11 September, 2009

Zakat dan Etika Sosial

Oleh: M.Faisol Fatawi

Dalam agama Islam, zakat merupakan pilar terpenting. Ia termasuk rukun Islam ketiga setelah syahadat dan shalat. Kedudukan zakat tampak semakin jelas manakala Qur’an menyebutkannya sebanding dengan kedudukan shalat. Ada sekitar dua puluh tujuh ayat dalam Qur’an yang menjelaskan kewajiban untuk menunaikan zakat dan melaksanakan shalat yang dirangkai secara sejajar dan berurutan dalam satu ayat. “Aqimu al-Shalah wa Atu al-Zakah” (dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat), demikianlah kira-kira bunyinya.
Secara bahasa, zakat berarti bertambah dan berkembang. Adapun dalam istilah fiqh zakat dikenal dengan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Jumlah harta yang diberikan kepada orang yang berhak pun bermacam-macam sesuai dengan jenis barang yang harus dizakati. Orang yang berhak pun beragam: menurut ketentuan Qur’an ada delapan golongan (QS at-Taubah: 60).
Di samping zakat, jenis pemberian barang kepada orang lain disebut dengan shadaqah dan infaq. Kalau operasional zakat diatur secara khusus dengan adanya beberapa ketentuan-ketentuan tertentu, maka shadaqah atau infaq lebih bebas dari itu. Jumlah perintah bersedekah atau infaq di dalam Qur’an dapat kita temukan hampir sebanding dengan jumlah ayat yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, bahkan mungkin lebih.
Aspek paling utama yang membedakan zakat sebagai rukun agama dengan rukun-rukun yang lain adalah bahwa zakat memiliki keterkaitan langsung dengan realitas kehidupan yang sebenarnya. Dengan kata lain, zakatlah satu-satunya rukun Islam yang pelaksanaannya terkait langsung dengan praktek kehidupan manusia. Kesaksian syahadat hanya menyangkut perjanjian individu dengan Tuhannya, shalat dilaksanakan di hadapan Tuhan sebagai pintu penghambaan, puasa dilakukan dengan cara menahan diri dari lapar dan dahaga, dan haji dilangsungkan di hadapan Ka’bah, namun zakat dilakukan dengan memberikan sejumlah harta benda kepada manusia.
Selain itu, zakat merupakan rukun agama yang menjadi sarana untuk menuju sebuah maqam antara individu dengan Tuhannya dan antara individu dengan sesama. Melalui pintu masuk zakat, seorang muslim tidak saja memasuki pintu penghambaan (hablum minallah), tetapi secara sadar maupun tidak ia telah memasuki sisi sosial kemasyarakatan. Hablum minallah (hubungan dengan manusia) sekaligus hablum minannas (hubungan dengan Tuhan).
Membangun tata kehidupan yang damai merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum kita menghamba pada Tuhan. Kita tidak mungkin melakukan ibadah kecuali kita berada dalam situasi dan kondisi yang tenang dan damai. Agar tatanan kehidupan berjalan di atas kedamaian dan ketenangan, maka harus dibangun pola hubungan antar individu dengan individu yang lain secara seimbang. Antara satu sama lain harus saling membantu: yang kaya membantu yang miskin dan yang kuat menolong yang lemah.
Dalam pengertian ini, zakat adalah sebuah pilar agama yang mengisyaratkan perlawanan terhadap segala bentuk sikap individualis, sebuah sikap yang mementing diri sendiri tanpa memperhatikan orang lain sebagai satu kesatuan kehidupan di atas dunia. Pengingkaran terhadap adanya wujud individu lain yang berada di luar dirinya melahirkan sikap tertutup: menolak keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.
Si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, dan seterusnya, merupakan satu kesatuan kehidupan yang faktanya tidak dapat ditolak. Seseorang yang kaya tidak akan pernah disebut (baca: berstatus) kaya manakala tidak ada orang yang secara materiil berada di bawahnya (baca: si miskin). Demikian halnya seorang disebut kuat manakala di sana ada yang tidak kuat. Ada hubungan timbal balik yang saling menguatkan keberadaan kedua belah pihak. Sekarang, tinggal bagaimana kita memaknai hubungan tersebut: apakah dimaknai sebagai hubungan yang saling menekan, menguasai, menghimpit, atau menindas?
Hubungan antar sesama (atau yang dalam bahasa agama lebih tegas disebut dengan hablum minannas) merupakan titik tolak dari semua kehidupan. Semakin kita dapat memahami dan memaknai hubungan ini, maka keberadaan hidup dan diri (dzat) semakin berarti dalam mengisi kehidupan itu sendiri. Di sana kedirian kita dapat ditemukan. Selama kedirian kita tidak ditemukan dalam menjalin hubungan antar sesama, maka kita pun pasti mengalami kehinaan diri (dzillah): lihat misalnya surat Ali Imran: 112).
Zakat mengingatkan dan menyadarkan kita akan arti penting menjalin hubungan antar sesama itu, sekaligus merupakan bentuk partisipasi konkrit-aktif untuk mewujudkan misi kemanusiaan agama dalam rangka melakukan perubahan sosial dan membangun peradaban dunia. Pemberian sebagian harta pada kelompok yang lemah dari si kaya mengisyaratkan sikap persaudaraan kemanusiaan.
Apabila zakat mencakup dimensi kemanusiaan, maka zakat itu merupakan sarana-bertujuan dalam rangka mewujudkan kesetaraan material dan ideal. Ia memberikan penjelasan mengenai penderitaan yang dimengerti sebagai sesuatu yang tidak adil. Kalau seseorang secara individual tidak menginginkan hidup dalam kesusahan dan penderitaan, maka orang lain juga tidak menginginkan seperti itu. Kalau seseorang secara pribadi ingin hidup dalam serba kecukupan, maka begitu pula dengan orang lain. Kebahagiaan itulah yang dicari dan didambakan oleh setiap individu. Wujud kebahagiaan dalam zakat adalah membangun kebahagiaan bagi orang lain demi kemaslahatan bersama yang di dalamnya kebahagiaan itu sendiri dibangun. Dalam pengertian sarana-bertujuan ini, mengeluarkan zakat berarti menggupayakan tegaknya kemaslahatan dan kebahagiaan bersama.
Dengan demikian, zakat merupakan etika (akhlak) sosial. Ia merupakan wujud tanggungjawab sosial dalam memandang kesatuan hubungan kemanusiaan dalam kerangka tindakan kemasyarakatan. Kalau perintah mengeluarkan zakat dalam berbagai ayat dipersandingkan dengan perintah melaksanakan shalat, itu berarti status perintah zakat sejajar dengan status perintah shalat. Apabila shalat –sebagaimana dalam sebuah hadis-- merupakan tiang agama, barang siapa yang tidak mengerjakannya sama dengan merobohkan agama dan barang siapa yang mengerjakannya berarti mengokohkan agama, maka tidak mengeluarkan zakat pun berarti sama dengan merongrong agama. Tak heran, karena pertimbangan inilah, orang yang tidak mengeluarkan zakat dikategorikan sebgai kafir. Kafir bukan dalam arti tidak mempercayai Allah, Nabi, malaikat, dan atau rukun iman yang lain, tetapi kafir dalam pengertian tertutupnya hati nurani atas tanggungjawab kemanusiaan: menyepelekan akhlak (baca: etika) sosial.
Dengan zakat itu dapat dipahami sebagai pertama, konsep agama tentang dunia yang dirasionalisasikan dari satu pandangan untuk totalitas hubungan antar pribadi manusia yang diatur secara normatif. Kedua, merupakan diferensiasi sikap etis yang dapat dipakai orang untuk menguji norma-norma. Ketiga, ia mengembangkan konsep pribadi yang universal sekaligus individualis yang berkaitan dengan suara hati dan tanggungjawab moral. Dengan demikian zakat merupakan konstruksi paradigmatis-normatif yang dapat dimanfaatkan untuk menyususn sebuah strategi kebudayaan untuk mengendalikan sistem dan integrasi sosial.
Dimensi etis-sosial seperti itu dalam kalangan masyarakat Islam masih belum terbangun.. Zakat masih dipahami sebagai kewajiban yang lebih terkesan sebagai tanggungjawab teologis. Karena itu, zakat pun “lebih” dipahami sebagai ritual tahunan belaka yang bersifat karikatif. Bahkan tak jarang didramatisir sedimikian rupa untuk mengukuhkan kepentingan individu: melegitimasi kedudukan diri di tengah masyarakat.[mff]

1 komentar:

Sedikit tapi bermanfaat itu lebih baik. jazakkallah khair al-jaza'.