02 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (2)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Kiri Islam (al-Yasar al-Islami)
Kiri Islam merupakan ideologi gerakan revolusi kebangkitan umat Islam: mendapat inspirasi dari seksesnya revolusi Iran, kelanjutan dari al-Urwa al-Mutsqa dan al-Manar (Jamaludin al-Afghani), serta tampil sebagai sosok reformis terhadap tradisi intelektual Islam klasik (sosok Muhammad Abduh). Ia merupakan penyempurnaan agenda modern Islam yang mengungkap realitas dan tendensi sosial politik. Ia berangkat dari perbedaan-perbedaan yang ada pada umat Islam, yaitu antara yang kaya-miskin, kuat-lemah, penindas-tertindas, dan lain-lainnya.
Kiri Islam juga bisa saja disebut dengan Shahwah al-Islam atau Yaqdha al-Islam, Nahdlah Islamiah, al-Ba’ts al-Islami, dan al-Wa’yu al-Islami. Namun apabila Yaqdha al-Islam atau Shahwah al-Islam hanya merujuk pada kebangkitan islam yang saat ini menjadi wacana utama seluruh dunia Islam kecuali di dunia suni, maka Kiri Islam bermaksud mentransformasikan kesadaran individu menjadi kesadaran kolektif, dari kesadaran rasional menuju revolusi realitas. Namun apabila ketiga nama terakhir lebih menonjolkan revolusi internal katimbang eksternal, maka Kiri Islam ingin menggerakkan kedua revolusi itu secara serentak.
Kiri Islam dikonotasikan dengan gerakan kiri keagamaan dalam sejarah agama-agama: merupakan terminologi ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Ia adalah istilah akademik dan ilmiah, sebuah istilah politik yang berarti resistensi dan kritisisme serta menjelaskan jarak antara realitas dan idealitas. Namun ia juga bukan Islam yang berbaju Marxis, karena itu berarti menafikan makna revolusioner dalam islam itu sendiri. Bukan eklektik antara Marxisme dan islam, karena ini akan menunjukkan pemikiran yang tercerabut dari akar, tanpa ada pertautan erat dengan realitas umat islam. Yang jelas ia mengusik kemapanan.
Kiri Islam lahir karena ketidakberhasilan pembaharuan yang telah berlangsung selama itu: lahir setelah melihat pertama, kooptasi kekuasaan terhadap Islam yang mana Islam hanya dijadikan sekedar sistem ritus dan kepercayaan ukhrawi, kedua bahwa liberalisme yang pernah ada tidak lebih dari sekedar perpanjangan tangan dunia Barat, ketiga Marxisme yang menentang kolonialisme dan berpretensi mewujudkan keadilan, ternyata tidak diikuti oleh pembebasan rakyat dan pengembangan khazanah mereka sebagai kekuatan dalam merealisasikan kemerdekaan nasinal, dan keempat ternyata nasionalisme revolusioner yang telah berhasil merubah secara radikal sistem politik tidak berlangsung lama.
Di samping itu, Kiri Islam juga masih tetap berpijak pada khazanah intelektual masa lampau, dengan menjadikan pandangan rasionalistik muktazilah, cara berfikir Imam Maliki, filsafat rasionalisnya Ibnu Rusyd atau al-Kindi, sebagai pijakan paradigmatik independen pemikiran keagamaannya. Tetap memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu normatif-tradisional murni, misalnya tentang ulum al-qur’an dengan mengutamakan dimensi realitas, al-hadis dengan mengutamakan matan teks, dan ilmu tafsir dengan mengutamakan pada tafsir perseptif (al-Syu’uri).
Dengan demikian, sebagai ideologi revolusioner bagi kebangkitan Islam, Kiri Islam mengusung tiga agenda, pertama pembaharuan tradisi Islam masa lampau, kedua menantang peradaban Barat dengan mengusulkan Oksidentalisme, dan ketiga melakukan analisis realitas dunia Islam.
• Pembaharuan Tradisi
Proyek pembaharuan tradisi masih memiliki keterkaitan erat dengan Kiri Islam. Bukan berarti pembaharuan tradisi adalah satu hal dan Kiri Islam adalah hal lain. Bagi Hanafi sendiri Kiri Islam adalah sebuah proyek peradaban. Kiri Islam –kalau boleh dikatakan—adalah baju ideologi reavolusioner bagi kebangkitan Islam untuk menentang segala bentuk kemapaan. Tidak ada tabrakan antara proyek pembaharuan tradisi dan Kiri Islam.
Bagi Hasan Hanafi, tradisi merupakan starting point (nuqthah al-bidayah) sebagai tanggungjawab peradaban. Pada saat ini, demikian dinyatakan Hanafi, kita berada dalam pergulatan tradisi sebagai bagian dari pergulatan sosial. Selama tradisi menghegomoni kita, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus melawannya untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus berhati-hati dengan tradisi itu sendiri. Dalam melakukan pembaharuan, tradisi adalah sarananya.
Tradisi menurut Hanafi dapat ditemukan dalam berbagai level. Pertama, tradisi itu bisa kita temukan dalam berbagai bentuk tulisan: buku, manuskrip, atau lain-lainnya, yang tersimpan di berbagai perpustakaan atau tempat-tempat lain. Kedua, tradisi bisa juga berupa konsep-konsep, pemikiran, dan atau ide-ide yang masih hidup dan hadir di tengah realitas. Jika yang pertama lebih bersifat materialistik, maka yang kedua lebih bersifat abstrak. Namun demikian kedua-duanya tidak dapat dilepaskan dari realitas. Setiap tradisi mengusung semangat zamannya, mencerminkan tahap perjalanan sejarah. Ia bisa berubah-ubah sesuai dan berganti-banti, dibentuk oleh setiap generasi sesuai dengan tantangan zaman.
Ketika tradisi itu tidak saja berupa khazanah tertulis dan juga tidak sekedar dunia teoritis yang otonom, maka sebenarnya tradisi itu merupakan khazanah yang terpendam dalam jiwa masyarakat yang dengannya, secara sadar atau tidak, setiap individu diarahkan dalam prilaku keseharian. Oleh karena itu, bisa saja tradisi masa lampau hidup dan mengarahkan prilaku masa kini. Di sinilah tradisi itu menjadi pandangan hidup. Bisa saja kita hidup di era modern, namun masih tetap berpijak pada tradisi masa lampau.
Dalam proyek pembaharuan tradisi, Hasan Hanafi memberikan landasan teoritis dengan meletakkan model garis segitiga. Masyarakat islam berada dalam tiga lingkup: tradisi masa lampau yang diwakili oleh tradisi Islam masa lampau dan ini disebut dengan turats al-ana, tradisi Barat yang disebut dengan turats al-akhar, dan realitas kekinian yang langsung dan sedang dihadapi oleh setiap individu.
Pada saat yang sama ketiga bagian tersebut melingkupi kita. Tradisi masa lampau hadir dalam realitas kehidupan kekinian kita sebagai suatu warisan (al-mauruts) dan tradisi barat sebagai “tamu” (al-wafid). Keduanya sama-sama mempunyai peluang dalam mengarahkan perilaku kehidupan manusia. Dari sini, Hanafi lalu menyederhanakan ketiga bagian itu menjadi pemikiran (al-fikr) dan realitas (al-waqi’) atau al-nqql dan al-ibda’. Kehadiran tradisi masa lampau sebagai tradisi diri sendiri dan tradisi Barat sebagai tradisi orang lain di tengah kehidupan tidak dapat ditolak. Ialah yang selama ini beroperasi mengarahkan perilaku kita: dalam menghadapi tantangan realitas kekinian apakah kita menggunakan tradisi masa lampau, Barat, atau bentuk eklektik dari keduanya? Atau dalam konteks realitas kekinian bagaimanakah kita menjalin hubungan antara tradisi al-ana dan tradisi al-akhar?
Secara de jure, Hanafi menyatakan bahwa kita harus memulai dari al-ana (tradisi diri sendiri), namun ia secara de facto –masih menurut dirinya sendiri—juga menyatakan bahwa sikap ini salah. Sebaliknya, kita juga tidak bisa memulai dari Barat, karena ia memang lawan dari kita, meskipun realitasnya membenarkan demikian. Maka sudah saatnya, menurut Hanafi, kita mengusung objek dari tingkat emotif pada tingkat praksis, dari sekedar reaksi menjadi analisis ilmiah yang lurus.
Bahwa tradisi al-akhar dan tradisi al-ana tidak dapat menafikan realitas kekinian. Usaha untuk merekonstruksi tradisi masa lampau yang juga memasuki tantangan realitas kekinian dapat membantu menghentikan proses westernisasi di mana pada saat yang sama terjadi dalam realitas sekarang. Rekonstruksi tradisi masa lampau tidak dapat tercapai kecuali harus mengerti tradisi lawannya (tradisi Barat) demi kemaslahatan umum. Sementara mensikap tradisi Barat secara krtitis dapat membantu dalam berpijak pada tradisi itu sendiri sebagai alternatif untuk melarikan diri darinya, dan mengeksplorasi kembali tradisi masa lampau katimbang harus meninggalkannya. Ketika tantangan kontemporer itu merupakan realitas kekinian yang di dalamnya kedua tradisi itu dibangun kembali secara bersamaan, maka sikap kritis terhadap kedua dapat menampakkan realitas itu sendiri dan memberikan hipotesa terhadap tantangan itu sendiri.
Oleh karena itu, Menurut Hasan Hanafi, ada tiga cara, yaitu menganalisis pembentukan dan latar belakang tradisi, mengamati pembekuan dan pensakralan tradisi, dan mencermati bagaimana tradisi itu berlawanan dengan kemaslahatan umum.

0 komentar: