26 Agustus, 2009

Menghargai Diri Bangsa dengan Pantat

Oleh: M. Faisol Fatawi

Dalam beberapa tahun terakhir ini, bangsa kita Indonesia sering “berseteruh” dengan negara tetangga sendiri, yaitu Malaysia. Kita dengan negeri Jiran yang satu ini yang telah lama menjadi sahabat karib--karena memang memiliki kedekatan budaya dan ras—semestinya tidak pantas untuk bersitegang. Karena kedekatan dari berbagai aspek inilah seharusnya kita dengan Malaysia saling bau-membau, mengulurkan bantuan dan kerja sama untuk memajukan bangsa yang serumpun, sehingga negara-negara yang masuk dalam kawasan Asia Tenggara bisa maju seperti negara-negara Barat atau Eropa.
Sejauh yang dapat kita amati, terdapat dua hal yang menjadi pemicu utama perseteruhan antara negara kita dengan Malaysia sebagaimana yang akhir-akhir ini kita saksikan. Pertama, masalah geo-politik. Kedua, masalah warisan (khazanah) budaya atau geo-kultural.
Terkait dengan masalah pertama, perseteruhan antara Indonesia dengan Malaysia dipicu oleh batas wilayah teritorial antar kedua negara. Seperti sudah maklum, batas wilayah teritorial negara kita, berdasarkan hukum Internasional yang telah ditetapkan, meliputi seluruh bekas jajahan Hindia Belanda, sehingga batas wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan ditambah dengan batas perairannya yang ditarik dari garis pantai seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Dalam hal ini, Malaysia pernah mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan, yang pada akhirnya kedua pulau ini lepas dari wilayah kedaulatan RI. Dan yang akhir-akhir ini cukup membikin panas antara kedua negara, adalah klaim Malaysia terhadap pulau Ambalat. Sekarang kasus Ambalat dalam tahap proses perundingan.
Sementara itu dalam persoalan khazanah budaya bangsa, seringkali Malaysia menyulut api permusuhan dengan negara kita. Cobalah kita mengamati tingkah pola negeri Jiran itu yang berkali-kali menyinggung emosi bangsa kita; Malaysia banyak mengambil warisan naskah-naskah klasik (manuskrip) keagamaan yang berada di Riau, Aceh dan Kalimantan; klaim Malaysia atas lagu Rasa Sayange yang merupakan lagu khas Ambon; Tari Reog Ponorogo pernah dilaim oleh Malaysia; dan yang paling mutakhir tari Pendet yang berasal dari Bali.
Perseteruhan antara kita dengan Malaysia seperti yang terjadi dalam beberapa hal tersebut di atas, mencerminkan wajah dan eksistensi bangsa Indonesia yang rapuh. Bangsa yang kita cintai ini tidak memiliki sistem pengaturan geo-politik yang baik, dan juga tidak memiliki kepedulian terhadap khazanah budaya yang telah diwariskan oleh para penduhulu dari waktu ke waktu. Persoalan klaim beberapa pulau dan warisan budaya oleh negara lain semestinya tidak perlu terjadi jika diri kita memiliki kewibawaan di mata yang lain.
Bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menerima, menghargai dan memperhatikan dirinya sendiri. Pulau Sipadan dan Ligitan tidak mungkin jatuh ke negeri Jiran jika bangsa ini memiliki perhatian terhadapnya. Demikian juga kita mungkin tidak sampai “marah-marah” karena beberapa warisan budaya kita diklaim oleh negara lain seandainya kita mampu melestarikan dan mengharaginya dengan baik.
Sudah menjadi hal yang salah kaprah, bangsa kita ini lebih suka melupakan diri sendiri dan lebih tertarik untuk memberi perhatian pada “yang lain”. Gaya budaya yang datang dari luar bangsa kita, lebih kita lirik dan lebih kita minati daripada menghargai dan melestarikan budaya sendri. Padahal menghargai diri sendiri merupakan modal dasar untuk menjadikan diri lebih eksis dan dikenal oleh orang lain.
Modal untuk menghargai diri sendiri inilah yang sekarang mulai tergerus dari lubuk batin anak bangsa kita. Coba kita perhatikan, betapa banyak anak bangsa kita yang tertarik untuk melstarikan warisan budaya lokal, seperti tari-tarian atau ritual adat istiadat setempat; berapa banyak anak negeri ini yang lebih ngeng dengan tradisi pernaskahan masa lampau; berapa banyak generasi bangsa ini yang memahami sejarah luhur bumi pertiwinya. Atau tidakkah dengan modal keaneka-ragaman budaya bangsa kita, dapat membuat jati diri bangsa ini kuat dan disegani.
Kita sering mengaku bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang besar karena memiliki khazanah budaya yang beraneka ragam. Tetapi anehnya, kita tidak serius untuk memperkenalkan warisan khazanah itu sebagai bentuk rasa memiliki dan menghargai. Justru, bangsa ini lebih tertarik untuk mengenalkan jati diri bangsa lewat momen-momen internasional tertentu belaka seperti ajang miss universe atau miss world. Rasa memiliki dan menghargai warisan budaya bangsa tidak cukup sekedar dengan memperkanalkannya lewat lenggak-lenggok tubuh atau—maaf—dengan pantat yang harus dilihat oleh segelintir orang. Atau mungkin kita hanya cukup menghargai diri sendiri dengan pantat? Semoga ketegangan antara bangsa kita dengan negeri sahabat Malaysia dapat menjadi ibrah kita semua, dan tidak menodai makna puasa anak bangsa ini.[mff]

0 komentar: