24 Agustus, 2009

Nilai Kemanusiaan dalam Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kalau kita mencermati berbagai jenis ibadah dalam Islam yang paling unik, maka jawabannya adalah ibadah puasa. Puasa dikatakan unik karena jenis ibadah yang satu ini hanya bisa dilakukan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan (sha’im). Hanya Allah dan orang yang bersangkutan, yang dapat mengetahui ibadah puasa. Lain halnya dengan ibadah shalat, zakat atau sedekah lainnya. Ibadah-ibadah sejenis itu dapat disaksikan dengan mata telanjang.
Secara sederhana, puasa didefinisikan dengan menahan diri dari makan dan minum. Tetapi pada hakikatnya, puasa tetap menjadi ibadah yang lebih bersifat sirri, yang tidak dapat dilihat oleh orang lain secara mudah. Seseorang bisa saja mengaku berpuasa atau menunjukkan bahwa dirinya tidak mengkonsumsi makanan atau minuman apapun, tetapi bisa saja orang ini, tanpa sepengetahuan orang lain, memakan makanan atau meneguk minuman. Oleh karena itu, Allah dalam sebuah hadits Qudsi menyatakan: “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan mengganjarnya.” Dengan sabda ini, Allah seolah mengisyaratkan bahwa ibadah puasa merupakan urusan Allah. Hanya Allah yang mengetahui jika seseorang itu berpuasa. Bukan orang lain.
Mengingat kekhasan ibadah puasa yang seperti itu, sang Hujjatul Islam Imam Ghazali pun mengklasifikasikan puasa ke dalam tiga kelompok. Pertama, puasa orang awam. Yaitu, puasanya orang yang hanya dapat menahan diri dari makanan dan minuman serta berhubungan seksual dengan istri atau suami. Kedua, puasa orang khawash yang berarti puasanya orang-orang yang tidak saja menahan lapar dan haus dahaga, tetapi mereka juga menjauhkan diri dari sifat-sifat tercela-negatif lainnya seperti sombong, riya’, iri dengki, marah dan seterusnya. Ketiga, puasanya orang yang khawashul khawash. Yaitu, puasanya mereka yang hanya mengisi raga dan sukmanya atau hati dan pikirannya dengan dzikir pada Allah. Yang ada di dalam diri mereka hanya Allah dan Allah.
Sebagai ibadah yang sirri, status ke-puasa-an seseorang hanya dapat ditentukan oleh diri seseorang yang berpuasa itu sendiri. Yang mengetahui puasa tidaknya seseorang adalah orang yang berpuasa. Ini berarti bahwa dalam ibadah puasa seseorang dituntut bersikap jujur, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Jujur pada diri sendiri ditunjukkan dengan komitmen untuk tidak makan dan minum dalam batas waktu yang telah ditentukan. Dan jujur pada orang lain menjadi konsekwensi atas kejujuran dalam memegang komitmen untuk berpuasa.
Dengan menahan diri dari makanan, minuman dan kebutuhan ragawi lainnya, proses metabolisme dalam tubuh orang yang berpuasa mengalami penurunan. Turunnya proses metabolisme dalam tubuh seseorang dapat mengurangi atau bahkan menetralisir ego. Ego yang berlebihan di dalam tubuh manusia dapat mendorong lahirnya sikap-sikap negatif atau tak terpuji.
Ego atau keakuan (al-ananiyah) dalam agama harus disingkirkan karena dapat menjadi sumber keburukan dalam diri setiap insan. Yang paling berhak menyatakan Keakuan hanya Tuhan, sang Maha al-Mutakabbir. Meskipun dalam diri manusia terdapat ego atau keakuan, tetapi keakuan itu tidak dapat dibandingkan dengan dan mengalahkan Allah al-Mutakabbir. Jika puasa dapat menetralisir atau menstabilkan kadar keakuan (ego) yang bercokol dalam diri manusia melalui berkurangnya proses metabolisme tubuh, maka berarti ibadah puasa dapat menjadi kontrol untuk mengembalikan manusia kepada watak kemanusiaannya sendiri. Ia tetap menjadi manusia sebagaimana manusia lainnya yang tidak berhak untuk menguasai atau menzhalimi orang lain. Orang-orang yang berpuasa adalah sama-sama manusia yang lemah di hadapan sang al-Mutakabbir.
Di samping itu, ibadah puasa dapat mendorong lahirnya semangat solidaritas antar sesama. Orang yang berpuasa pasti merasakan lapar dan haus. Dengan kata lain, rasa lapar dan haus menjadi pengalaman yang tidak bisa dilewatkan oleh orang yang berpuasa. Dengan berlapar dahaga, orang yang berpuasa dapat merasakan keadaan yang biasa dijalani oleh mereka kaum dhu’afa’ yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok kesehariannya. Maka, puasa mengajarkan kepada kita akan sikap untuk berbagi antar sesama. Yang tadinya kaya dapat merasakan nikmatnya perut yang selalu kosong.
Begitulah, puasa menanamkan kepada kita semua untuk bersikap jujur, mengesampingkan ego (keakukan) dan mendorong lahirnya semangat solidaritas kemanusiaan. Namun sayangnya, nilai-nilai kemanusiaan itu menjadi tidak berdaya atau bahkan sengaja tidak diberdayakan agar dapat secara terus-menerus bersemai dalam diri setiap kita. Kita semua memang senang melupakan nilai hikmah di balik setiap ibadah yang kita jalankan, dan lebih suka berbangga dengan rutinitas ibadahnya saja. Bukankah puasa yang kita jalankan di tengah bulan Ramadhan ini telah kita jalani berkali-kali? Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam puasa seyogyanya kita jadikan sebagai akhlak kepribadian untuk membangun negeri ini.[mff]