20 Mei, 2012

Meruwat Penerbitan Kampus


Oleh: M. Faisol Fatawi

Kalau kita mendiskusikan tentang kampus, maka hal pertama kali yang terlintas dalam pikiran adalah kampus menjadi tempat penggemblengan ilmu pengetahuan bagi para calon sarjana dan ilmuan. Kampus tidak lain dalah gudangnya para sarjana dan ilmuan. Kampus menjadi mercusuar tegak dan berkembangnya ilmu pengetahuan; kemajuan di bidang ilmu pengetahuan menjadi cita-cita luhur bagi landasan filosofis didirikannya sebuah perguruan tinggi.
Di Indonesia, kampus atau perguruan tinggi bercokol dimana-mana, baik berstatus negeri maupun swasta. Hampir setiap kota (wilayah/propisinsi) di seluruh negeri ini, tidak luput dari kampus. Jika dihitung dengan jari, jumlah kampus atau perguruan tinggi di bumi pertiwi yang kita cintai ini, mulai dari ujung barat sampai ujungg timur, dari yang kecil sampai yang besar, mencapai ratusan atau bahkan ribuan. Meskipun jumlahnya melimpah ruah, cita-cita luhur untuk menjadikan kampus atau perguruan tinggi sebagai pusat kemajuan ilmu pengetahuan masih jauh dari harapan—kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tidak terwujud. Tolak ukurnya sederhana, dari jumlah kampus atau perguruan tinggi yang ada, tidak lebih dari 5 % memiliki sistem publikasi karya ilmiah yang mapan.
Dalam sebuah rilis Webometrics edisi Januari 2009 disebutkan, bahwa dari sekitar 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, hanya 33 perguruan tinggi yang masuk daftar peringkat Top 5000 Dunia. Dari 33 perguruan tinggi Indonesia itu, tidak satu pun yang masuk dalam daftar Top 15 untuk wilayah Benua Asia. Universitas Gadjah Mada berada di peringkat 64 dan Institut Teknologi Bandung berada pada peringkat 71 dalam TOP 100 Asia. Untuk peringkat 1 sampai 5 Asia berturut-turut University of Tokyo, National Taiwan University, Kyoto University, Peking University, dan University of Hongkong. Salah satu rujukan pentingnya yang menjadi dasar penilaian adalah poin scholar hal-hal yang terkait dengan dokumen karya ilmiah dan situasi dari sivitas akademikanya.
Dalam bayangan saya, sebuah perguruan tinggi adalah tak ubahnya ‘perusahaan’  intelektual. Mesin-mesinnya adalah para pengajar, ilmuan atau bahkan para mahasiswa. Mesin-mesin inilah yang akan menghasilkan produk-produk intelektual, baik di bidang ilmu-ilmu sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu saintis, baik ilmu yang bersifat teoritis atau terapan. Berbagai produk intelektual tersebut kemudian dikemas dalam bentuk sedemikian rupa dan dipasarkan ke hadapan public, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat. Inilah yang saya maksud dengan sistem publikasi karya ilmiah itu.
Kontribusi paling mulia dari sebuah kampus atau perguruan tinggi adalah sumbangsih intelektualnya di bidang ilmu pengetahuan. Sistem publikasi ilmiah dapat dijadikan sebagai alat untuk mempertegas eksistensi dan identitas kampus sebagai lokomotif kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk itu, sistem publikasi karya ilmiah yang mapan menjadi sebuah keniscayaan bagi sebuah perguruan tinggi. Dan dalam konteks kampus ini, UIN Malang press—khususnya--dapat kita jadikan sebagai ‘rumah produksi’ bagi karya intelektual para sivitas akademika.

Pasang Surut Penerbitan Kampus
Kehadiran penerbit kampus dalam dunia perbukuan bukanlah sesuatu yang baru. Era tahun 50-an mungkin dapat dikatakan sebagai awal munculnya penerbit kampus. Sebutlah Universitas Islam Indonesia (UII), yang bisa dibilang sebagai kampus pertama yang mulai menapaki dunia penerbitan. Sejak 11 November 1951, UII di bawah pimpinan Tjitrosoebono sudah memiliki penerbitan dengan nama Jajasan Pertjetakan. Penerbit kampus yang satu ini hanya dapat bertahan sampai tahun 1970-an, hingga kemudian dibubarkan pada tahun 1981. UII berusaha bangkit kembali dari keterpurukan penerbitan kampus sejak tahun 1992.
Langkah terjun ke dalam dunia penerbitan seperti UII juga diikuti oleh kampus-kampus yang lain. Contoh paling nyata adalah beberapa kampus besar negeri seperti Gadjah Mada University Press (Gama Press), Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Airlangga University Press, dan Penerbit ITB. Pada era tahun 80-an, penerbit-penerbit kampus tersebut sempat ‘mencuri’ perhatian public. Buku-buku yang terbitkan dinilai bermutu dan berkualitas.  Namun demikian, nasibnya kini juga di ujung tanduk; mati segan hidup tak mau. Wal hasil, penerbit-penerbit ini tidak mampu bersaing dengan penerbit swasta dalam menghasilkan produk-produk yang berkualitas.
Kondisi penerbitan kampus yang seperti itu mungkin berbeda jika kita bandingkan dengan penerbit-penerbit kampus yang ada di luar negeri (baca: Barat). Lihat saja penerbit kampus seperti Oxford University atau Cambridge University. Kedua penerbit ini mampu menancapkan ‘kakinya‘ di tengah dunia penerbitan, sehingga mampu menerbitkan buku-buku ilmiah berkualitas yang selalu diburu oleh masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Bahkan produk-produk kedua penerbit kampus tersebut mampu mengepakkan sayap pengaruhnya ke seluruh dunia; banyak perguruan tinggi yang menjadikan buku-buku terbitannya sebagai bahan rujukan. Kita mungkin perlu belajar dari majunya penerbitan kampus luar negeri tersebut.
Menurut beberapa pengamat dunia perbukuan dan penerbitan, terdapat beberapa hal yang menyebabkan kenapa selama ini penerbit kampus di Indonesia gagal dalam meneguhkan dirinya sebagai penerbit yang tangguh dan benar-benar eksis. Beberapa hal tersebut diantaranya, keterbatasan dukungan dana, rendahnya budaya tulis menulis di lingkungan kampus dan rendahnya kualitas buku.
Pertama, keterbatasan dana. Persoalan dana dapat dibilang persoalan klasik. Dalam dunia penerbitan, uang menjadi hal yang sangat penting. Mati hidupnya sebuah penerbitan buku, baik kampus maupun non kampus, sangat bergantung dengan dukungan dana. Kita mungkin dapat mengamati menjamurnya penerbitan buku yang muncul pasca reformasi, tetapi tidak sedikit dari penerbit-penerbit itu tidak mampu beroperasi karena terjepit persoalan uang. Jangan heran jika kita menemukan sebuah penerbit—penerbit swasta khususnya--buku yang ngutang ke bank, dan setiap bulan harus mencicilnya.  Dan tak jarang pula, karena lilitan hutang itu, sebuah penerbit gulung tikar.
Kedua, rendahnya budaya tulis menulis. Menumbuhkan budaya tulis menulis tidak gampang dilakukan. Karena, aktifitas menulis menuntut seseorang untuk dapat sedikit meluangkan waktu dan cukup menyita pikiran. Barangkali, alasan inilah yang mendorong seorang pengajar (dosen) untuk lebih suka menyampaikan apa yang akan diajarkan secara lisan atau ceramah.
Ketiga, kualitas buku yang rendah. Faktor ini seringkali dihubungkan dengan ketidak-seriusan penulis yang bersangkutan. Ini terkait dengan rendahnya budaya tulis menulis yang dimiliki oleh seseorang. Pada umumnya, seseorang lebih mempertimbangkan besar-kecilnya honor yang diterima katimbang berkarya (menulis) itu sendiri, sehingga mereka lebih suka memilih jalan pintas dalam berkarya. Maka tak heran, jika kita jarang menemukan penulis atau pengarang buku dari kalangan dosen, yang terkenal dan diperhitungkan dalam percaturan intelektual dan belantara dunia perbukuan.

Mengejar Ketertinggalan
Era globalisasi yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK) dan informasi, menjadi tantangan dan sekaligus memberikan peluang bagi perkembangan dunia penerbitan buku pada umumnya, dan secara khusus penerbitan kampus. Ingar-bingar dunia penerbitan buku beberapa tahun terakhir ini, semakin nyata. Persaingan antar penerbit semakin ketat dalam memproduksi buku bacaan, baik ilmiah maupun non ilmiah.
Mati satu tumbuh seribu. Itulah adagium yang pas untuk menggambarkan ingar-bingar penerbitan buku di Indonesia. Dengan segala fasilitas yang semakin maju dan canggih, setiap orang akan semakin mudah untuk bergelut di dalam dunia penerbitan buku. Sebuah penerbitan buku tidak harus memiliki paralatan yang canggih dan lengkap. Sebuah penerbitan buku pun bisa menjadi eksis hanya dikendalikan oleh tiga sampai lima orang saja. Penerbit non kampus pun semakin marak. Kota Jogjakarta mungkin dapat disebut sebagai gudangnya penerbitan buku.
Di tengah persaingan yang sengit seperti itu, penerbitan kampus tidak boleh tenggelam dalam deru gelombang penerbitan buku pada umumnya. Penerbitan kampus harus eksis. Penerbit kampus tidak boleh membiarkan diri tertinggal di belakang penerbit-penerbit swasta (non kampus) yang lain; harus menjadi yang terdepan dalam mengawal kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, beberapa hal harus diperhatikan dalam pengelolahan penerbitan kampus. Pertama, berorientasi profit. Orientasi profit merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Karena, menerbitkan buku butuh pada dukungan dana yang cukup. Bayangkan saja, jika sebuah penerbit kampus dalam setiap bulan harus menerbitkan minimal 4 buku. Setiap buku dicetak sebanyak minimal seribu eksemplar dengan biaya masing-masing  sebesar lima juta. Tentu, biaya yang dibuthkan untuk mencetak setiap bulan mencapai dua puluh juta. Ini pun belum termasuk biaya lain-lain, seperti editor, layouter, desainer dan seterusnya.
Orientasi profit dalam mengelolah penerbitan kampus juga cukup dapat membantu masalah dana. Penerbitan kampus (khususnya penerbitan kampus-kampus negeri) tidak selamanya dapat mengandalkan suplay dana dari negara. Di sini, dengan orientasi profit sebuah penerbitan kampus dapat mengolah dan menghidupi dapur rumah tangganya secara mandiri. Alih-alih, meminimalisiasi cara-cara kerja birokratis, karena mengelolah penerbitan buku berhadapan dengan pasar, bukan birokrasi.
Kedua, membangun jaringan pemasaran yang kuat. Semakin kuat jaringan pemasaran sebuah penerbitan buku, maka semakin lama usia hidupnya penerbitan buku itu. Semakin luas jaringan pemasaran sebuah penerbit buku, maka semakin banyak masyarakat pembaca yang dapat mengakses produk-produk terbitan yang dihasilkan.  Oleh karena itu, kemungkinan terjualnya produk itu pun semakin terbuka lebar.
Dalam konteks penerbitan kampus, sejauh ini perlu dibangun jaringan antar penerbit kampus. Yang menjadi target dalam hal ini adalah menjadikan penerbit kampus sebagai pelaku pasar yang riil, tidak hanya sebatas supliyer. Sementara ini, pelaku pasar dunia penerbitan buku dikuasai oleh penerbit non kampus. Pertemuan antar penerbit pun aktif dilakukan oleh penerbit-penerbit non kampus, yang tidak jarang berujung pada diselenggarakannya even pameran antar sesama penerbit. Tetapi tidak demikian dengan penerbit kampus. Padahal, even pameran menjadi penting bagi penerbit kampus dalam rangka sebagai ajang aktualisasi diri dan unjuk eksistensi. Lebih dari itu, saya mengandaikan jika ke depan sebuah penerbitan kampus dapat mewarnai ‘bisnis’ perbukuan dengan membuka gerai-gerai di mall-mall besar.
Ketiga, menjaga kualitas produk. Buku yang diterbitkan oleh penerbit kampus harus memiliki kualitas yang dapat diandalkan. Isi buku menjadi hal penting yang harus selalu dijaga. Isi buku tidak lain adalah roh buku itu sendiri. Tidak sedikit para pembaca kecewa setelah membeli dan membaca sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit tertentu karena alasan rendahnya kualitas isi buku. Di sini, selektifitas atas naskah-naskah yang masuk harus ditingkatkan, bahkan bila diperlukan memburu naskah-naskah bermutu di luar kampus.
Kualitas produk buku juga berkaitan dengan tampilan perwajahan cover buku. Dalam tradisi perbukuan di Indonesia, masalah cover menjadi faktor kesekian yang dapat mendorong hasrat seseorang untuk membeli buku. Cover buku tidak boleh kaku. Bila perlu cover buku yang diterbitkan oleh sebuah penerbitan kampus harus memiliki karakter khas yang dapat membedakan dengan penerbit-penerbit lainnya. Tampilan cover buku semestinya memiliki nilai dan makna filosofis dari isi buku itu sendiri. Tampilan cover yang cenderung formal, disinyalir menjadi kelemahan dari produk-produk penerbit kampus, sehingga tidak dapat bersaing dengan penerbit buku yang lain.
Hal yang menarik terkait dunia pernerbitan di Indonesia, adalah dipadukannya nilai estetik ke dalam perwajahan cover. Persoalan estetik tidak lagi dipandang semata-mata sebagai hal yang terkait dengan keindahan visual dalam mendesain sebuah cover. Persoalan perwajahan cover ditempatkan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isi buku. Di sini, perwajahan cover menempati ruang sosial budaya tersendiri. Cover-cover buku pun menjadi realitas penciptaan dan pemaknaan. Maka tidak heran, jika proses pembuatan cover buku memakan waktu yang cukup lama. Bahkan terkadang memakan waktu berbuln-bulan.
Keempat, strategi promosi yang baik. Promosi merupakan cara untuk memperkenalkan dan mencitrakan diri. Tujuannya adalah menarik simpati orang agar percaya kepada diri yang dipromosikan. Strategi promosi berarti strategi mencitrakan diri di hadapan ‘yang lain’. Politik pencitraan diri adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pengelolahan penerbit kampus. Media promosi produk penerbit kampus yang digunakan bisa beragam, mencakup segala lapisan masyarakat pembaca. Tak jarang, karena promosi sebuah buku laris manis terjual habis dalam waktu yang cukup singkat.
Di era sekarang, menurut saya membuat penerbit buku—apalagi penerbit kampus—sangat mudah. Yang sulit adalah memelihara dan meruwat penerbit agar dapat eksis di tengah gempuran persaingan pasar buku yang semakin dahsyat. Maju-mundurnya penerbit kampus bergantung pada usaha-usaha keras, komitmen dan integritas yang tinggi dari insan-insan kampus. Selamat![mff]

2 komentar:

apalah daya kalau mahasiswanya lebih memetingkan mode daripada menulis,,,,