03 September, 2009

MEMBACA PROYEK PERADABAN HASAN HANAFI (3)

Oleh: M.Faisol Fatawi

• Oksidentalisme: Menantang Barat
Oksidentalisme ini merupakan kelanjutan dan realisasi dari proyek Kiri Islam sebagai proyek peradaban untuk menentang hegemoni Barat. Concern dari Oksidentalisme adalah mempersoalkan ke-centralan peradaban Barat (eurocentriscity); menggugat dualisme antara pusat dan pinggir pada tingkat peradaban; mengembalikan keseimbangan peradaban manusia, dengan menelanjangi secara kritis kesadaran Barat-Eropa; meluruskan konsep keinternasionalisasian budaya Barat; dan pada akhirnya mengakhiri mitologi kebesaran peradaban Barat.
Menjadikan Barat sebagai subjek berarti menceburkan identitas diri sendiri ke dalamnya, dan ini bahaya karena akan tercerabut dari akar kediriannya. Bagi Hanafi kita perlu menjaga identitas dari kepunahan yang disebabkan oleh westernisasi. Untuk itu mestinya ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan: 1) qur’an melarang untuk “membebek” pada orang lain, terutama non-muslim, karena mereka adalah musuh Islam yang akan memberangus identitas diri kita, 2) kita harus membuang budaya ikut-ikutan (taklid), 3) kita harus meneladani kembali pemikiran Islam Klasik yang mampu menciptakan budaya besar tanpa kehilangan identitasn, 4) kita mesti tetap memegang dan mengembangkan budaya kritik, meskipun faktanya pemikiran Islam banyak diwarnai oleh budaya Barat, 5) memperhatikan gerakan Islam sekarang yang berada di Barat, dan 6) meneladani sikap para pendahulu yang gigih mempertahankan diri dari serangan luar.
Dalam pandangan Hanafi, ptaktek Oksidentalisme pernah terjadi pada abad pertengahan, saat itu Islam bertemu dengan peradaban Yunani Kuno –ini yang dalam sejarah disebut dengan masa kodifikasi (ashr al-tadwin). Pada saat itu, Islam menjadi subjek untuk mengkaji peradaban Yunani. Menurutnya proses itu berlangsung secara gradual lewat: 1) penerjemahan yaitu dengan memperhatikan bobot muatan makna daripada lafaz untuk ditransref ke dalam bahasa Arab, 2) pensyarahan yaitu dengan memperhatikan objek untuk dijelaskan struktur kandungan lafadz dan makna secara bersamaan, 3) rangkuman yaitu dengan mengambil inti pemikiran tanpa mengurangi sedikitpun, 4) menyusun kembali peradaban al-wafid (peradaban tamu) dengan menjelaskan dan menyempurnakannya, 5) menyusun objek-objek peradaban al-wafid dengan mendialogkan pada peradaban yang dimiliki (al-mauruts), 6) melakukan kritik terhadap budaya al-wafid dengan meletakkan posisi dan mengembalikan pada lingkungannya, dan 7) menolak teks al-wafid dengan mempertanyakannya.
Pada akhirnya, hasil yang ingin dicapai, menurut Hanafi, dengan Oksidentalisme ini adalah menguasai kesadaran Barat-Eropa; memahami kesadaran Barat-Eropa sebagai realitas sejarah yang in historis; mengembalikan pada batas kelamiahannya dan mengakhiri perang peradaban serta mengembalikan filsafat Eropa pada tempatnya; mengeksplorasi genuin budaya lokal dari setiap peradaban masyarakat; melapangkan kreatifitas diri masyarakat dan mebebaskannya dari tipuan
nalar; melapangkan proses kreatif-efektif untuk mengurangi budaya konsumtif sehingga mampu menguasai yang lain; menulis kembali sejarah peradaban dunia secara seimbang; memulai babak baru filsafat sejarah dengan berangkat dari Timur; mengakhiri orientalisme dan menjadikannya sebagai objek; menjadikan oksidentalisme sebagai ilmu yang cermat; membentuk kelompok pakar pengkaji nasional yang memperhatikan peradabannya sendiri dari cara pandang tempat ia tinggal, bukan cara pandangn orang lain (Barat); membentuk generasi baru yang dapat disebut dengan para filosof; melakukan pembebasan diri dari pijakan ontologis kediriannya, bukan sekedar pengetahuan; dan menciptakan babak baru dunia kemanusiaan yang berdasarkan pada persamaan, terbebas dari unsur-unsur etnisitas.
• Metode Pemikiran Hasan Hanafi
Bahwa Hanafi adalah pemikir yang akrab dengan tradisi filsafat Marx. Pandangan populistik-sosialistik-nasionalistik yang pada dasa warsa 60-an menjadi pandangan yang mendominasi negara-negara Arab, yang menjadi ideologi pan-Arabisme, telah mewarnai pemikirannya. Tak heran jika Hanafi pun mencita-citakan persatuan umat Islam sebagaimana yang diperjuangkan oleh al-Afghani. Ia menggunakan metode dialektika dalam mensistematisasikan pengetahuan dan pengalamannya ke dalam satu keutuhan yang inklusif. Proses sejarah berlangsung lewat konfrontasi dialektis dimana tesis menimbulkan anti tesis dan keduanya diangkat menjadi sintesis.
Dalam pemikiran Hasan Hanafi, metode tersebut dipakai ketika untuk menentukan titik pijak dalam melakukan pembaharuan tradisi: menjelaskan posisi kita di tengah tiga realitas: tradisi masa lampau, tradisi Barat, dan realitas kontemporer. Dan tradisi itu, menurutnya, toh hanya bisa dijelaskan dengan sejarah; mengetahui susunan dan akarnya, lalu menfungsikannya untuk melakukan transformasi sosial. Oleh karena itu, ia menghindari pendekatan pragmatis terhadap tradisi, karena ini –seringkali-- berujung pada ideologisasi.
Hanafi dalam proyek pembaharuan juga menfungsikan agama sebagai spirit gerak menuju keluar. Agama itu memberikan spirit pembebasan manusia. Ia harus bergerak dari seperangkat aturan normatif (akidah) menuju praksis. Bahkan agama memberikan semangat revolusioner. Dalam menangkap semangat ini, Hanafi merujuk pada teks-teks agama. Memahami kembali teks-teks agama pun tidak dapat ditolak, bahkan menjadi sebuah keniscayaan, lebih-lebih untuk mendapatkan legitimasi bagi proyek pembaharuannya, karena kalau tidak demikian kita akan tercerabut dari akar dan identitas diri sendiri. Ia pun tak tanggung-tanggung melakukan kritik internal. Di sinilah kita dapat mengatakan kalau ia menggunakan hermeneutika sebagai pisau bedah untuk merealisasikan semua itu.
Persentuhan Hasan Hanafi dengan tradisi filsafat Eropa, rupanya tidak dapat menghindarkan dirinya untuk menggunakan fenomenologi. Fenomenologi ini digunakan oleh Hanafi untuk menghindari pembahasan metafisis yang tidak memiliki relevansi lagi untuk menggambarkan realitas manusiawi dan realitas ilahi. Dalam rekonstruksinya terhadap ilmu kalam misalnya, ia menghindari pembahasan tentang sifat dan dzat ketuhanan yang telah menjadi titik perdebatan teologi klasik. Bagaimanapun juga Tuhan tidak dapat diketahui oleh siapapun dan kapanpun. Oleh karena itu, ia meletakkan ketuhanan sebagai landasan aksiomatis. Yang terpenting baginya kemudian adalah membumikan teologi klasik menjadi teologi yang antroposentris.
Pada kesempatan yang lain, Hanafi tampak menggunakan penggabungan dari berbagai madzhab, terutama pada khazanah intelektual klasik: menjadikan tradisi berpikir rasionalistik yang pernah dikembangkan oleh –seperti—muktazilah, Imam Maliki (Madzhab Maliki), Ibnu Rusyd, dan al-Kindi. Penggabungan berbagai metode (baca: cara berpikir) ini lebih dikenal dengan metode eklektik. Metode ini tak dapat dipugkiri ketika kita membaca pikiran Hasan Hanafi, khususnya dalam proyek kiri Islamnya.
• Catatan Akhir
Bagaimanapun juga proyek peradaban Hasan Hanafi merupakan proyek yang sangat besar dan merupakan jawaban atas zamannya. Banyak pengamat yang menuduhnya sebagai agen modernis, namun ia segera menampiknya. Malah ia menyatakan bahwa proyek pembaharuannya itu merupakan kelanjutan dari para pembaharu yang mendahuluinya, dengan berpijak pada semangat inovatif-proresif yang menisbatkan diri pada pemikir abad pertengahan semisal Ibnu Rusyd, semangat rasionalisme muktazilah, cara berpikir imam Maliki.
Namun juga tidak jarang dari kalangan pemikir Arab lain yang mengatakan sebaliknya, bahwa Hanafi adalah seorang islamis-salafis. Di antara yang menyatakan demikian Nasr Hamid Abu Zaid dan Muhammad Jam’ah. Sementara pemikir lain ada yang memasukkan Hanafi sebagai “pemikir organik” dalam pengertian Gramcsi: maksudnya seorang pemikir yang tidak sekedar masuk dalam komunitas masyarakat dan membawa kecemasan kelompoknya, ia telah mempermainakn dirinya sebagai orang yang merepresentasikan kelompok terpandang dan kesadaran hati nurani manusia, namun ia sendiri tidak sadar kalau kecemasan itu juga mewakili dirinya sendiri.
Semangat Hanafi untuk menundukkan Barat karena alasan peradabannya yang hegemonik, dengan menandinginya lewat proyek Oksidentalisme-nya, menyeret dirinya ke dalam "pertarungan" antar peradaban. Atas dasar apakah ia menantang Barat? Atas nama kemanusiaan atau primordialitas keagamaan? Kalau atas nama kemanusiaan, manusia yang mana? Kalau atas nama agama, bukankah agama juga menolak segala bentuk penindasan? Lalu siapa menghegemoni siapa? Di sinilah keangkuhan Hanafi: ia hadir seolah-olah mewakili kanabian dan kerasulan, membalik tatanan sejarah dunia.
Ada satu ciri yang membedakan antara Hasan Hanafi dengan sederetan pemikir Arab-Islam yang lain. Yaitu Hanafi berangkat dari fenomena “pertarungan kelas”. Hanafi melihat bahwa Islam tidak berdaya berhadapan dengan proses proletarisasi massa yang dilakukan oleh sekelompok kelas penguasa (masuk di dalamnya para kapitalis). Tema keadilan –di mata Hanafi—semakin menampakkan urgensitasnya setelah rakyat banyak dirugikan oleh politik pintu terbuka presiden Anwar Sadat yang mendukung gerak laju kapitalisme, bahkan pada saat yang sama terjadi mistifikasi agama oleh pihak tertentu untuk melegitimasi kepentingannya.
Masyarakat Islam, khususnya Mesir, pada saat itu memiliki beberapa kelemahan mencolok. Di antaranya, masyarakat (Mesir) memiliki ketergantungan yang tinggi pada penguasa, kemunafikan, kekaburan, rasa hormat terhadap tabu-tabu sosial, non sense reality, dan kecenderungan untuk mengkultuskan individu. Sementara pengaruh-pengaruh destruktif dari luar tidak lebih daripada sebagai katalisator.
Tak pelak, Hasan Hanafi memusatkan kajiannya pada peran agama di tengah perubahan sosial: dengan menangkap kembali pesan pembebasan agama (keadilan, persamaan, keberpihakan pada kaum dlu’afa, dan lain-lain). instrumentalisasi dan manipulasi agama yang telah dan sedang dilakukan oleh kelompok tertentu (pihak penguasan dan sebagian tokoh agamawan) harus dihentikan karena mematikan daya kritis agama. Tidak jalan lain untuk menghentikannya kecuali dengan mencoba menggali pesan-pesan revolusioner Islam sebagai langkah untuk mengadakan kritik sosial.

0 komentar: