Oleh: M. Faisol Fatawi
Kalau kita mendiskusikan tentang kampus, maka hal
pertama kali yang terlintas dalam pikiran adalah kampus menjadi tempat
penggemblengan ilmu pengetahuan bagi para calon sarjana dan ilmuan. Kampus
tidak lain dalah gudangnya para sarjana dan ilmuan. Kampus menjadi mercusuar
tegak dan berkembangnya ilmu pengetahuan; kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
menjadi cita-cita luhur bagi landasan filosofis didirikannya sebuah perguruan
tinggi.
Di Indonesia, kampus atau perguruan tinggi bercokol
dimana-mana, baik berstatus negeri maupun swasta. Hampir setiap kota (wilayah/propisinsi)
di seluruh negeri ini, tidak luput dari kampus. Jika dihitung dengan jari,
jumlah kampus atau perguruan tinggi di bumi pertiwi yang kita cintai ini, mulai
dari ujung barat sampai ujungg timur, dari yang kecil sampai yang besar,
mencapai ratusan atau bahkan ribuan. Meskipun jumlahnya melimpah ruah, cita-cita
luhur untuk menjadikan kampus atau perguruan tinggi sebagai pusat kemajuan ilmu
pengetahuan masih jauh dari harapan—kalau tidak boleh dikatakan sama sekali
tidak terwujud. Tolak ukurnya sederhana, dari jumlah kampus atau perguruan
tinggi yang ada, tidak lebih dari 5 % memiliki sistem publikasi karya ilmiah
yang mapan.
Dalam sebuah rilis Webometrics edisi Januari 2009
disebutkan, bahwa dari sekitar 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di
Indonesia, hanya 33 perguruan tinggi yang masuk daftar peringkat Top 5000
Dunia. Dari 33 perguruan tinggi Indonesia itu, tidak satu pun yang masuk dalam
daftar Top 15 untuk wilayah Benua Asia. Universitas Gadjah Mada berada di
peringkat 64 dan Institut Teknologi Bandung berada pada peringkat 71 dalam TOP
100 Asia. Untuk peringkat 1 sampai 5 Asia berturut-turut University of Tokyo,
National Taiwan University, Kyoto University, Peking University, dan University
of Hongkong. Salah satu rujukan pentingnya yang menjadi dasar penilaian adalah
poin scholar hal-hal yang terkait dengan dokumen karya ilmiah dan situasi dari
sivitas akademikanya.
Dalam bayangan saya, sebuah perguruan tinggi adalah
tak ubahnya ‘perusahaan’ intelektual.
Mesin-mesinnya adalah para pengajar, ilmuan atau bahkan para mahasiswa.
Mesin-mesin inilah yang akan menghasilkan produk-produk intelektual, baik di
bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu saintis, baik ilmu yang
bersifat teoritis atau terapan. Berbagai produk intelektual tersebut kemudian
dikemas dalam bentuk sedemikian rupa dan dipasarkan ke hadapan public, sehingga
dapat dinikmati oleh masyarakat. Inilah yang saya maksud dengan sistem
publikasi karya ilmiah itu.
Kontribusi paling mulia dari sebuah kampus atau
perguruan tinggi adalah sumbangsih intelektualnya di bidang ilmu pengetahuan.
Sistem publikasi ilmiah dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertegas
eksistensi dan identitas kampus sebagai lokomotif kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Untuk itu, sistem publikasi karya ilmiah yang mapan menjadi sebuah
keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Dan dalam konteks kampus ini, UIN
Malang press—khususnya--dapat kita jadikan sebagai ‘rumah produksi’ bagi karya
intelektual para sivitas akademika.
Pasang
Surut Penerbitan Kampus
Kehadiran penerbit kampus dalam dunia perbukuan
bukanlah sesuatu yang baru. Era tahun 50-an mungkin dapat dikatakan sebagai
awal munculnya penerbit kampus. Sebutlah Universitas Islam Indonesia (UII),
yang bisa dibilang sebagai kampus pertama yang mulai menapaki dunia penerbitan.
Sejak 11 November 1951, UII di bawah pimpinan Tjitrosoebono sudah memiliki
penerbitan dengan nama Jajasan Pertjetakan. Penerbit kampus yang satu ini hanya
dapat bertahan sampai tahun 1970-an, hingga kemudian dibubarkan pada tahun
1981. UII berusaha bangkit kembali dari keterpurukan penerbitan kampus sejak
tahun 1992.
Langkah terjun ke dalam dunia penerbitan seperti
UII juga diikuti oleh kampus-kampus yang lain. Contoh paling nyata adalah
beberapa kampus besar negeri seperti Gadjah Mada University Press (Gama Press),
Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Airlangga University Press, dan Penerbit
ITB. Pada era tahun 80-an, penerbit-penerbit kampus tersebut sempat ‘mencuri’
perhatian public. Buku-buku yang terbitkan dinilai bermutu dan
berkualitas. Namun demikian, nasibnya
kini juga di ujung tanduk; mati segan hidup tak mau. Wal hasil, penerbit-penerbit
ini tidak mampu bersaing dengan penerbit swasta dalam menghasilkan
produk-produk yang berkualitas.
Kondisi penerbitan kampus yang seperti itu mungkin
berbeda jika kita bandingkan dengan penerbit-penerbit kampus yang ada di luar
negeri (baca: Barat). Lihat saja penerbit kampus seperti Oxford University atau
Cambridge University. Kedua penerbit ini mampu menancapkan ‘kakinya‘ di tengah
dunia penerbitan, sehingga mampu menerbitkan buku-buku ilmiah berkualitas yang
selalu diburu oleh masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Bahkan produk-produk
kedua penerbit kampus tersebut mampu mengepakkan sayap pengaruhnya ke seluruh
dunia; banyak perguruan tinggi yang menjadikan buku-buku terbitannya sebagai
bahan rujukan. Kita mungkin perlu belajar dari majunya penerbitan kampus luar
negeri tersebut.
Menurut beberapa pengamat dunia perbukuan dan
penerbitan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan kenapa selama ini penerbit
kampus di Indonesia gagal dalam meneguhkan dirinya sebagai penerbit yang
tangguh dan benar-benar eksis. Beberapa hal tersebut diantaranya, keterbatasan dukungan
dana, rendahnya budaya tulis menulis di lingkungan kampus dan rendahnya
kualitas buku.
Pertama, keterbatasan dana. Persoalan dana
dapat dibilang persoalan klasik. Dalam dunia penerbitan, uang menjadi hal yang
sangat penting. Mati hidupnya sebuah penerbitan buku, baik kampus maupun non
kampus, sangat bergantung dengan dukungan dana. Kita mungkin dapat mengamati
menjamurnya penerbitan buku yang muncul pasca reformasi, tetapi tidak sedikit
dari penerbit-penerbit itu tidak mampu beroperasi karena terjepit persoalan
uang. Jangan heran jika kita menemukan sebuah penerbit—penerbit swasta
khususnya--buku yang ngutang ke bank, dan setiap bulan harus mencicilnya. Dan tak jarang pula, karena lilitan hutang
itu, sebuah penerbit gulung tikar.
Kedua, rendahnya budaya tulis menulis.
Menumbuhkan budaya tulis menulis tidak gampang dilakukan. Karena, aktifitas
menulis menuntut seseorang untuk dapat sedikit meluangkan waktu dan cukup menyita
pikiran. Barangkali, alasan inilah yang mendorong seorang pengajar (dosen) untuk
lebih suka menyampaikan apa yang akan diajarkan secara lisan atau ceramah.
Ketiga, kualitas buku yang rendah. Faktor
ini seringkali dihubungkan dengan ketidak-seriusan penulis yang bersangkutan.
Ini terkait dengan rendahnya budaya tulis menulis yang dimiliki oleh seseorang.
Pada umumnya, seseorang lebih mempertimbangkan besar-kecilnya honor yang
diterima katimbang berkarya (menulis) itu sendiri, sehingga mereka lebih suka
memilih jalan pintas dalam berkarya. Maka tak heran, jika kita jarang menemukan
penulis atau pengarang buku dari kalangan dosen, yang terkenal dan
diperhitungkan dalam percaturan intelektual dan belantara dunia perbukuan.
Mengejar
Ketertinggalan
Era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi (IPTEK) dan informasi, menjadi tantangan dan sekaligus
memberikan peluang bagi perkembangan dunia penerbitan buku pada umumnya, dan
secara khusus penerbitan kampus. Ingar-bingar dunia penerbitan buku beberapa
tahun terakhir ini, semakin nyata. Persaingan antar penerbit semakin ketat
dalam memproduksi buku bacaan, baik ilmiah maupun non ilmiah.
Mati satu tumbuh seribu. Itulah adagium yang pas
untuk menggambarkan ingar-bingar penerbitan buku di Indonesia. Dengan segala fasilitas
yang semakin maju dan canggih, setiap orang akan semakin mudah untuk bergelut
di dalam dunia penerbitan buku. Sebuah penerbitan buku tidak harus memiliki
paralatan yang canggih dan lengkap. Sebuah penerbitan buku pun bisa menjadi
eksis hanya dikendalikan oleh tiga sampai lima orang saja. Penerbit non kampus
pun semakin marak. Kota Jogjakarta mungkin dapat disebut sebagai gudangnya
penerbitan buku.
Di tengah persaingan yang sengit seperti itu,
penerbitan kampus tidak boleh tenggelam dalam deru gelombang penerbitan buku
pada umumnya. Penerbitan kampus harus eksis. Penerbit kampus tidak boleh
membiarkan diri tertinggal di belakang penerbit-penerbit swasta (non kampus)
yang lain; harus menjadi yang terdepan dalam mengawal kemajuan dan perkembangan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, beberapa hal harus diperhatikan dalam
pengelolahan penerbitan kampus. Pertama, berorientasi profit. Orientasi
profit merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Karena, menerbitkan buku butuh
pada dukungan dana yang cukup. Bayangkan saja, jika sebuah penerbit kampus
dalam setiap bulan harus menerbitkan minimal 4 buku. Setiap buku dicetak
sebanyak minimal seribu eksemplar dengan biaya masing-masing sebesar lima juta. Tentu, biaya yang
dibuthkan untuk mencetak setiap bulan mencapai dua puluh juta. Ini pun belum
termasuk biaya lain-lain, seperti editor, layouter, desainer dan seterusnya.
Orientasi profit dalam mengelolah penerbitan kampus
juga cukup dapat membantu masalah dana. Penerbitan kampus (khususnya penerbitan
kampus-kampus negeri) tidak selamanya dapat mengandalkan suplay dana dari
negara. Di sini, dengan orientasi profit sebuah penerbitan kampus dapat
mengolah dan menghidupi dapur rumah tangganya secara mandiri. Alih-alih,
meminimalisiasi cara-cara kerja birokratis, karena mengelolah penerbitan buku
berhadapan dengan pasar, bukan birokrasi.
Kedua, membangun jaringan pemasaran yang
kuat. Semakin kuat jaringan pemasaran sebuah penerbitan buku, maka semakin lama
usia hidupnya penerbitan buku itu. Semakin luas jaringan pemasaran sebuah
penerbit buku, maka semakin banyak masyarakat pembaca yang dapat mengakses
produk-produk terbitan yang dihasilkan.
Oleh karena itu, kemungkinan terjualnya produk itu pun semakin terbuka
lebar.
Dalam konteks penerbitan kampus, sejauh ini perlu dibangun
jaringan antar penerbit kampus. Yang menjadi target dalam hal ini adalah
menjadikan penerbit kampus sebagai pelaku pasar yang riil, tidak hanya sebatas
supliyer. Sementara ini, pelaku pasar dunia penerbitan buku dikuasai oleh
penerbit non kampus. Pertemuan antar penerbit pun aktif dilakukan oleh
penerbit-penerbit non kampus, yang tidak jarang berujung pada
diselenggarakannya even pameran antar sesama penerbit. Tetapi tidak demikian
dengan penerbit kampus. Padahal, even pameran menjadi penting bagi penerbit
kampus dalam rangka sebagai ajang aktualisasi diri dan unjuk eksistensi. Lebih
dari itu, saya mengandaikan jika ke depan sebuah penerbitan kampus dapat
mewarnai ‘bisnis’ perbukuan dengan membuka gerai-gerai di mall-mall besar.
Ketiga, menjaga kualitas produk. Buku yang
diterbitkan oleh penerbit kampus harus memiliki kualitas yang dapat diandalkan.
Isi buku menjadi hal penting yang harus selalu dijaga. Isi buku tidak lain
adalah roh buku itu sendiri. Tidak sedikit para pembaca kecewa setelah membeli
dan membaca sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu karena alasan
rendahnya kualitas isi buku. Di sini, selektifitas atas naskah-naskah yang
masuk harus ditingkatkan, bahkan bila diperlukan memburu naskah-naskah bermutu
di luar kampus.
Kualitas produk buku juga berkaitan dengan tampilan
perwajahan cover buku. Dalam tradisi perbukuan di Indonesia, masalah cover
menjadi faktor kesekian yang dapat mendorong hasrat seseorang untuk membeli
buku. Cover buku tidak boleh kaku. Bila perlu cover buku yang diterbitkan oleh
sebuah penerbitan kampus harus memiliki karakter khas yang dapat membedakan
dengan penerbit-penerbit lainnya. Tampilan cover buku semestinya memiliki nilai
dan makna filosofis dari isi buku itu sendiri. Tampilan cover yang cenderung
formal, disinyalir menjadi kelemahan dari produk-produk penerbit kampus,
sehingga tidak dapat bersaing dengan penerbit buku yang lain.
Hal yang menarik terkait dunia pernerbitan di
Indonesia, adalah dipadukannya nilai estetik ke dalam perwajahan cover.
Persoalan estetik tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hal yang terkait
dengan keindahan visual dalam mendesain sebuah cover. Persoalan perwajahan
cover ditempatkan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isi buku. Di
sini, perwajahan cover menempati ruang sosial budaya tersendiri. Cover-cover
buku pun menjadi realitas penciptaan dan pemaknaan. Maka tidak heran, jika
proses pembuatan cover buku memakan waktu yang cukup lama. Bahkan terkadang
memakan waktu berbuln-bulan.
Keempat, strategi promosi yang baik. Promosi
merupakan cara untuk memperkenalkan dan mencitrakan diri. Tujuannya adalah
menarik simpati orang agar percaya kepada diri yang dipromosikan. Strategi
promosi berarti strategi mencitrakan diri di hadapan ‘yang lain’. Politik
pencitraan diri adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolahan
penerbit kampus. Media promosi produk penerbit kampus yang digunakan bisa
beragam, mencakup segala lapisan masyarakat pembaca. Tak jarang, karena promosi
sebuah buku laris manis terjual habis dalam waktu yang cukup singkat.
Di era sekarang, menurut saya membuat penerbit
buku—apalagi penerbit kampus—sangat mudah. Yang sulit adalah memelihara dan
meruwat penerbit agar dapat eksis di tengah gempuran persaingan pasar buku yang
semakin dahsyat. Maju-mundurnya penerbit kampus bergantung pada usaha-usaha
keras, komitmen dan integritas yang tinggi dari insan-insan kampus. Selamat![mff]
2 komentar:
ayo semangat para dosen-ku....
apalah daya kalau mahasiswanya lebih memetingkan mode daripada menulis,,,,
Posting Komentar