20 November, 2009

Kenisbian Sebuah Penafsiran

Oleh: M. Faisol Fatawi


Dalam Islam, tidak ada teks atau kitab perundang-undangan yang diakui oleh kelompok keagamaan secara teologis kecuali al-Qur'an. Semua kelompok meyakini bahwa al-Qur'an adalah teks yang diwahyukan dan diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya melalui perantara malaikat. Al-Qur'an adalah satu-satunya teks yang selalu dipahami dan diinterpretasikan oleh umat Islam sebagai pegangan yang melandasi gerak dan langkah kehidupan mereka.
Sejak awal perjalanan sejarah yang ditempuh oleh Islam, kecenderungan untuk menyatukan (unifikasi) teks al-Qur'an dalam satu ikatan belum pernah muncul. Pada masa nabi saw masih hidup pun tidak pernah ditemukan teks al-Qur'an dalam bentuknya yang sudah tersusun rapi. Kalaupun toh ada, itu pun hanya letupan-letupan kecil, yakni tulisan dalam pelepah-pelepah, batu-batu, dan atau daun-daun korma secara sporadis. Kecenderungan untuk melakukan unifikasi teks al-Qur'an ini baru muncul ke permukaan pada masa-masa belakangan. Bahkan kecenderungan ini merupakan sesuatu yang asing dalam Islam masa awal atau paling tidak sesuatu yang tak terpikirkan.
Sejarah memang membuktikan, bahwa teks al-Qur'an baru dibukukan dan diunifikasi secara resmi pada masa khalifah Usman bin Affan dalam wujudnya yang seragam dan dapat kita saksikan seperti sekarang ini. Ini dapat dikatakan sebagai usaha yang sangat mulia. Meskipun khalifah Usman berhasil membukukan dan menyeragamkan teks al-Qur'an ke dalam satu bentuk mushaf yang kemudian dikenal dengan mushaf Usmani, tetapi usaha ini menuai protes dari banyak kalangan sahabat. Oleh karena usaha ini tidak mendapatkan dukungan yang bulat dari seluruh umat Islam pada saat itu, maka tak pelak di sana tetap saja terjadi perbedaan bacaan (qira'at).
Perbedaan bacaan (qira'at) tersebut minimal dipicu oleh karakteristik tulisan Arab itu sendiri. Kadang, sebuah perbedaan bacaan dipicu oleh tidak adanya titik pada huruf-huruf resmi, dan kadang disebabkan oleh perbedaan harakat dalam bagan huruf-huruf yang diam. Dua hal ini merupakan faktor utama lahirnya dinamika perbedaan bacaan dalam teks al-Qur'an. Munculnya perdebatan seputar bacaan Al-Qur'an dalam generasi awal tidak lain merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan dan menegakkan kitab suci ini. Dan ragam bacaan itu mencerminkan usaha untuk menafsirkan firman Tuhan. Inilah karakteristik tafsir tahap paling awal dalam Islam.
Seiring dengan diterimanya suatu bacaan tertentu oleh berbagai kalangan masyarakat yang kemudian dikenal dengan bacaan masyhurah, karakteristik penafsiran yang lebih cenderung memperhatikan perbedaan bacaan itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Generasi umat Islam berikutnya senantiasa cenderung menjadikan al-Qur'an sumber untuk mencari justifikasi kebenaran atas pemikiran yang dipeganginya. Mereka menjadikan kitab ini sebagai sandaran untuk menunjukkan kesesuaian pikirannya dengan Islam dan apa yang dibawa oleh nabi.
Secara alami, kecenderungan seperti ini dan cara interaksinya dengan al-Qur'an menjadi lahan subur bagi lahirnya penulisan tafsir aliran yang dengan cepat terlibat dalam kancah persaingan dengan penafsiran yang simplistis. Al-Qur'an pun dipahami sesuai dengan perspektif atau cara pandang aliran masing-masing: tafsir dalam perspektif teologi (kaum rasionalis), tafsir dalam perspektif tasawuf Islam, tafsir dalam pandangan sekte-sekte keagamaan, dan di tengah dunia modern al-Qur'an juga ditafsirkan sedemikian rupa sebagai respon atas perkembangan peradaban terkini.
Di tengah munculnya berbagai aliran keagamaan Islam, al-Qur'an sebagai core text menjadi taruhan tertinggi: sebuah kewenangan mutlak, senjata perang, sumber harapan dan tempat suaka yang tak dapat digantikan dalam waktu-waktu permusuhan. Upaya menafsirkan al-Qur'an tidak lagi dapat bebas dari tujuan dan orientasi tertentu, baik yang bersifat individu maupun kelompok. Oleh karena itu, tafsir memiliki bias kepentingan. Masing-masing mengaku menjadi pemegang "wewenang Tuhan". Di sini, saya jadi teringat dengan pernyataan sayyidina Ali karromallohu wajhah bahwa “al-Qur’an tidak bisa berbicara, tetapi yang berbicara adalah pembacanya.” Maka, dengan keterbatasan dan kelebihannya, setiap penafsiran menyimpan kepentingan (baca: ideologi penafsir)-nya. Dan ini harus diwaspadai agar—ketika membaca tafsir—kita tidak terjebak pada klaim kebenaran (truth claim) yang sebenarnya bersifat nisbi. [mf]

0 komentar: