30 November, 2009

Teror Atas Nama Kebenaran

Oleh: M.Faisol Fatawi

Belum selesai sidang kasus ajaran shalat dua bahasa (Gus Roy) dan buku "Menembus Gelap Menuju Terang" (Mohammad Ardi Husein) di Pengadilan Negeri, kini tuduhan ajaran sesat itu muncul lagi. Kali ini tuduhan sesat itu ditujukan pada Jamaah Ahmadiyah.
Sebenarnya, pencekalan dengan tuduhan sesat ajaran Jamaah Ahmadiyah sudah pernah terjadi sebelumnya. Itu terjadi tepatnya ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 80-an mengeluarkan fatwa sesat. Alasannya, karena ajaran yang disebarkan jamaah tersebut dinilai telah menyimpang dari Islam. Tetapi, Islam yang mana dan yang seperti apa?
Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad datang ke Indonesia sejak tahun 1925. Status Jamaah ini serupa dengan organisasi-organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah, NU dan lain-lainnya. Artinya, bahwa Ahmadiyah memiliki memiliki status hukum yang legal. Dan ini diperoleh sejak 1953.
Tidak ada perbedaan yang mendasar antara ajaran Ahmadiyah dengan ajaran yang dipegang teguh oleh organisasi-organisasi Islam yang lain di Indonesia. Dari segi sumber hukum, Ahmadiyah berpijak pada al-Qur'an dan hadits. Rukun iman dan rukun Islam-nya pun sama. Bahkan shalat yang mereka jalankan pun tidak jauh berbeda dengan jamaah keagamaan lain pada umumnya.
Barangkali, jamaah ini dituduhkan sesat karena konsep kenabian yang diyakininya, yang konon mereka disinyalir telah meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad Saw. Tetapi faktanya, mereka tetap meyakini Muhammad Saw sebagai nabi. Nabi yang mereka yakini tidak lebih dari sekedar penjelmaan Imam Mahdi al-muntadzar. Yang membedakan hanyalah pemahaman dan penalaran terhadap konsep itu.

Pluralitas Internal Islam
Munculnya perbedaan penafsiran dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam bukan merupakan barang yang aneh dan diharamkan. Kesadaran akan perbedaan ini telah muncul dalam diri Nabi Saw sejak awal melalui sabdanya: "perbedaan (ikhtilaf) umat-ku merupakan rahmat".
Jika boleh dipahami, pernyataan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada kita akan adanya realitas perbedaan pada dataran ontologis. Bahwa secara alami perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan, dan ini tidak boleh dipungkiri. Hukum bahwa "perbedaan merupakan keniscayaan" berlaku secara mutlak dalam alam semesta ini.
Dalam praktik beragama, realitas perbedaan memang benar-benar terjadi di kalangan umat Islam pasca kematian Nabi. Perbedaan pemahaman itu muncul pertama kali dalam hal keimanan--yang kemudian dikenal dengan teologi. Dalam hal ini, umat Islam tidak saja dihadapkan pada model keimanan yang dipegang teguh oleh kelompok Sunni, tetapi juga Khawarij, Muktazilah, Murji'ah, Syi'ah, dan lain-lainnya.
Perbedaan konsep keimanan mendorong mereka (umat Islam) untuk melebarkan sayap perbedaan di dalam wilayah hukum praktis (fiqh). Puluhan bahkan ratusan produk hukum Islam (fiqh) difatwakan dari waktu ke waktu. Maka, muncullah apa yang kita kenal dengan madzhab fiqh: barangkali Syafi'i, Maliki, Hambali, Hanafi, Dawud Dzahiri, al-Laitsi, dan al-Auza'i hanyalah beberapa aliran yang dapat kita kenali sampai sekarang melalui khazanah pengetahuan yang ada.
Tentu perbedaan pemahaman yang termanifestasikan ke dalam madzhab seperti yang terjadi di masa silam akan lain bentuknya di zaman sekarang ini. Kini, perbedaan dalam beragama itu menjelma ke dalam organisasi-organisasi modern sebagaimana yang ada saat ini, meskipun secara genealogi pengetahuan--kadang--tidak dapat melepaskan diri dari formulasi konsep sebelumnya. Tetapi, tak jarang pula yang secara terang-terangan mengikuti madzhab yang sebelumnya pernah eksis atau kadang mengklaim dirinya tidak bermadzhab sama sekali.
Semua kenyataan perbedaan itu merupakan realitas historis akan adanya pluralitas internal dalam tubuh Islam. Islam adalah tunggal dan sekaligus plural. Islam adalah ibarat payung besar yang menaungi berbagai ragam pemahaman terhadapnya. Perbedaan internal justru semakin menampakkan keindahan dan sekaligus kekuatan Islam itu sendiri. Menganggap bahwa Islam itu tunggal sama dengan mengingkari realitas sejarah umat Islam itu sendiri.

Dialog Antar-kebenaran
Tidak ada seorang pun atau kelompok di dunia ini yang bisa mengklaim bahwa dirinyalah orang yang paling benar atau berada dalam kebenaran. Hanya Tuhan yang Mahabenar, karena segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bersumber dari-Nya. Isyarat ini secara jelas telah dinyatakan misalnya saja dalam QS al-Baqarah: 147 dan Ali Imran: 60: "Kebenaran berasal dari Tuhan-mu, dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang ragu".
Dalam konteks pluralitas internal Islam, isyarat yang ditunjukkan ayat tersebut di atas semakin menemukan signifikansinya. Artinya, bahwa tidak dibenarkan adanya klaim kebenaran (truth claim) mutlak bagi masing-masing kelompok dalam internal Islam. Bagi mereka, yang ada hanyalah kebenaran nisbi yang bersifat sangat relatif.
Maka jelaslah, bahwa dalam Islam tidak ada klaim kebenaran. Sikap itu bertentangan dengan ajaran agama. Sikap merasa benar sendiri antar-sesama pengikut agama (internal) tidak saja mencoreng citra agama itu sendiri, tetapi juga telah mengaburkan misi progresifitas agama dalam menata dan membangun peradaban manusia ke arah derajat yang lebih mulia.
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi masing-masing kelompok (aliran) internal dalam agama Islam untuk melakukan dialog. Yaitu, mendialogkan kebenaran yang dicapai sebagai bentuk dari pengalaman dalam memahami dan menghayati ajaran dan teks-teks keagamaan. Dalam dialog juga harus dilakukan--dengan meminjam istilah Ali Harb--kritik kebenaran (naqd al-haqiqah). Kritik kebenaran ini tidak berarti saling mencari kelemahan argumentasi: yang lemah argumentasinya itulah yang salah sedangkan yang kuat argumentasinya itulah yang benar. Tetapi, mendialogkan kebenaran sebagai bentuk pencerahan penalaran (pemahaman) dalam membangun kehidupan umat manusia.
***
Seperti dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa "Ia (al-Qur'an) tidak dapat berbicara, yang berbicara atas nama al-Qur'an adalah orang-orangnya". Itu artinya bahwa akal seseorang dan tingkat pengetahuan pemahaman merekalah yang menentukan dan membentuk makna (kebenaran). Jika memang demikian, lantas sampai kapan fatwa atau tuduhan sesat terhadap individu dan kelompok (aliran) dalam agama bisa diakhiri? Tuduhan-tuduhan sesat dalam beragama tidak lain merupakan bentuk dari teror atas nama kebenaran.[mff]

0 komentar: