17 Juli, 2009

Andai Hotel yang Digusur, Bukan Sekolah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Belum genap seminggu siswa memasuki tahun pelajaran baru, dunia pendidikan kita mendapat sorotan publik yang cukup tajam. Penyebabnya adalah penutupan sekolah karena akan ditukar-gulingkan dengan lahan yang lain; lahan sekolah—konon—akan digantikan dengan bangunan hotel berbintang. Kali ini, penutupan sekolah itu (SMAN 4) terjadi di Pematang Siantar Sumatera Utara. Akibatnya, proses belajar mengajar mandeg. Demonstrasi yang dilakukan oleh siswa dan bahkan para orang tua pun tidak dapat dihindarkan.
Peristiwa seperti itu dalam dunia pendidikan kita bukan terjadi kali ini saja. Kita mungkin masih ingat bagaimana ibu Nurlela, seorang guru Sekolah Dasar di Jakarta, yang berjuang mati-matian untuk mempertahankan sekolahnya yang ditutup ketika itu. Bahkan berhari-hari ia dengan para siswanya tetap mempertahankan proses belajar mengajar di depan sekolah yang sudah ditutup dengan police line. Di tempat lain, sebuah Sekolah Dasar Negeri digusur atau dipindahkan lokasinya (ditukar-guling) dan digantikan bangunan Mall (sebut saja Ambarukmo Plaza). Belum lagi di wilayah atau kota-kota yang lain. Sungguh penggusuran atau penutupan sekolah yang terus terjadi telah menjadi sebuah ironi bagi negeri ini.
Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat vital bagi bangsa. Ia menjadi wahana penyemaian akan lahirnya generasi bangsa yang cerdas, bermoral dan bermartabat. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bersama bangsa. Oleh karena itu, dalam undang-undang kelangsungan pendidikan menjadi tanggungjawab negara (baca: pemerintah) dan setiap warga berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
Kasus penggusuran atau penutupan lahan sekolah seperti yang terjadi pada SMAN 4 di Pematang Siantar Sumatera Utara beberapa hari lalu menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam dunia pendidikan. Seandainya pemerintah memiliki komitmen yang tinggi, tentu pemerintah setempat tidak akan melakukan penggusuran itu. Sebagai bentuk kuatnya komitmen terhadap dunia pendidikan, seyogyanya masalah pendidikan lebih diutamakan katimbang persoalan kepentingan ekonomi.
Sebenarnya, dunia pendidikan kita telah diatur dalam undang-undang sisdiknas. Undang-undang itu mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan pendidikan, seperti kelayakan fasilitas, keterjangkauan, peningkatan mutu dan seterusnya. Namun demikian, kebijakan prioritas terhadap lahan sekolah harus diperhatikan. Artinya, pemerintah bisa saja mengeluarkan peraturan atau payung hukum lain yang dapat membentengi penggusuran lahan sekolah, sehingga sekolah tidak dengan mudah digusur atau ditukar guling dengan lahan yang lain, apalagi hanya untuk kepentingan sekelompok orang. Dengan kata lain, fasilitas yang menyangkut kepentingan publik harus mendapatkan perlindungan ekstra lebih dari pemerintah. Dunia pendidikan butuh aturan yang lebih tegas. Penggsuran atau penukargulingan lahan sekolah harus segera dihentikan dengan peraturan yang jelas. Hal ini karena sekolah merupakan sebuah institusi pendidikan yang menyangkut kepentingan publik dan masa depan bangsa ini. Keberadaan sekolah harus lebih diutamakan dibanding dengan yang lain.
Mungkin logika pembangunan negeri ini tidak dapat lepas dari cengkraman kapitalisme dimana kepentingan perekonomian menjadi segalanya. Pemberdayaan dan pembangunan suatu masyarakat di tengah ideologi kapitalisme diasumsikan hanya dapat terwujud jika kebutuhan perekonomiannya terpenuhi dan maju. Kemajuan masyarakat hanya bisa diukur dengan pendapatan ekonomi setiap individu. Jika ini benar, maka tak heran kalau kita sering menyaksikan penggusuran sekolah, masjid, rumah-rumah penduduk dan seterusnya, dan digantikan dengan bangunan hotel, perkantoran bisnis atau bangunan lain yang lebih beripihak pada kepentingan ekonomi semata.
Ke depan kita membayangkan, andai saja ada hotel-hotel atau pusat-pusat bisnis yang menjanjikan keuntungan prekonomian, digusur atau ditutup untuk kepentingan sekolah, masjid atau pusat kegiatan untuk membangun mental dan moralitas generasi bangsa. Karena, sekarang ini krisis yang sedang kita hadapi bukanlah krisis ekonomi, tetapi krisis mental dan moral. Mungkinkah angan-angan seperti itu terjadi? Wallahu a’lam. [MFF]

0 komentar: