03 Agustus, 2009

Mengasah Nurani, Membangun Negeri

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam sejarah Islam diceritakan, bahwa dahulu ada sebuah kerajaan yang bernama Saba’. Saba’ adalah sebuah wilayah yang sekarang berada di Yaman Selatan. Kerajaan Saba’ merupakan sebuah kerajaan yang makmur, aman dan sentosa. Kerajaan Saba’ ini memiliki pengaruh yang sangat luas hingga ke benua Afrika. Kerajaan Saba’ juga mempunyai bendungan besar dan kokoh yang bernama Mi’rab, yang mampu mengairi seluruh wilayahnya sehingga menjadikan tanahnya subur dan rakyatnya hidup makmur. 
Di tengah kehidupan yang makmur, kaum Saba’ diperintahkan oleh Allah SWT untuk bersyukur kepada Allah. Syukur atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka, mulai dari kedamaian hidup, kemakmuran mata pencaharian, dan berbagai anugerah yang membuat hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi, perintah untuk mensyukuri nikmat Allah SWT, tidak diindahkan oleh kaum Saba’. Mereka tidak peduli atas ajakan Allah. Justru, mereka berpaling mendurhakai nikmat Allah. Maka, Allah mendatangkan kepada mereka banjir besar yang merobohkan bendungan dan merusak serta memusnahkan perkebunan mereka. Allah SWT pun mengganti kebun-kebun yang subur itu dengan kebun yang ditumbuhi pepohonan yang tidak berbuah; pohon itu penuh duri dan kalaupun berbuah buahnya sangat pahit, tidak layak untuk dinikmati dan dimakan. Singkatnya, kekafiran telah menjadi penyebab hancurnya negeri Saba’ (QS. as-Saba’: 15-17).
Pengertian kafir secara semantik berarti berpaling dari dan menutupi diri. Seseorang itu disebut kafir karena ia telah menutup dirinya dari kebenaran Allah atau memalingkan dirinya dari kebenaran Allah. Jika seseorang berpaling dari Allah, berarti ia tidak mau beriman kepada-Nya, dan dalam kondisi seperti ini berarti ia telah kafir hakiki. Pengertian kafir seperti ini merupakan pengertian secara teologis. Sementara itu, seseorang yang menutup dirinya dari nikmat Allah, maka bisa dikategorikan sebagai kafir, sebab ia tidak mau mensyukuri apa-apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadanya. Jadi, lafadz kafir memiliki jaringan makna yang luas. Bahkan orang yang telah mengaku mukmin pun bisa masuk dalam kategori kafir bin ni’mah. Dalam al-Qur’an, perintah untuk tidak bersikap kafir bersifat menyeluruh; tidak mengingkari Allah dan segala tanda-tanda kebesaran-Nya.
Kekafiran kaum Saba’ tidak hanya sebatas keengganan mereka untuk mengimani Allah, tetapi juga karena tidak mau mensyukuri nikmat-Nya. Bentuk mensyukuri nimat Allah juga mencakup pengertian yang sangat luas; misalnya bersedekah atas rezki yang diberi, memanfaatkan apa-apa yang dianugerahkan Allah secara proporsinal, mengola sumber daya Alam, bahkan termasuk juga mengendalikan diri dari sifat-sifat yang tercela seperti bohong, iri hari, kikir, keserakahan dan seterusnya.
Sebenarnya, negeri kita ini tidak kalah subur dengan negeri Saba’. Kita tidak kekurangan sumber air. Tanaman bisa tumbuh subur dengan mudah hampir di seluruh pelosok negeri. Kita juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa, baik hayati maupun nabati, baik flora maupun fauna. Bahkan kesuburan negeri yang kita cintai ini digambarkan sebagai negeri yang mana ‘tongkat dan kayu’ jika ditancapkan ke bumi berubah menjadi tanaman. 
Saya juga meyakini, bahwa negeri kita ini dihuni oleh orang-orang yang taat kepada Tuhan. Coba kita lihat, umat Islam selalu memenuhi masjid saat menjalankan ibadah shalat. Apalagi pada saat Idul Fitri atau Idul Adha. Semua masjid maupun lapangan penuh riuh dengan lautan manusia. Mereka bermunajat khusyu’ kepada Allah. Bahkan tak luput dari ribuan orang selalu setia antri untuk menjalankan ibadah haji di tanah suci. 
Betatapun kita memiliki kekayaan yang luar biasa seperti itu, tetapi pemandangan berbeda dapat kita syaksikan dengan mata telanjang. Kemiskinan terjadi di mana-mana. Korupsi, sogok, suap dan seterusnya masih saja tetap terjadi. Lalu, bagaimana kita dapat membangun negeri ini menjadi negeri yang berperadaban dan bermartabat? 
Membangun sebuah negeri tidak selamanya dengan kekuatan materi. Tetapi, juga butuh pada kekuatan hati nurani. Kita mungkin dapat belajar dari perjuangan para pejuang bangsa ini saat membebaskan diri dari kaum penjajah. Kekuatan fisik yang dimiliki bangsa ini ketika itu tidak sebanding dengan yang dimiliki oleh penjajah. Sekarang, kita telah dapat menikmati kebebasan dari kaum penjajah. 
Dan, kita juga tidak ingin negeri ini tenggelam seperti negeri Saba’; negeri yang gemah ripa loh jinawi berubah menjadi mandul seolah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Negeri yang kita cintai ini butuh pada kekuatan moral. Maka, nilai-nilai mulia seperti kejujuran, keadilan, persaudaraan dan seterusnya menjadi jaminan utama bagi anak negeri ini. Kekayaan yang melimpah tidak berarti apa-apa, jika kita kebohongan bersemayam dalam diri kita, dan menjadi mental anak bangsa ini. Bukankah Rasulullah Saw ketika melakukan perubahan sosial di lingkungan bangsa Arab yang jahiliyah berangkat dari perjuangan untuk merubah moralitas mereka; liutammima makarimal akhlak, katanya? Kita musti pandai mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah yang pernah terjadi.[mff]

0 komentar: