tag:blogger.com,1999:blog-37553460968252351082024-03-14T10:57:41.818+07:00M. Faisol FatawiM. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.comBlogger73125tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-20562645574907480812012-06-05T11:18:00.000+07:002012-06-05T11:33:36.261+07:00Mencermati Nalar Pendidikan Kita<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;"><b>Oleh: M. Faisol Fatawi</b><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara, pendidikan merupakan hal yang paling urgen. Pendidikan
menjadi dunia tempaan bagi setiap generasi dalam rangka mencerdarkan kehidupan
bangsa. Mengingat pentingnya pendidikan, pemerintah pun mencanangkan wajib
belajar 12 tahun bagi setiap anak bangsa. Disinyalir keterbelakangan bangsa
karena diakibatkan oleh minimnya masyarakat dalam mengenyam pendidikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Dalam kenyataannya, pendidikan
di Indonesia justru melahirkan
insan-insan yang bermental “tidak terdidik”. Mata anak bangsa justru
dipertontonkan oleh praktik-praktik dan perilaku-perilaku yang jauh dari
cerminan sebagai seorang terdidik. Lihat saja, praktik korupsi yang merajalela
di hampir setiap instansi pemerintah, bahkan merambah juga kedalam lembaga pendidikan.
Yang lebih menohok mata kita semua adalah pratik korupsi
yang terjadi di DPR, sebuah lembaga tempat para wakil rakyat, yang note
bene berlatarbelakang kaum terdidik. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Kenyataan hampir serupa juga
dapat kita temukan pada maraknya praktik kecurangan yang terjadi dalam hampir
setiap ujian nasional di negeri ini. Siswa yang seyogyanya menjunjung tinggi
nilai-nilai kejujuran, dengan terang-terangan—dan bahkan secara
massal—melakukan pencontekan di ruang kelas saat ujian. Lebih naif lagi,
terkadang praktik pencontekan itu dikoordinir secara sengaja oleh pihak-pihak
tertentu. Sungguh suatu ironi. Lalu, apa yang salah terkait dengan dunia
pendidikan di negeri ini?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Melihat kenyataan seperti itu,
ada dua hal yang patut kita perhatikan. <i>Pertama</i>, nalar pendidikan di
Indonesia telah terjebak dengan
paradigma positifistik. Segala yang terkait dengan pendidikan di negeri ini
selalu dinilai dengan angka. Angka menjadi parameter berhasil atau
lulus-tidaknya seorang peserta didik. Karena itu, tidak mengherankan jika seorang peserta didik
selalu berorientasi pada nilai (baca: angka). Orientasi nilai seperti ini telah
mendarah-daging dalam dunia pendidikan kita, mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 26pt;">
<i><span lang="IN" style="font-weight: normal;">Kedua</span></i><span lang="IN" style="font-weight: normal;">, menguatnya cara pikir
pragmatis di tengah masyarakat. Masyarakat dalam menyekolahkan anaknya
berorientasi pada kerja. Seorang anak dimasukkan ke sekolah agar di kemudian
hari—dengan ijazah yang diperolehnya—mendapat perkejaan yang layak. Dunia
pendidikan dijadikan sebagai tempat transit untuk mendapatkan pekerjaan, tidak
lagi menjadi wahana untuk memperoleh pengetahuan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Paradigma positifistik <i>centris</i>
berujung pada pengesampingan aspek di luar rasio dalam memberikan penilaian
terhadap peserta didik dalam proses belajar. Nilai akhir pembelajaran menjadi segalanya,
sementara pendidikan sebagai sebuah proses menjadi terabaikan. Maka tak jarang,
kita sering menemukan orang bangga dengan nilai tinggi tetapi kualitas
pengetahuannya sangat rendah. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Paradigma seperti itu menjadi
semakin lengkap dengan menguatnya cara pikir pragmatisme di tengah masyarakat.
Mayoritas masyarakat hampir menganggap sekolah atau lembaga pendirikan sebagai
lumbung pencetak pekerja; sekolah setinggi-tingginya demi mencari kerja. Coba
saja kalau kita melihat iklan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Betapa dalam
iklan itu, publik secara tidak sadar diarahkan pada cara pikir pragmatis; bahwa
dengan memasukkan anaknya ke SMK, maka yang bersangkutan akan siap mendapatkan
pekerjaan. Masih banyak lagi iklan pendidikan yang mengiming-imingi masa depan
kerja yang jelas. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Orientasi pragmatis dan
paradigma positifistik dalam dunia pendidikan semakin menjauhkan diri kita pada
makna dan hakekat pendidikan itu sendiri. Sejatinya, pendidikan tidak saja
berorientasi pada peningkatan pengetahuan dan penguasaan teori-teori yang hanya
berujung pada dimensi rasionalitas di satu sisi, atau berorientasi pada kerja dan kerja di
sisi lain. Kita boleh saja merancang atau mencita-citakan masa depan lewat
pendidikan. Tetapi, tetap tidak boleh keluar dari roh pendidikan itu sendiri. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Hakekat Pendidikan tidak lain
adalah membekali diri dengan ilmu pengetahuan untuk menghilangkan
ketidak-tahuan-kebodohan dalam rangka menjalani hidup yang berkualitas (<i>al-suluk
al-fadhil</i>). Dengan pengetahuan, seseorang diharapkan mampu menjadi insan
yang sempurna, bijaksana dalam menjalani hidup dan menghadapi
tantangan-tantangan yang dihadapinya. Orientasi pragmatis dan paradigma
positifistik yang mulai mengakar dalam dunia pendidikan kita, hanya akan
memasung kreatifiitas manusia, serta menghadapkannya pada pandangan dunia yang
sempit dan serba terbatas. [mff]<o:p></o:p></span></div>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-20176677061471125372012-05-20T13:33:00.002+07:002012-05-31T10:21:46.765+07:00Meruwat Penerbitan Kampus<div style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;">Oleh: M. Faisol Fatawi</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Kalau kita mendiskusikan tentang kampus, maka hal
pertama kali yang terlintas dalam pikiran adalah kampus menjadi tempat
penggemblengan ilmu pengetahuan bagi para calon sarjana dan ilmuan. Kampus
tidak lain dalah gudangnya para sarjana dan ilmuan. Kampus menjadi mercusuar
tegak dan berkembangnya ilmu pengetahuan; kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
menjadi cita-cita luhur bagi landasan filosofis didirikannya sebuah perguruan
tinggi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Di Indonesia, kampus atau perguruan tinggi bercokol
dimana-mana, baik berstatus negeri maupun swasta. Hampir setiap kota (wilayah/propisinsi)
di seluruh negeri ini, tidak luput dari kampus. Jika dihitung dengan jari,
jumlah kampus atau perguruan tinggi di bumi pertiwi yang kita cintai ini, mulai
dari ujung barat sampai ujungg timur, dari yang kecil sampai yang besar,
mencapai ratusan atau bahkan ribuan. Meskipun jumlahnya melimpah ruah, cita-cita
luhur untuk menjadikan kampus atau perguruan tinggi sebagai pusat kemajuan ilmu
pengetahuan masih jauh dari harapan—kalau tidak boleh dikatakan sama sekali
tidak terwujud. Tolak ukurnya sederhana, dari jumlah kampus atau perguruan
tinggi yang ada, tidak lebih dari 5 % memiliki sistem publikasi karya ilmiah
yang mapan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Dalam sebuah rilis Webometrics edisi Januari 2009
disebutkan, bahwa dari sekitar 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di
Indonesia, hanya 33 perguruan tinggi yang masuk daftar peringkat Top 5000
Dunia. Dari 33 perguruan tinggi Indonesia itu, tidak satu pun yang masuk dalam
daftar Top 15 untuk wilayah Benua Asia. Universitas Gadjah Mada berada di
peringkat 64 dan Institut Teknologi Bandung berada pada peringkat 71 dalam TOP
100 Asia. Untuk peringkat 1 sampai 5 Asia berturut-turut University of Tokyo,
National Taiwan University, Kyoto University, Peking University, dan University
of Hongkong. Salah satu rujukan pentingnya yang menjadi dasar penilaian adalah
poin scholar hal-hal yang terkait dengan dokumen karya ilmiah dan situasi dari
sivitas akademikanya.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Dalam bayangan saya, sebuah perguruan tinggi adalah
tak ubahnya ‘perusahaan’ intelektual.
Mesin-mesinnya adalah para pengajar, ilmuan atau bahkan para mahasiswa.
Mesin-mesin inilah yang akan menghasilkan produk-produk intelektual, baik di
bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu saintis, baik ilmu yang
bersifat teoritis atau terapan. Berbagai produk intelektual tersebut kemudian
dikemas dalam bentuk sedemikian rupa dan dipasarkan ke hadapan public, sehingga
dapat dinikmati oleh masyarakat. Inilah yang saya maksud dengan sistem
publikasi karya ilmiah itu.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Kontribusi paling mulia dari sebuah kampus atau
perguruan tinggi adalah sumbangsih intelektualnya di bidang ilmu pengetahuan.
Sistem publikasi ilmiah dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertegas
eksistensi dan identitas kampus sebagai lokomotif kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Untuk itu, sistem publikasi karya ilmiah yang mapan menjadi sebuah
keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Dan dalam konteks kampus ini, UIN
Malang press—khususnya--dapat kita jadikan sebagai ‘rumah produksi’ bagi karya
intelektual para sivitas akademika. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Pasang
Surut Penerbitan Kampus</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Kehadiran penerbit kampus dalam dunia perbukuan
bukanlah sesuatu yang baru. Era tahun 50-an mungkin dapat dikatakan sebagai
awal munculnya penerbit kampus. Sebutlah Universitas Islam Indonesia (UII),
yang bisa dibilang sebagai kampus pertama yang mulai menapaki dunia penerbitan.
Sejak 11 November 1951, UII di bawah pimpinan Tjitrosoebono sudah memiliki
penerbitan dengan nama Jajasan Pertjetakan. Penerbit kampus yang satu ini hanya
dapat bertahan sampai tahun 1970-an, hingga kemudian dibubarkan pada tahun
1981. UII berusaha bangkit kembali dari keterpurukan penerbitan kampus sejak
tahun 1992. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Langkah terjun ke dalam dunia penerbitan seperti
UII juga diikuti oleh kampus-kampus yang lain. Contoh paling nyata adalah
beberapa kampus besar negeri seperti Gadjah Mada University Press (Gama Press),
Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Airlangga University Press, dan Penerbit
ITB. Pada era tahun 80-an, penerbit-penerbit kampus tersebut sempat ‘mencuri’
perhatian public. Buku-buku yang terbitkan dinilai bermutu dan
berkualitas. Namun demikian, nasibnya
kini juga di ujung tanduk; mati segan hidup tak mau. <i>Wal hasil, </i>penerbit-penerbit
ini tidak mampu bersaing dengan penerbit swasta dalam menghasilkan
produk-produk yang berkualitas. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Kondisi penerbitan kampus yang seperti itu mungkin
berbeda jika kita bandingkan dengan penerbit-penerbit kampus yang ada di luar
negeri (baca: Barat). Lihat saja penerbit kampus seperti Oxford University atau
Cambridge University. Kedua penerbit ini mampu menancapkan ‘kakinya‘ di tengah
dunia penerbitan, sehingga mampu menerbitkan buku-buku ilmiah berkualitas yang
selalu diburu oleh masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Bahkan produk-produk
kedua penerbit kampus tersebut mampu mengepakkan sayap pengaruhnya ke seluruh
dunia; banyak perguruan tinggi yang menjadikan buku-buku terbitannya sebagai
bahan rujukan. Kita mungkin perlu belajar dari majunya penerbitan kampus luar
negeri tersebut.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Menurut beberapa pengamat dunia perbukuan dan
penerbitan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan kenapa selama ini penerbit
kampus di Indonesia gagal dalam meneguhkan dirinya sebagai penerbit yang
tangguh dan benar-benar eksis. Beberapa hal tersebut diantaranya, keterbatasan dukungan
dana, rendahnya budaya tulis menulis di lingkungan kampus dan rendahnya
kualitas buku.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><i>Pertama</i>, keterbatasan dana. Persoalan dana
dapat dibilang persoalan klasik. Dalam dunia penerbitan, uang menjadi hal yang
sangat penting. Mati hidupnya sebuah penerbitan buku, baik kampus maupun non
kampus, sangat bergantung dengan dukungan dana. Kita mungkin dapat mengamati
menjamurnya penerbitan buku yang muncul pasca reformasi, tetapi tidak sedikit
dari penerbit-penerbit itu tidak mampu beroperasi karena terjepit persoalan
uang. Jangan heran jika kita menemukan sebuah penerbit—penerbit swasta
khususnya--buku yang ngutang ke bank, dan setiap bulan harus mencicilnya. Dan tak jarang pula, karena lilitan hutang
itu, sebuah penerbit gulung tikar. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><i>Kedua</i>, rendahnya budaya tulis menulis.
Menumbuhkan budaya tulis menulis tidak gampang dilakukan. Karena, aktifitas
menulis menuntut seseorang untuk dapat sedikit meluangkan waktu dan cukup menyita
pikiran. Barangkali, alasan inilah yang mendorong seorang pengajar (dosen) untuk
lebih suka menyampaikan apa yang akan diajarkan secara lisan atau ceramah. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><i>Ketiga</i>, kualitas buku yang rendah. Faktor
ini seringkali dihubungkan dengan ketidak-seriusan penulis yang bersangkutan.
Ini terkait dengan rendahnya budaya tulis menulis yang dimiliki oleh seseorang.
Pada umumnya, seseorang lebih mempertimbangkan besar-kecilnya honor yang
diterima katimbang berkarya (menulis) itu sendiri, sehingga mereka lebih suka
memilih jalan pintas dalam berkarya. Maka tak heran, jika kita jarang menemukan
penulis atau pengarang buku dari kalangan dosen, yang terkenal dan
diperhitungkan dalam percaturan intelektual dan belantara dunia perbukuan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><b>Mengejar
Ketertinggalan</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi (IPTEK) dan informasi, menjadi tantangan dan sekaligus
memberikan peluang bagi perkembangan dunia penerbitan buku pada umumnya, dan
secara khusus penerbitan kampus. Ingar-bingar dunia penerbitan buku beberapa
tahun terakhir ini, semakin nyata. Persaingan antar penerbit semakin ketat
dalam memproduksi buku bacaan, baik ilmiah maupun non ilmiah. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Mati satu tumbuh seribu. Itulah adagium yang pas
untuk menggambarkan ingar-bingar penerbitan buku di Indonesia. Dengan segala fasilitas
yang semakin maju dan canggih, setiap orang akan semakin mudah untuk bergelut
di dalam dunia penerbitan buku. Sebuah penerbitan buku tidak harus memiliki
paralatan yang canggih dan lengkap. Sebuah penerbitan buku pun bisa menjadi
eksis hanya dikendalikan oleh tiga sampai lima orang saja. Penerbit non kampus
pun semakin marak. Kota Jogjakarta mungkin dapat disebut sebagai gudangnya
penerbitan buku. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Di tengah persaingan yang sengit seperti itu,
penerbitan kampus tidak boleh tenggelam dalam deru gelombang penerbitan buku
pada umumnya. Penerbitan kampus harus eksis. Penerbit kampus tidak boleh
membiarkan diri tertinggal di belakang penerbit-penerbit swasta (non kampus)
yang lain; harus menjadi yang terdepan dalam mengawal kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, beberapa hal harus diperhatikan dalam
pengelolahan penerbitan kampus. <i>Pertama</i>, berorientasi profit. Orientasi
profit merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Karena, menerbitkan buku butuh
pada dukungan dana yang cukup. Bayangkan saja, jika sebuah penerbit kampus
dalam setiap bulan harus menerbitkan minimal 4 buku. Setiap buku dicetak
sebanyak minimal seribu eksemplar dengan biaya masing-masing sebesar lima juta. Tentu, biaya yang
dibuthkan untuk mencetak setiap bulan mencapai dua puluh juta. Ini pun belum
termasuk biaya lain-lain, seperti editor, layouter, desainer dan seterusnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Orientasi profit dalam mengelolah penerbitan kampus
juga cukup dapat membantu masalah dana. Penerbitan kampus (khususnya penerbitan
kampus-kampus negeri) tidak selamanya dapat mengandalkan suplay dana dari
negara. Di sini, dengan orientasi profit sebuah penerbitan kampus dapat
mengolah dan menghidupi dapur rumah tangganya secara mandiri. Alih-alih,
meminimalisiasi cara-cara kerja birokratis, karena mengelolah penerbitan buku
berhadapan dengan pasar, bukan birokrasi. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><i>Kedua</i>, membangun jaringan pemasaran yang
kuat. Semakin kuat jaringan pemasaran sebuah penerbitan buku, maka semakin lama
usia hidupnya penerbitan buku itu. Semakin luas jaringan pemasaran sebuah
penerbit buku, maka semakin banyak masyarakat pembaca yang dapat mengakses
produk-produk terbitan yang dihasilkan.
Oleh karena itu, kemungkinan terjualnya produk itu pun semakin terbuka
lebar. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Dalam konteks penerbitan kampus, sejauh ini perlu dibangun
jaringan antar penerbit kampus. Yang menjadi target dalam hal ini adalah
menjadikan penerbit kampus sebagai pelaku pasar yang riil, tidak hanya sebatas
supliyer. Sementara ini, pelaku pasar dunia penerbitan buku dikuasai oleh
penerbit non kampus. Pertemuan antar penerbit pun aktif dilakukan oleh
penerbit-penerbit non kampus, yang tidak jarang berujung pada
diselenggarakannya even pameran antar sesama penerbit. Tetapi tidak demikian
dengan penerbit kampus. Padahal, even pameran menjadi penting bagi penerbit
kampus dalam rangka sebagai ajang aktualisasi diri dan unjuk eksistensi. Lebih
dari itu, saya mengandaikan jika ke depan sebuah penerbitan kampus dapat
mewarnai ‘bisnis’ perbukuan dengan membuka gerai-gerai di mall-mall besar.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><i>Ketiga</i>, menjaga kualitas produk. Buku yang
diterbitkan oleh penerbit kampus harus memiliki kualitas yang dapat diandalkan.
Isi buku menjadi hal penting yang harus selalu dijaga. Isi buku tidak lain
adalah roh buku itu sendiri. Tidak sedikit para pembaca kecewa setelah membeli
dan membaca sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu karena alasan
rendahnya kualitas isi buku. Di sini, selektifitas atas naskah-naskah yang
masuk harus ditingkatkan, bahkan bila diperlukan memburu naskah-naskah bermutu
di luar kampus. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Kualitas produk buku juga berkaitan dengan tampilan
perwajahan cover buku. Dalam tradisi perbukuan di Indonesia, masalah cover
menjadi faktor kesekian yang dapat mendorong hasrat seseorang untuk membeli
buku. Cover buku tidak boleh kaku. Bila perlu cover buku yang diterbitkan oleh
sebuah penerbitan kampus harus memiliki karakter khas yang dapat membedakan
dengan penerbit-penerbit lainnya. Tampilan cover buku semestinya memiliki nilai
dan makna filosofis dari isi buku itu sendiri. Tampilan cover yang cenderung
formal, disinyalir menjadi kelemahan dari produk-produk penerbit kampus,
sehingga tidak dapat bersaing dengan penerbit buku yang lain.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Hal yang menarik terkait dunia pernerbitan di
Indonesia, adalah dipadukannya nilai estetik ke dalam perwajahan cover.
Persoalan estetik tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hal yang terkait
dengan keindahan visual dalam mendesain sebuah cover. Persoalan perwajahan
cover ditempatkan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isi buku. Di
sini, perwajahan cover menempati ruang sosial budaya tersendiri. Cover-cover
buku pun menjadi realitas penciptaan dan pemaknaan. Maka tidak heran, jika
proses pembuatan cover buku memakan waktu yang cukup lama. Bahkan terkadang
memakan waktu berbuln-bulan. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;"><i>Keempat</i>, strategi promosi yang baik. Promosi
merupakan cara untuk memperkenalkan dan mencitrakan diri. Tujuannya adalah
menarik simpati orang agar percaya kepada diri yang dipromosikan. Strategi
promosi berarti strategi mencitrakan diri di hadapan ‘yang lain’. Politik
pencitraan diri adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolahan
penerbit kampus. Media promosi produk penerbit kampus yang digunakan bisa
beragam, mencakup segala lapisan masyarakat pembaca. Tak jarang, karena promosi
sebuah buku laris manis terjual habis dalam waktu yang cukup singkat. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;">
<span style="font-size: small;">Di era sekarang, menurut saya membuat penerbit
buku—apalagi penerbit kampus—sangat mudah. Yang sulit adalah memelihara dan
meruwat penerbit agar dapat eksis di tengah gempuran persaingan pasar buku yang
semakin dahsyat. Maju-mundurnya penerbit kampus bergantung pada usaha-usaha
keras, komitmen dan integritas yang tinggi dari insan-insan kampus. Selamat!</span><span lang="IN" style="font-size: small;">[<b>mff</b>]</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: "Helvetica Neue",Arial,Helvetica,sans-serif; text-align: justify;">
<span style="font-size: small;"><br /></span></div>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-33791609672750736572012-05-03T11:26:00.002+07:002012-05-03T11:28:15.556+07:00Ketika Peran Guru Digantikan Internet<div style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
</div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; margin-bottom: 6pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Oleh: M. Faisol Fatawi</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Kemajuan teknologi di era modern telah
berdampak nyata dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Dalam dunia industri
misalnya, kecanggihan mesin semakin memacu produktifitas perusahaan. Di sisi
lain, canggihnya mesin mulai menggeser peran para pekerja di pabrik-pabrik,
sehingga ancaman pengangguran menjadi momok yang ditakuti oleh semua orang.
Ternyata, tidak semua kemajuan teknologi berdampak positif terhadap kehidupan
umat manusia. Kemajuan teknologi tetap saja meninggalkan ambiguitas di tengah
ruang kehidupan manusia. Bagaimana dengan dunia pendidikan?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Ternyata kenyataan yang sama juga
dapat kita temukan dalam dunia pendidikan. Kemajuan teknologi dan temuan-temuan
barunya telah menyisakan ruang ambiguitas; efek positif dan sekaligus negatif.
Jika dilihat dari efek positif, kemajuan teknologi telah menyuguhkan alternatif
kemudahan dalam penyampaian materi pembelajaran. Buku cetak sekarang ini
digantikan dengan e-book; ratusan buku dapat ditenteng hanya melalui sebuah
layar monitor tablet; berbagai ragam program komputer menawarkan
fasilitas-fasilitas bagi seorang guru-peserta didik dalam proses pembelajaran;
pembelajaran berbasis e-learning; dan seterusnya. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Tetapi sebaliknya, efek positif yang
semestinya kita manfaatkan itu justru seringkali tidak berarti apa-apa di
tengah proses pembelajaran, baik bagi guru/pengajar maupun peserta didik. Yang
sering kita saksikan, kelas-kelas dilengkapi dengan fasilitas LCD tetapi tetap
saja tidak berdampak positif bagi kemajuan mutu kompetensi peserta didik.
Komputer yang canggih seringkali hanya menyulut cara-cara “meng-<i>copy-paste</i>”
ketika mengerjakan karya ilmiah. Pengajar/dosen pun tak kalah dengan
mahasiswa/peserta didiknya. Tak jarang, mereka beramai-ramai berselancar
melalui dunia maya demi mencari data hanya sekedar untuk di-<i>copy</i> ulang. Alih-alih
berkarya dengan menulis buku, artikel, cerita atau karya-karya yang lain.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">“Setiap kalian menjadi pemimpin bagi
dirinya masing-masing,” demikian bunyi petikan hadits nabi Saw. Itu artinya,
bahwa setiap orang semestinya bisa mengarahkan dirinya senidiri dalam setiap
tindakan yang dilakukan. Efek positif dan negatif dari kemajuan sebuah
teknologi bergantung pada bagaimana masing-masing orang mensikapinya. Bisa
menjadi senjata untuk mempertahan diri atau justru menjadi senjata makan tuan.
Di sini, kesiapan atau kematangan mental seseorang sangat dibutuhkan dalam
menerima, mensikapi dan memperlakukan kemajuan teknologi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Dalam sebuah diskusi singkat, seorang
sahabat mengusulkan pentingnya untuk melakukan terobosan kuliah melalui dunia
maya (baca: internet). Menurutnya, kuliah melalui dunia maya menjadi kebutuhan
mendesak untuk konteks modern seperti sekarang ini. Seorang dosen cukup duduk
di depan internet, meng-<i>upload</i> bahan-bahan perkuliahan atau bahan ajar.
Sementara peserta didik/mahasiswa tinggal mengunduh dan mempelajarinya.
Pengajar dan peserta didik cukup bertemu saat ujian tengah semester atau ujian
akhir semester. Ide seperti ini sangat bagus. Cerita mengenai topik diskusi ini
hanya sekedar gambaran akan besarnya dampak kemajuan teknologi dalam dunia
pendidikan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Yang lebih penting dari semua itu,
ternyata kemajuan teknologi—jika kita rasakan—membawa kita untuk merenungkan
kembali eksistensi diri sendiri, Dalam konteks dunia pendidikan, eksistensi
diri sendiri itu bisa berarti pengajar, dosen atau guru di satu sisi, peserta
didik, mahasiswa atau murid di sisi lain. Di tengah gegap-gempitanya teknologi,
eksistensi diri harus terus dimaknai agar tidak terjebak pada pusaran
ambiguitas akibat dari apa yang “tak
terpikirkan” dari sebuah kemajuan teknologi.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Contoh nyatanya adalah eksistensi diri
seorang pengajar dalam kaitannya dengan dunia maya (baca: internet). Secara
praktis, internet sekarang ini telah menggantikan peran dan fungsi seorang guru
atau dosen. Sejak dahulu kala, seorang
guru atau dosen diyakini sebagai sumber ilmu pengetahuan. Seorang guru agama,
mengajarkan kepada muridnya tentang ilmu-ilmu pengetahuan agama. Seorang guru IPA
mengajarkan kepada muridnya tentang teori-teori IPA. Begitu juga dengan
guru-guru atau dosen-dosen yang lain. Tetapi masalahnya, sekarang ini seseorang
mampu mendapatkan informasi tentang ilmu pengetahuan apapun hanya dengan
berselancar dalam dunia maya (internet). Pengetahuan atau informasi apa yang
tidak bisa diperoleh dari sebuah “kiai Google.com”. Semua ini artinya, bahwa antara
guru atau dosen dengan internet sama-sama memainkan fungsi dan peran yang sama,
yaitu sebagai pentransfer ilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya peran dan
fungsi yang dimainkan oleh seorang guru-dosen dengan internet sebagai dalam hal
mentransfer ilmu pengetahuan? Bukankah ilmu pengetahuan atau teori-teori yang
disampaikan oleh seorang guru atau dosen di dalam kelas, dapat kita dapatkan
pula melalui dunia maya?</span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;">Mungkin sudah tidak saatnya bagi para
guru-dosen untuk melihat fungsi-peran dirinya sebagai pentransfer ilmu
pengetahuan atau sumber informasi. Sudah saatnya kita keluar dari manstrem guru-dosen-pengajar
sebagai sumber pengetahuan. Kita perlu untuk manfsirkan ulang eksistensi diri
kita sebagai guru, dosen atau pengajar; mencari makna lain atas fungsi dan
peran dirinya. Makna baru itu bisa saja bahwa guru, dosen atau pengajar adalah
seorang motivator, inisiator, fasilitator dan atau makna-makna progresif
lainnya yang mampu menumbuhkan gerak kreatifitas dan kemandirian dalam jiwa
peserta didik. Jika kita tidak mampu memaknai eksistensi diri kita sebagai
guru, dosen atau pengajar di tengah arus mmodrnitas seperti ini, maka kita akan
tergerus dalam ruang ambiguitas yang tercipta dari tangan-tangan teknologi yang
semakin canggih. <b>[mff]</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="font-family: Times,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">
<br /></div>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-38717696629660064212012-05-02T10:00:00.001+07:002012-05-02T10:00:27.881+07:00Membincang Kehidupan Pasca Bumi<div style="text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 115%;"></span><span lang="IN" style="font-size: 14pt; font-weight: normal; line-height: 115%;"></span>
</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Oleh: M. Faisol Fatawi</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-weight: normal;">Baru-baru ini, sebuah surat kabar nasional, memuat
sebuah tulisan yang bertajuk “Bersiap Menuju Mars” yang ditulis oleh M. Zaid
Wahyudi. Dalam tulisan itu disebutkan mengenai obsesi manusia untuk menjadikan
planet Mars sebagai “bumi” alternatif yang dapat dijadikan tempat berpijak dan
sekaligus untuk menopang kehidupan mereka. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-weight: normal;">Sejak awal, planet Mars dipilih oleh para peneliti
antariksa dari berbagai Negara, seperti Amerika, Rusia dan beberapa Negara maju
yang lain, karena Mars-lah planet yang paling mungkin didarati oleh manusia;
kondisi geologis Mars memiliki kesamaan dengan bumi. Daratannya berupa kawah
gunung yang luas, ada gunung api, danau yang mengering, terdapat bekas daerah
sapuan air dan bahkan ditemukan kehidupan renik di bawah lapisan es. Maka tak
pelak, berbagai penelitian pun dilakukan demi mewujudkan ambisi “menaklukkan” Mars.
Diperkirakan, pendaratan akan terlaksana pada tahun 2035-2040 mengingat
jaraknya dari bumi mencapai78,34 juta kilometer; atau sekali perjalanan menuju
ke sana butuh waktu 9 bulan.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-weight: normal;">Yang tak kalah menarik dalam tulisan itu adalah
bahwa sebuah perusahaan pengiriman manusia, Virgin Galactic, pada tahun 2012
siap mengirimkan turis luar angkasa ke bulan, meskipun ini bukan pengiriman
yang pertama (atau setelah pada tahun 2001, Denis Tito berhasil menjadi turis
luar angkasa pertama). Harganya pun tidak tanggung-tanggung, per orang cukup
merogoh kocek sebesar sekitar 1,8 milyar untuk mewujudkan impiannya menjadi
turis luar angkasa.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-weight: normal;">Sungguh berita yang luar biasa. Membaca berita
tersebut, saya jadi teringat sebuah ayat al-Qur’an yang menyatakan: “<i>Sesungguhnya
bumi-Ku sangat luas, maka berhijrahlah di dalamnya</i>.” Pengertian bumi,
sebagaimana dalam ayat tersebut, dalam pemahaman umat Islam atau bahkan dalam
tafsir-tafsir yang ada, dipahami sebagai bumi yang sekarang ini dijadikan
tempat berpijak oleh semua umat manusia. Jika obsesi para ilmuwan untuk
menjadikan planet Mars sebagai alternatif tempat kehidupan manusia menjadi
kenyataan, maka mau tidak mau pengertian bumi tidak dapat lagi kita pahami
sebagai tempat yang sekarang ini dihuni oleh bermilyar-milyar manusia.
Pengertian bumi, sebagaimana dalam ayat al-Qur’an tersebut di atas, tentunya
tidak lain adalah sebuah arti <i>majazi</i> mengenai tempat, dimana didalamnya
manusia dan makhluk-makhluk lainnya bisa hidup. Dengan demikian, Mars dan
planet-planet yang lainnya bisa jadi masuk dalam perngetian bumi (<i>al-ardl</i>)
seperti yang singgung oleh ayat tersebut di atas.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-weight: normal;">Pembacaan seperti itu tidak bermaksud untuk
melakukan penafsiran ayat al-Qur’an secara <i>ilmiy</i>. Artinya, memahami
maksud al-Qur’an sesuai dengan teori-teori keilmuan modern untuk menemukan apa
yang disebut dengan kemukjizatan ilmiah dalam al-Qur’an. Saya mungkin termasuk
orang yang tidak sependapat dengan model penafsiran <i>ilmiy</i> terhadap <i>kalam</i>
Allah yang suci. Karena, turunnya
al-Qur’an pada awalnya bukan merupakan kitab yang memuat teori ilmu
pengetahuan, sehingga al-Qur’an tidak terjebak pada keberpihakan pada teori
tertentu. Tetapi, lebih merupakan fakta bahasa yang mengusung nilai-nilai moral
(<i>moral values</i>) dengan tujuan untuk membangun moral umat manusia sehingga
dapat mencapai kehidupan yang utama. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-weight: normal;">Harus disadari, setiap pembacaan, penafsiran atau
usaha apapun yang dilakukan untuk memahami bahasa al-Qur’an memiliki
keterbatasan masing-masing. Keterbatasan ini muncul karena perbedaan modal
pengetahuan dan <i>intellectual imagination</i> yang dimiliki oleh
masing-masing orang. Oleh karena itu, setiap penafsiran tidak patut mengklaim
dirinya sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. Maksud <i>kalam</i> Tuhan pasti
tidak akan pernah dipahami oleh manusia secara benar dalam pengertian sesuai
dengan apa yang dimaksudkan oleh-Nya. Klaim kebenaran seseorang atas hasil
pemahamannya terhadap <i>kalam</i> Tuhan tidak lain merupakan wujud dari
ketidak-mampuannya dalam memahami eksistensi dirinya sendiri.</span><span lang="IN" style="font-weight: normal;"></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Perbincangan mengenai
kemungkinan planet Mars atau planet-planet lainnya yang kelak mungkin dapat
menjadi alternatif “tempat berpijak” bagi makhluk hidup, juga mengingatkan kita
semua pada perdebatan klasik tentang akhir kehidupan dunia; apakah dunia ini
kekal atau tidak. Predeksi bahwa planet Mars atau ada planet lain yang—seiring
dengan evolusi alam—merupakan hal yang mungkin akan menjadi kenyataan.
Seseorang akan membayangkan, bumi yang semakin tua usianya ini dari hari ke
hari semakin menahan beban (berbagai macam kerusakan akibat ulah tangan
manusia) sehingga suatu saat menjadi tempat yang sangat tidak layak untuk
dihuni. Ketika hal ini terjadi, maka sangat mungkin bumi yang sekarang ini
menjadi tempat berpijak kita akan ditinggalkan para penghuninya. Tetapi kapan? <i>Wallahu
al’am</i>. Kita tidak bisa memastikannya. Bumi kita ini akan digantikan dengan
planet (baca: bumi) yang lain. Inilah akhir kehidupan di bumi, tetapi tidak
bagi kehidupan umat manusia. Manusia akan berhijrah ke planet lain yang layak
dihuni seiring dengan evolusi hukum alam. Kalau seperti ini benar adanya, maka barakhirnya
kehidupan umat manusia dan segala yang mengitarinya (sifat fana’), menjadi hal
yang mustahil. Kalau ini terjadi, mungkin kita patut merenungkan pendapat
filosof Ar-Razi yang meyakini bahwa dunia ini kekal, bukan fana’. </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span lang="IN" style="font-weight: normal;">Melalui kemajuan
teknologi, manusia terus melakukan eksplorasi terhadap segala isi jagat raya
ini. Kalau memang temuan dan terobosan para ilmuwan tentang kemungkinan adanya kehidupan
di luar bumi (seperti planet Mars dan planet-planet lainnya) itu benar, maka
mungkinkah kehidupan bumi akan berakhir (tidak kekal)? Atau temuan itu malah
semakin menguatkan tesis sang filosof Ar-Razi tentang adanya kekekalan
kehidupan di dunia? Setidaknya kemajuan tekonologi modern dan berbagai temuan
yang dihasilkannya, akan mengusik diskusi-diskusi lama tentang sifat kekekalan
kehidupan dunia ini.<b> [mff]</b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-33685572567621976962012-05-01T09:42:00.000+07:002012-05-01T09:56:00.373+07:00Islam Antroposentris: Kritik atas Kemunduran Islam Oleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Kesadaran bahwa umat Islam berada dalam kemunduran sudah dirasakan hampir satu abad yang lalu. Titik balik inilah yang melahirkan kesadaran baru, yaitu kebangkitan Islam (ashr al-nahdlah) dan pembaharuan Islam (tajdid al-islam)—terlepas dari beberapa ragam istilah yang digunakan. Isu kebangkitan islam diusung di berbagai belahan negara muslim atau yang mayoritas berpenduduk muslim. Kesadaran kebangkitan atau pembaharuan Islam sudah dimulai sejak Rifa’ah Thohthowi, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridho dan lain-lain, dan terus berlanjut sampai sekarang di tangan para pemikir muslim seperti Abed al-Jabiri, Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Jasser Audah dan seterusnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tentunya, kebangkitan atau pembaharuan Islam tidak dimaksudkan mengubah atau memodifikasi ajaran dasar Islam, dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran yang baru, yang disesuaikan dengan semangat zaman kekinian dan berbeda dengan sebelumnya. Pembaharuan islam tidak lain adalah usaha untuk memahami ulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dan sumber-sumber tradisi lain yang mengiringinya, sehingga islam sebagai agama mampu merespon dan menjawab tantangan hidup yang dihadapi oleh umatnya. Arkoun menyatakan, bahwa al-Qur’an sebagai korpus resmi tertutup bersifat final. Al-Qur’an tidak akan dapat digantikan dengan teks-teks yang lain, karena memang proses pewahyuannya sudah berakhir seiring dengan wafatnya nabi Saw. Tetapi sebafai knrpus resmi terbuka, al-Qur’an telah menyedot banyak perhatian para ilmuan maupun intelektual, muslim maupun non-muslim; menjadi objek pembacaan dan pemahaman yang darinya lahir berbagai teks keagamaan yang dalam titik tertentu dijadikan sebagai sumber rujukan melebihi teks al-Qur’an itu sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
Terdapat dua hal yang menyebabkan jumudnya Islam di tengah arus perubahan sosial yang semakin hari semakin menuju titik kemajuan akibat gerak modernitas yang tak terbendung.<i> Pertama</i>, miskin teori atau metodologi. Era kodifikasi (ashr al-tadwin) merupakan fase titik kemajuan yang dicapai umat Islam pada abad pertengahan. Di era ini lahir para ilmuan muslim; mereka menulis berbagai buku, menteorisasikan hasil temuannya, baik di bidang sains maupun agama. Al-J`biri menggambarkan era kodifikasi ini sebagai titik puncak kemajuan dimana didalamnya terjadi proses ideologisasi, dekonstruksi dan negosiasi budaya. Namun sayangnya, semangat kreatifitas (al-ibda’) pasca era ini tidak dapat diwarisi dengan baik oleh generasi berikutnya. Akibatnya, pasca era kodifikasi lebih banyak melahirkan intelektual-intelektual yang memagng teguh semangat syurrah (memberi anotasi) dan naql (menukil dan menukil); memberi anotasi dan menukil karya-karya ulama terdahulu. Semangat kreatifitas dipasung oleh jargon “tertutupnya pintu ijtihad”. Akibatnya, karya-karya para pendahulu dianggap sebagai rujukan yang dalam batas tertentu jatuh pada sikap pentakdisan berlebihan. Hilangnya ruang kreatifitas dalam batin generasi belakangan inilah yang disinyalir oleh al-Jabiri menjadi penyebab munculnya krisis teori.</div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kedua</i>, menafikan dimensi sejarah. Sejarah merupakan aspek yang mengiringi dalam setiap lahirnya teks. Keduanya tidak dapat dipisahkan, terlepas dari saling keterpengaruhan yang mengiringinya. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, kadang sebuah teks itu lahir karena adanya dorongan konteks yang berada di luar teks. Dalam kasus al-Qur’an, kita mungkin banyak menemukan adanya ayat-ayat yang diturunkan karena dorongan konteks atau peristiwa tertentu. Inilah yang dalam ulumul qur’an dikenal dengan asbabun nuzul. Artinya, bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tertentu yang proses pewahyuannya didorong atau didahului oleh peristiwa tertentu. Di pihak lain, teks juga mampu mempengaruhi realitas di luar teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Prosesnya bisa terjadi dalam rentang waktu yang singkat atau lama. Al-Qur’an misalnya, sebagai sebuah teks telah mampu mengubah realitas masyarakat Arab yang pagan dan tribal, menjadi penganut agama tauhid dan menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan-persamaan. Jika saja al-Qur’an dalam proses pewahyuannya tidak dapat dipisahkan dari proses dialektika teks-konteks, maka menafikan aspek sejarah dalam memahami teks-teks keagamaaan, al-Qur’an khususnya dan teks-teks yang terlahir darinya (kutub al-turats), dapat memandulkan agama dalam menjawab tantangan relitas kekinian yang dihadapi umat Islam. Setidaknya, sikap penafian terhadap sejarah tergambar dalam cara umat Islam dalam memperlakukan kutub al-turats yang berlebihan; pensakralan terhadap pemikiran ulama terdahulu (taqdis al-afkar). Ini merupakan implikasi logis dari faktor pertama.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua hal tersebut diatas mengarahkan imaginasi sosial umat Islam berada dalam kungkungan logosentrime. Seorang muslim tidak lagi dapat mengungkapkan diri kecuali melalui media bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat dicarikan jawabannya pada teks-teks keagamaan dan atau teks-teks otoritatif lainnya. Teks bersifat statik dan memiliki konteksnya, sementara realitas yang mengiringi setiap generasi terus bergerak dinamis dan menyisakan tantangannya sendiri. Akibatnya, muncul kebuntutan dalam merespon dan mencari jawaban atas tantangan yang berkembang di tengah masyarakat, sehingga mengentikan roda peradaban Islam.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemanusiaan <i>vs </i>Ketuhanan</div>
<div style="text-align: justify;">
Islam diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Berbagai persoalan kemanusiaan, seperti dekadensi moral, pembunuhan anak perempuan yang tak berdosa, penindasan, kezaliman, kesewenang-wenangan dan seterusnya, merupakan persoalan nyata yang dihadapi oleh Rasulullah Saw ketika diperintahkan untuk mendakwahkan Islam. Persoalan kemanusiaan menjadi perhatian utama dalam dakwah kenabian. Bahkan dalam hal memberi putusan hukuman, Rasulullah pun lebih mendahulukan pendekatan pada sisi kemanusiaan ketimbang sisi yang lain. Sisi legal hukum dijalankan ketika pendekatan kemanusiaan mengalami jalan kebuntuan. Rasulullah pernah bersabda: “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji.” Setidaknya, sabda ini menunjukkan betapa sebuah agama itu hadir untuk kemaslahan umat manusia.</div>
<div style="text-align: justify;">
Memang, era Rasulullah bukanlah era kita sekarang ini. Tetapi, persoalan kemanusiaan tetap saja menjadi fokus utama yang disoroti oleh agama Islam. Kita sekarang hidup di era modern dan global yang ditandai dengan kemajuan teknologi di berbagai aspek kehidupan. Modernitas berpengaruh pada perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat Tuhan, diri dan alam sekitarnya. Berbagai persoalan sebagai akibat dari modernitas dan globalisasi menjadi tantangan nyata bagi umat Islam; masalah demokrasi, HAM, pluralisme, kemiskinan, minoritas muslim, fundamentalisme, terorisme dan setersuanya. Inilah persoalan kontemporer yang juga menjadi tantangan bagi agama Islam dalam konteks sekarang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Miskin teori dan penafian sejarah yang menyebabkan mandegnya pemikiran Islam, semakin menjauhkan umat Islam untuk merespon persoalan dan tantangan zaman. Pendekatan yang dipakai mengandalkan teks-teks; jawaban-jawaban dikembalikan kepada teks-teks keagamaan melalui kerangka teologi yang bersifat ketuhanan an sich. Sebuah cara penyelesian persoalan yang berangkat dari frame ketuhanan, dan jauh dari realitas yang sebenarnya. Tentunya menjadi sebuah ironi, jika sistem akidah dalam agama disederhanakan kedalam persoalan-persoalan ketuhanan (teologi). Persoalan ketuhanan hanya salah satu hal dari sekian banyak hal yang menjadi perhatian Islam. Bahkan kalau boleh dikatakan, persoalan kemanusiaan mendapat perhatian jauh lebih besar katimbang persoalan ketuhanan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Agar agama tidak nampak semakin mandul dalam mensikapi berbagai persoalan kontemporer, maka menarik untuk menyimak tawaran dan kritikan yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi. Hanafi menyerukan untuk menjadikan aspek-aspek dan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari sistem teologi Islam. Sehingga teologi Islam tidak lagi hanya mendiskusikan persoalan ketuhanan, tetapi persoalan kemiskinan, penindasan, HAM, pluralisme dan seterusnya menjadi bagian dalam sistem teologi Islam; antroposentris. Paradigma yang dipakai adalah memahami Tuhan melalui realitas sosial dan problem yang mengitarinya. Bukan memahami Tuhan melalui dzat, sifat dan atau atribut yang menyertainya sebagaimana yang telah didiskusikan dalam teologi klasik.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pandangan Hanafi ini mungkin lebih mirip cara kaum sufi untuk mengenali Tuhan. Yaitu, “siapa mengetahui dirinya (baca: manusia), maka akan mengetahui Tuhannya.” Tetapi, tentunya tidak dalam kerangka untuk ber-ekstasi atau meleburkan diri dengan-Nya. Memahamh diri (manusia) dan segala yang melingkupinya untuk melakukan perubahan sosial menuju gerak kemajuan peradaban umat Islam. Antroposentrisme merupakan paradigma teologi yang menantang kita untuk membangun kreatifitas manusia agar tidak pasrah pada nasib, dan melakukan transformasi sosial. Bukankah “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri”?[MFF]</div>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-52435914768205860752009-12-27T22:27:00.000+07:002009-12-27T22:27:13.369+07:00Pergulatan Awal Islam di NusantaraOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Studi tentang sejarah penyebaran Islam memang sudah banyak dilakukan. Tapi, semua itu lebih banyak menekankan pada aspek perlakuan masyarakat Islam terhadap masyarakat non-Islam. Tak demikian dengan buku Agama dan Perubahan Sosial yang merupakan hasil penelitian lapangan tentang penyebaran Islam. Buku yang mengambil sampel di Aceh, Malaka, Patani, Ternate, Goa-Talo, dan Lombok ini merumuskan suatu kerangka teoritis seputar tipologi penyebaran Islam dan pembentukan formasi sosial masyarakat islam di Indonesia. Hasilnya: terlihat adanya hubungan erat antara agama dan pembentukan formasi sosial pada tingkat ekonomi, politik, dan budaya melalui peranan produksi, sirkulasi, dan konflik elit.<br />
Setelah runtuhnya dominasi Cina dan India, dan jatuhnya Mesir ke tangan pasukan Kristen, imperium Islam di Timur Tengah mulai kehilangan monopolinya. Orang-orang Arab mulai membentuk koloni-koloni pedagang yang kemudian berlanjut pada perkawinan campur. Koloni-koloni itu selanjutnya merebut posisi kunci penguasa lokal non-Islam. Nah, keterkaitan antara penyebaran Islam, kepentingan politik dan ekonomi inilah yang menyebabkan citra kekuatan Islam bersifat ekspansionistis.<br />
Setidaknya, citra itu terlihat pada proses penyebaran Islam di Aceh. Pada awalnya Islam datang ke Aceh (Sumatra Utara) dibawah para pedagang Islam –yang membentuk koloni-koloni-- lewat pelabuhan. Beberapa daerah pelabuhan mulai mereka taklukkan. Hal itu beriringan dengan menguatnya koloni-koloni tersebut. Posisi ini diperkuat lagi dengan pemberian hak istimewa oleh pihak kerajaan setempat, baik secara politis maupun ekonomis, kepada koloni-koloni tersebut. Dengan demikian, mereka melakukan konglomerasi dan menggempur kekuasaan Hindu atau Budha. Di sini, Islam menemukan kesadaran oposisional dan berfungsi sebagai ideologi. Pluralitas masyarakat Aceh kemudian bergerak menuju hegemonisasi ideologi (Islam).<br />
Tak demikian dengan penyebaran Islam di Malaka, Patani, Ternate, dan Goa-Talo. Wajah penyebaran Islam di wilayah ini lebih mengarah pada pribumisasi Islam, jauh berbeda dengan yang terjadi di Aceh. Ketika Islam datang di negeri-negeri ini, pusat kekuasaan lokal (Molutu Kei Raha) sudah terbentuk dan memiliki basis legitimasi geneologis-teritorial yang kuat. Karena itu, fase awal islamisasi di negeri-negeri ini tidak memberikan landasan yang cukup untuk pembentukan negara Islam, malahan semakin menjauhkan diri dari kawasan politik dan ekonomi. Kehadiran Islam di sini seolah hanya sekedar memberi konfirmasi atas struktur yang ada. Ia hanya memanifestasikan diri dalam bentuk kebudayaan yang lebih riil.<br />
Selain itu, model penyebaran Islam di daerah Indonesia yang lain adalah sinkretisme antara Islam dengan religi lokal yang telah berakar kuat. Ini tampak dalam proses islamisasi di wilayah Lombok. Beberapa konflik mewarnai hubungan Islam dengan kultur lokal, seperti konflik antara Islam ortodoks (wetu lima) dengan wetu telu, para perwangsa dengan triwangsa, serta perpecahan internal antara kelompok Islam dan kelompok ajaran pagan. Namun, buah dari konflik itu justru meghasilkan dialog atas dasar negosiasi “adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat”. Ini merupakan akumulasi tertinggi hasil negosiasi dua kultur yang sama kuatnya.<br />
Singkat cerita, buku yang merupakan hasil wawancara langsung dengan penduduk setempat ini memberikan cakrawala lebih luas tentang sejarah kedatangan Islam di bumi Nusantara, khususnya teori model penyebaran Islam.[mff]<br />
<br />
<br />
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Gamma Nomor 26 Tahun III, 15-21 Agustus 2001M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-78539430009556474532009-12-27T22:23:00.002+07:002009-12-27T22:23:57.643+07:00Islam dan PembebasanOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
• Islam: Sebuah Transendensi Yang Menyejarah. Islam memuat sistem nilai yang luhur dan tinggi (baca: Par Excellence). Sebagai agama yang menurut al-Qur’an merupakan keturunan spritual Ibrahim, ia mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Hidup melalui perantaraan para nabi-Nya: Kebenaran hanya milik dan ada di tangan-Nya, dan segala gerak-ruang-waktu yang ada bersumber dari-Nya. Keberadaan Islam adalah untuk menyatakan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mengikuti ajaran-ajaran-Nya sebagai kesadaran kognitif dalam tindakan pemeluknya. Ini berarti bahwa Islam sebagai agama yang ada, melibatkan diri dalam segala sesuatu yang bersifat profan dari keseluruhan tindakan dan peristiwa sejarah yang dilakukan manusia. Ketika agama menekankan kepercayaan terhadap kehidupan akhirat misalnya, sebenarnya ia sedang membantu manusia yang fana-manusiawi dalam kesungguhan upayanya menempuh jalan kebaikan universal dan merajut nilai-nilai keabadian. Mendistorsi agama pada sejumlah ritus-ritus dan kegiatan sekuler belaka, tanpa mendialogkan dengan transendensi nilai yang dikandung, sama dengan membangun dunia yang absurd dan tidak bermakna. Penolakan untuk mengaitkan transendensi dengan berbagai petualangan [peristiwa] sejarah yang profan justru merupakan ungkapan dari “kegagalan” seorang dalam beragama.<br />
• Wahyu, Kenabian dan Perubahan Sosial. Allah menurunkan wahyu kepada umat manusia melalui nabi-Nya guna menciptakan, merencanakan dan mengarahkan semua urusan alam dan manusia menurut kehendak-Nya. Secara teologis, ini berarti bahwa Allah adalah sumber segala kekuatan, pengetahuan, kebijaksanaan, keadilan dan kasih sayang. Wahyu berarti suatu cara yang diajarkan kepada nabi-Nya untuk memahami dan mengubah realitas dalam sejarah keselamatan manusia. Apabila nabi Adam berjuang menentang kebodohan dan kezaliman, Hud menentang orang-orang yang arogan (mustakbirin), Saleh memperjuangkan kesetaraan, Ibrahim menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, Syu’aib melawan ketidakadilan ekonomi, Musa membebaskan kaum buruh, Isa memimpin kaum lemah, maka Muhammad memperjuangkan berdirinya sebuah tatanan sosial manusia yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur kebenaran, kesetaraan sosial dan persaudaraan. Betapapun struktur fundamental, lembaga-lembaga, adat-istiadat, hukum-hukum, moral-moral masyarakat di zaman mereka berbeda-beda, tetapi kehadiran mereka sama-sama menyerukan kebenaran, mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang tertindas dan membawa kesetaraan dan persaudaraan kepada mereka. Mereka hidup, bekerja dan bejuang di dalam sebuah masyarakat atau zaman pra-feodal dan pra-ilmiah di mana agama menjadi bahasa idiom dan metode untuk menafsirkan atau mengekspresikan realitas. <br />
• Hermeneutika Keimanan; Masalah Tauhid-Taqwa. Tauhid dan taqwa merupakan pilar terpenting dalam ajaran agama Islam. Secara implisit, pengakuan atas ke-esaan Tuhan dan taqwa sebagai instrumen fundamental dalam mewujudkan hakekat kemanusiaan, mengingatkan kepadanya pada pertama, persoalan ketuhanan atau akidah (ilahiyat), dan kedua, persoalan kemanusiaan (insaniyah) secara bersamaan. Dalam prilaku beragama, semestinya konsep tersebut (tauhid-taqwa) mempunyai implikasi signifikan: mendorong seseorang untuk melakukan pemahaman secara terus-menerus, memberikan keseimbangan estetis dan relegius-spiritual dalam kehidupan, dan menumbuhkan komitmen pemeluk agama dalam proses berdialog antara dirinya dengan perubahan realitas sosial.<br />
• Teologi Pembebasan: Dari Kesadaran Menuju Aksi. Dalam sejarah Ilmu Keislaman, formulasi teologi klasik menitik-beratkan pada persoalan-persoalan dogmatis-metafisis: surga-neraka, keadilan Tuhan, qada’-qadar dst. Persoalan ketuhanan (Ilahiyat) lebih menjadi fokus perdebatan dan kajian. Karenanya kategori yang muncul kemudian adalah mukmin-kafir-fasiq atau Dar al-harb-Dar al-Islam, dan melahirkan perebutan klaim kebenaran (Truth Claim) antar sesama. Ini pada gilirannya hanya memproduksi wacana-wacana yang berwatak eksklusif, yang teralienasi dari persoalan-persoalan kekinian misalnya saja kemiskinan, ketertindasan kaum buruh (proletar), hak asasi manusia, konflik ras, agama, suku dan sebagainya. Lalu apa peran teologi atau agama di tengah persoalan kemanusiaan yang sangat kompleks tersebut, jika ia hanya mampu memproduksi masalah ketuhanan? <br />
Sampai sini, kita mesti meformulasikan kembali sikap “berteologi” atau “beragama” dengan membangun landasan paradigmatisnya. Ada empat unsur paradigmatis yang menjadi semangat agama [Islam] dalam sejarah pembebasan umat manusia; 1) Kemerdekaan (al-Hurriyah), kemandirian seorang hamba [manusia] sebagai hasil karya penciptaan Allah yang Maha Tinggi, 2) Persaudaraan (al-Ukhuwah), rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemajemukannya, 3) Keadilan Sosial (al-Adalah), bukan sekedar persamaan, namun pencukupan syarat atau sarana dasar kehidupan bagi semua, 4) Kemanusiaan (al-Insaniyah), cinta kepada kemanusiaan. Karena itu, “berteologi” atau “beragama” tidak saja melaksanakan amalia ritual-individu, tetapi lebih dari itu membangun dunia dalam rangka pembebasan umat manusia. Jika teologi klasik merupakan keyakinan yang didasarkan pada apriori dan usaha apologetis untuk memahami Tuhan, maka teologi yang membebaskan merupakan usaha-usaha metodis untuk memahami dan menafsirkan kebenaran wahyu dengan menitik-beratkan pada wilayah praksis. Selanjutnya, yuk diskusi bareng...![mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-8825942987562137612009-12-27T22:21:00.000+07:002009-12-27T22:21:15.127+07:00Menafsirkan Jejak Politik Penaklukan Nabi MuhammadOleh: M.Faisol Fatawi<br />
<br />
Ketika membaca sirah nabi Muhammad, selalu terbayang di benak kita akan dua gambaran sekaligus yang menyatu dalam dirinya. Yaitu, wajah ketuhanan yang menjelma dalam kepribadian dan perilaku beliau melalui wahyu yang diturunkan kepadanya, dan sosok manusia biasa yang hidup bersama dengan masyarakat di sekitarnya. Namun demikian, sosok beliau sebagai manifestasi penyambung "lidah" Tuhan selalu diyakini oleh mayoritas umat Islam, sehingga yang tampak di hadapan mereka adalah sirah kenabian yang sakral.<br />
Tidak demikian dengan Khalil Abdul Karim. Pemikir Mesir yang dicap dengan sebutan the red syaikh ini membaca sirah nabi melalui dimensi kemanusiaan yang melekat dalam dirinya dengan spektrum yang lebih luas. Tidak saja nabi Muhammad sebagai panutan teologi yang--diyakini ma'shum--dikontrol oleh wahyu, tetapi sekaligus seorang politikus, diplomat ulung, revolusioner, komandan perang, pimpinan kharismatik, dan lain sebagainya. Seluruh fragmen kehidupan nabi semestinya ditempatkan sebagai normal human being, serta dikaji secara ilmiah dan objektif.<br />
Islam adalah misi dakwah ketuhanan utama yang harus disampaikan oleh nabi Muhammad. Secara de facto, tantangan "ideologis" yang membentang di depan kesuksesan misi Islam tidak lain adalah jahiliah. Agar Islam bisa menjadi tegak, maka kehidupan jahiliah yang sudah bercokol di muka bumi jazirah Arab harus dihilangkan, dan membangun tatanan baru yang dapat menggantikan dan mewakili tatanan sebelumnya. Membangun tatanan baru sebagai ganti atas tatanan jahiliah yang telah mengakar berabad-abad sebelumnya, bukanlah hal yang mudah dilakukan. <br />
Upaya pembangunan itu tidak cukup dengan seruan-seruan teologis dan moral, tetapi juga negosiasi-negosiasi yang cukup alot. Karena, tatanan kehidupan yang hendak dibangun meliputi seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik, ekonomi maupun agama. Semua itu mengharuskan adanya pengujian dan penilaian ulang dengan parameter-parameter yang dibawa oleh Islam.<br />
Dalam jarak waktu yang tidak lebih dari tiga puluh tahun, Islam telah mewarnai dan menggeser tatanan kehidupan jahiliah. Dengan sangat cerdik, nabi menggunakan simbolisasi, mitologi dan metafor dalam pencitraan diri sebagai pembawa kultur baru (Islam). Mekanisme ini terus berlangsung sebagai bagian dari proses penundukan tatanan kehidupan lama.<br />
Momen paling penting yang menunjukkan kesuksesan besar nabi Muhammad dalam bernegosiasi dengan pelaku kultur setempat (jahiliah) adalah fase yang oleh Khalil Abdul Karim disebut dengan am al-wufudl (Tahun Delegasi). Fase ini mencakup separoh masa yang dihabiskan nabi Muhammad di Yatsrib (Madinah), yakni sekitar lima tahun. Dalam tahun-tahun inilah nabi melakukan negosiasi untuk menaklukkan tatanan jahiliah yang sesunguhnya.<br />
Sepanjang am al-wufudl (Tahun Delegasi), tidak kurang dari tujuh puluh utusan (delegasi) dari berbagai lapisan suku masyarakat Arab telah bertemu dengan nabi. Dalam menerima delegasi, nabi memberi penghormatan yang lebih, misalnya memberi julukan yang bersifat sanjungan kepada delegasi dengan sebutan tertentu (seperti pada delegasi Abd al-Qais), menghadiai binatang ternak, menyiapkan jamuan makan secara istimewa, atau bahkan sekedar memberi doa (seperti pada delegasi Ahmas). Hal itu dilakukan dalam rangka memberikan service dan penghormatan yang memuaskan bagi para delegasi yang datang dari berbagai penjuru tanah Arab dengan latar belakang tradisi dan kultur masing-masing.<br />
Jumlah delegasi yang menghadap nabi pun bervariasi. Kadang, cukup diwakili satu orang, dan kadang sampai ratusan orang. Namun yang aneh adalah bahwa tidak semua delegasi yang datang kepada nabi menyatakan bergabung dengan panji Islam, meskipun secara nyata mereka menyatakan tunduk kepada beliau. Bahkan tak jarang secara diam-diam dan terang-terangan berbalik arah memusuhi (memerangi) nabi. Mengapa ini terjadi?<br />
Menurut Khalil, ada dua macam ketundukan yang ditampakkan oleh delegasi-delegasi masyarakat Arab kepada Muhammad. Pertama, ketundukan mereka pada otoritas negara Quraisy yang telah dibangun oleh Muhammad di Yatsrib sebagai realisasi impian leluhur tertingginya, Qushai bin Kilab. Kedua, ketundukan mereka memeluk Islam yang didakwahkan Muhammad. Hanya saja, ketundukan terhadap nabi sebagai pemegang otoritas politik negara Quraisy lebih dominan daripada murni agamis.<br />
Sampai sini tidak heran jika kita menemukan dua model keimanan yang berkembang di kalangan umat Islam pada era nabi. Pertama, keimanan secara akidah. Artinya, bahwa ada sebagian orang yang menyatakan ketundukan (iman) kepada nabi karena akidah (ajaran) yang dibawa oleh beliau, tanpa ada pertimbangan dan motif-motif politik. Kedua, keimanan secara politik. Artinya, ada sebagian orang yang menyatakan (iman) kepada nabi karena didorong oleh kepentingan politik tertentu. Kepentingan itu bisa berupa mendapatkan keselamatan dari ancaman suku lain, mendapatkan harta rampasan perang, mengharapkan suaka politik, dan lain-lain. Kesimpulan itulah yang dalam bahasa Muhammed Abid al-Jabiri disebut dengan al-iman fi al-akidah (keimanan secara akidah) dan al-iman fi as-siyasah (keimanan secara politik).<br />
Fase am al-wufudl telah menyiratkan bahwa sirah dakwah kenabian Muhammad merupakan sejarah yang sangat kompleks. Kompleksitas kehidupan sekitar yang dialami Muhammad (sebagai layaknya manusia yang lain) mengharuskan dan memaksanya untuk memerankan diri sebagai sosok yang betul-betul manusiawi. Karena faktanya Muhammad melayani kebutuhan-kebutuhan para delegasi yang beragam, maka kadang ia tampil dalam kapasitas sebagai penyeru ideologi baru (Islam), kepala negara Quraisy, atau bahkan komandan perang. Nabi tidak cukup menempuh dakwah dengan cara retorik.<br />
Dukungan yang datang silih berganti dari para delegasi masyarakat Arab selama am al-wufudl telah memotifasi Muhammad untuk mencerabut tatanan jahiliah dari bumi Arab, dan mendorongnya untuk segera membuat keputusan yang jitu. Kota Makkah adalah simbol kebesaran peradaban bagi masyarakat Arab. Mendapat dukungan dari para delegasi masyarakat Arab belum cukup sebelum menguasai kota Makkah. Dengan segera pada tahun ke 10 kenabian, nabi menguasai kota itu. Peristiwa besar ini di kenal dengan fath makkah (Penaklukan Kota Makkah).<br />
Khalil telah berhasil menelusuri fakta sejarah yang selama ini banyak diabaikan oleh sejarawan muslim pada umumnya dengan kesimpulan yang sama sekali bersebrangan dengan pandangan mayoritas. Pembacaan sejarah Khalil seperti menjadi tonggak baru dalam memahami sejarah dalam dunia Islam. Sebuah cara pembacaan sejarah yang tidak sekedar memahaminya sebagai pengetahuan tentang rentetan peristiwa yang harus dihapal. Ini berbahaya, karena hanya akan melahirkan cara berpikir yang ’superior’ di mata orang lain.[mf]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-24326902451879503902009-12-27T22:19:00.001+07:002009-12-27T22:19:11.675+07:00Nabi Muhammad dan Negara Arab-QuraisyOleh: M.Faisol Fatawi<br />
<br />
Akhir-akhir ini, tema tentang negara Islam menjadi bahan diskusi atau perbincangan di tengah para intelektual muslim. Seperti yang kita ketahui, ada dua arus besar dalam menanggapi isu itu. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa Islam telah mengenal dan bahkan mensyariatkan pemeluknya untuk menegakkan dan mendirikan negara Islam. Kelompok ini meyakini, bahwa perintah pendirian negara Islam itu ada dalam syariat Islam: syariat Islam harus ditegakkan dan harus didukung oleh negara, oleh karena itu harus ada negara Islam. Inilah yang telah dilakukan oleh Nabi Saw. di Madinah (negara Madinah). Menurut kelompok ini, menolak berdirinya negara Islam berarti telah melenceng dari syariat Islam.<br />
Berbeda dengan pandangan tersebut, kelompok yang kedua berpendapat bahwa konsep negara Islam tidak ada. Dalam syariat Islam (al-Qur'an) pun tidak ditemukan perintah untuk mendirikan negara Islam. Menjalankan syariat Islam tidak harus dengan mendirikan negara Islam. Bahwa eksperimentasi politik Nabi Saw. di Madinah (negara Madinah) lebih sekedar "tuntutan" sejarah dalam rangka menjalankan misinya. Oleh karena itu, masalah mendirikan negara Islam hanyalah masalah yang sama sekali bersifat historis, bukan merupakan syariat Islam.<br />
Baik kelompok yang pertama maupun yang kedua, masing-masing telah menjadikan eksperimentasi politik nabi Saw. di Madinah sebagai pijakan. Persoalannya hanya beda interpretasi. Yang pertama memahami eksperimentasi itu secara tekstual, yaitu sebagai bagian integral dari sunah rasul yang wajib diikuti: ia adalah syariat itu sendiri. Sementara yang kedua memahami eksperimentasi itu lebih terbuka, yaitu ia bukan bagian integral dari ajaran nabi. Meskipun bukan merupakan bagian yang integral, namun pengalaman politik nabi tersebut --bagi kelompok kedua-- masih menjadi rujukan sebagai model negara demokratis dan oleh karena itu pada diri nabi Saw. tercermin profil seorang negarawan yang sejati dan otentik. Yang pertama menjadikan pengalaman politik nabi sebagai bentuk negara yang final, sementara yang kedua lebih mengambil prinsip-prinsip yang dijadikan landasan negara Madinah, bukan bentuknya. <br />
Lalu mengapa pengalaman politik Nabi Saw. di Madinah (negara Madinah) itu harus selalu dijadikan rujukan untuk diinterpretasikan dalam memahami konsep negara dalam ranah politik Islam? Apakah itu merupakan rujukan satu-satunya? Benarkah negara Madinah itu didirikan oleh nabi? Tidak adakah perspektif lain yang mungkin dapat kita jadikan sebagai titik tolak pembacaan di luar pengalaman politik Madinah itu? Barangkali karena telah menjadikan pengalaman politik di Madinah sebagai satu-satunya rujukan itulah, kedua arus pemikiran tentang politik Islam dihadapkan pada jalan buntu, bahkan cenderung berhadap-hadapan. Yang terjadi justru polarisasi pemikiran yang semakin kuat.<br />
***<br />
Kajian yang dilakukan oleh Khalil Abdul Karim mungkin bisa menjadi titik terang atas beberapa pertanyaan di atas dan perspektif lain dalam masalah politik Islam. Buku setebal 369 halaman ini telah membongkar negara Madinah yang --konon-- didirikan oleh nabi. Ia menunjukkan kepada pembaca bahwa negara yang ada di Madinah adalah negara Arab-Quraisy, sebuah negara yang di dalamnya para keturunan dari suku Quraisy mendominasi posisi-posisi strategis dalam mengambil kebijakan publik, yang sangat menguntungkan suku Quraisy. Semula negara ini telah dipersiapkan oleh Qushoy bin Kilab, kakek paling tua nabi Muhammad. Kemudian dilanjutkan oleh Hasyim dan Abdul Mutholib, sebelum jatuh ke tangan Muhammad Saw. Muhammad hanyalah penerus negara yang telah dipersiapkan oleh kakeknya itu, bukan pendiri. <br />
Wilayah-wilayah di jazirah Arab ketika itu sedang mengalami kefakuman politik. Tak satu pun dari sekian banyak suku-suku Arab berdiri dalam satu kedaulatan. Yang ada hanyalah antara suku yang satu dengan lainnya saling menyerang. Kondisi yang seperti ini direspon secara baik oleh Qushoy bin Kilab dengan berniat menegakkan satu kedaulatan politik (suku Quraisy) yang memayungi semua suku-suku Arab. <br />
Untuk mewujudkan niatnya, Qushoy bin Kilab mula-mula menguasai kota Makkah yang ketika itu menjadi central politik, ekonomi dan agama, dengan membeli kunci Ka'bah dari salah seorang ahli waris Bani Zahroh. Ini dilakukan karena suku Quraisy pada saat itu merupakan suku yang marginal, yang hidup di tebing-tebing, lereng gunung dan jauh dari pusat keramaian. Setelah Ka'bah berada dalam kekuasaan Qushoy, semua keturunan suku Quraisy dipanggil untuk menetap dan mengurusi kota Makkah. Di sinilah, suku Quraisy mulai memperluas pengaruhnya lewat transaksi perdagangan, berbagai perdamaian (hilf al-fudlul), dan bentuk-bentuk hubungan diplomasi yang lain, hingga menjadi suku yang mampu menguasai suku lainnya.<br />
Dominasi politik suku Quraisy semakin kuat manakala para keturunan suku Quraisy seperti Bani Abdi Dar, Abdi Manaf dan Abdi Syam, menjadikan tradisi ritual keagamaan masyarakat jazirah Arab sebagai media sosialisasi diri. Berbagai usaha dilakukan untuk mempermudah dan mengenakkan setiap orang yang melakukan ibadah haji dan umroh ke Ka'bah. Mereka membangun saluran air, memberi makan dan minum kepada setiap orang yang haji, memberi jaminan keamanan kepada setiap yang datang ke sana dan lain-lainnya. Semua itu dilakukan untuk menunjukkan kepada khalayak masyarakat yang datang bahwa suku Quraisy adalah suku yang baik, dermawan, terpandang, kaya dan berbagai sifat positif lainnya. Tak heran jika kemudian mereka disebut dengan ahl al-haram (penduduk yang terhormat).<br />
Sebagai kelancaran untuk menyelesaikan berbagai masalah yang muncul dan sekaligus memutuskan kebijakan publik, maka dibangunlah dar al-nadwah. Tempat ini dibangun di dekat bangunan Ka'bah. Musyawarah yang berlangsung di dalam dar al-nadwah hanya boleh diikuti oleh para sesepuh keturunan Quraisy: mayoritas mereka berusia empat pulu tahun ke atas. Di dalam dar al-nadwah inilah segala persoalan dibahas dan dimusyawarahkan, mulai politik sampai sosial-kemasyarakatan. <br />
Secara geopolitik tidak dapat dibantah, bahwa dua negara besar, kerajaan Byzantium dan Persia, berada dalam ketidak-berdayaan. Kondisi ini juga dipahami secara cermat oleh nabi Muhammad Saw, di samping landasan dasar pendirian negara Arab-Quraisy yang sudah ada, yang telah diwarisi dari para kakek-kakeknya. Barangkali kenyataan inilah yang "mengharuskan" Muhammad untuk mengatakan bahwa kerajaan Byzantium dan Persia, beberapa tahun lagi, akan jatuh (lihat QS ar-Rum: 2 - 4), bahkan dalam kesempatan lain, jauh sebelum turunnya ayat tersebut beliau pernah mengatakan akan menaklukkan kedua kerajaan tersebut namun dibantah oleh salah seorang musyrik dan turunlah surat Ali Imran: 26. Hingga akhirnya Muhammad berhasil menegakkan suatu kedaulatan politik di Madinah, dan ini --sekali lagi-- menurut Khalil Abdul Karim adalah negara Arab-Quraisy.<br />
Negara itulah yang diwarisi dan dijalankan oleh para sahabat sepeninggal nabi Muhammad. Negara itu tetap berada dalam kendali para keturunan suku Quraisy: sejak khulafaur rasyidun, pemerintahan Bani Umaiyah, Bani Abbasiyah, bahkan sampai lahirnya negara-negara kecil di Ceuta Cordova. <br />
***<br />
Berbagai fakta sejarah yang diungkapkan oleh Khalil Abdul Karim tersebut telah membuka alam pikiran kita, bahwa betapa masyarakat sejarah selama ini telah terjebak pada "kebenaran" fakta sejarah yang semu, karena bahwa segala yang dilakukan nabi Muhammad tidak pernah dilihat sebagai kontinuitas sejarah sebelum kenabian (pra Islam). Selama ini para pemikir muslim berdebat soal pengalaman politik nabi di Madinah (negara Madinah) tanpa melihatnya sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masa sebelumnya. Membaca sejarah sebagai sesuatu yang terputus dengan masa sebelumnya berarti tidak meletakkannya sebagai sesuatu yang in historis, tetapi a historis. <br />
Bagaimanapun juga pengalaman politik nabi merupakan bagian sejarah yang tidak dapat dipisahkan dari masa sebelumnya (pra Islam). Justru ketika meletakkan pengalaman itu sebagai kontinuitas dari masa sebelumnya, maka umat Islam akan dapat menemukan signifikansi pengalaman historis kenabian di tengah kehidupan sehari-hari. Jangan dikira bahwa Islam itu muncul begitu saja, tak memiliki kontinuitas dengan era sebelumnya, sehingga dengan enteng dapat dikatakan bahwa Islam itu pencerahan sedangkan masa sebelumnya era kegelapan atau jahiliyah.<br />
Apa yang telah dinyatakan oleh Khalil Abdul Karim sebagaimana yang telah diuraikan di atas bisa saja mengundang perdebatan yang cukup panjang, bahkan dengan serta-merta akan ditolak oleh sebagian umat Islam. Tetapi sebenarnya apa yang telah dilakukannya adalah meletakkan sejarah pengalaman kenabian (baca: agama Islam) sebagai bagian dari kajian budaya: bagian yang sama sekali terpisah dari masa sebelumnya. Sebuah perspektif lain yang masih jarang dilakukan oleh pemikir muslim pada umumnya.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-77442407991740719532009-12-16T13:35:00.002+07:002009-12-16T13:35:30.332+07:00Ketika Kaum Sufi Bercinta dengan TuhanOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Ada hal yang menarik kalau kita mau mencermati perbedaan antara cara kaum sufi dengan umat islam pada umumnya dalam membangun hubungan dengan Allah. Perbedaan itu terkait dengan cara pandang masing-masing dalam memahami tanggungjawab makhluk sebagai ciptaan Allah. Dengan kata lain, terdapat pemahaman yang berbeda mengenai hakekat ketaatan kepada sang Khaliq antara seorang sufi dengan seorang muslim biasa.<br />
Pada umumnya, kita memahami keberadaan seorang manusia di hadapan Tuhan dengan pola hubungan berhadap-hadapan. Manusia dipahami sebagai seorang hamba atau yang lebih populer disebut dengan abid. Sementara Tuhan didefinisikan sebagai ma’bud atau Dzat yang harus disembah. Sebagai abid (hamba), setiap manusia harus mengabdikan dirinya kepada Tuan yang menciptakannya, yang menjadi sumber segala-galanya. Seluruh jiwa dan raganya harus ditujukan demi penghambaan kepada Tuhan (sang ma’bud). Di hadapan seorang abid, Tuhan adalah realitas tertinggi yang mengatasi dan melampaui segala-galanya. Terdapat ketaatan mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang hamba kepada Tuhannya. <br />
Cara pandang seperti itu, dapat secara nyata kita temukan dalam literatur-literatur keislaman. Dalam beberapa khazanah kitab tafsir misalnya, disebutkan bahwa salah satu pengertian Islam adalah tunduk atau taat. Mayoritas mufassir menyatakan bahwa ketaatan merupakan suatu keniscayaan bagi seorang hamba (abid) kepada Tuhan. Karena, dalam pengertiannya yang paling ekstrim, Islam dapat dipahami sebagai bentuk ketundukan secara politis; ketundukan yang lahir dari keterpaksaan karena status inferioritas diri dihadapan “yang maha superior”. Di satu sisi, pemahaman seperti ini tentu ada baiknya. Tetapi di sisi lain terkadang melahirkan sikap-sikap keberagamaan yang kaku, rigid dan jumud, dengan mengatasnamakan syariat ketuhanan. Maka, ketaatan dipandang sebagai sekedar upaya untuk melaksanakan sekumpulan ritualitas keagamaan belaka.<br />
Kita mungkin akan menemukan cara pandang yang berbeda dengan semua itu, jika mau balajar dari kaum sufi dalam menjalin hubungan dengan Tuhan. Adalah benar bahwa bahwa para sufi memandang agama merupakan bentuk ketaatan yang bersifat mutlak. Tetapi, bagi mereka agama juga dipandang sebagai bukan sekedar kumpulan-kumpulan ajaran atau ritual yang kaku dan rigid. <br />
Saya melihat ada kesadaran kritis yang dimiliki oleh kaum sufi dalam memahami dan menjalankan ketaatan kepada Tuhan. Kesadaran kepatuhan yang dimiliki oleh kaum sufi lahir dari sebuah pemahaman akan pertemanan diri dengan Tuhan. Hubungan seorang sufi dengan Tuhan selalu dibangun atas dasar hubungan kesetaraan dalam pengertian bahwa dalam diri manusia terdapat cermin ketuhanan dan dalam diri Tuhan ada cermin kemanusiaan. Oleh karena itu, kita sering mendengar sebuah pernyataan—yang konon diyakini sebagai hadits nabi—yang berbunyi: “siapa yang mengerti dirinya, maka akan mengerti Tuhannya.” Dengan nada yang sama al-Hallaj pernah menyatakan, “Akulah orang yang merindu, kami adalah dua ruh yang menyatu. Ketika kau melihatku kau melihat-Nya, dan ketika kau melihat-Nya kau telah melihat Kami.”<br />
Apa yang dikatakan oleh al-Hallaj tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa hubungan antara seorang sufi dengan Tuhan bukanlah hubungan seorang abid dengan ma’bud seperti yang dipahami oleh umat Islam pada umumnya. Tetapi, hubungan Tuhan dengan seorang sufi berada dalam pengertian asyiq (yang merindu) dan ma’syuq (yang dirindukan). Layaknya seorang pacar, ketaatan seorang sufi terhadap Tuhan berada dalam hubungan yang saling merindu, penuh kemesraan dan kecintaan. Kebermaknaan seseorang dan Tuhannya menjadi ada karena adanya dua entitas yang saling memancar dan mencitra dalam dirinya masing-masing. <br />
Dengan demikian, kebermaknaan manusia dan Tuhannya--kalau boleh dikatakan--laksana satu keping mata uang logam yang antara satu sisi dengan sisi lainnya saling mengikat dan memberi makna. Dalam sebuah hadits qudsi yang sering dinukil oleh kaum sufi, dinyatakan bahwa Allah SWT bertitah: “Aku membangun dalam lubuk anak Adam sebuah istana yang Aku beri nama dada (shadr). Di dalam dada adalah qalb, di dalam qalb ada fu’ad, di dalam fu’ad ada lubb dan di dalam lubb ada cinta. Di dalam cinta terdapat hafiyy, di dalam hafiyy ada sirr (kerahasiaan) dan di dalam sirr ada Aku yang tidak ada Tuhan selain Aku.”<br />
Sampai di sini dapat dikatakan, bahwa keimanan seorang sufi lahir sebagai wujud ‘kesadaran kritis’ dari pertemanan antara diri seorang hamba dengan Allah-nya, yang saling merindukan (asyiq-ma’syuq). Dalam diri seorang insan memancar cahaya ketuhanan, dan dalam wajah Tuhan tergambar rasa kerinduan akan hambanya. Orang yang mampu mengerti dan mengenal Allah—dalam bahasa kaum sufi--berarti masuk dalam kategori kaum ârifîn, karena memiliki kedekatan khusus dengan-Nya. Tak heran jika dikatakan bahwa orang-orang yang masuk dalam tingkatan ârif, maka orang itu menjadi kiblat bagi Allah. Andai Tuhan menjelma kedunia menjadi “Kekasih” kita semua?[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-57293484266739229892009-12-03T09:21:00.000+07:002009-12-03T09:21:12.982+07:00Pemikiran Etika AristotelesOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Biografi Singkat Aristoteles<br />
Aristoteles dilahirkan pada tahun 384 SM di Stagyra, sebuah daerah di Thrakia, Yunani Utara. Masuk Akademia ketika berusia delapan belas tahun. Menjadi murid Plato selama dua puluh tahun, yaitu sampai tahun 347. Sekembalinya dari Athena pada tahun 335 SM (Kevin Knigth, 1999: 1), atau menurut pendapat lain tahun 334 (Titus Hepp Smith, 1975: 91), ia mendirikan sekolah yang diberi nama Lykaion (Lyceum) atau disebut juga sekolah paripetik. Pada tahun 342, pernah menjadi pendidik Iskandar Agung Muda, kerajaan Raja Philippus dari Makedonia. Tahun 323 melarikan diri dari Athena, setelah kematian Iskandar Agung, karena dituduh menyebarkan ajaran ateisme, dan meninggal pada tahun 322 SM (Kevin Knigth, 1999: 2). <br />
Di antara tiga karya besar Aristoteles yang khusus berkaitan dengan etika adalah Ethica Eudemia, Ethica Nicomacheia, dan Politike. Namun yang paling mendapat perhatian dari ketiga karya tersebut adalah Ethica Nicomacheia karena merupakan ungkapan pikiran matang Aristoteles; Ethica Eudemia masih dipertanyakan orosinalitasnya (apakah ditulis oleh Aristoteles?), sementara Politike lebih menfokuskan pada masalah kenegaraan (Frans Magnis Suseno, 1999: 27-28).<br />
<br />
Tujuan Hidup: Kebahagiaan<br />
Setiap manusia memiliki tujuan hidup. Menurut Aristoteles, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi pada satu sisi, dan pada sisi lain tidak masuk akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang lain. Hidup manusia akan semakin bermutu manakala semakin dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan mencapai tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya secara penuh, sehingga mencapai mutu yang terbuka bagi dirinya (Richard H.Popkin & Avrum Stroll, 1982: 7-8).<br />
Apapun yang dilakukan oleh manusia, demikian menurut Aristoteles, mesti merupakan sesuatu yang baik, demi suatu nilai. Dalam mencapai tujuan hidup, yang terpenting adalah nilai, yaitu nilai demi dirinya sendiri. Apabila kebahagiaan merupakan tujuan akhir hidup manusia, itu berarti bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri, bukan demi suatu nilai lebih tinggi lainnya. Kebahagiaan adalah yang baik pada dirinya sendiri (Jonathan Barnes, 1995: 199-203).<br />
Menurut Aristoteles, ada tiga pola hidup yang mengandung kepuasan dalam dirinya sendiri. Pertama, hidup yang mencari nikmat, kedua hidup praksis atau politis, dan ketiga hidup sebagai seorang filsuf: hidup kontemplatif.<br />
Maksud hidup yang mencari nikmat menurut Aristoteles bukanlah hidup hedonistik. Meskipun hampir setiap manusia mengharapkan hidup penuh kenikmatan, namun kenikmatan itu sendiri –baginya—bukanlah khas manusiawi. Ini dapat diambil contohnya pada seorang anak kecil yang gembira. Kalau anak kecil itu gembira, mestinya kita ingin menjadi anak kecil lagi. Aristoteles mengakui kenikmatan itu. Nikmat itu adalah baik saja asalkan tidak menjadi tujuan. Jadi, kenikmatan bukanlah satu-satunya tujuan untuk mencapai kebahagiaan (Frans Magnis Suseno, 1999: 31-32). <br />
Meskipun sebagain orang sepakat bahwa kenikmatan dapat membahagiakan, namun kenikmatan itu bukanlah kenyataan itu sendiri. Kenikmatan itu tidak berdiri sendiri, tapi menyertai suatu tindakan. Bagi Aristoteles, seseorang dapat menemukan kebahagiaan sebagai tujuan akhir apabila ia menjalankan fungsinya dengan baik. Nilai tertinggi bagi manusia adalah suatu tindakan yang merealisasikan kemampuan atau potensialitas khas manusia (K. Bertens, 2001: 243). <br />
Apabila kebagiaan merupakan tujuan hidup manusia dan tujuan itu hanya dapat dicapai dengan menjalankan fungsinya, maka kebahagiaan –dalam pandangan Aristoteles—dapat dipahami sebagai optimalisasi fungsi. Uang misalnya, dapat membikin manusia nikmat dan dengannya ia menjadi bahagia, namun kenikmatan yang diperoleh seperti ini memposisikan dirinya sebagai pelaku yang pasif. Artinya kebahagiaan yang diperoleh itu bukan berasal dari hasil tindakan atau aktualisasi pengembangan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kebahagiaan itu diperoleh melalui tindakan yang aktif, dengan menyatakannya dalam bentuk tindakan.<br />
Manusia –demikian menurut Aristoteles—tidak dapat menyatakan tindakan dan aktualitas dirinya yang khas kecuali dengan akal budi. Dengan akal budi inilah, manusia mampu mewujudkan tindakannya, dan ini sekaligus yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain (baca: binatang). Kegiatan yang khas manusiawi adalah kegiatan yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi (Jonathan Barnes, 1995: 206-208). <br />
Namun menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk yang campur, bukan makhluk rohani murni dan juga bukan fisik saja. Keduanya ada dalam diri manusia. Untuk itu manusia bisa melaksanakan kegiatan khas manusiawinya dalam pola kehidupan politis (praxis) dan kehidupan kontemplatif (Theoria). Manusia adalah jiwa yang berbadan dan badan yang berjiwa.<br />
<br />
Theoria dan Praxis<br />
Menurut Aristoteles, theoria dimaksudkan dengan renungan atau kontemplasi, yaitu memandang sesuatu secara mendalam, bukan pemikiran. Ini merupakan kegiatan manusia yang paling luhur, karena merealisasikan bagian jiwa manusia yang paling luhur: yang ilahi, logos, dan roh. Dalam theoria inilah roh digiatkan (Frans Magnis Suseno, 1999: 33).<br />
Apa yang menjadi objek renungan dalam hal ini adalah realitas yang tidak berubah, bersifat abadi dan ilahi. Melalui renungan, orang akan dapat menemukan cinta pada kebajikan. Karena bersifat ilahi dan abadi, maka ia pun lebih membahagiakan manusia. Tidak ada yang lebih luhur katimbang renungan atau philoshopia. Hanya sedikit orang yang dapat ber-theoria.<br />
Oleh karena itu, menurut Aristoteles manusia harus memasuki wilayah etis yang sebenarnya, yaitu praxis: bukan practique yang berarti perbuatan. Praxis memiliki kekhasan tersendiri. Praxis tidak membutuhkan keterampilan dan sikap cekatan sebagaimana lumrahnya segala macam kegiatan. <br />
Menurut Aristoteles, praxis berarti tindakan atau perbuatan demi dirinya sendiri (tindakan yang merubah) bukan poesis, sebuah tindakan demi hasil di luar perbuatan itu sendiri (tindakan yang mencipta), dan juga bukan ponos, pekerjaan berat dan kasar. Yang terpenting dalam praxis adalah partisipasi untuk turutserta merealisasikan diri sebagai makhluk sosial di tengah masyarakat lewat komunikasi aktif atau pergaulan dengan sesama demi mencapai kebahagiaan: sebab tujuan tiap orang dan semua komunitas adalah sama (Frans Magnis Suseno, 1999: 34-35). <br />
Manusia itu adalah zoon politikon. Realisasi partisipasi manusia akan semakin utuh lewat kehidupan negara. Manusia bertindak etis melalui segala tindakan dalam rangka kesosialannya, terutama dalam memajukan negara-kota. Oleh karena itu, bagi Aristoteles, ada hubungan erat antara etika dan politik Frank N.Magill, 1990: 76-77). <br />
<br />
Phronesis dan Keutamaan Etis<br />
Tidak ada pengetahuan yang pasti tentang tindakan manusia. Tugas etika bukan menyediakan aturan-aturan, namun menyediakan semacam visi atau perspektif. Pesrpektif ini disebut dengan orthos logos (pengetahuan yang tepat). Pengertian yang tepat bukan tolok ukur terurai, namun lebih merupakan sikap batin atau ketajaman akal etis dalam memahami tindakan mana yang tepat untuk dilakukan dalam situasi tertentu. Dalam pandangan Aristoteles, etika menghasilkan kemampuan untuk bertindak sesuai dengan orthos logos (Frans Magnis Suseno, 1999: 37-38). <br />
Keutamaan adalah sikap batin yang dimiliki manusia. Aristoteles membedakan dua macam keutamaan, yaitu intelektual (aretai dianoetikai) dan keutamaan etis (aretai atikai). Yang pertama merupakan sikap akal budi, sedangkan yang kedua adalah sikap kehendak. Keutamaan yang pertama dibagi menjadi shopia (kebijaksanaan I), nous (kemampuan mengaktifkan logos), phronesis (kebijaksanaan Praktis), episteme (ilmu pengetahuan), dan techne (keterampilan) (Frans Magnis Suseno, 1999: 37-38). <br />
Kemampuan untuk bertindak sesuai dengan pengertian yang tepat adalah prhonesis. Shopia adalah kebijaksanaan orang yang hatinya terangkat ke tingkat alam adiduniawi: kebijakan orang yang ber-theoria. Sementara phronesis adalah kemampuan orang untuk mengambil sikap dan keputusan dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan keseharian. Menurut Aristoteles, prhonesis adalah kebiasaan bertindak berdasarkan pertimbangan yang tepat dalam masalah baik dan buruk bagi manusia. Prhonesis tidak ada kaitannya dengan theoria. Ia tumbuh dari pengalaman dan kebiasaan (dalam arti habitus) untuk bertindak etis (Frans Magnis Suseno, 1999: 76-77).<br />
Menurut Aristoteles, keutamaan tindakan (baca: Prhonesis) itu memerlukan kebiasaan yang mengarah kepada pilihan jalan tengah antara ekstrem-sktrem dalam prilaku; antara tujuan antara dan tujuan ultimate, yang diperoleh melalui pengambilan keputusan-keputusan (Lorens Bagus, 1996: 459). Sikap berani milsanya, merupakan keutamaan dari antara sikap pengecut dan nekad; murah hati (antara boros dan kikir); berjiwa besar (antara kejih dan kurang ajar); dan santun (antara ambisi dan tidak peduli).<br />
<br />
Epilog<br />
Tujuan etika dalam pandangan Aristoteles bukan pengetahuan lebih tajam, namun praxis. Bukan mengetahui apa yang baik, namun membuat orang hidup dengan baik. Tindakan dikatakan betul sejuah mengarah kepada kebahagiaan, dan salah sejauh mencegah kebahagiaan: oleh karena itu, ia termasuk aliran etika teleologis. Pengetahuan yang diberikan oleh etika adalah pengetahuan dalam garis besar (typo), bukan rinci.[mff] <br />
<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
<br />
Fran N.Magill (ed.), Masterpieces of World Philosophy, Harper Collin: New York, 1990<br />
<br />
Frans Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Yunan Sampai Abad ke-19, Kanisius: Yogyakarta, Cet. III, 1999<br />
<br />
Jonathan Barnes (ed.), The Cambridge Companion to Aristotle, Cambridge Universty: Cambridge (USA), 1995<br />
<br />
K.Bertens, Etika, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2001, Cet. IX <br />
<br />
Kevin Knight, The Catholic Encyclopedia, Vol. I (naskah didapat dari internet)<br />
<br />
Loren Bagus, Kamus Filsafat, PT.Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1996<br />
<br />
Richard H.Popkin & Avrum Stroll, Philosophy, Made Simple Books: London, Cet. IX, 1982<br />
<br />
Titus Hepp Smith, The Range of Philosophy, Wadsworth Publishing Company: California: 1975M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-53970960803955024342009-12-02T14:00:00.002+07:002009-12-02T14:00:37.189+07:00Melaksanakan Haji, Menuai AksiOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Ketika kita ditanya, apakah ukuran kesalehan keberagamaan seseorang di hadapan Tuhannya?, tentu sulit bagi kita untuk menjawabnya. Mungkin sebagian kita ada yang menjawab bahwa wujud kesalehan seseorang itu tidak lain adalah tingkat ke-rajinannya dalam menjalankan berbagai ajaran (ritual) yang telah digariskan oleh-Nya. Atau barangkali sebagian orang juga akan menjawab lain, yaitu bahwa tingkat kesalehan dapat diukur oleh sejauhmana nilai-nilai ibadah yang dikerjakan mampu merubah akhlak (perilaku) hidupnya sehingga seseorang itu dapat menjalani hidup dengan penuh kemuliaan dan keagungan. Tolak ukur jawaban pertama menekankan pada aspek individu (hubungan seseorang dengan Tuhanny), dan jawaban menekankan pada apek sosial; yang pertama sering disebut dengan kesalehan individu, sedangkan yang kedua sering disebut dengan kesalehan sosial. <br />
Ada sebuah qaul hikmah yang mengatakan “nahnu nahkumu bidz dzawahir, wa allahu yahkumu bis sara’ir.” Terjemahan bebasnya adalah bahwa manusia hanya bisa menilai bentuk lahirnya saja, sementara hanya Tuhan dapat menilai aspek-aspek batinnya. Qaul hikmah seperti itu agaknya ada benarnya. Karena, sudah mafhum bahwa tidak satu pun orang diantara kita yang mampu menilai apa-apa yang tersembunyi, apalagi yang terkait dengan hubungan antara seseorang dengan Tuhannya. Manusia hanya mampu melihat dan menilai apa-apa yang nampak atau hal-hal yang dapat dicerap secara lahir. <br />
Dalam ukuran Islam, kebajikan seorang muslim selalu diukur dengan iman dan amal shaleh. Istilah iman dan amal shaleh selalu dinyatakan berbarengan dalam hampir setiap ayat al-Qur’an. Kata iman didahulukan dan disusul kemudian oleh kata amilus shalihah. Iman meliputi dimensi batin (esoteris), sedangkan amilus shalihah merupakan dimensi yang bisa dilihat oleh pancaindera atau merupakan sesuatu yang bersifat eksoteris. <br />
Dalam ranah yang sedikit agak filosofis dapat dikatakan, bahwa iman merupakan aspek teoritis, sedangkan amal shaleh adalah aspek praksis. Sebagai teori, iman tidak lain adalah pengakuan setiap individu akan keesaan Allah, yang harus dinyatakan dalam lisan dan ditanamkan dalam hati. Alat ukur satu-satunya untuk mengetahui tingkat keimanan adalah menjalankan ajaran agama yang sudah digariskan (amal bi al-arkan). Pada dimensi yang terakhir ini muncul apa yang disebut dengan praksis (amal shalih). Maka, keimanan seseorang tidak menjadi berarti jika tidak diaplikasikan kedalam bentuk amal shalih yang efeknya dapat dirasakan oleh kepentingan banyak orang (umat beragama). Sederhananya, perumpamaan orang yang beriman dengan tidak disertai dengan berbuat amal kebajikan adalah laksana sebuah tumbuhan yang hidup tetapi tidak berbuah. Tumbuhan tersebut eksis, tetapi keberadaannya tidak memberikan manfaat apapun. <br />
Hari ini, jamaah haji Indonesia mulai diterbangkan dari Arab Saudi untuk pulang menuju kampung tempat tinggal masing-masing, setelah hampir satu bulan lebih menunaikan manasik haji. Harapan kita semua adalah semoga mereka mampu meraih haji maqbul dan mabrur. Dikatakan maqbul karena semoga semua ritualitas ibadahnya diterima di sisi-Nya. Dan dikatakan mabrur karena semoga ritualitas yang sudah dijalankan di tanah suci mampu memberikan keteladanan sosial dalam diri mereka untuk dapat menjalan amal shalih. <br />
Fenomena haji di negeri kita ini sungguh menjadi fenomena yang luar biasa. Betapa tidak, setiap tahun tidak kurang dari ribuan jamaah haji Indonesia yang memenuhi tanah Arab. Berdasarkan data yang ada, setiap tahun selalu terjadi peningkatan jumlah orang Islam yang ingin melakukan haji. Bahkan ada yang mendaftar tahun sekarang (2009, red), tetapi pelaksanaannya baru lima tahun mendatang. Melihat antusiame masyarakat terhadap ibadah haji yang tinggi seperti itu, pihak bank pun memasang dan menawarkan sebuah program yang biasa disebut dengan “haji talangan”. Entah di waktu mendatang, program apa lagi yang hendak ditawarkan dalam rangka mempermudah umat Islam supaya bisa menjalankan rukun Islam kelima itu. Namun satu hal yang sangat penting dan sering kita lupakan, mampukah ibadah haji yang kita lakukan dapat mewarnai amal kebajikan-sosial di lingkungan kita masing-masing; mengerem praktik korupsi, mencuri, saling mengolok-olok antar sesama dan seterusnya; atau membangkitkan semangat kita untuk membangun peradaban umat yang berperi kemanusiaan dan keadilan? Lebih tragis lagi, berhaji untuk sekedar mengejar status sosial yang bergengsi dengan titel H (Haji) didepan nama saja? Semoga kita dapat menyatukan gerak keimanan (aspek teoritis) dan amal kebajikan (aspek praktis) kita.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-78147347652868152442009-12-01T10:28:00.000+07:002009-12-01T10:28:20.378+07:00Mencermati Konsep Etika Kebebasan Mu’tazilahOleh: M. Faisol Fatawi <br />
<br />
“… betapa tidak berartinya pengakuan Mu’tazilah terhadap “free will” <br />
dan betapa menyesatkan jika dikatakan seolah-olah Mu’tazilah<br />
merupakan pendukung etika murni kebebasan” <br />
(Madjid Fakhry: 1953)<br />
<br />
Pendahuluan<br />
Al-Qur’an telah memaparkan secara jelas berbagai pernyataan tentang kekuasaan Tuhan atas segala yang terjadi di atas dunia ini, termasuk di dalamnya perbuatan manusia. Khusus berkaitan dengan kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia, al-Qur’an tampak memberikan pernyataan yang kontradiktif. Satu sisi, kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia dijelaskan bersifat absolut, dan pada sisi lain ditegaskan bahwa manusialah yang memiliki kekuasaan atas perbuatannya. <br />
Dalam sejarah teologi Islam, kelompok yang berpegang pada absolusitas kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia lebih dikenal dengan sebutan jabariah, sementara yang berpegang pada otoritas kebebasan perbuatan ada pada tangan manusia lebih dikenal dengan paham qodariah. Paham yang ingin menengai di antara kedua konsep ini dipelopori oleh seorang tokoh, yaitu al-Asy’ari yang dikenal dengan teori kasb-nya.<br />
Tulisan ini, secara terfokus, berusaha memahami lebih dalam tentang ajaran teologi Mu’tazilah yang –selama ini—selama ini dikenal sebagai “pejuang” etika kebebasan atau pengibar paham qadariah. <br />
<br />
<br />
Pancasilanya Kaum Mu’tazilah Vis-a-Vis Ideologi Negara<br />
Dasar pertama yang dicanangkan oleh Mu’tazilah adalah al-Tauhid. Paham al-Tauhid ini tidak saja mereka gunakan untuk menghindari penyekutuan Tuhan (al-Syirk bi Allah), namun lebih jauh merupakan persoalan esensial, yaitu menafikan sifat-sifat untuk dimasukkan (dilekatkan) pada Tuhan. Allah menurut mereka bukanlah terdiri dari dzat dan sifat yang melekat pada dzat, bahkan sifat-Nya itu sendiri merupakan “kasunyatan” dzat-Nya (Ain Dzatihi). Oleh karena itu, di sana tidak ada dzat ketuhanan (dzat ilahiyah) yang padanya dilekatkan sifat berkehendak (al-iradah), kemampuan (al-qudrah), pengetahuan (al-ilm), dan lain-lainnya, sebagaimana halnya manusia. Tetapi Tuhan menurut mereka bersih (baca: suci) dari dan tidak membutuhkan pada sifat-sifat yang dapat disandarkan pada-Nya sehingga Dia dapat disebut Yang Maha Mengetahui (Alim), Yang Maha Kuasa (Qadir), dan seterusnya (Abdul Jabbar, 1965: 128-129).<br />
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa Tuhan tidak memiliki pengetahuan, tidak memiliki kekuatan, tidak berkehendak, dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata yang sebenarnya. Arti “Tuhan mengetahui”, demikian menurut Abu Hudzail, adalah bahwa Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Pengetahuan Tuhan adalah esensi Tuhan itu sendiri (Abu Hasan Ibn Ismail al-Asy’ari, 1930: 177-178). Lebih jauh al-Juba’i menegaskan, bahwa arti “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya adalah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat atau membutuhkan pada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Penjelasan agak berbeda juga dikemukakan oleh Abu Hasyim. Menurutnya, arti “Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya adalah bahwa Tuhan memiliki keadaan untuk mengetahui (al-Syihristani, t.t.: 81). <br />
Masih dalam kerangka menegakkan tauhid (mengesakan Tuhan), kaum Mu’tazilah memaparkan empat sifat Tuhan yang azali, yaitu hidup (al-hayat), dahulu (al-qidam), berkuasa (al-qudrah), dan mengetahui (al-ilm). Keempat sifat ini inhern dalam diri-Nya (fi dzatih), dan oleh karena itu dinamakan al-shifah al-dzatiah. Di mana pun dan kapan pun sifat-sifat tersebut ada dalam dzat-Nya (Abdul Jabbar, 1965: 74).<br />
Prinsip berikutnya adalah al-Adl. Menurut mereka al-Adl adalah bahwa Tuhan tidak berbuat dzalim: bahwa perbuatan Tuhan adalah baik. Ketika manusia melakukan kezaliman dengan mencuri, berbohong, dan atau membunuh misalnya, maka perbuatan ini tidak mungkin disandarkan kepada Tuhan, tidak mungkin kalau semua perbuatan itu diciptakan oleh Tuhan. Oleh karena itu, perbuatan buruk hanya layak dinisbahkan kepada manusia: manusialah yang menciptakannya (Muhamad Abed al-Jabiri, 1991: 56).<br />
Abdul Jabbar sendiri menegaskan, bahwa maksud predikat baik (hasanah) yang disandarkan pada perbuatan Tuhan adalah baik dari aspek hikmah, bukan dari aspek pandangan atau pengamatan seseorang. Sebuah perbuatan dapat dikatakan baik (hasanah) dari segi penglihatan, tetapi buruk dari segi hikmahnya. Namun sebaliknya, dianggap baik (hasanah) dari segi hikmah dan buruk dari segi penglihatan (Abdul Jabbar, 1965: 132).<br />
Keadilan Tuhan menurut kaum Mu’tazilah digunakan dalam konteks maslahah. Segala yang diperbuat oleh Tuhan pada hamba-Nya adalah demi kemaslahatan hamba itu sendiri. Kalau toh Tuhan memberikan rasa sakit pada seorang hamba milsanya, itu hanya demi kemaslahatan dan kepentingan dirinya sendiri. Jika tidak demi kemaslahatannya, tentu Tuhan akan menyalahi kewajiban-Nya. Oleh karena itu, menurut Mu’tazilah Tuhan tidak memberikan pembebanan pada hamba-Nya kecuali sesuai dengan kepampuannya (Abdul Jabbar, 1965: 133). Dari sinilah al-Adl kemudian menjadi argumen mendasar bagi konsep etika kebebasan manusia dan kemampuannya untuk berbuat, dan pada gilirannya pertanggunganjawabnya atas perbuatan yang dilakukan (Harry Austryn Wolfson, 1976: 616).<br />
Karena perbuatan Tuhan terhadap hamba-Nya dalam pandangan kaum Mu’tazilah dipandang sebagai sesuatu yang memiliki hikmah dan demi kemaslahatan yang bersangkutan, meskipun akan berdampak pahit padanya jika dilihat dari segi penglihatan, sehingga perbuatan Tuhan diidentikkan dengan perbuatan baik (hasanah) sementara perbuatan buruk berasal dari tangan manusia, maka sangat tidak adil bagi Tuhan untuk tidak memberikan ganjaran atas apa yang telah dikerjakan oleh seorang hamba. Pemberian ganjaran atau balasan kepada hamba atas perbuatannya menjadi prinsip dasar esensial tersendiri di kalangan Mu’tazilah. Prinsip ini kemudian lebih dikenal dengan dengan al-Wa’d wa al-Wa’id.<br />
Al-Wa’d wa al-Wa’id, menepati janji dan menjalankan ancaman merupakan perbuatan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil manakala Dia tidak menepati janji untuk memberi upah (ganjaran) kepada orang yang berbuat baik. Demikian pula ketika Tuhan tidak memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Jika Dia tidak melaksanakan janji dan ancaman-Nya, maka ini akan membuat Tuhan memiliki sifat dusta: tidak mungkin Dia bersifat ingkar, dan akan bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman musti merupakan kewajiban bagi-Nya (Harun Nasution, 1986: 133).<br />
Menurut Abdul Jabbar, al-Wa’d adalah suatu khabar yang mengandung sampainya kemanfaatan pada yang lain atau dapat mencegah kemadlorotan padanya di masa mendatang. Sementara al-Wa’id adalah suatu khabar yang mengandung <br />
sampainya kemadlorotan pada yang lain atau terputusnya kemanfaatan darinya di waktu mendatang. Oleh karena itu, Tuhan berjanji akan memberi pahala bagi orang yang taat dan mengancam dengan siksa bagi yang mbangkang (maksiat), sebagaimana yang telah di-nash-kan. Menyalahi hak Tuhan merupakan kedustaan, sementara berdusta adalah perbuatan buruk (qabih), dan Tuhan tidak berbuat buruk (Abdul Jabbar, 1965: 136-137). Maka tidak masuk akal jika Tuhan akan memasukkan orang mukmin ke dalam neraka, sementara orang kafir ke dalam surga. <br />
Apabila seorang mukmin dijanjikan oleh Tuhan masuk sorga dan orang kafir masuk ke dalam neraka, lalu bagaimana dengan orang mukmin yang melakukan dosa besar seperti melakukan zina, membunuh atau perbauatan lain yang sejenis dan sebanding dengannya? Masuk neraka atau masuk sorga? Kaum Mu’tazilah menjawab pertanyaan itu, bahwa orang yang berdosa besar tidak masuk neraka dan juga tidak masuk sorga, tetapi berada di antara dua tempat atau yang lebih dikenal dengan al-Manzilah Bain al-Manzilatain yang kemudian dijadikan prinsip dasar keempat. Istilah al-Manzilah Bain al-Manzilatain juga dikenal dengan nama al-Asma’ wa al-Ahkam (Abdul Jabbar, 1965: 137).<br />
Barangkali tokoh pertama kali yang memperkenalkan pikiran tersebut di atas adalah Wasil bin Atho’. Prinsip al-Manzilah Bain al-Manzilatain didapat oleh Wasil ketika ia mengikuti majlis Hasan al-Bashri, yaitu ketika Hasan al-Bashri ditanya tentang munculnya fenomena sebagian kaum muslimin yang menghukumi kafir dan telah keluar dari agama bagi orang melakukan dosa besar, sementara kelompok lain menyatakan bahwa pelaku dosa besar tidak dapat merusak keimanan, lalu Hasan al-<br />
Bashri ditanya, bagaimana pendapat anda tentang itu? Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Wasil bin Atho’ mengajukan jawaban: “saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar masih mukmin atau malah kafir, tetapi ia berada di antara dua tempat (al-Manzilah Bain al-manzilatain), tidak mukmin dan tidak kafir (al-Syihristani, t.t.: 48).<br />
Prinsip dasar yang terakhir adalah al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Kaum Mu’tazilah mengatakan, bahwa merupakan kewajiban setiap muslim untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar. Seorang muslim wajib mengubah kemunkaran dengan pedang dan tangan manakala ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menurut mereka, didasarkan pada sebuah ayat, “Kalian adalah sebaik-sebaik umat yang dilahirkan untuk manusia supaya melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar” (QS. Ali Imran: 110).<br />
Ada beberapa persyaratan untuk melaksanakan prinsip al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar. Pertama, seseorang harus benar-benar mengetahui bahwa yang diperintahkan (al-ma’mur bih) itu adalah kebajikan (ma’ruf), dan yang dilarang (al-manhiy anhu)itu benar-benar kemunkaran, sebab jika seseorang tidak mengenalnya dengan sungguh-sungguh, tentu apa yang akan ia lakukan berdasar pada prasangka, bukan pengetahuan, dan ini tidak boleh dilakukan. Kedua, seseorang harus mengerti kalau kemunkaran itu hadir di depannya, misalnya di depannya terlihat ada alat-alat yang tersedia untuk mabuk-mabukan. Ketiga, seseorang harus menyadari bahwa tindakan yang akan dilakukan tidak membawa dampak kemadlorotan yang lebih besar, misalnya seseorang itu melarang minum khamer tetapi pelarangannya itu menyebabkan akan terbunuhnya umat Islam dalam jumlah yang lebih besar. Keempat, seseorang harus menyadari dengan penuh keyakinan bahwa apa yang hendak ia katakan (untuk amar makruf dan nahi munkar) mempunyai pengaruh atau pasti berdampak. Kelima, seseorang harus menyadari sepenuh hati bahwa apa yang akan dilakukan tidak berdampak madlorot pada diri atau hartanya (Abdul Jabbar, 1965: 142-143).<br />
Dalam pelaksanaan al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy an al-Munkar tersebut, Abdul Jabbar membaginya menjadi dua macam. Ada amar makruf dan nahi munkar yang hanya dapat dilakukan oleh para imam, dan yang dapat dilakukan oleh manusia pada umumnya. Yang hanya bisa dilakukan oleh para imam seperti menegakkan hukum agama, menjaga pemurnian agama Islam, mengerahkan pasukan, mengangkat hakim dan pimpinan, dan yang sejenis dengannya. Sementara yang dapat dilakukan oleh masyarakat umum seperti melarang minum khamer, mencuri dan berbuat zina, dan yang sejenis dengannya (Abdul Jabbar, 1965: 148).<br />
Kelima prinsip dasar sebagaimana tersebut di atas saling terkait antara satu sama lain, terutama tiga prinsip yang terakhir terkait erat dengan dua prinsip pertama, yaitu al-Tauhid dan al-Adl. Dengan kata lain, bahwa tiga prinsip terakhir merupakan cabang dari dua prinsip yang pertama. Prinsip al-Wa’d wa al-Wa’id terkait secara langsung dengan keadilan Tuhan untuk melaksanakan janji dan ancaman-Nya sebagaimana yang telah di-nash-kan. Demikian pula prinsip al-Manzilah Bain al-Manzilatain, karena Tuhan tidak akan adil jika hukum orang mukmin yang taat dan orang mukmin yang fasiq disamakan; hukum orang yang fasiq dengan hukum orang yang kafir juga tidak sama. Prinsip amar makruf dan nahi munkar juga masih dalam kerangka keadilan Tuhan, karena Tuhan hanya berbuat baik dan yang terbaik untuk manusia, maka segala yang tidak baik dan terbaik merupakan perbuatan manusia, dan karenanya harus dicegah. Maka tidak heran jika kaum Mu’tazilah disebut dengan Ashab al-Tauhid wa al-Adl atau al-Adliah (al-Syihristani, t.t.: 43). Lalu mengapa bisa demikian? Apakah yang terjadi sebenarnya di balik prinsip al-Tauhid dan al-Adl?<br />
Masalah yang menggelitik hati para mutakallimin awal adalah sifat Tuhan al-Ilm. Sifat ini diperdebatkan oleh masing-masing kelompok, antara mereka yang mengakui kebebasan berkehendak manusia dan mereka yang menolak kebebasan berkehendak. Yang menolak kebebasan berkehendak menyatakan, bahwa Tuhan memiliki pengetahuan yang azali, dan oleh karena itu Tuhan pasti mengetahui sejak azali dan tentu Dialah yang telah mentakdirkan perbuatan manusia sejak azali. Kelompok ini kemudian dikenal dengan Jabariah. Sementara Mu’tazilah berpegang pada kebebasan berkehendak pada manusia.<br />
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa para penguasa Umaiyah dalam menjalankan roda pemerintahannya lebih banyak menggunakan legitimasi keagamaan, yaitu bahwa apa yang terjadi merupakan takdir dan keputusan Tuhan. Penguasan Umaiyah telah menggunakan term Khalifah Allah, dengan memaknainya sebagai utusan dan wakil Tuhan di muka bumi atau sebagai bayangan Tuhan. Segala yang mereka lakukan diatasnamakan takdir dan keputusan Tuhan: mereka telah menggunakan ideologi jabariah sebagai legitimasi kekuasaan. Karena itu, siapa saja yang melawan atau menentangnya, maka ia dituduh telah melawan otoritas Tuhan (Montgomery Watt, t.t.: 84). <br />
Konon diriwayatkan, bahwa khalifah Abdul Malik bin Marwan ketika memerintahkan untuk membunuh Amr bin Said, menyuruh melemparkan kepalanya di hadapan para mukhlishin yang telah menunggu di depan istana menanti kedatangannya, bahkan menyuruh supaya diumumkan bahwa “amirul mukminin telah membunuh teman kalian atas dasar keputusan (Tuhan)”. Ini menunjukkan bahwa penguasa Umaiyah telah menisbatkan kehendak Tuhan (al-Iradah al-Ilahiah) kepada dirinya: menggunakan konsep jabariah (Nashr Hamid Abu Zaid, 1996: 20).<br />
Di tengah kelaliman penguasa Muawiyah inilah Mu’tazilah menegaskan prinsip al-Tauhid dan al-Adl, dengan manyatakan bahwa manusia adalah bebes berkehendak dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Sebenarnya Mu’tazilah, dengan menafikan sifat pada Tuhan (al-Tauhid) dan menagaskan kebebasan berkehendak (al-Adl), ingin mempertegas sikap oposisional-antagonistik dan mengkritik praktek para penguasa Umaiyah. Apabila penguasa Umaiyah telah menggunakan agama sebagai demi kepentingan politiknya: menundukkan agama ke dalam politik, maka Mu’tazilah juga telah menjadikan agama untuk melawan otoritas politik pemerintah Umaiyah. Sampai dapat dipahami, bahwa lima prinsip dasar yang dikemukakan oleh Mu’tazilah merupakan ungkapan teologis melawan politik Umaiyah yang sewenang-wenang dan lalim (Muhamad Abed al-Jabiri, 1991: 58-59).<br />
<br />
Paradoksitas Konsep Kebebasan Berkehendak Mu’tazilah<br />
Bahwa Mu’tazilah dalam beberapa literatur teologi Islam dikenal sebagai eksponen free will (kebebasan bertindak), meskipun di kalangan ulama Mu’tazilah sendiri tidak ada kesamaan pendapat mengenainya. Apa yang dimiliki manusia dalam kaitannya dengan aktifitas moral?, kira-kira itulah pertanyaan yang mencuat dan memaksa mereka untuk mencoba menggabungkan antara tanggungjawab manusia dan kekuasaan Tuhan. <br />
Wasil bin Atho’, juru bicara Mu’tazilah pertama, menyatakan bahwa Tuhan itu Maha Bijaksana dan oleh karenanya ketidakadilan dan kejahatan tidak dapat <br />
dihubungkan atau disandarkan pada-Nya. Tuhan pun tidak mungkin membuat manusia untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan-Nya. Manusia, menurutnya, mengetahui di dalam dirinya sendiri bahwa ada kekuatan dan perbuatan, dan siapapun yang mengingkarinya berarti mengingkari keniscayaan (Harry Austryn Wolfson, 1976: 617). Lebih jauh Tsumamah menegaskan, apabila perbuatan manusia berasal dari Tuhan, tentu manusia tidak berhak mendapat ganjaran atau hukuman: tidak berhak atas pujian dan celaan (Montgomery Watt, t.t.: 86-87).<br />
Pendapat yang serupa dinyatakan oleh al-Jubai, bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri: berbuat baik dan buruk, patuh dan ingkar kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri (al-Baghdadi, t.t.: 135-136). Sementara Abdul Jabbar mengatakan bahwa Tuhan tidak menciptakan perbuatan pada diri manusia, tetapi manusialah yang mewujudkan perbuatan itu. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan oleh manusia dengan daya yang bersifat baru (Abdul Jabbar, 1965: 324).<br />
Pendapat liberal Mu’tazilah tentang manusia adalah pencipta tindakannya sendiri, mendapat serangan yang cukup besar dari mereka yang anti-Mu’tazilah. Dengan paham kebebasan berkehendak-nya, Mu’tazilah dinilai telah mensekutukan Tuhan atau mereka telah terjebak ke dalam paham polytheisme, bahkan Asy’ari menuduhnya sebagai orang yang tidak butuh lagi kepada Tuhan (Harun Nasution, 1986: 106). <br />
Terlepas dari keberatan yang diajukan oleh mereka yang tidak sepaham dengan Mu’tazilah, namun yang jelas paham kebebasan berkehendak sebagaimana yang diajukan Mu’tazilah telah melahirkan paradoks yang nyata. Harus dikaui, pada satu sisi Mu’tazilah adalah kelompok yang mempertahankan mati-matian keesaan Tuhan, dan untuk mempertahankannya mau tidak mau mereka harus mempertahankan kekuasaan Tuhan yang tak terbatas di dunia. Namun pada sisi lain, pernyataan tentang bahwa manusia adalah pencipta tindakannya dapat dilihat sebagai pandangan yang membatasi kekuasaan Tuhan (Madjid Fakhry, 1953: 96). <br />
Supaya dapat keluar dari paradoks tersebut dan sekaligus menangkis serangan atau keberatan yang diajukan oleh mereka yang anti-Mu’tazilah, Abu Hudzail al-Allaf mengajukan dua teori tentang tindakan manusia, yaitu bahwa ada dua macam tindakan manusia. Pertama, tindakan yang diketahui modalitasnya, dan kedua tindakan yang tidak diketahui modalitasnya. Yang pertama dari manusia dan yang kedua dari Tuhan (Madjid fakhry, 1953: 98). Sebagai contoh dari tindakan yang pertama adalah efek rasa sakit yang ditimbulkan oleh perbuatan memukul dan contoh dari tindakan kedua dapat dilihat pada rasa panas dan dingin. Tindakan yang pertama dapat dikategorikan ke dalam tindakan langsung (efek dihasilkan dari aksi (al-amal) secara berurutan), sementara yang kedua tidak langsung. Tindakan yang terakhir ini dikalangan Mu’tazilah lebih dikenal dengan al-af’al al-mutawalidah (Ibrahim Madkur, t.t.: 107-108).<br />
Mu’tazilah juga berusaha keras merasionalisasikan paradoks-paradoks tersebut dengan mencoba memperkenalkan gagasan tentang nature. Menurut mereka, apapun yang terjadi di luar jangkauan kemampuan manusia, itu disebabkan oleh Tuhan melalui tuntutan penciptaan (alam), misalnya saja batu yang bergerak. Maka apapun yang terjadi di alam itu disebabkan oleh tindakan awal Tuhan secara tidak langsung (Madjid Fakhry, 1953: 100).<br />
Lebih jelas Mu’ammar mengatakan, bahwa eksistensi body berasal dari Tuhan, sementara eksistensi aksiden harus dikaitkan dengan aksi (tindakan) dari body itu sendiri, baik secara alami maupun disadari dalam diri manusia. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan, bahwa Tuhanlah yang menyebabkan munculnya aksiden kecuali secara tidak langsung melalui agen body yang memunculkan aksiden-aksidennya secara alami. Ini dilakukan Mu’ammar untuk menghindarkan tanggungjawab Tuhan atas perbuatan dosa manusia di dunia (Madjid Fakhry, 1953: 102). Pendapat Mu’ammar ini sangat dengak dengan pendapat an-Nazzam tentang tindakan manusia; manusia adalah substansi yang berkehendak dengan body. Manusia diberi kekuatan, inisiatif, dan pengetahuan (Madjid Fakhry, 1953: 103).<br />
Usaha tokoh Mu’tazilah untuk keluar dari paradoksitas pemahaman yang telah mereka bangun; dengan prinsip tauhid mereka hendak menegakkan kekuasaan mutlak Tuhan pada satu sisi, dan kebebasan berkehendak manusia sebagai wujud keadilan Tuhan pada sisi yang lain, dengan mengajukan konsep al-af’al al-mutawallidah berujung pada pemisahan dua wilayah, yaitu dunia kehendak dan dunia alam. Pemisahan ini akan berakibat fatal pada pemecahan yang memadai terhadap problem kebebasan, yang berarti bahwa manusia bebas memutuskan untuk dirinya sendiri meskipun ia tidak mampu menjalankan keputusan-keputusannya. Gagasan tentang nature juga hanya akan menempatkan efek dengan secara mudah pada tahapan yang lebih jauh di luar jangkauan kehendak manusia.<br />
Kategori bahwa manusia itu mampu menentukan dirinya sendiri atau mampu bertindak dengan dirinya sendiri, merupakan kategori simplistis yang diajukan oleh Mu’tazilah dengan berangkat dari gagasan teologis; mengenai keesaan dan keadilan Tuhan, yang terkait dengan realitas politik pada saat itu. Untuk melindungi gagasan itu mereka mencoba merasionalisasikan problem tentang tindakan manusia dengan cukup mempostulatkan bahwa manusia mampu menentukan dirinya sendiri; mampu bertindak dengan dirinya sendiri. <br />
Meskipun Mu’tazilah mengasumsikan bahwa manusia adalah pencipta tindakannya sendiri, namun tetap terjebak pada pemostulatan metafisika atom dan aksiden, yang secara umum ditandai sebagai occusionalism. Prinsip dasar dari metafisika ini adalah segala sesuatu di dunia terdiri dari dua elemen penting, atom dan aksiden.<br />
<br />
<br />
Penutup<br />
Semuanya sepakat bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Namun mengkaji tentang kehendak manusia dan keterbatasannya dalam realitas kehidupan tetap akan menyimpan misteri, bahkan tampak paradoks di hadapan kekuasaan Mutlak Tuhan. Sampai aliran filsafat yang paling kritis pun akan menghadapi paradoks-paradoks itu dalam mencermati esensi tindakan manusia sebagai makhluk Tuhan. Usaha yang telah dilakukan Mu’tazilah merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari itu. <br />
Bagaimanapun juga pemikiran Mu’tazilah tentang problem kehendak manusia merupakan sumbangan intelektual yang berharga bagi dunia Islam. Kritik dan ana- lisis cermat harus tetap dilakukan terhadapnya untuk mengoreksi paradigma yang <br />
ditimbulkannya dan melihat kemungkinan paradigma lain yang –mungkin—lebih dapat diterima oleh semangat anak zaman. [mff]<br />
<br />
Daftar Pustaka<br />
<br />
Abdul Jabbar bin Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, ditahklik oleh Imam Ahmad bin Husein bin Abi Hasyim, Abdul Karim Usman (ed.), (Maktabah Wahbah, Kairo: 1965), cet. I<br />
<br />
Abdul Qahir bin Tohir bin Muhammad al-Baghdadi, al-Farqu Bain al-Firaq (Dar al-Kutub al-Ilmiah, Beirut: t.t.)<br />
<br />
Abu al-Hasan Ibn Ismail l-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, Hilmut Ritter ed. (Mathba’ah al-Daulah, Constantinopel: 1930), Vol. II<br />
<br />
Al-Mahdi Lidinillah Ahmad bin Yahya bin al-Murtdla Ibn al-Mufadlol bin Mansur al-hasani al-Yamani, Kitab al-maniah wa al-Amal fi Syarh al-Milal wa al-Nihal, Muhammad Jawad Masykur ed. (Dar al-Fikr, Beirut: 1989), cet. I<br />
<br />
Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of The Kalam (Harvard University Press, London: 1976)<br />
<br />
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan (Universitas Indonesia Press, Jakarta: 1986)<br />
<br />
Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiah: Manhaj wa Tathbiq (Dar al-Maarif, Mesir: t.t.), Vol. II<br />
<br />
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1996), cet. I<br />
<br />
Madjid Fakhry, “Some Paradoxical Implications Implications of The Mu’tazilite View of Free Will”, The Muslim World, No. XLIII/1953<br />
<br />
Muhammad Abed al-Jabiri, al-Turas wa al-Hadatsah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1991), cet. I<br />
<br />
Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Syihristani, al-Milal wa al-Nihal, Abdul Aziz Muhammad al-Wakil ed. (Dar al-Fikr, Beirut: t.t.)<br />
<br />
Nasr Hamid Abu Zaid, al-Ittijah al-Aqli fi al-Tafsir: Dirasah fi Qadliyah al-majaz fi al-Qur’an Inda al-Mu’tazilah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1996), cet. III<br />
<br />
Nasr Hamid Abu Zaid, al-nash al-Sultah al-Haqiqah (al-Markaz al-Tsiqafi al-Arabi, Beirut: 1995), cet. I<br />
<br />
W. Montgomery Watt, The Formative Priode of islamic Thought (One World Oxford: t.t.)M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-74281377797449408282009-11-30T09:27:00.000+07:002009-11-30T09:27:00.661+07:00Mendekonstruksi Tabu-tabu SeksualOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Seks merupakan sesuatu yang natural dan kodrati dalam diri kita. Ia bekerja secara naluriah setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu atau indera kita yang lainnya menangkap stimulus yang sejenis. Ini menyebabkan mengapa di dunia yang sudah global sekalipun, seks tetap muncul sebagai daya tarik tersendiri di antara sekian banyak persoalan. Pengeksploitasian seks secara massif, baik seperti yang ada dalam iklan TV atau dalam media cetak, merupakan contoh kecilnya. Ini menunjukkan betapa pemahaman kebanyakan orang terhadap seksualitas baru hanya pada aspek yang menyangkut genitalitas dan organ seks sekunder lainnya saja. Seks dipahami hanya dari dimensi bilogis-fisiknya saja, tidak dari dimensi behavioral, psiko-sosial, klinis atau dimensi kulturalnya. Lebih ironisnya lagi, di tengah masyarakat seks masih dianggap tabu.<br />
Dalam buku yang cukup tebal, dalam ukuran buku saku ini, FX Rudy Gunawan mengajak untuk mendobrak seks. Menurut penulis buku ini, sebenarnya seksualitas merupakan persoalan filosofis yang urgen dan aktual dalam rangka memahami identitas seksualnya atau eksistensi dirinya sebagai homo sexsualis. Karenanya, esensi dari eksistensi manusia terletak di dalam seksualitasnya. Pentabuan seks, dalam berbagai bentuknya, lebih merupakan bentuk-bentuk campur tangan kepentingan lain: kekuasaan politk, ekonomi, agama dan lain-lain. <br />
Dalam konteks politk, selama ini, sexual identity lebih merupakan sebuah political idea atau sebuah ide politik yang selalu dimanfaatkan oleh para penguasa untuk melakukan fungsi kontrol terhadap masyarakat. Dalam konteks ini, untuk membicarakan seks, kita harus menggunakan perumpamaan-perumpamaan, penghalusan-penghalusan, atau bentuk retorika kiasan dan metafor. Bahasa benar-benar dikendalikan dengan ketat. Maka akibat selanjutnya adalah muncul pelipat-gandaan wacana mengenai seks di dalama wilayah kekuasaan itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya dan bahkan untuk semakin membicarakannya. Rezim Orde Baru misalnya, sebenarnya telah mentransfer cara pentabuhan seks selama berabad-abad yang dilakukan oleh berbagai rezim kekuasaan di mana-mana, meskipun terjadi secara tidak langsung. (hal. 51)<br />
Dalam agama, pentabuan seks bermula dari persepsi tentang penciptaan Adam dan Hawa. Asumsi bahwa Adam diciptakan lebih awal katimbang Hawa dipandang sebagai penanda bahwa kaum laki-kali harus lebih dulu, harus nomor satu, dan bahkan harus lebih tinggi di atas perempuan. Akibatnya muncul ketidakseimbangan antara kaum laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan posisi ini pada akhirnya berujung pada ketidak-adaan penghargaan terhadap tubuh: yang terjadi malah pengeksploitasian, pelecehan, bahkan kekerasan terhadap tubuh perempuan. (hal. 59)<br />
Pentabuan seks akan melahirkan sikap tidak adil akan sexsual Identity atau pembedaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan. Aturan perkawinan misalnya, di tengah masyarakat mestinya tidak dirancukan dengan nilai-nilai keperawanan (virginitas) sehingga yang terjadi kemudian adalah persepsi bahwa lembaga perkawinan merupakan legitimasi dari sebuah hubungan seks atau sexual intercouse. <br />
Menurutnya, hubungan seksual sendiri sama sekali tidak membutuhkan legitimasi formal apapun karena hubungan itu sudah legitimate jika dilakukan atas dasar keinginan bersama, merupakan ekspresi dari hubungan emosional antara sepasang manusia, tidak merugikan salah satu pihak, dan bukan merupakan wujud penguasaan (dominasi) kaum laki-laki terhadap perempuan. Lembaga perkawinan lebih merupakan wujud komitmen lanjutan antara sepasang manusia tersebut dengan tujuan mempermanenkan hubungan tersebut, meneruskan keturunan, dan untuk memudahkan pendidikan terhadap anak-anak. (hal. 53-54) Maka persoalannya kemudian bukan kapan seorang perempuan melepas keperawannya, namun bagaimana ia melepaskan keperawanannya. <br />
Di sini kemudian kita harus memahami seks sebagai wacana tubuh. Ini prinsip awal yang harus ditanamkan dalam setiap individu. Karena tubuh itu, secara nyata, mewakili kehormatan seseorang, maka kita harus mengormati integritas tubuh pasangan kita. Karena pernah menyetebuhinya, bukan berarti lantas kita harus memilikinya. Untuk itu seks harus dibicarakan sebagai sebuah bidang umum. Sebagai sebuah unsur yang sangat esensial dalam diri manusia yang menentukan keberadaan atau eksistensi manusia seutuhnya. Seks merupakan kodrat alamiah setiap manusia yang menjadi bagian yang integral dalam dirinya. Oleh karena itu, mencari nilai-nilai inheren atau intrinsik dari seksualitas menjadi menjadi lebih urgen dan signifikan.<br />
Namun apabila manusia gagal atau tidak memahami kodrat seksualnya, maka yang terjadi adalah kebejatan moral. Kegagalan itu dapat dilihat dalam prilaku-prilaku seperti pedhofili dan korelasinya dengan pelacuran anak, prilaku sadomasochis atau sadisme dalam seks, dan insect. Seks yang semestinya harus dihormati sebagai bagian dari eksistensi kehidupannya yang mempunyai nilai-nilai intrinsik berubah, dijadikan sekedar alat ekspresi. (hal. 177-178) <br />
Nilai-nilai sejati dari seksualitas harus dicari. Karena ternyata wacana seks mencakup hampir semua dimensi dan prisnip-prinsip dasar dalam kehidupan. Kausalitas pada manusia, alam bawah sadar manusia, prinsip-prinsip hubungan antara manusia, dan perkembangan suatu kebudayaan, semuanya berkembang dalam wacana seks. Bahkan kebejatan manusia, atau ukuran kebudayaan sekalipun. <br />
Demikianlah penulis buku ini mengulas persoalan seksualitas dan hubungannya dengan realitas kehidupan sebagai sebuah sistem yang tak terpisahkan, bahkan melacak nilai-nilai sejati dari seks tersebut secara panjang lebar. Semuanya dilihat dari perspektif filosofis. Meskipun buku ini hadir dalam bentuk kecil, namun tuntas dalam mengungkap sersoalan tersebut, selain menarik untuk dibaca dan enak dipahami, terutama bagi mereka yang memiliki concern terhadap persoalan gender atau feminisme. Lebih-lebih dengan menggunakan pendekatan ala kaum strukturalisme seperti yang dilakukan oleh Claudia Levi-Strauss dengan analisanya tentang insect, buku ini semakin menunjukkan dimensi lain yang ‘baru’, dibanding dengan buku-buku yang sudah ada.[mff]<br />
<br />
<br />
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Harian Bernas YogyakartaM. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-26511777638447424642009-11-30T09:24:00.000+07:002009-11-30T09:24:25.954+07:00Apa Yang Salah Dengan Sholat Berbahasa Indonesia?Oleh: M.Faisol Fatawi<br />
<br />
<br />
Menarik sekali membaca tulisan Hafidz J.M. yang berjudul "Salat Berbahasa Indonesia dalam Perspektif Syari'at Islam", yang dimuat dalam koran ini beberapa hari lalu (12-13 Mei 2005). Dalam tulisan itu saudara Hafidz telah menyatakan bahwa shalat berbahasa Indonesia --sebagaimana yang dipraktikkan oleh KH.M.Yusman Roy-- adalah tidak sah, bahkan tidak dibenarkan dan bertentangan dengan syari'at Islam. <br />
Ada beberapa catatan untuk tulisan saudara Hafidz. Pertama, bahwa memang shalat merupakan jenis ibadah mahdlah. Ibadah ini wajib dilakukan oleh siapapun yang memeluk Islam. Bahkan kita semua memaklumi kalau Rasulullah pernah menyatakan "lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat (shalat)-ku". Namun demikian shalat yang bagaimanakah? Kaifiyah gerakan dan bacaannya seperti apa?<br />
Jika kita menelisik literatur-literatur fiqh klasik, kita akan mendapatkan berbagai perbedaan mengenai kaifiyah gerakan dan bacaan shalat. Dengan kata lain, tidak ada kesepakatan bulat di kalangan fuqaha' mengenai kaifiyah shalat. Dalam masalah takbir misalnya, Ibn Rusyd dalam bukunya Bidayah al-mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid telah merangkum beberapa pendapat. Di antaranya, bahwa takbir adalah wajib dalam setiap gerak shalat; takbir tidak wajib dalam seluruh gerakan shalat; dan yang wajib hanya takbiratul ihram. Tidak hanya itu. Perselisihan pendapat pun terjadi dalam masalah bacaan takbir yang baku: apakah Allahu Akbar saja atau bisa diganti dengan lafadz yang senada?, masalah basmalah dalam membaca surat al-Fatihah, masalah pengucapan salam… dst. <br />
Masih dalam kerangka perselisihan kaifiyah shalat, bahwa ternyata di kalangan ulama juga terjadi perselisihan pendapat mengenai masalah membaca al-Fatihah: apakah harus dibaca seperti apa adanya (yakni sebagaimana bacaan dalam al-Qur'an yang menggunakan bahasa Arab) atau bacaan al-Fatihah itu boleh diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Secara jelas, Abu Hanifah adalah salah seorang fuqaha' yang membolehkan bacaan al-Fatihah dengan bahasa terjemahannya, yaitu menggunakan bahasa Persi. Sementara seperti Imam Syafi'i dan yang lain mewajibkan bacaan al-Fatihah seperti apa adanya. <br />
Fakta perselisihan pendapat dalam hal kaifiyah shalat tersebut di atas, semakin menggelitik pikiran kita untuk mempertanyakan kembali kesimpulan bahwa shalat berbahasa Indonesia tidak ada dalam syari'at Islam sehingga tidak dapat dibenarkan. Pendapat Gus Roy tidak jauh berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah membolehkan membaca al-Fatihah dalam shalat dengan menggunakan bahasa persi, sementara Gus Roy membacanya dengan bahasa Indonesia. Sampai sini kita pun jadi bertanya, apakah yang dimaksud oleh saudara Hafidz mengenai syari'at Islam? Lalu dari sekian banyak perselisihan pendapat, manakah kaifiyah (tuntunan) shalat yang sesuai dengan syari'at Islam? <br />
Di sini, ada kerancuan mengenai maksud syari'at dengan fiqh (hasil ijtihad para ulama). Kewajiban melaksanakan shalat adalah syari'at. Yakni, sebuah jenis amalan wajib yang harus dipenuhi setiap pemeluk Islam. Tetapi, mengenai kaifiyah --seperti bahasa apakah yang harus digunakan untuk melafadzkan al-Fatihah (termasuk juga seluruh bacaan) dalam shalat-- merupakan masalah fiqhiyah yang masih bisa diperdebatkan sebagaimana yang terjadi di kalangan fuqaha' terdahulu. Fiqh bukanlah syari'at dan syari'at bukanlah fiqh. <br />
Dengan demikian, pendapat yang dilontarkan Gus Roy mengenai shalat berbahasa Indonesia tidak bisa dinilai telah keluar dari syari'at Islam. Posisi pendapat Gus Roy berada dalam masalah fiqhiyah--padahal fiqh itu sendiri merupakan sekumpulan pendapat ulama mengenai suatu masalah dengan tetap mengacu pada dalil-dalil tertentu. Fiqh berisi tentang masalah furu'iyah dan bukan ushuliyah, dan karena itu kita tidak akan pernah menemukan kemufakatan seratus persen. Mengklaim pendapat bahwa shalat berbahasa Indonesia termasuk bukan syari'at Islam sama dengan mengingkari kerahmatan akan adanya perbedaan pendapat. Bahkan--dengan meminjam istilah Ali Harb--telah melakukan imprialisasi pemaknaan (imbriyaliyah al-ma'na).<br />
Kedua, Hafidz dalam menilai pendapat Gus Roy terjebak dengan--apa yang disebut oleh Nasr Hamid Abu Zaid--arabisme. Arabisme yang dimaksud adalah pendapat Hafidz yang mengangap bahwa hanya melalui bahasa Arab-lah shalat itu dilaksanakan dan dianggap sah. Ini didasarkan pada ayat al-Qur'an yang berbunyi "Sesungguhya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kalian memahami" (QS. az-Zukhruf: 3). <br />
Sejatinya, ayat tersebut dipahami dalam konteks sejarah. Artinya, bahwa Nabi adalah keturunan dan berdomisili di tengah-tengah masyarakat jazirah Arab yang menjadikan bahasa Arab sebagai alat komunikasi dalam kesehariaan. Oleh karena mereka menggunakan bahasa Arab, maka sangat wajar jika Nabi dalam menyampaikan dakwah ke jalan Allah menggunakan bahasa Arab dan tidak bahasa orang-orang ajam. Ada hubungan timbal balik dalam pengertian QS az-Zukhruf tersebut. Andai saja dakwah Nabi tidak menggunakan bahasa Arab, maka dapat dipastikan akan mengalami hambatan yang sangat luar biasa, yaitu pesan ilahi tidak akan sampai kepada masyarakat setempat yang menjadi sasaran dakwah Islam pada saat itu. Dalam ayat lain dinyatakan "Dan kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan menggunakan bahasa kaumnya untuk menjelaskan kepada mereka" (QS Ibrahim: 4). <br />
Jelaslah, bahwa penggunaan bahasa Arab dalam konteks penyampaian pesan ilahi tidak lain merupakan alat untuk mempermudah komunikasi. Pesan ilahi adalah esensi, sementara bahasa Arab merupakan medium komunikasi: padahal bahasa adalah sistem ujaran dan tanda yang terkait dengan pranata masyarakat penggunanya. Pesan ilahi bersifat universal, artinya dapat dipahami dang dijangkau dengan berbagai bahasa manusia. Oleh karena itu, jika al-Qur'an yang berisi pesan ilahi dipahami dan diterjemahkan dengan berbagai ragam bahasa manusia di luar bahasa Arab, maka hasilnya tetap pesan ilahi. Yang terpenting bukan medium bahasa yang dipakai, tetapi esensi pesan itu sendiri. Menganggap terjemahan al-Qur'an sebagai sesuatu yang sekunder dan tidak merupakan al-Qur'an itu sendiri berarti telah membatasi eksistensi Tuhan. Allah tidak hanya milik orang Arab, tetapi juga milik seluruh umat manusia. Tidak tersekat oleh batas wilayah geografis dan waktu.<br />
Begitulah saudara Hafidz telah merancukan antara agama dengan pemikiran keagamaan, antara syari'ah dengan fiqh, dan ia juga telah menafikan dimensi historis dalam melihat kasus shalat berbahasa Indonesia yang difatwakan dan dilakukan oleh KH.M.Yusman Roy. Semestinya, kita mendudukkan masalah shalat berbahasa Indonesia itu pada tempatnya, yaitu sebagai persoalan fiqhiyah-furu'iyah. Syari'ah itu tidak sekedar sistem ritual dan lafadz, tetapi--dengan meminjam pengertian Said al-Asymawi--semangat universal untuk mengembalikan dan mengangkat manusia kepada derajat kemanusiaannya.<br />
<br />
<br />
Tulisan ini pernah dimuat di Jawa Pos Radar MalangM. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com14tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-68942604412269724602009-11-30T09:20:00.002+07:002009-11-30T09:20:32.634+07:00Teror Atas Nama KebenaranOleh: M.Faisol Fatawi<br />
<br />
Belum selesai sidang kasus ajaran shalat dua bahasa (Gus Roy) dan buku "Menembus Gelap Menuju Terang" (Mohammad Ardi Husein) di Pengadilan Negeri, kini tuduhan ajaran sesat itu muncul lagi. Kali ini tuduhan sesat itu ditujukan pada Jamaah Ahmadiyah.<br />
Sebenarnya, pencekalan dengan tuduhan sesat ajaran Jamaah Ahmadiyah sudah pernah terjadi sebelumnya. Itu terjadi tepatnya ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 80-an mengeluarkan fatwa sesat. Alasannya, karena ajaran yang disebarkan jamaah tersebut dinilai telah menyimpang dari Islam. Tetapi, Islam yang mana dan yang seperti apa? <br />
Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadzrat Mirza Ghulam Ahmad datang ke Indonesia sejak tahun 1925. Status Jamaah ini serupa dengan organisasi-organisasi Islam yang lain, seperti Muhammadiyah, NU dan lain-lainnya. Artinya, bahwa Ahmadiyah memiliki memiliki status hukum yang legal. Dan ini diperoleh sejak 1953.<br />
Tidak ada perbedaan yang mendasar antara ajaran Ahmadiyah dengan ajaran yang dipegang teguh oleh organisasi-organisasi Islam yang lain di Indonesia. Dari segi sumber hukum, Ahmadiyah berpijak pada al-Qur'an dan hadits. Rukun iman dan rukun Islam-nya pun sama. Bahkan shalat yang mereka jalankan pun tidak jauh berbeda dengan jamaah keagamaan lain pada umumnya.<br />
Barangkali, jamaah ini dituduhkan sesat karena konsep kenabian yang diyakininya, yang konon mereka disinyalir telah meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad Saw. Tetapi faktanya, mereka tetap meyakini Muhammad Saw sebagai nabi. Nabi yang mereka yakini tidak lebih dari sekedar penjelmaan Imam Mahdi al-muntadzar. Yang membedakan hanyalah pemahaman dan penalaran terhadap konsep itu. <br />
<br />
Pluralitas Internal Islam<br />
Munculnya perbedaan penafsiran dan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam bukan merupakan barang yang aneh dan diharamkan. Kesadaran akan perbedaan ini telah muncul dalam diri Nabi Saw sejak awal melalui sabdanya: "perbedaan (ikhtilaf) umat-ku merupakan rahmat".<br />
Jika boleh dipahami, pernyataan Nabi tersebut mengisyaratkan kepada kita akan adanya realitas perbedaan pada dataran ontologis. Bahwa secara alami perbedaan itu merupakan suatu keniscayaan, dan ini tidak boleh dipungkiri. Hukum bahwa "perbedaan merupakan keniscayaan" berlaku secara mutlak dalam alam semesta ini.<br />
Dalam praktik beragama, realitas perbedaan memang benar-benar terjadi di kalangan umat Islam pasca kematian Nabi. Perbedaan pemahaman itu muncul pertama kali dalam hal keimanan--yang kemudian dikenal dengan teologi. Dalam hal ini, umat Islam tidak saja dihadapkan pada model keimanan yang dipegang teguh oleh kelompok Sunni, tetapi juga Khawarij, Muktazilah, Murji'ah, Syi'ah, dan lain-lainnya.<br />
Perbedaan konsep keimanan mendorong mereka (umat Islam) untuk melebarkan sayap perbedaan di dalam wilayah hukum praktis (fiqh). Puluhan bahkan ratusan produk hukum Islam (fiqh) difatwakan dari waktu ke waktu. Maka, muncullah apa yang kita kenal dengan madzhab fiqh: barangkali Syafi'i, Maliki, Hambali, Hanafi, Dawud Dzahiri, al-Laitsi, dan al-Auza'i hanyalah beberapa aliran yang dapat kita kenali sampai sekarang melalui khazanah pengetahuan yang ada.<br />
Tentu perbedaan pemahaman yang termanifestasikan ke dalam madzhab seperti yang terjadi di masa silam akan lain bentuknya di zaman sekarang ini. Kini, perbedaan dalam beragama itu menjelma ke dalam organisasi-organisasi modern sebagaimana yang ada saat ini, meskipun secara genealogi pengetahuan--kadang--tidak dapat melepaskan diri dari formulasi konsep sebelumnya. Tetapi, tak jarang pula yang secara terang-terangan mengikuti madzhab yang sebelumnya pernah eksis atau kadang mengklaim dirinya tidak bermadzhab sama sekali. <br />
Semua kenyataan perbedaan itu merupakan realitas historis akan adanya pluralitas internal dalam tubuh Islam. Islam adalah tunggal dan sekaligus plural. Islam adalah ibarat payung besar yang menaungi berbagai ragam pemahaman terhadapnya. Perbedaan internal justru semakin menampakkan keindahan dan sekaligus kekuatan Islam itu sendiri. Menganggap bahwa Islam itu tunggal sama dengan mengingkari realitas sejarah umat Islam itu sendiri.<br />
<br />
Dialog Antar-kebenaran<br />
Tidak ada seorang pun atau kelompok di dunia ini yang bisa mengklaim bahwa dirinyalah orang yang paling benar atau berada dalam kebenaran. Hanya Tuhan yang Mahabenar, karena segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bersumber dari-Nya. Isyarat ini secara jelas telah dinyatakan misalnya saja dalam QS al-Baqarah: 147 dan Ali Imran: 60: "Kebenaran berasal dari Tuhan-mu, dan janganlah kalian menjadi orang-orang yang ragu".<br />
Dalam konteks pluralitas internal Islam, isyarat yang ditunjukkan ayat tersebut di atas semakin menemukan signifikansinya. Artinya, bahwa tidak dibenarkan adanya klaim kebenaran (truth claim) mutlak bagi masing-masing kelompok dalam internal Islam. Bagi mereka, yang ada hanyalah kebenaran nisbi yang bersifat sangat relatif. <br />
Maka jelaslah, bahwa dalam Islam tidak ada klaim kebenaran. Sikap itu bertentangan dengan ajaran agama. Sikap merasa benar sendiri antar-sesama pengikut agama (internal) tidak saja mencoreng citra agama itu sendiri, tetapi juga telah mengaburkan misi progresifitas agama dalam menata dan membangun peradaban manusia ke arah derajat yang lebih mulia. <br />
Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi masing-masing kelompok (aliran) internal dalam agama Islam untuk melakukan dialog. Yaitu, mendialogkan kebenaran yang dicapai sebagai bentuk dari pengalaman dalam memahami dan menghayati ajaran dan teks-teks keagamaan. Dalam dialog juga harus dilakukan--dengan meminjam istilah Ali Harb--kritik kebenaran (naqd al-haqiqah). Kritik kebenaran ini tidak berarti saling mencari kelemahan argumentasi: yang lemah argumentasinya itulah yang salah sedangkan yang kuat argumentasinya itulah yang benar. Tetapi, mendialogkan kebenaran sebagai bentuk pencerahan penalaran (pemahaman) dalam membangun kehidupan umat manusia.<br />
***<br />
Seperti dikatakan Imam Ali bin Abi Thalib, bahwa "Ia (al-Qur'an) tidak dapat berbicara, yang berbicara atas nama al-Qur'an adalah orang-orangnya". Itu artinya bahwa akal seseorang dan tingkat pengetahuan pemahaman merekalah yang menentukan dan membentuk makna (kebenaran). Jika memang demikian, lantas sampai kapan fatwa atau tuduhan sesat terhadap individu dan kelompok (aliran) dalam agama bisa diakhiri? Tuduhan-tuduhan sesat dalam beragama tidak lain merupakan bentuk dari teror atas nama kebenaran.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-36383218657078627722009-11-30T09:18:00.002+07:002009-11-30T09:18:47.118+07:00Wajah Seks dalam Agama-agamaOleh: M.Faisol Fatawi<br />
<br />
Seks merupakan masalah yang penting bagi kehidupan manusia. Masalah ini hadir di dalam diri kita secara alami. Setiap kali syaraf mata kita menangkap stimulus tertentu, naluri seks langsung bekerja. Karena begitu penting, maka tak heran jika agama --yang telah diklaim sebagai pedoman kehidupan-- turut serta menjadikan seks sebagai hal yang harus diatur dalam agama. Bahkan hampir dapat dipastikan, bahwa tidak ada agama yang menafikan masalah seks.<br />
Dalam setiap agama, seks dianggap sebagai sesuatu (baca: sarana) yang bertujuan prokreasi, yakni meneruskan ciptaan Tuhan. Manusia pertama dikabarkan beranak pinak, sehingga hubungan seksual digunakan untuk meneruskan dan melanggengkan ras keturunannya. Karena itu, masalah seks dalam agama telah menampakkan wajah sakralitasnya. Dengan kata lain, bahwa urusan seks dalam agama tidak saja menjadi masalah biologis semata, tetapi menjadi hal yang "suci".<br />
Wajah seks yang seperti itu dapat dilihat dalam tradisi agama-agama yang lahir di belahan tanah India, dimana seks ditampilkan secara vulgar dengan model ilahiah dan sekaligus kemanusiaan. Dalam hal ini, kita dapat menemukan cerita-cerita yang menggambarkan sosok seorang dewa yang dipahami sebagai lambang keperkasaan kejantanan (baca: seksual). Dewa itu tidak lain adalah Siwa: sang dewa seks dan sekaligus dewa asketisme. Gambaran seperti ini tertulis dalam epik Mahabarata.<br />
Gambaran lebih jelas juga dapat disaksikan dalam buku panduan seks yang sangat terkenal seperti Kamasutra. Buku ini bisa dikatakan sebagai "kitab suci" yang tidak saja memuat pujian-pujian kepada para dewa, tetapi sekaligus berisi tentang seni hubungan seks antara laki-laki dan perempuan. Bahkan membacanya menjadi semacam kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang calon pengantin.<br />
Demikian halnya tradisi keyakinan agama yang tumbuh subur di dataran Cina. Gagasan mengenai masalah seks dalam tradisi agama Cina (khususnya Taoisme) tidak dapat lepas dari teori yang telah dikembangkan dari I Ching. Ada Yin dan Yang. Yin adalah simbol kelembutan seorang perempuan, sedangkan Yang merupakan simbol keperkasaan laki-laki. Untuk memperoleh energi seksual yang luar biasa, antara Yin dan Yang harus disatukan. Pertukatan timbal balik antara keduanya, diyakini mampu menghasilkan keserasian yang sempurna dan hubungan seksual, bahkan konon dapat meningkatkan stamina dan memperpanjang usia. Gagasan Yin dan Yang ini menyerupai gagasan In dan Yo di Jepang.<br />
Sementara itu, gagasan mengenai seks dalam tradisi agama-agama Semitik tidak menampakkan wajah yang begitu syuur. Wajah seks lebih dibungkus dalam kerangka normatifitas teks, yang cerminannya dapat ditemukan dalam pengalaman seorang nabi. Baik dalam Islam, Kristen maupun Yahudi, tidak ditemukan adegan-adegan tertentu yang termanifestasikan ke dalam bentuk buku panduan maupun pahatan-pahatan berbentuk cerita, yang bersifat visual. <br />
Demikianlah, agama-agama menggambarkan dan berbicara tentang persoalan seks dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Namun, hal yang tidak dapat dinafikan bahwa agama telah memberikan makna baru terhadap masalah seks, dari sekedar persoalan badaniah-alami menjadi persoalan yang sakral: aktifitas seksual merupakan bentuk ibadah dan menjadi bagian ritus pemujaan.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-23095794888115373712009-11-27T06:48:00.002+07:002009-11-27T06:48:52.488+07:00Membunuh Nafsu HewaniOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Setiap manusia dilahirkan dengan nafsu. Nafsu merupakan wajah lain dari kemauan atau keinginan. Dalam diri manusia, nafsu laksana ruh yang dapat mendorong dalam melakukan sesuatu. Semua amal perbuatan seseorang mesti didahului oleh kemauan. Dorongan nafsu dalam diri seseorang selalu bermuara dalam dua pilihan, mengarah pada jalan kebajikan atau jalan keburukan; ketakwaan atau kekufuran (lihat QS. asy-Syams). Siapa yang mampu mengendalikan keinginan nafsunya ke arah yang baik, maka ia mendapat tempat yang mulia. Sementara siapa yang terbelenggu oleh nafsunya maka akan mendapat balasan yang hina. Bagi manusia, nafsu dapat menjadi kekuatan positif sejauh ia dapat mengendalikannya.<br />
Istilah nafsu merupakan kata serapan dari lafaz nafs yang berarti diri, isi atau inti dari sesuatu yang bersifat halus. Istilah nafs seringkali dihadapkan dengan sesuatu yang bersifat materi, dan oleh karena itu muncul anggapan bahawa dalam diri manusia terdapat nafs dan madiyah (materi). Nafs bagi diri manusia tidak lain adalah ruh, sedangkan madiyah merupakan jasad atau wadag. Ruh seringkali identik dengan kesucian, sementara wadag dianggap sebagai sesuatu yang penuh dengan kotoran. Dikotomi seperti ini sampai sekarang masih dipegang sebagai pandangan dalam sementara umat Islam. <br />
Sebuah adagium filsafat sering kita dengar, bahwa manusia didefinsikan sebagai hewan yang berakal (al-insan huwa al-hayawan al-nathiq). Manusia adalah sejenis (bergenus) hewan. Yang membedakan adalah manusia memiliki kemampuan untuk bernalar atau berpikir dengan kekuatan akal yang dimilikinya, sementara hewan tidak memiliki potensi sebagaimana yang dalam diri manusia. <br />
Dengan kapasitas kemampuan seperti itu, maka manusia ditempatkan sebagai makhluk yang mulia atau yang dalam bahasa agama disebut dengan ahsan taqwim. Bahkan Allah secara nyata menyebut bahwa diri-Nya telah memuliakan anak turun Adam, sehingga ia disodori amanat dan mereka pun menerima untuk memikul amanat itu (QS. al-Isra’: 70). Perjanjian inilah yang kemudian lebih dikenal dengan perjanjian primordial antara manusia dengan Tuhan. <br />
Secara garis besar, nafsu yang bercokol dalam diri manusia dikelompokkan menjadi dua. Yaitu, nafsu yang bergerak ke arah kebaikan atau yang dalam istilah al-Qur’an disebut sebagai nafs al-muthma’innah yang baginya akan mendapat tempat yang mulia di sisi Tuhan (QS. al-Fajr: 27-30). Sementara yang lain adalah nafsu yang senantiasa mendorong manusia untuk melakukan kejelekan dan keburukan. Nafsu jenis yang terakhir inilah yang identik dengan nafs al-hayawaniy. Nilai kemanusiaan seseorang akan menurun setingkat nilai kebinatangan manakala mereka tidak mampu mengendalikan potensi yang dimilikinya. Nafsu yang muthma’innah harus selalu dipelihara dan dipertahankan, sementara nafsu yang al-hayawaniy harus dihilangkan dari diri manusia. <br />
Dalam diri manusia, nafsu al-hayawaniy harus ‘dihilangkan’, sehingga tidak melahirkan perilaku-perilaku atau amal perbuatan negatif. Momen Idul Adha kali ini mungkin dapat dijadikan pelajaran berharga bagi kita untuk ‘membunuh nafsu hewani’ yang bercokol dalam diri setiap insan; muara lahirnya perilaku mencuri, korupsi, iri dan dengki, sifat pemarah dan seterusnya. Penyembelihan hewan kurban merupakan isyarat simbolik akan hal itu, dan bukan sekedar memisahkan nyawa hewan dari wadagnya dengan diiringi tahmid dan takbir, lalu dagingnya kita bagi-bagikan kepada yang lain, dan kemudian dinikmati bersama. Jika penyembelihan itu dipahami sebagai kegiatan bagi-bagi daging dan lantas dinikmati bersama—dan melenceng dari pesan esensialnya, tentu hal ini tidak berbeda dengan kegiatan ‘mayoran’ untuk makan-makan bersama. Na’udzu billah min dzalik![mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-31416869753149975392009-11-26T08:39:00.002+07:002009-11-26T08:39:47.189+07:00Simbolisme Hewan KurbanOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Idul Adha adalah salah satu momen penting dalam Islam. Ia merupakan hari besar kedua setelah Idul Fitri. Di hari yang agung ini, setiap muslim diperintah untuk banyak melantunkan bacaan takbir dan tahmid. Tak kalah penting lagi, penyembelihan hewan kurban dilakukan seusai shalat Ied. Penyembelihan ini telah menjadi ikon tersendiri. Bahkan kata Idul Adha itu sendiri mengandung arti “hari penyembelihan”, yakni penyembelihan hewan kurban. <br />
Cerita mengenai penyembelihan hewan kurban telah masyhur dan termaktub dalam al-Qur’an. Bahwa nabi Ibrahim dalam suatu mimpi didatangi oleh malaikat Jibril, dan mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya (Ismail). Rasa berat menggelayuti diri Ibrahim, namun apa boleh buat semua itu merupakan perintah Allah. Sang putra Ismail juga tidak pantang surut ketika mengetahui bahwa perintah penyembelihan dirinya datang dari Allah. Justru, Ismail malah berusaha sekuat tenaga menepis keraguan ayahnya. Akhirnya, upacara penyembelihan disiapkan. Leher Ismail telah siap menerima gesekan pedang. Namun, yang terjadi justru Allah mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba. <br />
Kini, penyembelihan hewan kurban telah menjadi ritual dan tradisi keagamaan bagi umat Islam dimanapun mereka berada. Tidak semua orang diwajibkan untuk berkurban, hanya mereka yang mampu saja. Dalam praktinya, tradisi keagamaan yang satu ini terkesan dipahami sebagai bentuk ritual penyembelihan tahunan dan kadang dijalankan mirip dengan pemberian santunan yang bersifat karikatif, atau bahkan dijadikan sebagai ajang hura-hura dan senang-senang, sehingga lupa pada makna esensialnya. Sungguh sebuah ironi jika memang ini yang terjadi.<br />
Sebenarnya, ritual penyembelihan hewan kurban merupakan ilustrasi yang bagus untuk suatu bentuk komunikasi nonverbal antara hamba dengan Tuhan. Dalam hal ini terjadi pertukaran benda: hamba mempersembahkan hewan kurban dan Allah sebagai Dzat maha tinggi yang menerima. Nabi Ibrahim dengan suka rela mengorbankan putra tercintanya, namun oleh Allah diganti dengan seekor domba, lalu Allah memerintahkan Ibrahim untuk membuka matanya dan menyadari bahwa Allah telah menerima kurbannya. <br />
Hubungan antara manusia dengan Tuhan tentu berbeda dengan hubungan manusia dengan makhluk yang lain. Dalam proses komunikasi melalui hewan kurban tergambar bahwa hamba yang berkurban menyadari akan apa saja yang diinginkan dan dikehendaki oleh Tuhan, dan bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan apa-apa selain tunduk pada kehendak-Nya. Jelas, ini merupakan bentuk kepasrahan penuh manusia kepada Tuhannya. Ketundukan seperti ini penting dalam rangka perjalanan spriritual untuk mendatangi dan menghadap sang Khalik kelak, karena memang hanya kepada Allah-lah tempat kembali.<br />
Dalam proses ritual penyembelihan hewan kurban juga dapat ditemukan sebuah bentuk penegasan persahabatan dan solidaritas sosial. Hewan kurban yang telah disembelih tidak dibuang secara sia-sia. Dagingnya dibagi-bagikan secara merata. Baik yang miskin maupun yang kaya mendapat bagian yang sama. Karena memang secara syar’i tidak ada nash yang mengatur untuk itu. Tidak seperti zakat misalnya, yang mustahiq-nya sudah ditentukan.<br />
Pada akhirnya, kita pun tidak dapat memungkiri bahwa ritual penyembelihan hewan kurban merupakan suatu tindakan religius yang diyakini dapat merubah keadaan moral orang-orang yang melaksanakannya. Ia telah menjadi media komunikasi antara yang duniawi dan yang sakral. Antara hamba dan Tuhannya. Sebuah dialog yang tak akan pernah berakhir selama nafas kehidupan terus berjalan. Kita butuh kearifan hati dan kejernihan pikiran untuk memahami dan memaknai arti dari sebuah penyembelihan hewan kurban.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-9715498563398496402009-11-25T08:59:00.002+07:002009-11-25T08:59:47.445+07:00Wukuf dan Semesta KemanusiaanOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Istilah wukuf berasl dari kata w-q-f yang berarti berhenti. Wukuf merupakan salah satu rangkaian ibadah (ritual) yang harus dilakukan oleh setiap orang yang sedang melaksanakan haji. Wukuf di Arah berarti berhenti sejenak di tempat itu. Waktu wukuf adalah awal zuhur tanggal 9 Dzul Hijjah sampai sebelum terbit matahari tanggal 10 Dzul Hijjah. Wukuf menjadi rukun kedua di dalam ibadah haji.<br />
Wukuf menjadi momen yang sangat penting bagi jamaah haji tidak saja dari aspek ritualitas keagamaan ibadah haji, tetapi sebagai peristiwa sejarah kemanusiaan. Terdapat peristiwa penting yang mengiringi kenapa wukuf itu menjadi hal yang istimewa dalam haji. Tepatnya, di Arafah nabi menyampaikan pidato terakhirnya ketika sedang berhaji bersama para sahabat-sahabat beliau, atau yang kemudian di kenal dalam sejarah Islam sebagai haji wada’ (haji perpisahan). Dalam pidato itulah, berkali-kali Rasulullah Saw mengatakan: “Ambillah manasik dariku, karena barangkali setelah tahun ini kalian tidak bisa menemuiku lagi.”<br />
Ada hal-hal penting yang dapat kita ambil hikmah dari peristiwa wukuf di Arafah. Ketika para hujjaj berhenti (mampir) di Arafah sejenak, Arafah menjadi lautan yang dipenuhi oleh ribuan manusia. Semuanya hadir ke tengah lapang Arafah dengan memakai baju ihram yang serba putih-putih, tidak ada satupun yang berberda warnanya. Baik mereka yang kaya maupun miskin, yang berkulit hitam maupun putih, baik yang tampan maupun yang berwajah buruk, yang tua maupun yang muda, dan seterusnya, semuanya berjubel menjadi satu dalam tanah lapang Arafah. Ketika itu, semua manusia sama. Tidak ada satupun yang berbeda. Semua di hadapan sang Khaliq sama rata. Nilai-nilai ke-egaliter-an menjadi pesanyang tidak dapat ditolek oleh setiap mereka yang berhaji. <br />
Oleh karena itu, wukuf di Arafah sebenarnya menjadi dimensi ruang dan waktu bagi manusia untuk menumbuhkan sikap keadilan semesta. Dalam batas ruang dan waktu, para hujjaj selama di Arafah merasakan adanya persamaan sejati antar sesama umat manusia melalui pengalaman riil. Dimensi ruang dan waktu tentang adanya perasaan yang sama bukan sekedar menjadi sesuatu yang imajiner. Tetapi, semua itu berada dalam ruang dan waktu yang riil dan nyata.<br />
Kalau merunut sejarah, kita mungkin jadi teringat akan sabda nabi Saw ketika berkhutbah kepada para umat Islam di Arafah pada saat haji Wada’. Terdapat korelasi antara pesan khutbah yang disampaikan oleh baginda Rasul dengan peristiwa wukuf di Arafah dalam pelaksanaan ibadah haji Wada’. Baginda Nabi dalam pidatonya ketika itu mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu. Bapak kalian adalah satu. Kalian semua dari Adam, dan Adam [diciptakan] dari tanah. Semulia-mulia kalian di sisi Allah adalah orang yang baik taqwanya. Tidak kelebihan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali taqwanya ...” Cuplikan khutbah ini mengisyaratkan perhatian Rasulullah terhadap pentingnya persoalan kemanusiaan. Sebuah pesan kemanusiaan yang luhur, yang di dalamnya seseorang menemukan jati dirinya sebagai makhluk yang sama, yaitu sama dalam sifat kemanusiaan dan haknya sebagai ciptaan Tuhan.<br />
Oleh karena manusia pada hakekatnya adalah sama di hadapan Tuhan, maka tidak sepatutnya antar sesama melakukan perilaku yang dapat saling merugikan. Berbuat zalim dan menyakiti orang lain pun tidak diperbolehkan. “Sungguh harta dan darah kalian adalah haram bagi kalian semua,” demikian dalam bagian lain dari khutbah Nabi di Arafah saat haji Wada’. <br />
Sampai sini, saya semakin yakin bahwa peristiwa wukuf—yang harus dilakukan oleh para jamaah haji itu—tidak saja menjadi ajang sesaat untuk menikmati panorama alam bumi Arafah (yang gersang sebagaimana kebanyakan pemandangan daerah gurun pasir lainnya). Tetapi, wukuf harus dijadikan sebagai momen dan tempat untuk mengajari diri sendiri akan pentingnya nilai-nilai tentang semesta kemanusiaan; nilai persamaan antar sesama dan solidaritas kemanusiaan, sehingga tidak mudah tersulut emosi untuk menyakiti orang lain. <br />
Baginda Rasul pernah menyatakan: “Haji adalah Arafah.” Barangkali, ini menjadi isyarat bagi kita akan pentingnya wukuf di Arafah, tidak saja dalam konteks haji tetapi juga dalam konteks historisnya. Maka, sangatlah rugi bagi mereka yang berhaji khususnya, dan umat Islam pada umumnya, yang melupakan makna (hikmah) esensial dari peristiwa besar wukuf di Arafah itu.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-62538661371053299332009-11-24T11:53:00.002+07:002009-11-24T11:53:44.667+07:00Peta Gerakan Sosial BaruOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
STUDI dan teori mengenai gerakan sosial banyak dituliskan dalam<br />
beberapa tahun terakhir. Studi itu sangat menarik karena banyaknya<br />
fenomena yang berkembang sejak awal abad ke-20, terutama lahirnya<br />
sejumlah gerakan perlawanan, khususnya gerakan prodemokrasi (prodem)<br />
pada 60-an di banyak negara di semua belahan dunia.<br />
<br />
Sekalipun demikian, gerakan sosial sering kali secara implisit<br />
didefinisikan secara heterogen terhadap sejumlah fenomena sosial dan<br />
politik seperti revolusi, sekte-sekte keagamaan, organisasi-<br />
organisasi politik, atau satu isu yang mengampanyekan banyak hal pada<br />
sebuah kesempatan didefinisikan sebagai gerakan sosial.<br />
<br />
<a href="http://groups.yahoo.com/group/LKAS_Surabaya/message/413">Selengkapnya baca: </a>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-82791637659740847062009-11-24T11:40:00.000+07:002009-11-24T11:40:58.366+07:00Membongkar Sejarah Penciptaan Manusia dalam al-Qur'anOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
Sampai sekarang sejarah asal-usul manusia di muka bumi masih menjadi objek kajian yang hangat. Berbagai usaha dan teoritisasi dilakukan. Salah satu teori yang paling terkenal, yang dikemukakan oleh Darwin menyatakan, bahwa manusia berasal dari Kera. Tak pelak, kebenaran teori itu pun dipertanyakan oleh banyak pihak, bahkan mendapat tanggapan keras dari para ilmuwan umumnya dan para agamawan khususnya. Seiring dengan itu, para antropolog sibuk menemukan fosil yang diduga fosil manusia tertua. Ada Pithecantrophus Erectus, Meganthropus Erectus, Wajakensis Soloensis, Homo Sapien, dan lain sebagainya. Namun semuanya masih belum dapat menjawab secara pasti misteri dibalik asal-usul (penciptaan) manusia di muka bumi. <br />
Dalam tradisi pemikiran Islam, misteri asal-usul manusia di muka bumi dihubungkan dengan kisah penciptaan nabi Adam. Bahwa nabi Adam-lah manusia pertama di muka bumi. Darinya Hawa’ diciptakan, dan dari keduanya itulah --setelah memakan buah khuldi dan diusir dari Sorga diturunkan ke muka bumi-- lahir anak keturunannya, termasuk kita semua ini yang menjadi anak turun Adam. Pemahaman seperti ini terus diproduksi dan direproduksi oleh kalangan mayoritas muslim. Bahkan kalau kita menyangkalnya berarti dianggap telah mengingkari al-Qur’an. Alasannya mudah, yaitu karena memang demikianlah al-Qur’an mengisahkan.<br />
<br />
<a href="http://www.lakpesdam.or.id/publikasi/55/tashwirul-afkar-13">Selengkapnya baca:</a>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-22796538379955626272009-11-24T11:30:00.004+07:002009-11-24T11:36:28.732+07:00Catatan dari Balik PenjaraOleh: M. Faisol Fatawi <br />
<br />
Bagi sebagian orang, penjara mungkin tempat yang sangat menakutkan karena itu sebisa mungkin dihindari. Namun bagi sebagian yang lain, penjara merupakan kawah candradimuka, tempat untuk menempa diri, bahkan sekolah gratis untuk mematangkan konsep, keahlian, dan keterampilan. Penjara menjadi surga bagi mereka yang ingin menggembleng kepribadian.<br />
<br />
Pengalaman di penjara juga dirasakan Wilson bersama para aktivis Pro Demokrasi (Prodem) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai ganjaran atas usahanya merobohkan kekuasaan Orde Baru.<br />
<br />
Keterlibatan para aktivis Prodem dalam menumbangkan kekuasaan Orde Baru, telah menyeret Wilson dan sejumlah aktivis Prodem dan PRD ke balik jeruji sel di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, LP Kali Sosok, dan LP Tangerang. Wilson ditangkap karena dianggap melawan negara dengan tuduhan merongrong kestabilan, maka mereka menerima tuduhan subversi.<br />
<br />
<a href="http://www.resistbook.or.id/?page=resensi&id=117&lang=id">selengkapnya baca: </a>M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-17066645717358865612009-11-24T11:21:00.000+07:002009-11-24T11:21:14.069+07:00Belajar Membangun Negara dari PlatoOleh: M.Faisol Fatawi<br />
<br />
Saat ini, bangsa Indonesia diterpa ‘penyakit’ serba ketidakjelasan, baik di bidang politik, ekonomi, moral, dan sosial. Krisis ekonomi berkepanjangan, rasa tidak percaya terhadap pemegang kekuasaan dan pelaksana pemerintahan, perseteruhan antar politisi, pejabat negara yang korup, dan yang paling mutakhir geger antara ‘cicak dan buaya’ atau entah apa lagi. Seolah-olah, kita hidup di sebuah negeri yang serba banyak masalah, tak beres. Negeri yang tak layak dijadikan tempat kelahiran dan perkembangan suatu harapan masa depan. Kita butuh pada negara ideal (utama) yang didalamnya tatanan masyarakat dan sendi-sendi kehidupannya berjalan normal: berkeadilan dan beprikemanusiaan.<br />
Di tengah kondisi seperti itu, ada baiknya kalau kita mengambil pelajaran dari pesan-pesan yang disampaikan Plato dalam dialog antara dirinya dengan kawan-kawannya dalam bukunya The Republic (Republik). Menurut Plato, satu hal yang harus dipahami sebelum kita menciptakan negara utama adalah ide tentang (tujuan) penciptaan negara. Negara lahir karena berbagai kebutuhan umat manusia. Masing-masing Individu tidak ada yang sanggup mencukupi kebutuhannya sendiri. Agar kebutuhan tersebut terpenuhi, maka antara satu sama lain harus saling take and give. Yang satu memenuhi kebutuhan yang lain. Semakin banyak kebutuhan yang diperlukan, semakin banyak pemenuhan kebutuhan tersebut. Ketika semuanya kumpul dalam suatu habitat, maka disebut negara. <br />
Menciptakan negara utama tidak mudah, butuh kecakapan keutamaan tertentu. Pertama, bahwa sebuah negara bisa menjadi negara utama manakala dikendalikan oleh keutamaan bijaksana. Kepandaian mengatur negara merupakan jenis pengetahuan. Pengetahuan yang bijaksana dapat diperoleh dari pengetahuan akan tujuan kemanusiaan yang menjadi objek politik, dan tujuan kemanusiaan hanya berpijak pada pengetahuan teoritis. Di sini, bijaksana dalam pengetahuan praktis dan pengetahuan teoritis menjadi suatu keniscayaan dalam menciptakan negara utama. Tak heran, jika Plato mengakui bahwa hanyalah para filsof (orang yang bijak) yang dapat mengarahkan negara menjadi negara utama, karena mereka adalah ahli kebijaksanaan.<br />
Kedua, keutamaan keberanian. Apa yang dimaksud oleh Plato dengan keberanian adalah kemampuan mengetahui masalah, memelihara sesuatu, dan berkata dalam kondisi apapun. Yakni, seseorang harus tetap berusaha untuk bertahan, baik dalam kesenangan maupun penderitaan, di bawah nafsu atau ketakutan. Bukannya malah kehilangan pikiran. Keberanian diperoleh bukan semata-mata karena diharuskan hukum, tetapi harus ditanamkan dan dipersiapkan sebaik mungkin kepada semua individu sehingga tidak lapuk ditelan waktu dan kondisi. Oleh karena itu, penyelamatan ide dari yang benar yang sesuai dengan hukum tentang bahaya yang nyata dan yang salah tetap disebut dan dipertahankan sebagai keberanian.<br />
Ketiga, negara utama dapat ditegakkan dengan sikap kesederhanaan. Negara tak mungkin dijalankan oleh individu-individu yang jiwanya dipenuhi nafsu keserakahan terhadap hal-hal duniawi. Berbagai kesenangan dan nafsu tertentu harus dikendalikan. Karena kesenangan dan nafsu tersebut, kita menemukan kelas-kelas dalam negara. Ada superior dan inferior. Kelas-kelas itu harus berjalan seirama dalam sebuah keseimbangan yang merupakan persetujuan yang secara mendasar dari yang superior dan inferior tentang hak untuk memimpin, baik negaranya atau setiap individu.<br />
Akhirnya, kualitas negara menjadi baik apabila keadilan ditegakkan. Keadilan harus didasarkan pada prinsip bahwa seseorang harus mengerjakan satu hal saja. Karena satu orang mengerjakan satu saja, maka secara otomatis pekerjaan itu pun dikerjakan sendirian. Ini berarti, orang yang adil adalah bukan menjadi orang yang selalu ikut campur dengan urusan orang lain. Maka melakukan pekerjaan atau urusan diri sendiri dengan cara tertentu, dalam pandangan Plato, bisa dianggap sebagai keadilan. <br />
Plato mengibaratkan keadaan negara dengan keadaan jiwa manusia. Keempat keutamaan tersebut yang terdapat dalam negara juga ada dalam jiwa setiap individu, dan dari setiap individu keutamaan itu berubah menjadi kebiasaan dan prinsip negara. Keempat keutamaan itu harus berjalan secara korelatif dan sederhana, meskipun mungkin timbul perbedaan. Keadilan bisa muncul dalam negara manakala kekuatan kebijaksanaan, keberanian, dan kesederhanaan berjalan sepatutnya, sesuai dengan kadar dan waktu yang semestinya. Kini, tercipta sudah negara utama itu.<br />
Demikianlah Plato menguraikan apa saja yang dapat mengantarkan sebuah negara menjadi negara utama. Semoga kita dapat mengambil pelajaran![mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3755346096825235108.post-48616673737369545822009-11-23T11:06:00.002+07:002009-11-23T11:06:17.841+07:00Filsafat SejarahOleh: M. Faisol Fatawi<br />
<br />
<br />
Fakta sejarah seringkali dipandang kebanyakan orang sebagai sebuah dokumen tentang serangkaian peristiwa pada masa lalu. Bahwa ia adalah kumpulan kejadian sebagai akibat dari aktifitas manusia dalam rangka berinteraksi dengan dunia di luar dirinya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Ini berarti, sejarah itu adalah catatan tentang sesuatu yang statis (baca: mati).<br />
Adalah G.W.F. Hegel, bapak filsafat kritis, yang melihat fakta sejarah dengan sudut pandang lain. Menurut Hegel, semua organisasi manusia yang stabil, semua masyarakat agama dan politik, didasarkan pada prinsip yang jauh berada di luar kendali satu atau banyak orang. Setiap orang, dalam setiap iklim dan jaman, dilahirkan, hidup dan bergerak. Semua itu bukan merupakan hasil dari kontrak sosial, dan bukan pula hasil dari penemuan seseorang. <br />
Namun fakta itu merupakan perwujudan objektif dari rasio yang tidak terbatas, sebuah dorongan pertama dari Dia yang membuat darah semua manusia untuk tinggal di muka bumi, yang telah menentukan jaman sebelum ditetapkan, dan ikatan tempat tinggal mereka saat merasakan ketidakmujuran dan menemukan dirinya. Rasio memiliki esensialnya sendiri. Bahwa manusia yang tidak sempurna ada di dalam penghambaan, sementara itu kesempurnaan eksistensi sosial pada umumnya dipandang sebagai satu pembebasan dari penghambaan tersebut. <br />
Menurut Hegel, ada dua pertimbangan dasar. Pertama, ide tentang kebebasan sebagai tujuan akhir dan mutlak. Kedua, sarana untuk merealisasikannya, yaitu sisi subjektif pengetahuan dan kehendak, dengan hidup, gerak, dan aktifitasnya. Keduanya memiliki saling keterkaitan yang erat. <br />
Kita mengenali ide dalam bentuk tertentu kesadaran akan kebebasan dan kehendak itu sendiri yang meliputi ide rasio yang murni dan sederhana, atau yang juga kita sebut dengan subjek: ruh secara aktual ada di dalam dunia. Sementara pada saat yang sama kita mempertimbangkan subjetivitas, bahwa pengetahuan dan kehendak subjektif adalah pemikiran. Antara ide rasio yang mempunyai sisi objektif dan personalitas yang berpikir dan menghendakinya, yang memiliki sisi subjektif membentuk kesatuan hakiki.<br />
Ide atau rasio adalah kompleks yang tidak terbatas dari segala sesuatu, hakekat dan kebenarannya utuh. Ia meruapakan kebenaran, keabadian, dan esensi yang berkuasa secara mutlak; ia mewujudkan dirinya dalam dunia, dan di dunia tidak ada perwujudan yang lain kecuali ide dan kemurnian serta keagungannya. Namun pada saat yang sama, rasio menimbulkan akibat akibat dalam sejarah dunia karena ia memberikan kesempatan kepada kita kesempatan untuk mengkaji secara mendalam berbagai persoalan yang menimbulkan kesulitan yang terbesar<br />
Oleh karena itu, bagi Hegel sejarah adalah ide tentang ruh di dalam perwujudan lahir kehendak manusia dan kebebasannya. Ia lahir sebagai keseluruhan moralitas dan realitas kebebasan, dan akibatnya sebagai kesatuan objektif dari unsur ide dan sarana untuk merealisasikannya.<br />
Ketika ruh mencapai kebebasannya, maka ia akan membutuhkan sebuah kode tentang undang-undang dan konstitusi. Di situlah subordinasi rasional alam atas rasio yang berlaku dalam adanya sendiri, dan kekuatan yang ia rasakan untuk mewujudkan bujukan lahiriah akan terlihat dengan jelas. Bahwa rasio menguasai dunia, dan akibatnya menguasai sejarah. <br />
Dalam hal ini, nampak seolah-olah pemikiran harus merendahkan apa yang sudah pasti, pada realitas fakta. Filsafat bermukim di dalam ide yang dihasilkan jiwa, tanpa mengacu pada aktualitas. Mendekati sejarah dengan demikian –menurut Hegel-- menawan hati, spekulasi dapat diharapkan untuk menyatakan sebagai materi yang pasif. Ia membiarkannya dalam kebenaran aslinya, dengan memaksanya sesuai ide tirani, dan dengan menguraikannya, sehingga ungkapannya adalah a priori. <br />
Jika sejarah membicarakan apa yang terjadi di masa lampu atau memprediksikan apa yang bakal terjadi, maka sejarah dalam kerangka filsafat sebagaimana yang dikatakan oleh Hegel membicarakan tentang apa yang ada, yang mempunyai eksistensi abadi, yakni rasio.[mff]M. Faisol Fatawihttp://www.blogger.com/profile/13641642925691836776noreply@blogger.com0