09 September, 2009

Nuzulul Qur’an dan Budaya Baca Kita
Oleh: M. Faisol Fatawi

Nuzulul Qur’an berarti turunnya al-Qur’an. Al-Qur’an, kitab umat Islam yang agung dan mulia ini, diturunkan pada bulan Ramadhan. Tepatnya di gua Hiro’, baginda Muhammad Saw menerima wahyu pertama pada malam 17 Ramadhan. Al-Qur’an yang suci diturunkan pada bulan yang suci pula.
Dalam cerita yang sudah masyhur disebutkan, bahwa ketika baginda Rasulullah Saw menerima wahyu pertama dari Allah melalui malaikat Jibril, tubuh beliau bergetar hebat dan seluruh keringatnya mengucur deras. Beliau Saw ketika itu diperintah oleh malaikat Jibril untuk menirukan wahyu yang telah dibawanya. “Iqra’,” begitulah perintah malaikat Jibril. Tetapi nabi pun tidak bisa menirukannya, hingga berkali-kali Jibril mengulainya sampai beliau bisa. Setelah baginda nabi bisa menirukannya, maka dibacakanlah lima ayat pertama dari surat al-Alaq; iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq ... dst.
Usai menerima wahyu pertama dari Jibril, baginda Rasul pun pulang ke rumah. Sesampai di rumah beliau disambut oleh sang istri tercinta, Siti Khadijah. Sang istri merasa kaget dengan kondisi beliau yang menggigil seperti kedinginan. Baginda Rasul menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya di gua Hiro’ kepada Siti Khadijah. Kemudian Khadijah menceritakannya apa yang dialami oleh suaminya itu kepada saudaranya, Waraqoh bin Naufal. Satu jawaban yang terlontar dari bibir Waroqoh, sang Rahib itu. Yaitu, bahwa Rasulullah Saw telah mendapat wahyu dari Allah, dan bahwa orang yang mendatangi beliau ketika di gua Hiro’ tidak lain adalah orang yang pernah mendatangi nabi Musa, yakni malaikat Jibril. Singkatnya, sejak saat itu baginda Muhammad Saw telah diutus sebagai nabi dan rasul Allah.
Kata iqra’ yang merupakan wahyu pertama yang diturunkan kepada baginda nabi tidak lain adalah kalimat perintah (fi’il amar) yang berarti bacalah!. Di sini, perintah membaca dapat dikategorikan kedalam tiga pengertian. Pertama, membaca dalam pengertian dzikir kepada Allah dengan membaca nama-nama Allah atau kalimat-kalimat thoyyibah dan lain-lain. Atau termasuk juga dalam kategori pertama melakukan tadabbur atas segala yang diberikan Allah kepada umat manusia. Pengertian seperti ini lebih cenderung pada dimensi teologis-keimanan.
Kedua, membaca sebagai aktifitas jasmani yang melibatkan panca indera atau anggota tubuh yang ada, seperti mata, pikiran dan seterusnya. Pengertian kedua ini merupakan pengertian yang dapat diambil dari konteks keseluruhan lima ayat dari surat al-Alaq yang telah diturunkan kepada baginda nabi Saw. Konteks yang dimaksud adalah bahwa di dalam ayat ini Allah telah menghubungkan dengan proses penciptaan manusia dan pengajaran terhadap manusia dari yang semula tidak mengerti menjadi orang yang memiliki pengetahuan.
Oleh karena itu, membaca dalam pengertian yang kedua itu merupakan proses pemerolehan pengetahuan. Membaca yang dimaksud adalah creative reading (membaca yang kreatif). Dalam creative reading, aktifitas membaca tidak berjalan sekedar membaca begitu saja, tetapi membaca itu dapat memberikan dampak, seperti tambahan pengetahuan, atau bahkan marangsang terjadinya dialektika pengetahuan dalam batin dan pikiran pembaca. Membaca seperti ini lebih dekat pada aktifitas pengetahuan (al-amaliyah al-ma’rafiyah). Dan tumbuh berkembanganya ilmu pengetahuan tidak dapat dilepaskan dari aktifitas membaca yang seperti itu.
Turunnya al-Qur’an telah diawali dengan perintah iqra’ yang merupakan bentuk ujaran yang bersifat aktif. Artinya, bahwa perintah “bacalah!” menuntut adanya respon audiens (mukhathab) untuk memenuhi tuntutan sebagaimana yang diinginkan oleh orang pertama (mutakallim wahdah). Secara mafhum mukhalafah perintah iqra’ dapat dipahami sebagai perintah untuk membuang kebodohan, dan menimba ilmu pengetahuan. Dengan membaca, seseorang akan mendapat pengetahuan, informasi dan hal-hal yang baru.
Al-Qur’an diturunkan tidak saja dapat dipandang sebagai bukti kenabian baginda Muhammad Saw., tetapi juga sebagai titik revolusi kesadaran pengetahuan umat manusia, khususnya bagi umat Islam untuk melakukan perubahan diri, dari ketidak-tahuan menuju diri ‘yang mengetahui’ (al-dzat al-arif)—arif di sini bukan dalam pengertian kaum sufi. Membaca adalah tonggak awal yang dapat merangsang tumbuhnya aktifitas pengetahuan yang lain, seperti menulis; membaca dan menulis adalah dua aktifitas yang sangat dekat dalam proses pemerolehan pengetahuan. Maka tidak heran, jika Adones menyebutkan bahwa eksistensi al-Qur’an telah merangsang tumbuhnya wawasan untuk menulis.
Sebagian intelektual Islam awal menyatakan bahwa al-Qur’an berarti bacaan, karena berasal dari kata qara’a. Baik al-Qur’an maupun iqra’, keduanya memiliki derivat kata yang sama. Membaca al-Qur’an adalah ibadah. Lebih ‘beribadah’ lagi, menjadikan aktifitas membaca sebagai budaya dalam keseharian kita. [mff]

0 komentar: