23 Agustus, 2009

Religiusitas Makna Puasa

Oleh: M. Faisol Fatawi


Salah satu aspek penting yang menjadi objek sasaran setiap agama adalah wilayah kesadaran manusia. Dalam agama, kesadaran manusia yang beriman dipupuk melalui berbagai ritual (ibadah) agar dapat melampaui dan mencapai suatu kehidupan yang lebih baik. Ibadah puasa sebagai salah satu ritus keagamaan dalam Islam juga tidak lepas dari dimensi itu.
Secara spesifik, Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan ibadah puasa adalah membentuk pribadi-pribadi yang muttaqin. Dalam arti, terciptanya kesadaran akan keinsafan batin yang lebih tinggi dalam diri manusia, dalam keterkaitannya dengan Tuhan dan alam semesta. Dalam dunia filsafat religius, keinsafan seperti inilah yang disebut sebagai pengalaman religius (religious experience).
Pengalaman religius (religious experience) secara fenomenologis dapat dijelaskan sebagai pengalaman yang bersifat “tergantung”. Oleh karena itu, pengalaman religius sering didefinisikan sebagai perasaan ketergantungan yang muncul karena perasaan keterciptaan (creature feeling). Semua dialami secara subyektif, dan karena itu pengalaman religius menjadi suatu self-consciousness (penyadaran diri) atas misteri yang kudus.
Puasa bersifat lahir dan batin. Secara lahiriah, orang berpuasa tidak boleh makan, minum, merokok atau melakukan hubungan seks pada siang hari, sejak fajar menyingsing sampai matahari tenggelam. Secara batin, orang berpuasa mencegah jiwa dan nafsunya agar tidak tenggelam dalam kejahatan, seperti berbohong, menfitnah, iri, dengki atau sombong. Baik lahir maupun batin, yang jelas puasa telah memberikan pengalaman yang bersifat subyektif-psikologis.
Menurut Iqbal, pengalaman itu berlangsung dalam waktu dan mempunyai tiga tingkatan, yaitu materi, pikiran dan kesadaran. Ketiga-tiganya berasas pada spiritual. Waktu itu ada dua macam. Pertama, waktu yang dikuasai oleh pengertian kita mengenai ruang, yakni waktu yang dapat diukur. Waktu yang seperti ini bersifat obyektif-fisis.
Kedua, waktu yang bersifat subyektif-psikologis. Waktu yang seperti ini lebih dikenal dengan duration. Ia tidak bersifat kuantitatif, tetapi berjalan terus (kontinuitas) dan tidak terbagi.
Jika kita menempatkan puasa dalam pengalaman yang berlangsung dalam waktu yang pertama (bersifat fisis-obyektif), maka yang dapat dirasakan hanyalah sekedar serentetan tindakan fisik yang terstruktur dalam sistem ruang-waktu-materi yang di dalamnya ada asas hukum kausalitas sebagai penjelas semua peristiwa: seseorang berpuasa pasti akan lapar dan dahaga karena tidak makan dan minum selama seharian, dan seterusnya. Kesadaran yang terbangun hanya sebatas itu saja.
Namun tidak demikian jika kita menempatkan puasa dalam pengalaman yang berlangsung dalam dimensi waktu yang kedua (bersifat subyektif-psikologis). Menempatkan pengalaman puasa dalam pengertian duration berarti puasa itu sendiri adalah duration. Ia tidak akan pernah berakhir seiring dengan masa selesainya puasa. Pengalaman seperti ini bersifat kualitatif dan berkaitan dengan kebebasan yang melekat pada manusia. Tidak dapat dibuktikan, tetapi hanya dapat dialami. Oleh karena itu, kesadaran religius—menurut Iqbal—juga bersifat duration.
Sampai di sini dapat kita pahami, bahwa semakin orang mengalami pengalaman religius, maka ia semakin mengalami kebebasan. Dan semakin mengalami kebebasan, maka ia semakin mengalami keadaan menyatu dengan usaha kreatif yang berasal dari Allah atau bahkan mungkin dapat disamakan dengan Allah. Yang terakhir ini dalam tradisi kaum sufi disebut dengan wahdat al-wujud.
Puasa menunjukkan kepada kita semua akan pengalaman religius tentang realitas yang hakiki, yang berhubungan dengan perlangsungan waktu murni, dengan pikiran, kehidupan dan tujuan yang saling membentuk suatu kesatuan organik. Kesatuan yang terlibat dalam usaha penciptaan yang terus-menerus sebagai evolusi kreatif diri untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan dan keadilan sosial, guna mencapai kehidupan yang lebih baik (baca: manusiwai).
Pengalaman religius tetap akan terjadi manakala kita memiliki komitmen secara total pada apa yang terjadi pada pengalaman yang baru kita alami itu. Komitmen total ini dalam bahasa teologis tidak lain adalah iman. Hanya orang berpuasa yang memiliki komitmen seperti itulah yang dijanjikan oleh Allah dapat melihat sorga dan Allah setelah hari kebangkitan. Maka, jangan heran pula jika nabi Saw pernah menyatakan “Betapa banyak orang-orang yang berpuasa. Namun, yang didapatkan hanyalah sekedar lapar dan dahaga”. Na’udzu billah min dzalik.[mff]

0 komentar: