30 November, 2009

Mendekonstruksi Tabu-tabu Seksual

Oleh: M. Faisol Fatawi

Seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri kita. Ia bekerja secara naluriah setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu atau indera kita yang lainnya menangkap stimulus yang sejenis. Ini menyebabkan mengapa di dunia yang sudah global sekalipun, seks tetap muncul sebagai daya tarik tersendiri di antara sekian banyak persoalan. Pengeksploitasian seks secara massif, baik seperti yang ada dalam iklan TV atau dalam media cetak, merupakan contoh kecilnya. Ini menunjukkan betapa pemahaman kebanyakan orang terhadap seksualitas baru hanya pada aspek yang menyangkut genitalitas dan organ seks sekunder lainnya saja. Seks dipahami hanya dari dimensi bilogis-fisiknya saja, tidak dari dimensi behavioral, psiko-sosial, klinis atau dimensi kulturalnya. Lebih ironisnya lagi, di tengah masyarakat seks masih dianggap tabu.
Dalam buku yang cukup tebal, dalam ukuran buku saku ini, FX Rudy Gunawan mengajak untuk mendobrak seks. Menurut penulis buku ini, sebenarnya seksualitas merupakan persoalan filosofis yang urgen dan aktual dalam rangka memahami identitas seksualnya atau eksistensi dirinya sebagai homo sexsualis. Karenanya, esensi dari eksistensi manusia terletak di dalam seksualitasnya. Pentabuan seks, dalam berbagai bentuknya, lebih merupakan bentuk-bentuk campur tangan kepentingan lain: kekuasaan politk, ekonomi, agama dan lain-lain.
Dalam konteks politk, selama ini, sexual identity lebih merupakan sebuah political idea atau sebuah ide politik yang selalu dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melakukan fungsi kontrol terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, untuk membicarakan seks, kita harus menggunakan perumpamaan-perumpamaan, penghalusan-penghalusan, atau bentuk retorika kiasan dan metafor. Bahasa benar-benar dikendalikan dengan ketat. Maka akibat selanjutnya adalah muncul pelipat-gandaan wacana mengenai seks di dalama wilayah kekuasaan itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya dan bahkan untuk semakin membicarakannya. Rezim Orde Baru misalnya, sebenarnya telah mentransfer cara pentabuhan seks selama berabad-abad yang dilakukan oleh berbagai rezim kekuasaan di mana-mana, meskipun terjadi secara tidak langsung. (hal. 51)
Dalam agama, pentabuan seks bermula dari persepsi tentang penciptaan Adam dan Hawa. Asumsi bahwa Adam diciptakan lebih awal katimbang Hawa dipandang sebagai penanda bahwa kaum laki-kali harus lebih dulu, harus nomor satu, dan bahkan harus lebih tinggi di atas perempuan. Akibatnya muncul ketidakseimbangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan posisi ini pada akhirnya berujung pada ketidak-adaan penghargaan terhadap tubuh: yang terjadi malah pengeksploitasian, pelecehan, bahkan kekerasan terhadap tubuh perempuan. (hal. 59)
Pentabuan seks akan melahirkan sikap tidak adil akan sexsual Identity atau pembedaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan. Aturan perkawinan misalnya, di tengah masyarakat mestinya tidak dirancukan dengan nilai-nilai keperawanan (virginitas) sehingga yang terjadi kemudian adalah persepsi bahwa lembaga perkawinan merupakan legitimasi dari sebuah hubungan seks atau sexual intercouse.
Menurutnya, hubungan seksual sendiri sama sekali tidak membutuhkan legitimasi formal apapun karena hubungan itu sudah legitimate jika dilakukan atas dasar keinginan bersama, merupakan ekspresi dari hubungan emosional antara sepasang manusia, tidak merugikan salah satu pihak, dan bukan merupakan wujud penguasaan (dominasi) kaum laki-laki terhadap perempuan. Lembaga perkawinan lebih merupakan wujud komitmen lanjutan antara sepasang manusia tersebut dengan tujuan mempermanenkan hubungan tersebut, meneruskan keturunan, dan untuk memudahkan pendidikan terhadap anak-anak. (hal. 53-54) Maka persoalannya kemudian bukan kapan seorang perempuan melepas keperawannya, namun bagaimana ia melepaskan keperawanannya.
Di sini kemudian kita harus memahami seks sebagai wacana tubuh. Ini prinsip awal yang harus ditanamkan dalam setiap individu. Karena tubuh itu, secara nyata, mewakili kehormatan seseorang, maka kita harus mengormati integritas tubuh pasangan kita. Karena pernah menyetebuhinya, bukan berarti lantas kita harus memilikinya. Untuk itu seks harus dibicarakan sebagai sebuah bidang umum. Sebagai sebuah unsur yang sangat esensial dalam diri manusia yang menentukan keberadaan atau eksistensi manusia seutuhnya. Seks merupakan kodrat alamiah setiap manusia yang menjadi bagian yang integral dalam dirinya. Oleh karena itu, mencari nilai-nilai inheren atau intrinsik dari seksualitas menjadi menjadi lebih urgen dan signifikan.
Namun apabila manusia gagal atau tidak memahami kodrat seksualnya, maka yang terjadi adalah kebejatan moral. Kegagalan itu dapat dilihat dalam prilaku-prilaku seperti pedhofili dan korelasinya dengan pelacuran anak, prilaku sadomasochis atau sadisme dalam seks, dan insect. Seks yang semestinya harus dihormati sebagai bagian dari eksistensi kehidupannya yang mempunyai nilai-nilai intrinsik berubah, dijadikan sekedar alat ekspresi. (hal. 177-178)
Nilai-nilai sejati dari seksualitas harus dicari. Karena ternyata wacana seks mencakup hampir semua dimensi dan prisnip-prinsip dasar dalam kehidupan. Kausalitas pada manusia, alam bawah sadar manusia, prinsip-prinsip hubungan antara manusia, dan perkembangan suatu kebudayaan, semuanya berkembang dalam wacana seks. Bahkan kebejatan manusia, atau ukuran kebudayaan sekalipun.
Demikianlah penulis buku ini mengulas persoalan seksualitas dan hubungannya dengan realitas kehidupan sebagai sebuah sistem yang tak terpisahkan, bahkan melacak nilai-nilai sejati dari seks tersebut secara panjang lebar. Semuanya dilihat dari perspektif filosofis. Meskipun buku ini hadir dalam bentuk kecil, namun tuntas dalam mengungkap sersoalan tersebut, selain menarik untuk dibaca dan enak dipahami, terutama bagi mereka yang memiliki concern terhadap persoalan gender atau feminisme. Lebih-lebih dengan menggunakan pendekatan ala kaum strukturalisme seperti yang dilakukan oleh Claudia Levi-Strauss dengan analisanya tentang insect, buku ini semakin menunjukkan dimensi lain yang ‘baru’, dibanding dengan buku-buku yang sudah ada.[mff]


Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Bernas Yogyakarta

0 komentar: