22 November, 2009

Film 2012 dan Hantu Modernitas

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kehadiran film 2012 begitu menghebohkan. Hampir semua pihak dibikin terperangah terhadapnya. Sebagian kita mungkin sedikit percaya bercampur was-was akan kiamat yang bakal terjadi tahun 2012 mendatang sebagaimana yang diilustrasikan dalam film tersebut. Namun, tidak sedikit pula kalangan yang mempertanyakan film itu. Dan tak tanggung-tanggung ada juga yang mengharamkan untuk menontonnya dengan alasan bertentangan dengan ajaran agama karena terjadinya kiamat tidak dapat diprediksi dan diketahui oleh siapapun; kiamat hanya urusan Tuhan.
Film 2012 dibuat dengan mengacu pada kalender suku Maya di Guatemala. Dalam kalender suku itu diprediksi akan terjadi kiamat, dimana diperkirakan akan ada sejumlah planet atau benda angkasa yang keluar dari orbitnya, dan ini yang nantinya akan menabrak bumi. Atau matahari akan melepaskan beberapa energinya sehinga akan berpenharuh terhadap suhu di planet yang kita tempati (bumi). Khusus yang terakhir ini dapat berpengaruh terhadap mencairnya es di dua kutub (Urata dan Selatan), atau bahkan dapat mengubah kutub magnet bumi.
Dalam dunia sastra, terdapat istilah science fiction (fiksi saintis). Yakni, karya-karya fiksi yang bernuansa atau mengandung muatan pengetahuan saintis. Meskipun isinya sangat saintis, namun jenis sicience fiction, sebagai karya cipta-rekaan, tetap saja bukan merupakan dunia nyata yang sesungguhnya. Strukturnya tetap bersifat imajiner, meskipun bervisi pengetahuan (sains).
Film 2012 dapat dimasukkan dalam kategori science fiction itu. Karya fiksi seperti itu bukanlah satu-satunya dan lahir baru kali ini saja. Beberapa film seperti Independent Day, Star Track, Star War dan lain-lain sebagaimana yang sudah tidak asing lagi bagi kita, semuanya bervisi saintis. Di dunia Timur juga dapat ditemukan karya-karya fiksi yang hampir sama, seperti Hay bin Yaqdzan karya Ibn Thufail, Thouq Hamamah yang ditulis oleh Ibn Hazm, Ebsal wa Salomon sebagaimana yang ditulis oleh Ibn Sina, Manthiq al-Thair-nya Fariduddin Aththar dan seterusnya. Karya-karya fiksi seperti itu selalu mengiringi dunia kita dari waktu ke waktu.
Seorang ahli antropologi kebudayaan, Van Peursen, telah mengklasifikasikan strategi proses terbentuknya kebudayaan umat kedalam tiga tahap. Pertama, tahap mitis. Yakni, sikap manusia yang merasakan dirinya berada dalam kepungan kekuatan-kekuatan gaib yang berada di sekitarnya. Kedua, tahap ontologis yang berarti dalam tahap ini manusia secara bebas ingin meneliti segala hal. Manusia mengambil jarak dari adanya kepungan-kepungan dari kekuatan yang gaib. Mereka mulai menyusun pengetahuan atau teori-teori mengenai hakekat segala yang maujud. Sementara itu ketiga adalah tahap fungsional yang berarti dalam tahap ini manusia memasuki apa yang disebut dengan dunia modern. Manusia tidak lagi terpesona oleh sika-sikap mitis, dan tidak pula mengambil jarak dengan objek penyeledikikan yang dilakukan. Mereka mencari jalan terobosan baru mengenai masalah-masalah lama.
Dunia modern yang ditandai dengan kemajuan di bidang teknologi dan informasi seperti sekarang ini, tentunya merupakan proses berkelanjutan dari tiga tahapan dalam strategi kebudayaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh Van Peursen tersebut di atas. Sebagai bentuk dari usaha untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang ditemukan di tengah kehidupan, kemajuan yang telah dicapai manusia era modern seperti saat ini dapat dikategorian kedalam tahap fungsional. Tetapi pada saat yang sama, tahap fungsional tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tahap kebudayaan yang bersifat final. Ketika tahap kebudayaan manusia sudah melewati tahap mitis dan ontologis, maka bukan berarti kedua tahap itu tidak pernah dilalui lagi oleh mereka.
Ketiga tahapan tersebut di atas, yang dilalui oleh manusia dalam membangun kebudayaannya, bukan merupakan tahapan hirarkis yang jika satu tahapan dilalui maka tidak akan dilalui selamanya. Hubungan ketiga tahapan itu bersifat menyatu di dalam kehidupan kebudayaan umat manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa di saat manusia mencapai tahap fungsional, maka di sana akan muncul kontradiksi-kontradiksi (yang berbentuk kepungan persoalan-persoalan atau kekuatan-kekuatan baru yang tak kasat mata) yang ditimbulkan dari kemajuan yang mereka capai. Maka, setiap tahap fungsional dicapai, maka tahap mitis dan ontologis muncul dalam bentuknya yang lain. Begitu seterusnya, sebuah proses kebudayaan hadir ke tengah dunia di tangan umat manusia.
Sebenarnya, film 2012 dapat kita pandang sebagai hasil dari kemajuan kebudayaan umat manusia. Ia menjadi hasil kreasi pikiran manusia yang luar biasa di satu sisi, dan merupakan wujud kecanggihan teknologi untuk melakukan rekayasa peristiwa ‘kiamat’. Singkatnya, film 2012 tidak lain merupakan wujud dari modernisasi kalender suku Maya yang bertumpu pada pikiran primitif. Dengan sentuhan tangan manusia modern dan kemajuan teknologi, prediksi pikiran suku Maya itu diubah menjadi dunia yang ‘nyata-nyata’ dapat dinikmati oleh panca indera semua orang.
Saya melihat, bahwa lahirnya film 2012 merupakan bentuk lain dari masuknya alam pikiran manusia modern ke dalam tahapan mitis seperti yang dinyatakan oleh Van Peursen. Film 2012 mencerminkan bentuk ketidak-berdayaan manusia di tengah kepungan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi mengakibatkan ketidak-berdayaan manusia itu sendiri. Atau dengan kata lain, kemajuan modernitas melahirkan kekuatan-kekuatan ‘gaib’ yang baru, yang--secara sadar atau tidak sadar—menuntut manusia untuk bergelut memecahkannya, sehingga mereka harus mendefinisikan ulang tentang diri dan segala yang mengitarinya; menyusun kembali pengetahuan atau teori-teori mengenai hakekat tentang segala sesuatu.
Sayangnya, tidak semua orang menyadari kembalinya tahapan alam pikiran mitis tersebut. Kita yang hidup di tengah kemajuan modernitas cenderung menolak jika alam pikiran dianggap mitis. Yang selalu muncul adalah anggapan bahwa modernitas identik dengan alam pikiran rasional. Rasionalitas menjadi tolak ukur dalam menilai segalanya, sampai-sampai alam modernitas dianggap lawan dari kemunduran (baca: alam mitis).
Hilangnya kesadaran akan munculnya tahapan alam pikiran mitis di tengah kehidupan modern menyisakan problem yang cukup serius. Manusia menjadi angkuh dengan kerasionalitasan yang dimilikinya. Jika ini yang terjadi, maka manusia akan kehilangan kesadaran kritisnya yang paling otentik yang selalu ada di dalam bawah sadarnya. Manusiapun menjadi teralienasi dengan tantangan dan kekuatan-kekuatan yang muncul di sekitarnya. Alam pikirannya menjadi kosong meskipun nalar rasionalitas menjadi pijakan pirinsipnya.
Film 2012 melahirkan apa yang saya sebut dengan hantu-hantu modernitas. Melalui permainan media, wacana tentang kiamat seperti yang divisualisasikan lewat film 2012 secara terus-menerus diproduksi—terlepas dari strategi pemasaran untuk mendongkrak laris-manisnya film itu ke hadapan publik pemirsa. Efeknya, lahir wacana tentang kengerian dan kekhawatiran akan terbuktinya film tersebut di sana-sini pada tahun 2012 mendatang; memunculkan ruang pikiran publik yang serba was-was dan berada dalam ketidak-pastian—dalam pengertiannya yang negatif.
Sebagai pengetahuan, alam pikiran mitis dapat memberikan arah kepada perilaku manusia, dan menjadi semacam pedoman kebijaksanaan, sehingga dapat menggapai kejadian-kejadian dan daya-daya keuatan alam di sekitarnya. Maka, kita harus sadar bahwa jangan sampai hantu-hantu modernitas (film 2012) yang lahir dari kreasi tangan-tangan modernitas mencerabut alam pikiran mitis kita. Karena, pikiran mitis itu menjadi bakat alami manusia. Suatu saat kiamat pasti terjadi, tetapi entah kapan?[mf]

0 komentar: