08 Juli, 2009

Tak Sekedar Menerjemah

Oleh: M. Faisol Fatawi

Akhir-akhir ini kehadiran buku terjemahan makin marak di pasaran. Berpuluh-puluh jenis, dari berbagai macam penerbit, memenuhi rak toko buku. Bahkan beragam tema, mulai dari tema yang paling ringan seperti cerita-cerita, panduan-panduan praktis dan lain-lainnya, sampai yang paling berat sekalipun, seperti pemikiran keagamaan atau filsafat. Geliat ini menandai akan adanya era baru dalam belantara dunia perbukuan di Indonesia, yang mungkin belum pernah ada sebelumnya.
Bagi para penerjemah, geliat buku-buku terjemahan tersebut cukup memberikan peluang yang menguntungkan. Mereka dengan mudah dapat memasukkan atau menawarkan naskah terjemahan ke meja redaksi asalkan sesuai dengan tema yang diinginkan oleh pihak penerbit. Tak jarang tawaran naskah itu datang dari pihak penerbit itu sendiri. Sebaliknya, bagi para penerjemah pemula mungkin harus bersabar dan bahkan bersusah-susah dulu untuk meyakinkan penerbit akan hasil terjemahannya agar bisa diterima. Kalaupun diterima, biasanya honornya tidak segede mereka yang sudah dikenal oleh pihak penerbit sebagai "jagoan menerjemah". Begitulah, terjemah sekarang sudah menjadi profesi pekerjaan bagi sementara masyarakat.
Dalam praktiknya, seseorang dalam menerjemah selalu mempertimbangkan--minimal--dua aspek. Pertama, ekuivalensi makna. Dalam aspek ini, seorang penerjemah mencari padanan makna dalam bahasa sasaran sedekat mungkin dengan bahasa sumber. Pencarian padanan makna kata harus dicari secermat mungkin, sehingga tidak terjadi pembelokan arti. Kedua, ekuivalensi gramatikal. Dalam menerjemah, aspek ini penting diperhatikan untuk mendudukkan makna satu kata sesuai dengan kedudukannya dalam struktur bahasa (kalimat). Dua aspek tersebut digunakan dalam rangka menghasilkan ketepatan makna (arti) dan kejelasan ide, sehingga didapatkan karya terjemahan yang baik. Namun, apakah benar demikian?
Kita lupa bahwa menerjemah bukanlah sekedar mentransformasikan gagasan pengarang ke dalam struktur gagasan dan bahasa sasaran yang jelas. Kita juga seringkali menemukan para pembaca yang menganggap bahwa karya terjemahan yang baik adalah terjemahan yang dapat dipahami dan enak dibaca. Masalah keterpahaman karya terjemahan hanyalah satu sisi dari diri pengarang dalam menerjemah, dan ini bersifat lahiriyah.
Kita musti ingat, bahwa masih ada sisi lain dari pengarang yang harus diperhatikan dalam menerjemah, yaitu dunia mental-psikologis pengarang. Di sini, yang dimaksud dengan mental-psikologi adalah situasi batin pengarang yang mengiringi penuangan gagasan sehingga menjadi sebuah karya tulis yang utuh. Situasi batin pengarang merupakan "roh" yang menjiwai, dan bahkan menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dalam setiap karya.
Mungkin benar isyarat yang dinyatakan oleh Peter Newmark dalam bukunya Approaches to Translation, yaitu bahwa menerjemah merupakan usaha yang melibatkan proses yang sangat kompleks. Menerjemah tidak sekedar mengalihkan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Atau sekedar mencari padanan makna kata dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Menerjemah itu melibatkan proses memahami, menjelaskan, menganalisis, dan bahkan menafsirkan.
Dalam konteks seperti ini, menerjemah adalah mentransformasikan seluruh isi teks secara holistik ke dalam bahasa sasaran, di luar bahasa sumber, termasuk di dalamnya mengkonstruk kembali dunia batin pengarang. Jadi, ada dua dunia yang semestinya dipahami dan dijelaskan dalam kegiatan menerjemah. Yaitu, dunia kata-kata (teks yang tertulis) dan dunia non kata-kata (situasi batin penulis). Mengkonstruk kembali kedua dunia tersebut dalam kegiatan menerjemah merupakan "keniscayaan". Yang satu tidak boleh menafikan yang lain, jika ingin mendapatkan yang berkualitas.
Menerjemah di bumi Nusantara ini telah menjadi budaya intelektual. Namun, satu hal yang harus dicatat bahwa menerjemah bukanlah sekedar mencari padanan kata, tetapi sekaligus merekonstruksi dunia si pengarang untuk dapat dihadirkan kembali di tengah pembaca secara utuh. Tak terbatas pada kejelasan gagasan atau ide semata. Kecenderungan karya terjemahan kita adalah menonjolkan aspek kejelasan gagasan dan bahasa semata, tanpa berusaha menghadirkan kembali semangat dan jiwa si pengarang. Barangkali, ini yang menjadikan kualitas karya terjemahan di negeri kita "diragukan".[MFF]

0 komentar: