01 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (1)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Hasan Hanafi: Biografi dan Perjalanan Ilmiahnya
Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Pebruari 1935, dari keluarga Bani Suwayf, sebuah propinsi di Mesir dalam. Menginjak usia lima tahun, ia berguru al-qur’an pada Syaikh Sayyid di Jalan al-Benhawi, namun ini hanya berlangsung beberapa bulan. Lima tahun ia menghabiskan waktunya di sekolah dasar, yaitu madrasah Sulaiman Gawiys yang terletak di kompleks perbatasan benteng Shalah al-Din al-Ayyubi. Studinya dilanjutkan pada sekolah pendidikan guru, yatitu al-Muallimin, namun menjelang naik ke tingkat (kelas) lima ia pindah ke madrasah al-Silahdar. Selama lima tahun, ia menamatkan sekolah menengahnya pada madrasah Tsanawiyah Khalil Agha, dengan empat tahun di bidang kebudayaan dan satu tahun di bidang pendidikan. Sementara gelar kesarjaannya disabet dari Fakultas Adab (Sastra Arab) pada Universita Kairo jurusan Filsafat.
Pada 11 Oktober 1956, Hasan Hanafi melanjutkan studinya di Universitas Sorbonne. Kurang lebih sepuluh tahun ia menghabiskan studi di “sarang” para orientalis Barat. Desertasinya setebal 900 halaman tentang Ushul Fiqh (Essai sur la methode d’Exegese) mendapat penghargaan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Pada tahun 1966, dia kembali ke Mesir dan mengabdikan diri pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, tempat belajarnya semula, sampai tahun 1971. Setelah itu, ia menjadi dosen tamu di Universitas Temple, Amerika Serikat, hingga tahun 1975. Kemudian selama dua tahun menjadi dosen kehormatan di Universitas Fez, Maroko. Antara tahun 1985 sampai 1988, menjadi staf pengajar pada Universitas Tokyo dan Universitas PBB di Jepang. Pernah menjadi dosen pada Universitas Los Angles, Amerika dan Universitas Cape Town, Afrika Selatan. Sementara karier kepangkatannya, pada tahun 1995 ia diangkat sebagai Ketua Jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitas Kairo. Pernah bertindak sebagai sekretaris jenderal pada sebuah organisasi Himpunan Filosof Mesir yang ia pelopori pada tahun 1986. Hasan Hanafi juga pernah menjadi anggota Ikatan Penulis Asia Afrika, anggota Solidaritas Gerakan Asia Afrika.
• Tahap Kesadaran Intelektual Hasan Hanafi

a. Kesadaran Nasionalisme (1948 – 1951)
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, Hasan Hanafi tidak begitu banyak mengerti persoalan politik. Ia pun bangga dengan pasukan udara Jerman: tak mengerti siapa Nazi itu. Ia hanya berkeyakinan bahwa mereka tidak akan menyengsarakan dan menyakiti masyarakat Mesir, dan bahwa mereka adalah musuh dari lawannya, yaitu Inggris. Ia hanya menghabiskan masa liburnya untuk pulang kampung, Bani Suwaif, untuk menghindari kecamuk perang di Kairo.
Awal kesadaran nasionalisme yang sebenarnya, sebagaimana diakui oleh Hasan Hanafi, yang berpengaruh pada dirinya adalah terjadinya perang Palestina tahun 1948. Ia pun belum mengerti secara benar batasan antara pengkhianat dan pejuang (mujahid) negeri, meskipun banyak pasukan dari kedua belah pihak jatuh bergelimpangan. Pada tahun ini pula, ia bergabung dengan Jamiyah al-Syuban al-Muslimin (Organisasi Pemuda Islam), menjadi prajurit sukarela di Palestina, namun ditolak sebab umur belum mencukupi. Baru pada tahun 1951, ikut berjuang dalam perang pembebasan Terusan Suez.
b. Kesadaran Keagamaan (1952 – 1956)
Awal tahun 1952, tepatnya pada bulan Januari, di Kairo terjadi peristiwa besar, sebuah usaha mrnggulingkan Partai Wafd dan persekongkolan antara kalangan istana dan kolonialis Inggris untuk mematikan gerakan Nasionalisme Mesir. Hanafi berpihak pada kubu Nasionalis pembebasan Mesir ini: ia pun menyuarakan pembebasan tanah air dan penyatuan Lembah Sungai Nil. Pada 23 Juli 1952, di Mesir kembali terjadi peristiwa penting yang kemudian dikenal dengan Revolusi Juli. Sebuah revolusi yang mampu merubah tatanan sosial, politik dan kultural negeri Mesir: dari sistem monarki menuju republik. Kemudian Hanafi memutuskan untuk bergabung dengan Jamaah Ikhwan al-Muslimin.
Pada Maret 1954 perundingan antara gerakan Nasionalis Mesir dan Inggris dilaksanakan. Dicapailah beberapa kesepakatan. Namun kesepakatan itu di mata aktifis Ikhwan, sangat menguntungkan Inggris. Oleh karena itu, Ikhwan semakin menggiatkan kritikan dan bahkan mengecamnya. Hanafi pada saat itu, bertugas mengedarkan selebaran kritikan yang ditujukan kepadanya.
Pada akhirnya, Hanafi keluar dari jamaah Ikhwan al-Muslimin dan bergabung dengan gerakan Nasionalisme, karena ketidaksetujuan kalangan Ikhwan terhadap revolusi Mushoddeq di Iran pada tahun 1954 yang melawan tirani, dimana Mushoddeq dituduh sebagai komunis. Hanafi semakin dekat dengan semangat revolusi untuk memerdekakan negerinya. Di sinilah kenyakinan keagamaannya akan semangat revolusi pada agama semakin mengkristal.

c. Kesadaran Filosofis (1957 – 1960)
Tahap ini, bisa dikatakan sebagai awal dari persentuhan pengetahuan Hanafi, terutama, dengan filsafat Barat, misalnya Idealistik Fichte, seorang filosof Jerman, eksistensialis-nya Kant, Cogito cartesian, dan fenomenologi Hursel dengan idealistik transendentalnya. Kesadaran ini ia temukan saat melakukan studi di Prancis, ketika hendak menulis desertasi doktoralnya yang berjudul al-Minhaj al-Islami al-Am, yang pada akhirnya selesai dengan judul L’Exegese de la Phenomenologie, L’Elat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomenologie religieux.

d. Kesadaran Terhadap Realitas Kehidupan (1961 – 1966)
Berbagai eskperimentasi kehidupan yang telah dijalani oleh Hasan Hanafi pada akhirnya merubah cara pandangnya semula, yaitu dari idealistik ke praksis. Suatu saat, ia pernah mendengarkan penjelasan seorang mahasiswa dari Afrika Utara tentang analisis kelas atas kondisi kaum muslimin. Saat itu, Hanafi mengakui bahwa ia masih berpendirian bahwa Islam itu adalah wahyu dari Tuhan. Ia pun belum paham makna asbab nuzul yang sebenarnya.
Kemudian Hanafi pun, berusaha membumikan kesadarannya, dengan melakukan kajian terhadap, misalnya saja, wahyu, akal, atau realitas atau kehidupan, realitas, dan yang ada, atau identitas dan akal, atau ilmu dan iman. Ia juga melakukan kajian tentang kritik sejarah teks suci. Bersamaan dengan kepulangannya ke negeri asal pada tahun 1966, ia menyadari bahwa jihad ashgar telah selesai dan sekarang sudah saatnya melakukan jihad akbar.

e. Kesadaran Politis (1967 – 1971)
Pada tahun-tahun ini, sekembalinya dari Prancis, Hasan Hanafi meleburkan diri ke dalam proses pencernaan pemikiran-pemikiran Pan-Arabisme secara langsung. Fase ini dikatakan sebagai kesadaran politik bukan dalam pengertian keperpihakan praksis sebagaimana yang pernah ia lampau masa mudanya. Namun lebih sekedar panggilan abadi seorang pemikir –semisal dirinya— yang harus bertanggung jawab dengan problem-problem yang melanda negara berkembang seperti Mesir. Apa yang dilakukannya adalah dalam rangka analisa sosio-politis struktur masyarakat Mesir demi kepentingan penegakan negara. Tak heran, jika pada fase ini Hanafi lebih banyak melakukan berbagai aktifitas ilmiah, misalnya menghadiri seminar atau diskusi, dan atau menulis buku seperti merampungkan buku tentang penjelasan teoritis terhadap Turas dan Tajdid: sikap kita terhadap tradisi masa lampau, atau buku tentang studi filsafat Islam. Menulis lebih menjadi perhatiannya demi kepentingan umat. Dan pada bulan September 1971, Hanafi pergi ke Amerika Serikat, menjadi dosen tamu.

d. Kesadaran Keagamaan Yang Revolusioner (1972 – 1975)
Selama berada di Amerika Serikat, Hanafi banyak mengenal semangat agama yang revolusioner. Ia banyak membaca buku seperti teologi pembebasan, teologi revolusi, teologi sekuler, teologi kematian Tuhan, dan lain-lainnya. Perhatian yang menarik Hanafi adalah bagaimana membebaskan manusia dari perspektif islam: tema-tema seperti peradaban dan kesadaran kelas, agama dan revolusi, ilmu sosial nasionalistik, dan lain-lainnya. Tampaknya inilah yang kemudian mempengaruhi pikirannya tentang “dari teologi menjadi antropologi sosial” sebagaimana dalam bukunya Min al-Aqidah ila al-Tsaurah.
Tema pembebasan ini justru semakin mendesak, khususnya setelah rakyat banyak dirugikan oleh politik pintu terbuka Presiden Sadat yang sangat menyuburkan kapitalisme Mesir. Dan pada saat yang sama terjadi ketidakberdayaan islam dalam menghadapi ploretarisasi massa. Lebih-lebih terjadi mistifikasi agama oleh pihak pemerintah. Ini disimbolkan oleh hubungan antara al-Azhar dengan pemerintah.

e. Kesadaran Akan Pembelaan Pemikiran (1976 – 1981)
Setelah tema-tema pembebasan ia rampungkan dan dilalui, Hanafi mulai memikirkan bagaimana masyarakat dapat maju. Baginya yang harus dihadapi untuk saat itu adalah bukan masalah teori lagi, namun masalah keberlangsungan dari teori tersebut. Karenanya, ia pernah menyatakan “aku berlindung pada Tuhan dari ilmu yang tidak bermanfaat”.
Setelah terjadi dua revolusi di Mesir, menurut Hasan Hanafi, saat-saat inilah yang pas untuk mensosialisasikannya lewat media massa, yaitu dengan tetap menegakkan pemikiran di hadapan pemikiran lainnya. Ia pun lantas menganggap penting untuk menegakkan tema-tema tentang tanggungjawab kekinian atas peradaban Arab, agama, dan pembebasan kultural. Semua itu dalam rangka menegakkan peradaban nasional-populistik.

f. Kesadaran Akan Timur (1982 – 1987)
Setelah Hasan Hanafi mempelajari berbagai literatur Barat dan mengolahnya kembali menjadi sebuah pemahaman baru demi kelangsungan kepentingan umat Islam, ia menyadari bagaimana mungkin peradaban Islam masih menjadi peradaban yang inferior. Kenyataan ini semakin tampak jelas di matanya, ketika berkali-kali ia melakukan kunjungannya di berbagai negara di belahan Timur yang berbasis muslim, seperti Bangkok, Manila, Filipina, dan lain-lain. Dari hasil kunjungannya itu, Hanafi menyimpulkan bahwa Barat telah menjadi model kemodernan kita. Inilah yang kemudian mengusiknya untuk menundukkan Barat dengan menjadikannya sebagai objek kajian ilmiah yang kemudian dikenal dengan ilmu Oksidentalisme (ilm al-istighrab).

g. Kesadaran Pembangunan Ilmiah (1988 – sekarang)
Inilah kesadaran terakhir dalam perjalanan idividual –sosok seperti Hanafi—dalam kiprah intelektualnya tentang proyek pembaharuan peradaban. Kesadaran pembangunan ilmiah ini lebih merupakan usaha teorisasi ilmiah sebagai respon terhadap realitas kekinian (yang kita hadapi sekarang). Dengan teorisasi ini, demikian kata Hanafi, kita akan dapat keluar dari jeratan tradisi (teks-teks) masa lampau. Ini baru dapat terlaksana setelah manusia keluar dari kegelisahan atau kegamangan duniawi dan membebaskan diri dari tantangan atau problemnya demi menyongsong masa depan perjalanan sejarah.

0 komentar: