12 November, 2009

“Wajah” Tuhan di Tengah Pluralitas Agama

Oleh: M. Faisol Fatawi

Sampai saat ini, wacana tentang Tuhan masih menjadi objek pembicaraan menarik manusia, bahkan bisa dikatakan bahwa sejarah mendiskusikan Tuhan sama tuanya dengan sejarah munculnya manusia di muka bumi. Di mata umat manusia, Tuhan merupakan realitas tertinggi, sumber bagi segala yang maujud di kolong jagat raya. Sebagai sumber kehidupan, Tuhan pun dimaknai, dipahami, dan diartikulasikan oleh berjuta-juta umat menjadi sebuah tatanan aturan yang melandasi praksis kehidupan mereka. Dari sini, manusia mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan (khalifatullah) di muka bumi.
Dalam agama, meyakini keberadaan Tuhan menjadi pilar paling penting. Pilar ini yang kemudian disebut dengan sistem teologi. Tuhan inilah yang menjadi sumber kebenaran agama. Legitimasi kebenaran agama adalah Tuhan itu sendiri. Tak heran, seringkali pemeluk agama meyakini bahwa agama yang dianutnya merupakan kebenaran Tuhan. Tetapi masalahnya, agama itu tidak satu macam. Lalu bagaimana memahami Tuhan dalam konteks pluralisme agama? Bukankah Tuhan yang terkonsepsikan dalam agama-agama merupakan hasil kreatif dari imajinasi pemeluknya?
Mendiskusikan wajah Tuhan sebagaimana yang tersirat dalam pertanyaan tersebut semakin mendapatkan signifikasinya, manakala dunia kini disibukkan dengan semakin maraknya aksi kekerasan yang berlatarbelakang agama yang disinyalir akan mengancam kehidupan antar umat bergama, bahkan perang atas nama agama.
Di Indonesia misalnya, kita dapat melihat fenomena aksi kerusuhan dan kekerasan yang terjadi di Ambon dan Maluku dimana puluhan rumah ibadah dibakar dan ribuan manusia dibunuh. Atau mungkin masih terbayang di dalam benak kita peristiwa pengeboman WTC di Amerika oleh sekelompok jaringan dengan mengatasnamakan agama. Serangkaian peristiwa tersebut mengingatkan kita pada tesis yang diajukan oleh Samuel Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilization) terutama antara peradaban Islam dengan Barat yang Kristen.
Mencermati fenomena peristiwa tersebut, kita harus sedikit membuka cara penuhanan yang kita lakukan. Logika penuhanan masyarakat agama-agama masih lebih bersifat tekstualis. Tuhan yang diyakini dan dipahami dalam agama-agama hanya didasarkan pada bunyi atau pernyataan teks suci: gambaran dan sifat-sifat Tuhan selalu tertumpu padanya. Oleh karena itu, Tuhan yang dipersepsikan oleh umat Islam yang disesuaikan dengan al-Qur'an dan Tuhan yang dipersepsikan oleh umat Kristiani yang berpijak pada al-Kitab berbeda dan tidak akan pernah sama. Pemeluk Islam di mata Tuhan umat Karistiani tentu saja menjadi sekelompok orang yang dicap ingkar, dan karenanya harus mendapat ganjaran neraka; pemeluk Kristen juga akan mengalami hal yang sama di mata Tuhan-nya umat Islam.
Dalam konteks pluralitas agama, mungkin ada baiknya kita belajar dari cara penuhanan yang ada dalam tradisi sufi yang dikembangkan tokoh seperti Ibn al-Arabi atau Jalaluddin ar-Rumi. Dasar filosofis yang digunakan oleh keduanya dalam memahami Tuhan adalah bahwa hanya ada satu wujud yang hakiki, yaitu Tuhan ¬al-haq. Tuhan menampakkan diri dalam banyak bentuk yang terdapat di jagad raya ini. Hakekat Tuhan berarti kesatuan yang mutlak dari keseluruhan. Oleh karena itu, menyembah Tuhan melalui berbagai konsep, baik monoteisme maupun politeisme, tidak masalah, sebab hakekat yang dituju adalah satu, yaitu Tuhan al-haq. Dalam konteks ini, agama hanyalah kulit luar (baju).
Rumusan ketuhanan yang diajukan oleh kedua tokoh sufi tersebut mungkin lebih memberikan peluang keterbukaan bagi pemeluk agama jika kita bandingkan dengan rumusan yang lazim digunakan oleh agama-agama pada umumnya. Pandangan kedua tokoh itu, secara implisit mengisyaratkan bahwa di mata pemeluk agama (penyembah Tuhan) tidak ada Tuhan yang objektif. Tuhan yang diyakini oleh masing-masing pemeluk agama bersifat terbatas, terbatas pada teks suci, sehingga tidak dapat dipertemukan dengan Tuhan milik pemeluk lain. Perbedaan konsep Tuhan tidak lebih dari sekedar order of nature.
Tidak ada agama yang tidak meyakini adanya Tuhan, terlepas dari berbagai konsep yang ada: berapa jumlah, bagaimana sifat dan bentuknya. Wujud Tuhan dalam pandangan agama Kristen dipahami sebagai konsep trinitas, dalam agama Islam konsep tauhid, dan seterusnya sesuai dengan agama masing-masing. Namun sekali lagi, yang perlu disadari adalah bahwa konsep-konsep itu tidak lebih dari sekedar penggambaran dalam memahami dan menghadirkan Tuhan dalam praksis kehidupan di dunia, hasil kreatifitas imajinasi manusia. Meskipun berbagai upaya telah dikerahkan untuk memahami Tuhan sehingga melahirkan konsep yang berbeda, namun hakekat Tuhan itu sendiri masih tidak dapat dijangkau: siapapun dan kapanpun seseorang tidak akan dapat mengerti Tuhan yang sebenarnya. Barangkali titik yang mempertemukan semua agama itu adalah pengakuan akan adanya Tuhan. Inilah yang musti harus dijadikan --dengan meminjam istilah Hasan Hanafi-- landasan aksiomatis, bahwa adanya Tuhan adalah benar.
Menjadikan keberadaan Tuhan sebagai landasan aksiomatis seperti tersebut di atas, patut diajukan dalam konteks keberagamaan sekarang ini, karena betapapun perbedaan konsep ketuhanan yang ada dalam setiap agama ternyata semua itu hanyalah perbedaan persepsi terhadap Tuhan itu sendiri. Ternyata Tuhan dalam perspektif pluralitas agama --dengan masih meminjam pandangan kaum sufi-- merupakan common platform. Sampai sini, kita berharap bahwa dalam praksis beragama, kita tidak semestinya hanya menggunakan sudut pandang teologis, tetapi sudut pandang kemanusiaan yang didasarkan pada kesatuan eksistensi untuk hidup bersama di muka bumi. Praksis mewujudkan cita-cita kemanusiaan itulah merupakan komitmen ketuhanan yang terdapat dalam setiap agama.
Komitmen tersebut merupakan dambaan seluruh umat beragama. Proses membangun dunia yang lebih manusiawi adalah bagian yang tak terpisahkan dari refleksi agama. Keberlangsungan (signifikansi) agama pun akan sangat terkait dengan realitas yang berada di luarnya. Masalah-masalah sosial seperti penindasan, ketimpangan ekonomi, hegemoni politik, dan lain-lainnya yang mengancam eksistensi manusia, menjadi bagian yang inhern dalam ketuhanan (agama). Komitmen ketuhanan mungkin hanya akan bermakna jika diarahkan untuk masa depan kemanusiaan katimbang hanya membenturkan konsep mengenai eksistensi diri-Nya dengan eksistensi diri-Nya yang dipahami dan dimilik oleh agama lain. Ketika itu, kita telah mempermainkan eksistensi Tuhan sebagai robot-robot yang manut kepada kita, padahal hakekat Tuhan tidak demikian, jauh dari semua itu.
Akhirnya, kita seharusnya tidak memfungsikan agama (baca: Tuhan) sebatas kepentingan yang sempit, namun di bawah bayang-bayang Tuhan kita menatap masa depan kemanusiaan demi eksistensi manusia itu sendiri. Dengan menyadari, bahwa wajah Tuhan yang kita pahami merupakan hasil pencerapan pikiran kita atas realitas yang adi kodrati dan penuh misteri, maka seharusnya kita menyadari akan pentingnya mendialogkan arti kehadiran Tuhan di tengah kehidupan sehari-hari dalam konteks pluralitas agama.[mf]

0 komentar: