahbah, Kairo: 1965), cet. I

Abdul Qahir bin Tohir bin Muhammad al-Baghdadi, al-Farqu Bain al-Firaq (Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut: t.t.)

Abu al-Hasan Ibn Ismail l-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Hilmut Ritter ed. (Mathba’ah al-Daulah, Constantinopel: 1930), Vol. II

Al-Mahdi Lidinillah Ahmad bin Yahya bin al-Murtdla Ibn al-Mufadlol bin Mansur al-hasani al-Yamani, Kitab al-maniah wa al-Amal fi Syarh al-Milal wa al-Nihal, Muhammad Jawad Masykur ed. (Dar al-Fikr, Beirut: 1989), cet. I

Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of The Kalam (Harvard University Press, London: 1976)

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Universitas Indonesia Press, Jakarta: 1986)

Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiah: Manhaj wa Tathbiq (Dar al-Maarif, Mesir: t.t.), Vol. II

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1996), cet. I

Madjid Fakhry, “Some Paradoxical Implications Implications of The Mu’tazilite View of Free Will”, The Muslim World, No. XLIII/1953

Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1991), cet. I

Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Syihristani, al-Milal wa al-Nihal, Abdul Aziz Muhammad al-Wakil ed. (Dar al-Fikr, Beirut: t.t.)

Nasr Hamid Abu Zaid, al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadliyah al-majaz fi al-Qur’an Inda al-Mu’tazilah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1996), cet. III

Nasr Hamid Abu Zaid, al-nash al-Sultah al-Haqiqah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1995), cet. I

W. Montgomery Watt, The Formative Priode of islamic Thought (One World Oxford: t.t.)