27 November, 2009

Membunuh Nafsu Hewani

Oleh: M. Faisol Fatawi

Setiap manusia dilahirkan dengan nafsu. Nafsu merupakan wajah lain dari kemauan atau keinginan. Dalam diri manusia, nafsu laksana ruh yang dapat mendorong dalam melakukan sesuatu. Semua amal perbuatan seseorang mesti didahului oleh kemauan. Dorongan nafsu dalam diri seseorang selalu bermuara dalam dua pilihan, mengarah pada jalan kebajikan atau jalan keburukan; ketakwaan atau kekufuran (lihat QS. asy-Syams). Siapa yang mampu mengendalikan keinginan nafsunya ke arah yang baik, maka ia mendapat tempat yang mulia. Sementara siapa yang terbelenggu oleh nafsunya maka akan mendapat balasan yang hina. Bagi manusia, nafsu dapat menjadi kekuatan positif sejauh ia dapat mengendalikannya.
Istilah nafsu merupakan kata serapan dari lafaz nafs yang berarti diri, isi atau inti dari sesuatu yang bersifat halus. Istilah nafs seringkali dihadapkan dengan sesuatu yang bersifat materi, dan oleh karena itu muncul anggapan bahawa dalam diri manusia terdapat nafs dan madiyah (materi). Nafs bagi diri manusia tidak lain adalah ruh, sedangkan madiyah merupakan jasad atau wadag. Ruh seringkali identik dengan kesucian, sementara wadag dianggap sebagai sesuatu yang penuh dengan kotoran. Dikotomi seperti ini sampai sekarang masih dipegang sebagai pandangan dalam sementara umat Islam.
Sebuah adagium filsafat sering kita dengar, bahwa manusia didefinsikan sebagai hewan yang berakal (al-insan huwa al-hayawan al-nathiq). Manusia adalah sejenis (bergenus) hewan. Yang membedakan adalah manusia memiliki kemampuan untuk bernalar atau berpikir dengan kekuatan akal yang dimilikinya, sementara hewan tidak memiliki potensi sebagaimana yang dalam diri manusia.
Dengan kapasitas kemampuan seperti itu, maka manusia ditempatkan sebagai makhluk yang mulia atau yang dalam bahasa agama disebut dengan ahsan taqwim. Bahkan Allah secara nyata menyebut bahwa diri-Nya telah memuliakan anak turun Adam, sehingga ia disodori amanat dan mereka pun menerima untuk memikul amanat itu (QS. al-Isra’: 70). Perjanjian inilah yang kemudian lebih dikenal dengan perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan.
Secara garis besar, nafsu yang bercokol dalam diri manusia dikelompokkan menjadi dua. Yaitu, nafsu yang bergerak ke arah kebaikan atau yang dalam istilah al-Qur’an disebut sebagai nafs al-muthma’innah yang baginya akan mendapat tempat yang mulia di sisi Tuhan (QS. al-Fajr: 27-30). Sementara yang lain adalah nafsu yang senantiasa mendorong manusia untuk melakukan kejelekan dan keburukan. Nafsu jenis yang terakhir inilah yang identik dengan nafs al-hayawaniy. Nilai kemanusiaan seseorang akan menurun setingkat nilai kebinatangan manakala mereka tidak mampu mengendalikan potensi yang dimilikinya. Nafsu yang muthma’innah harus selalu dipelihara dan dipertahankan, sementara nafsu yang al-hayawaniy harus dihilangkan dari diri manusia.
Dalam diri manusia, nafsu al-hayawaniy harus ‘dihilangkan’, sehingga tidak melahirkan perilaku-perilaku atau amal perbuatan negatif. Momen Idul Adha kali ini mungkin dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita untuk ‘membunuh nafsu hewani’ yang bercokol dalam diri setiap insan; muara lahirnya perilaku mencuri, korupsi, iri dan dengki, sifat pemarah dan seterusnya. Penyembelihan hewan kurban merupakan isyarat simbolik akan hal itu, dan bukan sekedar memisahkan nyawa hewan dari wadagnya dengan diiringi tahmid dan takbir, lalu dagingnya kita bagi-bagikan kepada yang lain, dan kemudian dinikmati bersama. Jika penyembelihan itu dipahami sebagai kegiatan bagi-bagi daging dan lantas dinikmati bersama—dan melenceng dari pesan esensialnya, tentu hal ini tidak berbeda dengan kegiatan ‘mayoran’ untuk makan-makan bersama. Na’udzu billah min dzalik![mff]

0 komentar: