11 November, 2009

DISKURSUS GENDER DALAM TAFSIR AL-BAHR AL-MUHITH

Oleh: M.Faisol Fatawi


Agama Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sejak awal diutus, nabi Saw telah mengenalkan prinsip-prinsip universal-progresif Islam kepada bangsa Arab, yaitu tauhid, persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), solidaritas sosial (al-tadhamun al-ijtimaíy). Prinsip tauhid menggantikan konsep berketuhanan yang serba materialistik (penyembahan dan penghambaan terhadap berhala), persaudaraan menggeser sikap egoistik yang bercokol dalam diri masyarakat yang hidup dalam serba menang-menangan, persamaan menghapus sistem tatanan sosial yang tribalistik, sedangkan solidaritas sosial mengubur cara pandang individualistik yang telah tertanam dalam lubuk kesadaran sosial masyarakat Arab. Alih-alih, Islam hadir ke tengah mereka untuk melakukan transformasi sosial yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Salah satu tradisi buruk bangsa Arab yang sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka mengubur bayi perempuan secara hidup-hidup (wa’du al-banat). Masyarakat Arab sangat malu jika mereka mendapatkan karunia bayi perempuan. Hadirnya seorang anak perempuan bagi mereka sama halnya dengan tamparan yang sangat memalukan, yang—mungkin—tidak akan dapat dilupakan seumur hidup. Bayi perempuan berarti aib bagi keluarga. Oleh karena itu, Islam datang dengan melarang praktik pembunuhan nyawa anak manusia yang tak berdosa sebagaimana yang ditradisikan oleh masyarakat Arab. Secara tegas Islam melarang mereka agar tidak membunuh bayi-bayi perempuan yang tidak berdosa itu. Islam menghapus tradisi itu dan memberikan hak hidup bagi nyawa si bayi perempuan. Baik bayi perempuan maupun laki-laki, keduanya sama memiliki hak hidup serta harus dilindungi dan mendapat pemeliharaan yang semestinya dari kedua orang tuanya.
Pembunuhan terhadap bayi perempuan tersebut menggambarkan betapa bangsa Arab, saat pertama kali nabi Saw diutus, telah menodai kehormatan kaum perempuan. Ini merupakan bentuk subordinasi terhadap kaum perempuan. Sikap subordinatif seperti ini juga dapat dilihat dalam pertanyaan (baca: protes) Asma’ binti Yazid kepada Rasulullah. Ceritanya, Asma’ binti Yazid pernah menghadap Rasulullah Saw. Ia menguraikan isi hatinya kepada beliau: “Demi bapak dan ibuku, aku ini adalah utusan kaum perempuan menghadap kepadamu. Tidak seorang perempuan pun yang ada di Timur maupun Barat mendengarkan jalan keluarku ini kecuali mereka sama dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah telah mengutusmu dengan kebenaran (haqq) kepada kaum laki-laki dan perempuan, sehingga kami percaya kepadamu dan kepada Tuhan yang telah mengutusmu. Sesungguhnya kami kaum perempuan ini adalah orang-orang yang sebatas mengurusi persoalan rumah tangga kalian, menjadi tambatan syahwat kalian dan orang-orang yang mengandung anak-anak kalian. Sementara kalian, hai kaum laki-laki, dilebihkan dari kami dengan bisa melakukan shalat Jumát, berjamaah, menengok orang sakit ... Kami menjaga harta kalian saat kalian meninggalkan rumah, kami menyulam baju-baju kalian dan kami merawat anak-anak kalian. Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melakukan hal yang sama dengan yang kalian lakukan untuk mendapatkan pahala?”
Ungkapan isi hati Asma’ tersebut di atas jelas tidak lahir dari tempat yang kosong. Perasaan itu merupakan reaksi alami atas keadaan sosial yang sedang berkembang di tengah masyarakat Arab yang berada dalam dominasi kaum laki-laki (patriarki). Seolah-olah Asma’ binti Yazid yang mewakili para perempuan ketika itu berharap andai saja Islam dapat membawa sesuatu yang lebih baik katimbang keadaan yang sedang berkembang terkait dengan persoalan perempuan dan perannya di tengah masyarakat.
Maka, dalam situasi sosial yang demikian, Islam datang dengan mengangkat martabat kaum perempuan. Rasulullah Saw pun menyatakan: “al-nisa’ syaqaíqu al-rijal” (kaum perempuan adalah saudara kandung laki-laki). Seorang perempuan bukanlah saudara tiri bagi kaum perempuan. Laiknya seorang saudara, kaum perempuan mendapat pernghormatan yang sama sebagaimana kaum laki-laki.
Lebih lanjut, al-Qurán menjunjung tinggi kaum perempuan dengan mengabadikan identitasnya dalam salah satu surat al-Qurán, yaitu surat al-nisa’ yang berarti perempuan. Istilah al-nisa’ menjadi ikon pembebasan bagi kaum perempuan; penghargaan dan penghormatan terhadap eksistensinya. Ikon ini mengisyaratkan kepada kita bahwa ada suatu masalah sosial yang sedang terjadi dengan kaum perempuan pada saat itu, sehingga al-Qurán harus menjadikannya sebagai nama sebuah surat. Dalam kosakata al-nisa’ terdapat pesan progresif pembebasan kaum perempuan pada masa nabi Saw untuk mengangkat citra mereka sebagai manusia yang harus dipertimbangkan dan dihormati sebagaimana manusia yang lain.
Apa yang dilakukan Rasulullah Saw sungguh merupakan langkah yang progresif. Ini mestinya dimaknai sebagai spirit pembebasan Islam untuk menempatkan status sosial yang sama bagi kaum perempuan di sisi kaum laki-laki di muka publik. Sayangnya, spirit ini kemudian dibaca secara terbalik. Ayat-ayat al-Qurán yang terkait dengan kaum perempuan seringkali dibaca dan dipahami dalam sudut pandang kepentingan kaum laki-laki, jauh dari spirit pembebasan awal. Akibatnya, diskursus mengenai kaum perempuan dalam tafsir-tafsir keagamaan tidak menampakkan cakrawala yang progresif dan jalan yang mulus bagi hakekat dan eksistensi diri seorang perempuan di tengah kehidupan modern seperti sekarang ini.

• Mengenal Sosok Abu Hayyan
Abu Hayyan dilahirkan di Matakhsyarsy, sebuah desa di Granada, pada akhir bulan Syawal 654 H (Nashiruddin al-Dimasyqi: 1393 H, 63). Ia menghembuskan nafas terakhir di Kairo pada 28 Shafar 745 H. Dimakamkan di pekuburan Shufiyah di luar daerah Bab al-Nashr, dan dishalatkan gaib di masjid jami’ al-Amawi di Damaskus (al-Imad al-Hambali: t.t., 147).
Nama lengkapnaya adalah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi al-Gharnathi. Lebih dikenal dengan sebutan atsir al-din. Seorang guru besar dan imam di bidang ilmu Nahwu. Ia juga mendapat sebutan Abu Hayyan. Sebutan yang terakhir ini tergolong sebutan aneh. Karena keanehan sebutan inilah, Abu Hayyan menjadi lebih dikenal luas dalam belantara keilmuan Islam. Abu Hayyan menyatakan: “jika sebutan [Abu Hayyan] itu aneh, yang hampir tidak seorangpun menyamai sebutan tersebut dizamannya, maka sebutan tersebut menjadi melambung dan beritanya akan dikenal oleh para sahabat karib, sebagaimana sebutan Abu Hayyan yang diberikan kepada nama saya Muhammad. Seandainya sebutan Abu Abdullah atau Abu Bakar dialamatkan kepada saya, sehingga melahirkan kesamaan penyebutan, tentu saya tidak akan terkenal.”
Dalam meniti karier intelektual, Abu Hayyan berguru kepada para ilmuan muslim ternama pada zamannya di bumi Andalusia, Mesir dan tempat-tempat yang lain. Menurut kesaksian Ibn Hajar, bahwa Abu Hayyan pernah menimba ilmu pengetahuan kepada empat ratus guru. Ia telah banyak mengantongi ijazah (lisensi) pengetahuan dari banyak guru. Pertama kali, berguru ke al-Khathib Yusuf bin Ibrahim bin Abi Rihanah al-Andalusiy, kemudian kepada Abu al-hasan Ali bin al-Bukhari (Nashiruddin al-Dimasyqi: Vol. I, 63), di samping Abu Ja’far bin al-Zubair, Abu Ja’far bin al-Thiba’, Abu Ali al-Hasan bin Abd al-Aziz bin Abi al-Ahwash al-Fihriy.
Pada tahun 679 H, Abu Hayyan meninggalkan daratan Andalusi dan pergi menuju Mesir untuk mencari ilmu. Kepergiannya ke Mesir didorong oleh rasa keprihatinan yang mendalam dari lubuk hati para ilmuan pada masa itu akan usia udzur yang menggerogoti mereka, sehingga ditakutkan tidak ada generasi sesudahnya yang dapat mewarisi ilmu yang mereka tekuni. Dalam sebuah cerita yang dinyatakan oleh al-Suyuthi disebutkan, bahwa sebagian ilmuan (ahli) Logika, Filsafat, Matematika dan ilmu Alam pernah mengeluh kepada penguasa: “Kami sudah tua. Kami takut, jika kami semua mati, tidak ada orang (murid) yang menguasai ilmu-ilmu tersebut, yang dapat dimanfaatkan oleh penguasa, setelah generasi kami.” Mendengar keprihatinan inilah, Abu Hayyan lantas menyahutinya dengan seraya berkata: “saya mengisyaratkan untuk menjadi mereka ... maka saya pun pergi karena takut hal itu terjadi.”
Sementara itu, dalam ilustrasi yang lain disebutkan bahwa kepergian Abu Hayyan dari Andalusia disebabkan oleh adanya perseteruan antara dirinya dengan sang guru Abu Ja’far bin al-Thiba’. Ceritanya, Abu Hayyan telah berguru kepada Abu Ja’far bin al-Thiba’ dan Abu Ja’far bin al-Zubair. Suatu ketika antara kedua guru Abu Hayyan tersebut terlibat suatu persoalan. Dari Abu Ja’far al-Zubair, Abu Hayyan mendapat “suntikan” ilmu pengetahuan sehingga ia menulis sebuah buku yang didalamnya berisi sanggahan kepada Abu Ja’far al-Thiba’ mengenai lemahnya riwayat yang datang darinya. Kemudian persoalan ini diajukan kepada penguasa. Maka, penguasa pun mencari-cari Abu Hayyan dan hendak menangkapnya. Abu Hayyan sembunyi, dan lalu mengayuh perahu pergi menuju ke Timur.
Mesir ketika itu dikuasai oleh kerajaan Mamalik. Atas perintah sang raja, ia mendirikan sekolah khusus ilmu Nahwu, tepatnya pada tahun 704 H. Setelah itu menjadi guru tafsir di Qubbah al-Malik al-Manshur pada masa raja al-Nashir. Pada saat itu usianya menginjak 57 tahun. Ia juga menggantikan Muhammad bin al-Nahas untuk mengajar ilmu Nahwu. Abu Hayyan pergi ke Makah untuk menjalankan ibadah haji, dan di sana bertemu dengan Abu al-hasan Ali bin Shalih al-Husaini. Kemudian ia menuju Syam dan kembali ke Kairo untuk menetap di sana sampai akhir hayat (Mazid Ismail Na’im: 1984).
Sebelum memutuskan pergi ke Mesir, Abu Hayyan dikabarkan sempat memperluas cakrawala pengetahuannya dengan menimba ilmu ke negeri Maroko dan Afrika Utara. Di sana, ia bertemu dengan banyak guru dan belajar berbagai ilmu pengetahuan (Walid muhammad al-Saraqibi: 2005).
Sebagai sosok ilmuan, Abu Hayyan juga menjadi rujukan bagi anak zamannya. Ia dikenal oleh semua generasi muslim, di dunia Islam belahan Barat maupun di belahan Timur. Banyak generasi muslim di zamannya berguru kepada dirinya, dan menjadi ilmuan terkenal. Mereka adalah Syeikh Taqiyuddin al-Subki, al-Jamal al-Isnawiy, Ibn Aqil, Sirajuddin al-Balqiniy dan lain-lain.
Seiring dengan ketenarannya, sosok Abu Hayyan telah dikenal luas oleh para ilmuan muslim yang lain. Ia memiliki posisi intelektual yang tidak bisa dianggap remeh. Di mata yang lain, kedalaman ilmu dan kecerdasan intelektualnya diakui. Lisanuddin bin al-Khathib bersaksi bahwa Abu Hayyan adalah “satu-satunya sosok ilmuan yang genius, cerdas dan kuat hafalannya, ahli dalam bahasa Arab dan tafsir, serta menguasai metode periwayatan.” Bahkan al-Subki menyebutnya sebagai satu-satunya ahli Nahwu: bak lautan luas yang tak mengenal daratan, laksana Ka’bah yang senantiasa didatangi orang dari segala penjuru alam, dan bagaikan pohon rindang yang memberikan kesejukan kepada semua orang.
Abu Hayyan merupakan ilmuan yang multi talenta. Ia menulis buku dalam berbagai bidang keilmuan: tafsir, hadits, fiqh, tasawuf, Nahwu, Sharaf, bahasa, Balaghah, Arudh, sejarah, biografi dan agama-agama non-Islam. Semuanya ditulis dalam bahasa Arab. Di antara karyanya adalah Tafsir al-Bahr al-Muhith dan al-nahr al-Mad min al-Bahr. Keduanya dalam bidang tafsir. Irtisyaf al-Dharb min Lisan al-Arab, al-Tadzyil wa al-Takmil fi Syarh al-Tashil dan Manhaj al-Salik ila Alfiyah Ibn Malik. Ketiganya dalam bidang Nahwu (Jalaluddin al-Suyuti, Vol. 1: 280). Ditambah lagi, Taqrib al-Muqrib li Ibn Ushfur, Ithaf al-Arib bima fi al-Qurán min al-Gharib dan Íqd al-Laáliy.

• Abu Hayyan dan Tradisi Intelektual Negeri Andalusia
Sejak tahun 92 H sampai 138 H, negeri Andalus telah dikuasai oleh para keturunan Bani Umaiyah. Kemudian dilanjutkan oleh para khalifah Bani Umaiyah untuk yang kedua kalinya sampai 424 H. Lalu dilanjutkan oleh para muluk ath-thawa’if. Diantara para muluk ath-thawa’if itu adalah Bani Ibad di Isybiliah, Bani Nashr di Granada dan Bani Zhi an-Nus di Toledo. Satu per satu wilayah kekuasaan para muluk ath-thawa’if jatuh saling bergantian, hingga akhirnya Granada dan Andalus pada tahun 898 H.
Pada masa muluk ath-thawa’if, belahan negeri Andalus mendapat gelombang serangan dari orang-orang muslim Afrika bagian Utara. Mereka bangkit untuk memperjuangkan agama dan hak-haknya. Hingga pada akhirnya orang-orang Murabithun berhasil menguasainya pada abad V sampai VII H.
Sesungguhnya, para penakluk dari negeri Arab, mulai dari masa Musa bin Nushair sampai masa khalifah an-Nashir, mereka telah mengusung pengetahuan mengenai bahasa, puisi dan lain-lainnya, yang ada di Syam ke negeri Andalus. Hal ini karena sebagian mereka adalah orang-orang terdidik. Hanya saja, pengetahuan yang mereka bawa itu masih belum tersistematisasikan secara cermat. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai masa khalifah Abdurrahman an-Nashir yang mana ia sangat getol untuk membangun kekuasaannya dengan berbagai ilmu pengetahuan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para penguasa Daulah Abbasiyah. Menyadari bahwa ia tidak memiliki para ilmuwan yang mampu menyebarkan kebudayaan Arab di tengah-tengah masyarakat Andalus, maka Abdurrahman an-Nashir memutuskan untuk ”memboyong” pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuwan Timur (ahl al-masyriq) (Ahmad Amin, 1966: 30).
Maka tak pelak, langkah awal yang dilakukan demi tujuan penyebaran kebudayaan Arab di Andalus adalah usaha-usaha untuk mengadopsi pengetahuan yang ada di belahan Timur dengan mengirim utusan untuk belajar ke sana. Sebagian besar dari mereka berangkat ke Timur untuk menemui para ilmuwan di sana, lalu belajar kepadanya dan menimba darinya berbagai ilmu pengetahuan seperti fiqh, ilmu syari’ah, kalam, hadits dan lain-lainnya. Sebagian yang lain memang ada yang pergi ke Timur secara khusus hanya untuk tujuan belajar bahasa dan Nahwu (Muhammad Ied, 1989: 31).
Kendatipun perkembangan ilmu keislaman di Andalus lebih terlambat jika dibandingkan dengan di belahan Timur, namun abad VI H telah menjadi momen penting bagi puncak kegemilangannya. Dalam fase ini, berbagai kajian dan diskusi mengenai ilmu-ilmu pengetahuan keislaman, mulai ilmu kebahasaan sampai fiqh, dilakukan. Para ilmuan muslim mulai berlomba-lomba berkarya. Namun yang tidak disadari, justru dalam kondisi semangat yang tinggi untuk mengkaji ilmu pengetahuan keislaman itulah para ilmuan muslim mulai terjebak dalam taklidisme. Mereka tidak lagi kreatif dalam pengertian yang sebenarnya. Hanya mengulang dan mengulang kreatifitas yang sudah ada sebelumnya. Bahkan terjebak pada model perdebatan dan perselisihan pemikiran keislaman (seperti fiqh, teologi dan ilmu kebahasaan) yang berkepanjangan.
Di tengah kultur taklidisme-intelektual seperti itulah, muncullah pembaharuan pemikiran keislaman yang lebih dikenal dengan mazhab Zhahiriy yang di-pioner-i oleh Dawud al-Zhahiriy. Sebuah model berpikir yang lebih menekankan pada teks al-Qur’an dan hadits, dan menolak segala hal yang bersifat zhanni. Konsekwensi dari model berpikir seperti ini adalah bahwa segala sesuatu yang secara eksplisit tidak ada di dalam teks (al-Qur’an dan hadits) bukan merupakan bagian dari teks itu sendiri: ia adalah bagian dari sesuatu yang harus ditakwil atau dibaca dengan menggunakan akal, karena ia bukanlah teks. Oleh karena itu, qiyas harus ditolak karena menerima qiyas sama saja dengan menyamakan sesuatu yang tidak ada di dalam makna eksplisit teks, dan ini batal. Semula model berpikir zhahiriyah ini adalah murni pembaharuan pemikiran keagamaan di bidang fiqh. Tetapi sejalan dengan waktu, menjadi ideologi para penguasa di Andalus.
Sejarah mencatat, bahwa negeri Andalus telah menjadi rahim bagi lahirnya berbagai revolusi pemikiran. Dalam dekapan kultur intelektual Andalus, lahir sederetan pembaharuan pemikiran, Ibn Rusyd dengan pemikiran politik dan filsafatnya, serta Dawud Zhahiri dengan mazhab Zhahiriyahnya. Sosok intelektual lainnya yang tidak bisa dilepaskan dengan Andalus adalah Ibn Hazm dan al-Syathibi dengan corak kritisisme intelektualnya. Hal ini semakin menguatkan bahwa tradisi pemikiran di Andalus (Barat/Maghrib), yang diwariskan dalam Islam, lebih progresif-kritis-rasional katimbang tradisi pemikiran keislaman di Timur (masyriq) (Muhammaed Abid al-Jabiri; 1990).
Secara kultural, ada beberapa faktor yang melatari karakteristik tradisi pemikiran di negeri Andalus, yang cenderung menempuh jalan dan metode yang tidak digunakan dalam model pemikiran Islam di wilayah Timur pada saat itu. Pertama, hilangnya ”khazanah masa lalu” (al-mauruts al-qadim) di Andalus. Para penduduk asli Andalus selalu memelihara agama mereka yaitu Yahudi dan Nasrani. Mereka tidak mentransfer sedikitpun kebudayaan masa lalu mereka kedalam kebudayaan Arab-Islam. Hal ini karena kebudayaan di Andalus tidak begitu kuat dan jaya sebelum Islam datang, sehingga tidak dapat menampakkan eksistensinya di tengah kebudayaan penakluk/pendatang (Arab-Islam) (Muhammaed Abid al-Jabiri, 1998: 32-33).
Sebagaimana dicatat oleh para sejarawan, bahwa sejak dulu Andalus kering dari ilmu pengetahuan. Para pendudunya juga tidak banyak memberikan perhatian terhadap ilmu. Kondisi seperti itu terus berlangsung sampai kaum muslimin datang menaklukkan Andalus. Setelah itu, penduduk Andalus baru mengenal ilmu pengetahuan dari wilayah Timur, namun hanya tebatas pada ilmu Syari’ah dan bahasa. Ini terjadi pada masa Abdurrahman an-Nashir yang telah menjadikan kekuasaan Bani Umaiyah di Andalus sebagai kekuasaan Bani Umaiyah jilid kedua yang bermusuhan dengan khilafah Abbasiyah dan Fathimiyah.
Sampai sini, muncullah faktor kedua yang menjadikan perkembangan kebudayaan di Andalus berbeda dengan kebudayaan di Timur. Yaitu, kemerdekaan wilayah Andalus dari kekuasaan para khalifah Abbasiyah dan khalifah Fathimiyah, baik secara politik-ideologis maupun pertarungan kebudayaan secara luas. Sejak ditaklukkan oleh Islam, bumi Andalus secara kultural bergerak dalam kebudayaan Islam awal, yakni Islam-nya para sahabat dan tabiin yang selalu memegang teguh riwayat dan dalil-dalil naqli dalam memperoleh pengetahuan, baik dalam hal agama, bahasa maupun yang lain. Kondisi seperti ini berbeda dengan di wilayah Timur dimana mazhab-mazhab fiqh, Nahwu dan Kalam berkembang pesat.
Apabila sebagian aliran politik dan mazhab pemikiran di wilayah Timur telah bergaung di bumi Andalus, dibawa oleh para dai atau melalui perjalanan ke Timur dengan tujuan berhaji, belajar atau berdagang, maka riak-riak aliran dan mazhab itu tidak dapat melebarkan sayapnya atau sampai mendominasi. Gelombang kebudayaan pendatang ini tetap saja menjadi kebudayaan marjinal dan bahkan tidak mungkin dapat mencuat atau berkembang pesat. Ada gerakan Muktazilah di utara Marokko, dan di sana juga ada gelombang kebatinan. Tetapi semua itu tidak sempat menjamah negeri Andalus. Ini yang menjadikan Andalus tetap berada pada jalur ”akidah salaf” dalam pengertiannya yang paling awal dan bukan dalam pengertian Ahlussunnah-nya mazhab al-Asy’ari.
Ketika daulah Umaiyah berdiri di Andalus, maka pada awalnya menganut mazhab Ahli Syam (penduduk setia Bani Umaiyah) dan mazhab Imam al-Auzai yang tidak berbeda dengan mazhab pendatang dari segi memegang naql dan riwayah. Ketika kekuasaan daulah Abbasiyah di Timur menjadikan mazhab Abu Hanifah sebagai ideologi negaranya, maka bani Umaiyah di Andalus memberikan keluasan pada mazhab Maliki.
Apabila kita menemukan bahwa mazhab Hanafi dijadikan sebagai ”tameng” ideologi kekuasaan Abbasiyah, dan apabila mazhab Maliki dijadikan sebagai jalan untuk menopang kekuasaan Umaiyah di Andalus, maka itu artinya bahwa pihak penguasa telah menjadikan mazhab sebagai senjata ideologi di tengah masyarakat muslim, baik di Timur maupun di Barat. Jadi, pihak penguasa telah memainkan agama sebagai politik ideologi untuk membentengi legitimasi kekuasaannya: menjaga diri dan membela dari yang lain. Inilah faktor ketiga (Muhammad Abed al-Jabiri, 1998: 35).
Daratan Andalus memang telah menjadi tempat bagi berkembangnya mazhab Zhahiriyah. Setidaknya, dalam dua periode kekuasaan, yaitu Murabithun dan Muwahidun, model berpikir mazhab Zhahiriyah memperluas pengaruhnya di daratan Andalus. Bahkan mazhab Zhahiriyah sempat menjadi ideologi penguasa ketika itu.
Abu Hayyan dilahirkan dan berkembang dalam zaman keemasan mazhab Zhahiriyah. Ia hidup dalam fase antara abad V dan VII H. Sebuah fase waktu dimana orang-orang Murabithun sedang memegang tampuk kekuasaan di wilayah Andalus. Meskipun Abu Hayyan hidup di Andalus tidak lebih dari dua puluh tahun, namun agaknya cara berfikir mazhab Zhahiriyah tidak dapat mengubah jalan pikirannya ketika menetap di Kairo. Dalam literatur-literatur Islam disebutkan, Abu Hayyan mengikuti mazhab Zhahiriyah (Nashiruddin al-Dimasyqi, vol. I: 63). Bahkan menjadi salah satu tokoh besar mazhab Zhahiriyah sebagaimana al-Imam Dawud bin Ali al-Ashfahani (Dawud al-Zhahiri), al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Dawud al-Zhahiri, al-Imam al-Nahwiy Nafthaweih, Ali bin Hazm al-Andalusi, al-Hafizh Ibn Thahir al-Qaisaraniy, Abu Turab al-Zhahiri, Abu Abdurahman bin Aqil al-Zhahiri dan Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy.

• Karakteristik Tafsir al-Bahr al-Muhith
Tafsir al-Bahr al-Muhith yang ditulis oleh Abu Hayyan termasuk kitab tafsir bi al-ra’yi sebagaimana tafsir Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an wa al-Sab’ al-Matsani karya Abu al-Fadhal Syihabuddin al-Sayyed Mahmud Afandi al-Alusi dan tafsir Irsyad al-Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu al-Sa’ud Muhammad bin Muhammad bin Musthafa al-Imadi al-Hanafi. Tafsir ini menggunakan akal sebagai metode pembacaan dalam memahami makna al-Qur’an dengan tetap mempertimbangkan unsur internal dan eksternal teks al-Qur’an itu sendiri.
Tafsir al-Bahr al-Muhith merupakan rujukan pertama bagi orang yang hendak mengetahui berbagai ragam i’rab kata-kata dalam al-Qur’an. Dalam tafsir ini, Abu Hayyan juga memperhatikan aspek-aspek balaghah dan mengulas hukum-hukum fiqh. Ia banyak menukil penafsiran imam Zamakhsyari dan Ibn Athiyah, terutama dalam persoalan-persoalan Nahwu. Kemudian ia mengakhiri pendapat kedua imam tafsir tersebut dengan ulasan dan catatan kritis. Perhatian terhadap persoalan-persoalan Nahwu tampak menjadi ikon yang menonjol bagi tafsir ini, di samping masalah ragam bacaan ayat dan nasikh-mansukh.
Jika tafsir al-Bahr al-Muhith diperhatikan, maka akan ditemukan beberapa karakteristik yang sangat mencolok. Pertama, pembahasan dimulai dengan mendiskusikan kosa kata ayat, dan kemudian masing-masing kata atau kalimat dijelaskan dan diuraikan maknanya. Kedua, menyebutkan asbabun nuzul ayat, jika memang ada, dan dilanjutkan dengan penguraian ayat secara sempurna. Ketiga, memperhatikan munasabah (kesesuaian) ayat. Artinya, makna ayat yang sudah dijelaskan, dihubungkan dengan kesesuaian ayat sebelumnya. Keempat, menyebutkan ragam bacaan ayat al-Qur’an dan menguraikannya sesuai dengan konteks (perspektif) linguistik Arab. Kelima, menukil pendapat ulama, baik salaf maupun khalaf, kemudian memilih dan men-tarjih-kannya sesuai dengan kekuatan dan kejelasan dalil. Kenam, memberikan perhatian terhadap aspek-aspek balaghah dalam sebuah ayat yang hendak ditafsirkan. Ketujuh, mendiskusikan persoalan hukum-hukum fiqhiyah, dengan mengutip pendapat ulama fiqh, dan memilihnya sesuai dengan kekuatan dalil serta rasional.
Jamal Musthafa al-Najjar mengklasifikasikan penafsiran bi al-ra’yi dalam islam kedalam beberapa trend. Di antaranya, tafsir ensiklopedis (mausu’i), kebahasaan (balaghi, lughawi dan nahwi), fiqih (fiqhy), rasional kemasyarakatan (aqliy ijtima’i), dan moral kemasyarakatan (adabiy ijtima’i). Dan, tafsir al-bahr al-Muhith dimasukkan dalam kategori tafsir kebahasaan yang rasional (Jamal Musthafa al-Najjar, 1998).

• Mitos penciptaan kaum Hawa
Sudah maklum, bahwa asal-muasal kaum perempuan dalam doktrin agama Islam diyakini sebagai makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk kaum laki-laki. Keyakinan ini sudah mendarah-daging di dalam pikiran setiap orang Islam, meskipun bertolak belakang dengan isyarat penciptaan manusia sebagaimana yang tersurat dalam ayat-ayat al-Qurán. Ayat-ayat al-Qurán justru menyebut asal-muasal semua manusia yang diciptakan dari air mani atau debu.
Cerita mengenai penciptaan kaum perempuan dari tulang rusuk laki-laki berawal dari kisah dramatik nabi Adam di surga. Pemahaman seperti itu didasarkan pada penafsiran terhadap ayat pertama dalam surat al-nisa’, yaitu ayat min nafs wahidah wa khalaqa minha zaujaha (QS. al-Nisa’: 1). At-Thabari melalui tafsirnya Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qurán, sebuah tafsir ensiklopedis pertama dalam dunia Islam, mengatakan bahwa Allah menjadikan pasangan kedua (al-zauj al-tsani) dari nafs yang satu (nafs wahidah). Yang dimaksud dengan pasangan kedua tersebut tidak lain adalah Hawa’. Tafsiran ini didasarkan pada keterangan (atsar) yang diriwayatkan oleh Mujahid, Qatadah, al-Suda, Ibn Abbas dan Ibn Ishaq. Salah satu keterangan yang dipaparkan oleh at-Thabari dapat dilihat sebagaimana berikut (al-Thabari, vol. VII: 515-516):

“Allah menempatkan Adam di surga. Adam berjalan sendirian tanpa teman (zauj) yang dapat membuat tenang dirinya. Suatu waktu Adam tidur. Ketika tersadar dari tidurnya, ia mendapati seorang perempuan sedang duduk di atas kepalanya. Perempuan itu diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk Adam. Maka, Adam pun bertanya: “siapa kamu?”. “Aku adalah seorang perempuan (imraáh),” jawabnya. Adam balik bertanya: “untuk apa kamu diciptakan?” Perempuan itu menjawab: “supaya kamu tenang di sisinya”

Dalam memahami kata nafs wahidah at-Thabari mendasarkan pada tradisi berbahasa masyarakat Arab. Menurutnya, meskipun kata nafs berbentuk nakirah-muannats dan mengandung pengertian yang umum, tetapi pengertiannya tidak lain adalah Adam. Status semantik nafs wahidah yang mengandung pengertian seorang laki-laki (rajul) dapat ditemukan padanannya dalam puisi-puisi Arab. Dalam hal ini, al-Thabari menyitir sebuah puisi: abûka khalîfatun waladathu ukhrâ, wa anta khalîfatun dzâka al-kamâl (bapakmu adalah seorang khalifah yang dilahirkan oleh yang lain, dan engkau adalah seorang khalifah. Itulah kesempurnaan).
Ibn Ishaq dalam memahami arti nafs wahidah seperti tersebut di atas, secara jelas, menyadari akan keterpengaruhan penafsirannya dengan tradisi kitab Taurat. Artinya, pemahaman bahwa Hawa’ diciptakan dari tulang rusuk Adam merupakan pemahaman yang sama dan berkembang di kalangan orang-orang Yahudi. Ibn Ishaq dalam meriwayatkan sebuah atsar menyatakan, “sebagaimana berita yang sampai kepada kami dari para Ahli Kitab pemegang kitab Taurat” (al-thabari, vol. VII: 516). Maka tidak heran, jika penafsiran mengenai penciptaan Hawa’ dari tulang rusuk Adam ditolak oleh sebagian pemikir muslim. Penafsiran ini diyakini telah dipengaruhi oleh cerira-cerita israiliyat dan bukanlah murni pemahaman yang bersumber langsung dari Rasulullah Saw.
Meskipun demikian, penafsiran seperti itu tetap menjadi penafsiran yang dominan di tengah masyarakat Islam. Bahkan menjadi wacana yang selalu di[re]produksi secara terus menerus sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi kodrat kaum perempuan bahwa mereka diciptakan dari tuang rusuk Adam (baca: kaum laki-laki). Bahkan untuk menguatkan pemahaman seperti itu, tidak jarang dari para ulama menyitir sebuah hadits nabi Saw: “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang keras. Jika engkau salah dalam meluruskannya, maka engkau mematahkannya. Dan patahnya tulang itu berarti thalaq (perceraian).”
Pandangan mainstream seperti itu berbeda sama sekali dengan pandangan Abu Hayyan. Abu Hayyan nampak memiliki pandangan yang humanis mengenai pengertian ayat penciptaan manusia. Menurutnya, Hawa’ tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, tetapi dia diciptakan dari bahan yang jenisnya sama dengan bahan yang dibuat untuk menciptakan Adam, yaitu turab (tanah liat). Abu Hayyan membangun pendapatnya berdasarkan pada pengertian hadits tentang penciptaan kaum perempuan dari tulang rusuk, dan takwil atas ayat al-Qur’an (min nafs wahidah) sebagaimana dalam QS al-Nisa’ ayat 1.
Menurut Abu Hayyan, hadits yang menjelaskan tentang penciptaan Hawa’ dari tulang rusuk Adam, sebagaimana yang banyak dijadikan legitimasi pendapat mayoritas seperti telah disebut di atas, mengandung pengertian tamtsiliy (metaforis) dan bukan pengertian haqiqi sebagaimana lahirnya teks. Secara litelar, hadits memang menyatakan bahwa “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang keras”, tetapi hal ini tidak berarti bahwa seorang perempuan itu benar-benar diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang keras merupakan metafor dari: pertama, ketidak-menentuan akhlak perempuan, dan kedua karena perempuan cenderung tidak dapat konsisten dalam satu sikap; ia selalu berubah-ubah dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Abu Hayyan, dengan seraya membantah pendapat Ibn Athiyah, mengatakan Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. XI: 11):

“Ibn Athiyah mengatakan, bahwa pendapat ini (penciptaan Hawa’dari tulang rusuk Adam, penj.) dikuatkan oleh hadits shahih yang menyatakan “sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang keras. Jika engkau salah dalam meluruskannya, maka engkau mematahkannya. Dan patahnya tulang itu berarti thalaq (perceraian).” Hadits tersebut seharusnya mengandung pengertian metaforik (tamtsiliy) atas ketidak-menentuan akhlak kaum perempuan, dan karena mereka tidak konsisten dalam satu kondisi, yakni perangai yang susah (diatur). Oleh karena itu, mereka seperti tulang rusuk yang keras, sebagaimana akhlak (perangai) manusia yang disebutkan dalam al-Qur’an, seperti sifat ketergesa-gesaan.”

Selanjutnya, dalam memahami hadits mengenai penciptaan perempuan tersebut, Abu Hayyan menginginkan sikap yang lebih rasional. Dengan menukil pendapat para ahli ta’wil, ia menjelaskan bahwa kata al-mar’ah, sebagaimana yang tersurat dalam hadits (inna al-mar’ah khuliqat min dhil’i a’waj), mengacu pada pengertian ‘perempuan’ pada umumnya. Kata al-mar’ah mengandung pengertian jenis (al-jins), yaitu jenis manusia yang berkelamin perempuan. Oleh karena itu, memaknai kata al-mar’ah dengan Hawa’ tidak dapat diterima. Atau dengan kata lain, ia tidak boleh diartikan dengan Hawa’. Maka, dalam hadits pun dinyatakan inna al-mar’ah dan bukan inna hawa’. Jadi, tidak tepat kalau dikatakan bahwa Hawa’ diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Pemahaman seperti itulah yang juga digambarkan di dalam surat al-Nisa’ ayat satu:

يا ايها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء (النساء: 1)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. al-Nisa’: 1)

Mencermati ayat tersebut, Abu Hayyan menfokuskan pada redaksi ayat min nafsin wahidatin wa khalaqa minha zaujaha. Karena, redaksi ayat ini menjadi muara pemaknaan atas penciptaan kaum perempuan. Abu Hayyan mengajukan dua pertimbangan. Pertama, bahwa dalam kata minha terdapat mudhaf yang dibuang, yaitu kata jins. Kedua, bahwa kata min sebagaimana yang terdapat dalam ayat memiliki pengertian ibtida’ al-ghayah (awal dari tujuan). Kedua pertimbangan ini memiliki ilmplikasi yang signifikan dalam memaknai ayat.
Berdasarkan pertimbangan pertama, redaksi ayat yang sebenarnya berbunyi wa khalaqa min jinsiha zaujaha. Maka, pengertiannya menjadi “dan dari jenisnya Allah menciptakan isterinya”, bukan “dan dari diri Adam Allah menciptakan isterinya”. Di sini, kata jenis mengacu pada jenis bahan dasar yang dijadikan untuk menciptakan Adam. bahan itu adalah tanah liat (thînah atau turab). Tentunya, kesimpulan pengertian seperti ini tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan kedua. Kata min mengisyaratkan pengertian bahwa Adam adalah orang pertama, yakni awal dari tujuan (ibtida’ al-ghayah) dalam penciptaan manusia. Penciptaan Adam lebih dahulu dibanding dengan Hawa’. Ketika penciptaan awal manusia terjadi pada diri Adam, maka al-Qur’an pun menyatakan min nafs wahidah. Ketika Allah mampu menciptakan Adam sebagai manusia pertama dari tanah liat (turab), maka Allah juga mampu menciptakan Hawa’ dari jenis yang sama dengan Adam (Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. IV: 11).
Senada dengan pengertian tersebut, Abu Hayyan juga memberikan alternatif pertimbangan yang lain. Yaitu, bahwa tidak ada pembuangan mudhaf dalam redaksi ayat wa khalaqa minha zaujaha. Tetapi, kata ganti ha harus dikembalikan pada kata muqaddarah yang berupa al-thinah (tanah liat yang menjadi bahan penciptaan Adam), bukan kembali pada kata nafs. Maka, pengertian ayat menjadi “dan dari tanah liat yang menjadi bahan penciptaan Adam Allah menciptakan isterinya” (Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. IV: 11). Dengan kata lain, bahwa Hawa’ diciptakan dari bahan yang dijadikan Allah untuk menciptakan Adam. Pengertian seperti ini sejalan dengan beberapa ayat al-Qur’an yang lain.
Sampai di sini dapat dikatakan bahwa Hawa’ tidaklah diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagaimana yang selama ini diyakini oleh mayoritas mufasir khususnya, dan umat islam pada umumnya. Tetapi, ia diciptakan dari jenis bahan yang sama sebagaimana Adam diciptakan, yaitu turab. Maka, pengertian ayat dapat dipahami menjadi ‘bahwa bangsa kalian berasal dari nafs yang satu. Nafs itu diciptakan dari turâb (tanah liat)’ dan darinya Hawa’ diciptakan’.

• Rijâl dan Qawwâm: Sebuah Konstruk Sosial
Kaum perempuan, sebagaimana mitos penciptaannya, sampai sekarang masih diyakini menempati posisi yang subordinatif. Secara kultural, merekapun ditempat sebagai manusia yang harus berada di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Dalam istilah Jawa, mereka adalah konco ing wingking. Maka dalam praktiknya di tengah kehidupan masyarakat, seluruh pengambilan keputusan berada di tangan kaum laki-laki, baik di wilayah publik maupun domestik.
Anehnya, pandangan mengenai kesuperioritasan laki-laki seperti itu dianggap sebagai pandangan Islam. Hampir seluruh mufasir al-Qur’an, baik modern maupun klasik, mengamini pandangan tersebut. Pandangan serupa kemudian dituangkan dalam fatwa-fatwa hukum sebagaimana yang ada di dalam kitab-kitab fiqh. Di antara ayat al-Qur’an yang sering dijadikan landasan pandangan ini adalah:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwâm) bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. Al-Nisa: 1)

Berdasarkan ayat tersebut, para mayoritas mufasir meyakini bahwa kaum laki-laki di atas kaum perempuan, dan posisi ini merupakan sesuatu yang given. Yakni, bahwa Allah memang secara kodrati menempatkan dan mengunggulkan posisi kaum laki-laki di atas perempuan. Karena itu, kesuperioritasan laki-laki tidak bisa dirubah dan bersifat mutlak. Para mufasir juga menggunakan ayat lain untuk mendukung pendapatnya dengan ayat:

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Pandangan mayoritas mufasir yang seperti ini tentu berlawanan dengan semangat egalitarianisme yang dibawah oleh Islam. Al-Qur’an sendiri di tempat yang lain justru meletakkan posisi yang sama antra kaum laki-laki dengan perempuan. Bahkan tidak sedikit dari hadis-hadis nabi Saw yang mendukung semangat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Coba saja kita perhatikan sabda nabi berikut (Sulaiman al-Umar, vol. I: 55):

“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan rupa kalian. Tetapi, Allah melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim)

Sementara itu, al-Qur’an mengakui persamaan status keagamaan perempuan dengan status laki-laki, sebagaimana sebagaimana status sosialnya. Maka, al-Qur’an menyatakan:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35)

Dalam ayat itu, al-Qur’an secara tegas mengakui bahwa setiap orang, baik laki-laki atau perempuan, mendapat ganjaran yang sama-sama besar. Sekecil apapun amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia, tetap mendapat balasan yang sama. Jadi, tidak ada perbedaan status sedikitpun antara laki-laki dan perempuan dalam hal ganjaran atas perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang. Masih banyak lagi ayat yang menyatakan seperti itu. Lalu mungkinkah ada kontradiksi antara ayat yang mengakui persamaan status antara laki-laki dan perempuan dengan ayat yang menyatakan kesuperioritasan laki-laki atas perempuan sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas mufasir?
Marilah kita mencermati sekali lagi ayat 34 dari surat al-Nisâ’, yang menjadi pijakan utama dalam melegitimasi posisi kaum laki-laki. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwâm) bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”

Dalam memahami ayat, mayoritas mufasir memaparkan bahwa ada konteks (asbabun nuzul) yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut. Dalam sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Said bin Rabi’ dinyatakan, bahwa salah seorang pemuka Anshor diumpat oleh istrinya, Habibah binti Zaid bin Zubair. Kemudian ia ditampat oleh seuaminya. Diperlakukan seperti itu, Habibah mengeluhkan kepada bapaknya, yang kemudian membawanya kepada nabi Saw. Bapaknya mengatakan: “wahai yang mulia, engkau telah mengawinkan anak saya, tetapi suaminya menamparnya.” Nabi pun menganjurkan Habibah untuk meng-qishash (membalas) suaminya. Lalu turunlah ayat tersebut. Maka, nabi pun membatalkan perintahnya kepada Habibah untuk membalas suaminya seraya mengatakan: “aku menginginkan sesuatu, tetapi Allah menghendaki yang lain. Kehendak Allah jauh lebih baik” (al-Thabari, Tafsir Surat al-Nisa’: ayat 34).
Agaknya, tindakan suami memukul para istrinya telah menjadi tradisi di kalangan para pengikut nabi. Oleh karena itu, nabi mendesak mereka untuk tidak bertindak kasar dan tidak memukul kepada istri-istri mereka. Fakhrudin al-Razi, dengan mengutip riwayat yang datang dari Umar, menyebutkan: “Bahwa kami di masyarakat Quraisy, kami para suami mampu menguasai istri-istri. Ketika kami tiba di Madinah, kami mendapati istri-istri penduduk Madinah menguasai suami-suami mereka. Setelah istri-istri kami berinteraksi dengan mereka, para istri kami ternyata mulai berani, yakni menentang suami. Maka, aku datang kepada nabi Saw dan menyatakan bahwa para istri sudah mulai berani kepada suaminya. Nabi pun kemudian mengizinkan para suami untuk memukul istrinya. Setelah itu, sekelompok perempuan berkeliling di rumah istri-istri nabi. Semua mengadukan perlakukan suaminya terhadap dirinya. Nabi berkata: “pada malam hari ada tujuh puluh perempuan yang berkeliling di rumah keluarganya. Mereka mengadukan perlakuan suami-suami mereka, yang kalian tidak mendapati yang terbaik diantara mereka. Maksudnya, bahwa orang-orang yang telah memukul istri-istri mereka tidaklah lebih baik daripada orang-orang yang tidak memukul istri-istri mereka” (Fakhruddin al-Razi, tafsir surat al-Nisa’: ayat 34).
Mencermati ilustrasi yang dipaparkan oleh al-Razi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa struktur sosial kota Makkah mengikuti sistem patriarkal, sementara di Madinah sistem matriarkal mendominasi. Tetapi, secara kesuluruhan sistem patriarkal berlaku di masyarakat Arab. Paling tidak ayat-ayat al-Qur’an pada saat itu tidak dapat mengabaikan kondisi seperti itu. Indikasi ini ditunjukkan oleh sikap nabi Saw yang cenderung menerapkan qishash dengan memberikan balasan yang setimpal kepada suami yang telah menampar istrinya sebagaimana dalam cerita tersebut di atas. Keinginan nabi adalah merubah dominasi sistem patriarkal itu sebagaimana dalam pernyataannya: “aku menginginkan sesuatu.” Tetapi, Allah berkehendak lain. Lantas, bagaimana pengertian ayat itu?
Memang harus diakui, mayoritas dalam memahami dan menafsirkan ayat tersebut masih terjebak dengan bunyi teks dan mengabaikan konteks turunnya. Hal ini yang mengakibatkan dominasi kaum laki-laki semakin kuat dan mendapat legitimasi teologisnya. Pengertian teks seolah tertutup oleh eksplisit bunyi teks, sehinga pengertian yang datang darinya tidak dapat diganggu gugat. Teks sudah berakhir dan tidak mungkin dapat dirubah, tetapi realitas sosial terus berubah seiring dengan perjalan waktu. Tarik menarik antara teks dan konteks sosial tempat dilahirkannya teks tetap menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam setiap memahami ayat.
Barangkali, Abu Hayyan dapat disebut sebagai satu-satunya mufasir yang keluar dari pakem penafsiran yang ada, khususnya dalam memahami dan menafsirkan ayat 34 surat al-Nisa’. Abu Hayyan menyadari bahwa asbabun nuzul ayat itu tidak bisa diabaikan. Karena, ia merupakan konteks yang mendorong turunnya ayat.
Kata qawwâm sebagaimana yang dipakai oleh ayat tersebut di atas merupakan kata yang digunakan untuk seseorang yang mampu melaksanakan tanggungjawab terhadap sesuatu. Dalam tradisi bahasa Arab dinyatakan: hâdza qiyâmu al-mar’ati wa qawâmuhu yang berarti orang itu yang mengurusi persoalan istri dan memberi perhatian dengan menjaganya. Kata qawwâm merupakan bentuk shighat mubâlaghah (bentuk hiperbola). Ia boleh dikatakan dengan qayyâm dan qayyam. Oleh karena itu, dalam sebuah hadis dikatakan “anta qayyâm al-samâwât wa al-ardh wa man fîhinna.” yang berarti “Engkau adalah penjaga langit, bumi dan apa saja yang ada di dalamnya.” Jadi, kata qawwâm atau qayyâm berarti orang yang mampu melaksanakan dan menjaga tanggungjawab yang dipikulnya atau diberikan kepadanya. Seseorang disebut qawwâm jika ia memenuhi kriteria tersebut.
Kata qawwâm merupakan atribut yang digunakan untuk menegaskan status rijâl. Kata qawwâm menerangkan kata rijâl. Kata qawwâm menjadi khabar dan kata rijâl menjadi mubtada’. Jadi, status rijâl diterangkan. Abu Hayyan memberikan ilustrasi yang menarik tentang keterkaitan status qawwâm pada kata rijâl. Menurutnya, seorang rijâl dapat memiliki status qawwâm jika di dalam diri rijâl tidak terpenuhi kriteria-kriteria ke-rijâl-annya. Oleh karena itu, ia manyatakan bahwa dalam struktur ayat terdapat jumlah yang muqaddarah (tersembunyi). Bunyinya adalah al-rijâlu qawwâmûna ala al-nisâ’ [in kânû rijâlan]. Jika diartikan, maka menjadi “rijâl itu adalah orang-orang yang qawwâm atas nisâ’” (Ibn Hayyan al-Andalusi, vol. IV: 118) Secara tegas Abu Hayyan (vol. IV: 119) mengatakan:

