25 November, 2009

Wukuf dan Semesta Kemanusiaan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Istilah wukuf berasl dari kata w-q-f yang berarti berhenti. Wukuf merupakan salah satu rangkaian ibadah (ritual) yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sedang melaksanakan haji. Wukuf di Arah berarti berhenti sejenak di tempat itu. Waktu wukuf adalah awal zuhur tanggal 9 Dzul Hijjah sampai sebelum terbit matahari tanggal 10 Dzul Hijjah. Wukuf menjadi rukun kedua di dalam ibadah haji.
Wukuf menjadi momen yang sangat penting bagi jamaah haji tidak saja dari aspek ritualitas keagamaan ibadah haji, tetapi sebagai peristiwa sejarah kemanusiaan. Terdapat peristiwa penting yang mengiringi kenapa wukuf itu menjadi hal yang istimewa dalam haji. Tepatnya, di Arafah nabi menyampaikan pidato terakhirnya ketika sedang berhaji bersama para sahabat-sahabat beliau, atau yang kemudian di kenal dalam sejarah Islam sebagai haji wada’ (haji perpisahan). Dalam pidato itulah, berkali-kali Rasulullah Saw mengatakan: “Ambillah manasik dariku, karena barangkali setelah tahun ini kalian tidak bisa menemuiku lagi.”
Ada hal-hal penting yang dapat kita ambil hikmah dari peristiwa wukuf di Arafah. Ketika para hujjaj berhenti (mampir) di Arafah sejenak, Arafah menjadi lautan yang dipenuhi oleh ribuan manusia. Semuanya hadir ke tengah lapang Arafah dengan memakai baju ihram yang serba putih-putih, tidak ada satupun yang berberda warnanya. Baik mereka yang kaya maupun miskin, yang berkulit hitam maupun putih, baik yang tampan maupun yang berwajah buruk, yang tua maupun yang muda, dan seterusnya, semuanya berjubel menjadi satu dalam tanah lapang Arafah. Ketika itu, semua manusia sama. Tidak ada satupun yang berbeda. Semua di hadapan sang Khaliq sama rata. Nilai-nilai ke-egaliter-an menjadi pesanyang tidak dapat ditolek oleh setiap mereka yang berhaji.
Oleh karena itu, wukuf di Arafah sebenarnya menjadi dimensi ruang dan waktu bagi manusia untuk menumbuhkan sikap keadilan semesta. Dalam batas ruang dan waktu, para hujjaj selama di Arafah merasakan adanya persamaan sejati antar sesama umat manusia melalui pengalaman riil. Dimensi ruang dan waktu tentang adanya perasaan yang sama bukan sekedar menjadi sesuatu yang imajiner. Tetapi, semua itu berada dalam ruang dan waktu yang riil dan nyata.
Kalau merunut sejarah, kita mungkin jadi teringat akan sabda nabi Saw ketika berkhutbah kepada para umat Islam di Arafah pada saat haji Wada’. Terdapat korelasi antara pesan khutbah yang disampaikan oleh baginda Rasul dengan peristiwa wukuf di Arafah dalam pelaksanaan ibadah haji Wada’. Baginda Nabi dalam pidatonya ketika itu mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu. Bapak kalian adalah satu. Kalian semua dari Adam, dan Adam [diciptakan] dari tanah. Semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah orang yang baik taqwanya. Tidak kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali taqwanya ...” Cuplikan khutbah ini mengisyaratkan perhatian Rasulullah terhadap pentingnya persoalan kemanusiaan. Sebuah pesan kemanusiaan yang luhur, yang di dalamnya seseorang menemukan jati dirinya sebagai makhluk yang sama, yaitu sama dalam sifat kemanusiaan dan haknya sebagai ciptaan Tuhan.
Oleh karena manusia pada hakekatnya adalah sama di hadapan Tuhan, maka tidak sepatutnya antar sesama melakukan perilaku yang dapat saling merugikan. Berbuat zalim dan menyakiti orang lain pun tidak diperbolehkan. “Sungguh harta dan darah kalian adalah haram bagi kalian semua,” demikian dalam bagian lain dari khutbah Nabi di Arafah saat haji Wada’.
Sampai sini, saya semakin yakin bahwa peristiwa wukuf—yang harus dilakukan oleh para jamaah haji itu—tidak saja menjadi ajang sesaat untuk menikmati panorama alam bumi Arafah (yang gersang sebagaimana kebanyakan pemandangan daerah gurun pasir lainnya). Tetapi, wukuf harus dijadikan sebagai momen dan tempat untuk mengajari diri sendiri akan pentingnya nilai-nilai tentang semesta kemanusiaan; nilai persamaan antar sesama dan solidaritas kemanusiaan, sehingga tidak mudah tersulut emosi untuk menyakiti orang lain.
Baginda Rasul pernah menyatakan: “Haji adalah Arafah.” Barangkali, ini menjadi isyarat bagi kita akan pentingnya wukuf di Arafah, tidak saja dalam konteks haji tetapi juga dalam konteks historisnya. Maka, sangatlah rugi bagi mereka yang berhaji khususnya, dan umat Islam pada umumnya, yang melupakan makna (hikmah) esensial dari peristiwa besar wukuf di Arafah itu.[mff]

0 komentar: