05 Agustus, 2009

Kematian dan Perkawinan

Oleh: M. Faisol Fatawi

Baru saja kita ditinggal oleh raja pop terkenal Michel Jackson, sekarang kita harus kehilangan Mbah Surip untuk selamanya. Sebagaimana kematian Jaco, kematian pelantun dan sekaligus pengarang lagu “Tak Gendong” dan “Bangun Tidur” itu, Mbah Surip, mendapat antusiasme yang luar biasa dari masyarakat. Tak kenal tua, muda dan anak-anak, semua merasa kehilangan. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, meliput prosesi penghormatan terakhir jenazah Mbah Surip. Semua orang tumplek bek (berjubel-jubel) menghadiri pemakamannya. Bahkan tak tanggung-tanggung, sebuah stasiun televisi menyiarkan secara langsung prosesi pemakaman itu.
Prosesi pemakaman Mbah Surip menjadi peristiwa yang “istimewa”, karena di dalam prosesi tersebut ternyata diadakan acara akad nikah, antara putri almarhum Mbah Surip dengan seorang pemuda (kalau tidak salah, Samsuri namanya). Semula, akad nikah antara dua sejoli itu akan dilaksanakan pada beberapa hari kedepan (16 Agustus 2009). Tetapi, takdir Tuhan berkata lain, Mbah Surip yang menjadi wali dari calon mempelai putri menghadap sang Khaliq terlebih dahulu.
Konon menurut adat yang berlaku di sebagian daerah tertentu diyakini bahwa akad pernikahan tidak boleh dilaksanakan jika dalam tahun yang sama akad pernikahan itu telah didahului oleh kematian keluarga. Tetapi justru, akad pernikahan itu boleh dilangsungkan berbarengan dengan prosesi pemakaman keluarga yang meninggalkan calon pengantin. Kira-kira karena alasan inilah, kita dapat menyaksikan prosesi pemakaman Mbah Surip dan sekaligus akad nikah putrinya di samping jasad almarhum. Inilah acara prosesi pemakaman (kematian) dan perkawinan. Sebuah momen peristiwa yang sangat jarang kita temukan. Kesedihan dan kegembiraan menyatu dalam saat yang sama. Kesedihan, karena keluarga mayit telah kehilangan anggota keluarga tersayang, Mbah Surip. Dan bahagia karena keluarga dapat menyaksikan berlangsungnya akad nikah dari salah satu anggota keluarga.
Kematian dan perkawinan merupakan peristiwa penting di tengah kehidupan. Perkawinan menjadi momen awal dari kehidupan segala makhluk yang ada di muka bumi, khususnya manusia. Sementara kematian adalah akhir dari segala kehidupan. Eksistensi manusia yang sesungguhnya dimulai dari perkawinan dan berakhir ketika ajal menjemputnya. Karena, melalui ikatan perkawinan sebuah keberlangsungan kehidupan dapat dijaga, dengan melahirkan generasi insan-insan yang baru, yang menggantikan generasi sebelumnya. Perkawinan dan kematian bukanlah sekedar drama kehidupan yang harus dilalui oleh setiap manusia. Keduanya menjadi filosofi kehidupan tentang eksistensi setiap manusia. Dengan kata lain, perkawinan dan kematian memberikan pendidikan bagi manusia akan cara “mengada”, yaitu bagaimana seseorang menjadi ada dan tiada.
Pentingnya peristiwa perkawinan dan kematian menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tema pembicaraan dalam kitab-kitab agama maupun keyakinan-keyakinan tertentu. Cobalah kita membaca dalam kitab-kitab suci, persoalan perkawinan dan kematian menjadi hal yang selalu mendapat porsi pembahasan yang serius; kita bisa membaca peristiwa pertemuan Adam dan Hawa’ di sorga yang hampir seluruh kitab suci memuatnya. Dan begitu juga persoalan kematian, menjadi bahasan yang tak kalah penting. Hal yang sama dapat kita temukan dalam ajaran-ajaran kejawen atau agama-agama kuno.
Dalam Islam misalnya diajarkan, untuk menghormati acara perkawinan maka disarankan untuk mengadakan suatu jamuan (walimah al-ursy) semampunya. Dalam kematian pun terdapat hukum fardlu kifayah untuk mengurusi si mayit sebagai bentuk penghormatan terakhir. Dalam setiap peristiwa perkawinan dan kematian selalu dilakukan serangkaian acara pernghormatan terhadapnya. Lebih-lebih dalam ajaran-ajaran agama-agama kuno; selalu ada ritus yang harus dilakukan untuk menghormati peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Kematian dan pernikahan tidak lain merupakan titik akhir dan titik awal dari kehidupan. Kehidupan setiap manusia selalu “berawal” dan “berakhir”. Hakikat kehidupan adalah berangkat titik awal dan bermuara pada titik akhir. Titik awal dan titik akhir adalah sesuatu yang sudah jelas. Kehidupan menjadi ada karena ada titik awal dan titik akhir. Manusia pun menjadi ada karena eksistensinya memiliki titik awal dan titik akhir. Mengingkari kenyataan ini sama saja dengan mengingkari eksistensi diri manusia itu sendiri.
Dalam literatur klasik dikatakan, bahwa inti al-Qur’an terdapat dalam surat al-Fatihah (karena alasan inilah kemudian disebut dengan umm al-Qur’an). Inti surat al-Fatihah terdapat pada ayat pertama, yaitu bismillahirrahmanirrohim. Inti ayat pertama dari al-fatihah terdapat di huruf ba’. Dan, inti huruf ba’ terdapat pada titiknya. Ya, itulah semuanya bermula dari titik dan kembali pada satu titik.
Semoga kematian Mbah Surip dan perkawinan putrinya tidak menjadi sekedar tontonan drama kehidupan; makna filosofisnya hilang ditelan gelombang pencitraan yang dimainkan oleh media. Bukankah krisis subjek menjadi dampak yang paling nyata dari arus globalisasi budaya yang sekarang sedang terjadi? Sehingga makna-makna tentang diri-subjek menjadi sirna; yang timbul justru manusia tanpa makna (baca: krisis identitas). Wallahu a’lam. [mff]

2 komentar:

tak gendong, kemana-mana... bangun dan tidur lagi, black or white... lagu-lagu berisi 2 sisi yg berlawanan tp sebenarnya hy dari 1 titik yg sama.

satu-satu daun berguguran...jatuh kebumi termakan usia...