“Oleh karena itu, sebagian mufasir mengatakan bahwa ayat tersebut mengalami pembuangan. Taqdir-nya adalah al-rijâlu qawwâmûna ala al-nisâ’ in kânû rijâlan. Dalam puisi Arab dinyatakan: akullu imr’in tahsabanna imra’an, wa nârin tûqadu bi al-laili naran (apakah kalian mengira bahwa setiap orang itu adalah benar-benar orang, dan api yang dinyalakan di malam hari itu benar-benar api).”

Dalam kutipan tersebut di atas, Abu Hayyan mengutip sebuah puisi. Ia menegaskan bahwa seseorang yang—dalam bahasa Arab—disebut dengan umru’un atau al-mar’u bisa saja dia bukan orang dalam pengertian yang sebenarnya. Bisa saja, pada hakekatnya dia bukanlah orang, tetapi sesuatu atau benda yang dianggap orang. Begitupula nyala api yang dilihat di waktu malam bisa saja bukan api yang sebenarnya. Tetapi mungkin ia merupakan benda yang—secara kebetulan– menyala dan dianggap api. Tidak semua orang yang disebut dengan al-mar’u adalah orang dalam pengertian yang sesungguhnya, dan tidak semua benda yang disebut al-nâr adalah api yang sebenarnya. Jadi, kata al-mar’u dan al-nâr adalah sistem bunyi (lafadz) yang mengacu pada sebuah objek benda tertentu melalui sebuah mediasi pikiran (asosiasi) seseorang terhadap objek yang dilihat. Asosiasi pikiran dalam proses penamaan suatu objek (benda) tidak dapat dipisahkan dengan konteks yang melingkupi dirinya. Analisis linguistik yang seperti ini digunakan oleh Abu Hayyan dalam kaitannya memahami pengertian kata rijâl.
Kata rijâl, menurut Abu Hayyan, memiliki pengertian orang yang memiliki ketangguhan, yaitu tangguh dalam mengurusi dan menjalankan tanggungjawab. Orang yang tangguh adalah orang yang kuat. Masyarakat Arab sering mengatakan: “al-rajulu baina al-rajûliyah wa al-rajulah” yang berarti ‘seorang rajul antara kejantanan dan kelelakian’. Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa pengertian rajul dalam kultur bahasa Arab mengacu kepada sifat ketangguhan atau kekuatan. Maka, seseorang akan disebut rajul jika ia memiliki keunggulan atau kelebihan atas yang lain; bisa berupa kekuatan, ketangguhan, kecerdasan dan lain-lain.
Pengertian rajul seperti yang diuraikan oleh Abu Hayyan, tampaknya, bukan merupakan sesuatu yang mengada-ada. Pengertian rajul pada dasarnya tidak identik dengan dan mengacu pada jenis kelamin tertentu. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya dapat disebut dengan rajul jika ia memiliki ketangguhan, kekuatan dan keungulan. Oleh karena itu, orang yang kuat berjalan kaki baik laki-laki atau perempuan, menurut kamus-kamus Arab, disebut dengan rajul atau rajîl. Orang perempuan yang memiliki ketangguhan juga disebut dengan rajulah. Bahkan dalam sebuah ungkapan dinyatakan: “kânat â’isyah radhiyallahu anhâ rajlatu al-ra’yi”. Artinya, ‘Aisyah adalah seorang yang tangguh pikirannya.’ (Abdurrazaq al-Husaini, t.t.).
Makna rajul, menurut Abu Hayyan, tidak lain adalah orang yang memiliki kekuatan. Kata itu tidak dapat diklaim dan dinisbatkan begitu saja kepada jenis kelamin tertentu; misalnya rajul berarti orang laki-laki. Pengertiannya juga tidak diidentikkan dengan bentuk fisik laki-laki. Abu Hayyan (vol. IV: 118) menyatakan:

“Yang dimaksud dengan rajul adalah orang yang memiliki ketangguhan. Tidak semata-mata orang yang memiliki jenggot. Banyak orang yang mempunyai jenggot, tetapi ia tidak bisa memberi manfaat, tidak mampu menangkal madharat dan tidak memiliki kehormatan.”

Ke-rajul¬-an seseorang bukan ditentukan oleh ciri-ciri fisik. Memang pada umumnya, kaum laki-laki memiliki jenggot, tetapi identitas kelelakian tidak ditentukan oleh jenggot. Banyak orang yang berjenggot memiliki kemampuan yang kurang. Di sini, Abu Hayyan tampaknya melakukan pembedaan antara jenis kelamin (gender) dengan kondisi atau ciri fisik-biologis. Jenggot merupakan ciri fisik-biologis yang pada umumnya lazim dimiliki oleh kaum laki-laki, tetapi tidak setiap orang yang berjenggot dapat disebut sebagai rajul. Sifat ke-rajul-an dapat dimiliki oleh siapapun, baik laki-laki atau perempuan. Atau dengan kata lain, baik laki-laki atau perempuan bisa masuk dalam pengertian rajul. Ini artinya, pengertian rajul bukan merupakan pengertian yang permanen melekat pada salah satu jenis kelamin.
Pengertian rajul berbeda dengan al-dzakar. Jika rajul lebih dimenekankan pada sifat keperkasaan atau ketangguhan yang bisa dimiliki oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, maka pengertian al-dzakar lebih mengacu pada jenis kelamin laki-laki secara fisik-bilogis; misalnya seorang laki-laki memiliki anggota tubuh tertentu (permanen) yang tidak bisa disamakan dengan perempuan. Maka, seorang laki-laki disebut dengan al-dzakar karena memang secara fisiologis mempunya buah dzakar. Jadi, pengertian rajul tidak dapat disamakan dengan al-dzakar. Atau sebaliknya, pengertian al-nisa’ disamakan dengan al-untsa atau al-mu’annats.
Pembedaan antara pengertian rajul dan al-dzakar seperti itu telah banyak diakui oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan makhluk secara berpasang-pasangan. Mereka selalu menyatakan bahwa al-dzakar (laki-laki) adalah pasangan al-untsa (perempuan), dan sebaliknya al-untsa (perempuan) adalah pasangan al-dzakar (laki-laki). Justru, mereka tidak pernah menggunakan istilah rajul adalah pasangan nisa’. Secara tegas, al-Qur’an membedakan pengertian antara al-dzakar dan al-untsa. Oleh karena itu, Allah dalam firman-Nya menyatakan: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan al-dzakar (laki-laki) dan al-untsa (perempuan).” (QS. Al-Najm: 45). Dan “Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: al-dzakar (laki-laki) dan al-untsa (perempuan).” (QS. Al-Qiyamah: 39). Bahkan dalam cerita mengenai kelahiran Maryam, al-Qur’an jelas-jelas menyatakan bahwa al-dzakar (laki-laki) tidaklah seperti aluntsa (perempuan) (lihat QS. Ali Imran: 36).
Atas dasar itu, maka dapat dikatakan bahwa pengertian rajul, sebagaimana dalam ayat 34 surat al-Nisa’, mengacu pada pemaknaan sosial-kultural. Implikasinya, konsep qawwâm bisa berlaku untuk semua jenis kelamin (gender). Baik seorang laki-laki maupun perempuan, masing-masing sama-sama memiliki peluang untuk bisa menjadi qawwâm di tengah rumah tanggah jika sifat ke-rajul-an benar-benar ada dan dimiliki oleh setiap orang. Seorang rajul akan menjadi qawwâm di tengah keluarga jika ia betul-betul rajul.
Untuk menguatkan pendapat ini, Abu Hayyan bahkan mengakui bahwa ‘banyak perempuan yang mampu mengalahkan laki-laki’, karena keunggulan atau kelebihan yang dimilikinya. Kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada seseorang sehingga ia menjadi rajul, tidak bersifat given. Tetapi, merupakan kelebihan yang diperoleh melalui keutamaan, dan tidak atas dasar kekuatan dan kekuasaan (menang-menangan). Al-Qur’an sendiri telah mengabadikan contoh keperkasaan perempuan melalui cerita seorang ratu negeri Saba’, yaitu Bilqis, sebagaimana yang terdapat dapat dalam surat al-Saba’. Cerita al-Qur’an ini merupakan fakta yang menguatkan bahwa perempuan bisa saja mengungguli laki-laki. Ini bukan merupakan satu-satunya fakta, tetapi dalam realitas sosial dapat ditemukan fakta yang sama, dan jumlahny tidak sedikit. Mungkin ini pulalah yang disadari oleh Abu Hayyan, sehingga ia mengatakan ‘banyak perempuan yang mampu mengalahkan laki-laki’. Ia tidak mengatakan ‘sedikit’.
Begitulah, al-Qur’an memberikan kelebihan tertentu kepada laki-laki atas kaum perempuan pada saat itu karena konteks sosial yang didominasi oleh sistem patriarkal. Tetapi, al-Qur’an juga menjelaskan kelebihan yang diberikan itu bukanlah bersifat inheren yang ada di dalam diri laki-laki. Atau sebaliknya, kelemahan itu inheren pada diri perempuan. Dengan demikian, masalah kelebihan yang menjadi syarat ke-qawwam-an seseorang bukan berupa kelebihan jenis kelamin.

• Epilog
Bagitulah pandangan Abu Hayyan mengenai persoalan gender. Dengan pikiran-pikirannya yang luas, ia telah memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan penuh progresif. Pembacaannya terhadap ayat-ayat telah melampaui anak zamannya. Sebuah pembacaan yang sangat jarang kita temukan dalam buku-buku tafsir, baik klasik maupun modern.
Masalah tarik menarik antara teks dengan konteks telah menjadi persoalan yang mengiringi dunia penafsiran al-Qur’an sejak dahulu sampai sekarang. Seringkali, teks selalu didahulukan, sementara konteks diabaikan—kalau tidak boleh dikatakan tidak sama sekali. Watak teks adalah bahwa ia tidak pernah berubah, sedangkan realitas selalu berubah dan berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Ini yang terus menjadi ketegangan: memenangkan teks atau konteks.
Barangkali, karakteristik penafsiran Abu Hayyan terhadap persoalan gender ini dapat dijadikan sebagai model dalam mensikapi persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan, yang menuntut pendasaran pada teks al-Qur’an. Abu Hayyan telah menampilkan dua cara pembacaan terhadap teks, meskipun belum tentu sepenuhnya diterapkan dalam ayat-ayat yang lain. Yaitu, memperhatikan aspek internal dan aspek eksternal teks. Aspek internal meliputi penelaahan terhadap apa-apa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Sementara aspek eksternal terkait dengan latarbelakang materiil dan spirituil yang melingkupi diturunkannya al-Qur’an.
Kita mungkin tidak pernah berpikir bahwa pada era abad pertengahan akan dapat kita temukan sosok mufasir yang progresif seperti Abu Hayyan. Anggapan yang selalu muncul adalah era klasik dan segala produk pemikirannya tidaklah semaju yang kita lihat sekarang. Pandangan seperti ini jelas lahir dari kurangnya pengetahuan dan ketidak-tahuan kita akan khazanah intelektual islam masa lalu.



Daftar Bacaan


Abd al-Hayy bin al-Imad al-Hanbali, Syudzurat al-Dzahab, vol. VI.
Abu Hayyan al-Andalusi wa al-Bahr al-Muhith, diakses dari http//www.Islamweb.net
Abu Hayyan Muhamad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhith, Juz IV, VI dan VII.
Abu Zakaria al-Nawawi, Riyaâdh al-Shâlihîn, (t.t., t.p.).
Ahmab bin Ali bin Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kaminah fi A’yani al-Ma’iah al-Tsaminah, vol. IV.
Ahmad Amin, Zahru al-Islam (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1966), cet. IV.
Al-Jauhari, al-Shihâh fî al-Lughah; Muhamad bin Muhamad bin Abdurazaq al-Husaini, Tâj al-Arûsy min Jawâhir al-Qâmûs.
At-Thabari, Jami’al-Bayan fi Ta’wil al-Qurán, QS. al-Nisa’: 1, vol. VII.
Dr. Al-Husaini Muhammad al-Qahwaji, Ta’addud Ara’ Abu Hayyan fi al-Mas’alah al-Wahidah, http://www.alukah.net/articles/1/2551.aspx
Dr. Haidar Mukhtar Mahmud, al-Munasabah al-Qur’aniyah fi Tafsir al-Bahr al-Muhith. Diakses dari http://www.bishahcoll.edu.sa/portal/news.php?action=view&id=20
Dr. Mazid Ismail Na’im, Abu Hayyan al-Nahwi al-Andalusi wa Manhajuhu fi Kitab al-Irtisyaf al-Dharb min Lisan al-Arab, dalam Majalah al-Turats al-Arabi, edisi 13 dan 14, tahun ke IV, Oktober – Januari 1984.
Dr. Muhammad Ied, Ushul al-nahwi al-Arabi fi Nazhri an-Nuhat, (Kairo: Alam al-Kutub, 1989).
Dr. Walid Muhammad al-Saraqibi, “Mazhahir Tsaqafah Abi Hayyan al-Andalusi fi Dhau’i Kitabihi al-Tadzyil wa al-Takmil” dalam Majalah al-Ghad, Damaskus, edisi 98, tahun ke XXV, Haizuran 2005.
Fakhrudin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib.
Ibnu Rusyd, Kasyf an Manahij al-Adillah fi Aqa’id al-Millah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyah, 1998), cet. I.
Imam Muhammad bin Abd al-Wahab, Fadhl al-Islâm, Vol. I.
Imam Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyâf, Vol. I.
Jalaluddin al-Suyuthi, Bughyat al-Wu’at, vol. I.
Jamal Musthafa al-Najjar, al-Tafsir bi al-Ra’yi (Kairo: Mathba’ah al-Husain al-Islamiyah, 1998).
Muhamad bin Abi Bakar bin Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Radd al-Wafir, ditahkik oleh Zuhair al-Syawisy (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1393 H), cet. I, vol. I.
Muhamad bin Abi Bakar bin Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Radd al-Wafir, vol. I.
Muhamad bin Abi Bakar bin Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Radd al-Wafir, vol. I.
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi (Beirut: Markaz Dirasat Wihdah al-Arabiyah, 1990), cet. III.
Thabrani, Musnad al-Syâmiyyîn, hadis no 1652. Redaksi lain juga dapat dilihat misalnya, Syekh Nashir bin Sulaiman al-Umar, al-Hikmah, vol. I.
www.iu.edu.saeduthanawi1usultafsir4.htm.mht

0 komentar: