03 Mei, 2012

Ketika Peran Guru Digantikan Internet

Oleh: M. Faisol Fatawi

Kemajuan teknologi di era modern telah berdampak nyata dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Dalam dunia industri misalnya, kecanggihan mesin semakin memacu produktifitas perusahaan. Di sisi lain, canggihnya mesin mulai menggeser peran para pekerja di pabrik-pabrik, sehingga ancaman pengangguran menjadi momok yang ditakuti oleh semua orang. Ternyata, tidak semua kemajuan teknologi berdampak positif terhadap kehidupan umat manusia. Kemajuan teknologi tetap saja meninggalkan ambiguitas di tengah ruang kehidupan manusia. Bagaimana dengan dunia pendidikan?
Ternyata kenyataan yang sama juga dapat kita temukan dalam dunia pendidikan. Kemajuan teknologi dan temuan-temuan barunya telah menyisakan ruang ambiguitas; efek positif dan sekaligus negatif. Jika dilihat dari efek positif, kemajuan teknologi telah menyuguhkan alternatif kemudahan dalam penyampaian materi pembelajaran. Buku cetak sekarang ini digantikan dengan e-book; ratusan buku dapat ditenteng hanya melalui sebuah layar monitor tablet; berbagai ragam program komputer menawarkan fasilitas-fasilitas bagi seorang guru-peserta didik dalam proses pembelajaran; pembelajaran berbasis e-learning; dan seterusnya.
Tetapi sebaliknya, efek positif yang semestinya kita manfaatkan itu justru seringkali tidak berarti apa-apa di tengah proses pembelajaran, baik bagi guru/pengajar maupun peserta didik. Yang sering kita saksikan, kelas-kelas dilengkapi dengan fasilitas LCD tetapi tetap saja tidak berdampak positif bagi kemajuan mutu kompetensi peserta didik. Komputer yang canggih seringkali hanya menyulut cara-cara “meng-copy-paste” ketika mengerjakan karya ilmiah. Pengajar/dosen pun tak kalah dengan mahasiswa/peserta didiknya. Tak jarang, mereka beramai-ramai berselancar melalui dunia maya demi mencari data hanya sekedar untuk di-copy ulang. Alih-alih berkarya dengan menulis buku, artikel, cerita atau karya-karya yang lain.
“Setiap kalian menjadi pemimpin bagi dirinya masing-masing,” demikian bunyi petikan hadits nabi Saw. Itu artinya, bahwa setiap orang semestinya bisa mengarahkan dirinya senidiri dalam setiap tindakan yang dilakukan. Efek positif dan negatif dari kemajuan sebuah teknologi bergantung pada bagaimana masing-masing orang mensikapinya. Bisa menjadi senjata untuk mempertahan diri atau justru menjadi senjata makan tuan. Di sini, kesiapan atau kematangan mental seseorang sangat dibutuhkan dalam menerima, mensikapi dan memperlakukan kemajuan teknologi.
Dalam sebuah diskusi singkat, seorang sahabat mengusulkan pentingnya untuk melakukan terobosan kuliah melalui dunia maya (baca: internet). Menurutnya, kuliah melalui dunia maya menjadi kebutuhan mendesak untuk konteks modern seperti sekarang ini. Seorang dosen cukup duduk di depan internet, meng-upload bahan-bahan perkuliahan atau bahan ajar. Sementara peserta didik/mahasiswa tinggal mengunduh dan mempelajarinya. Pengajar dan peserta didik cukup bertemu saat ujian tengah semester atau ujian akhir semester. Ide seperti ini sangat bagus. Cerita mengenai topik diskusi ini hanya sekedar gambaran akan besarnya dampak kemajuan teknologi dalam dunia pendidikan.
Yang lebih penting dari semua itu, ternyata kemajuan teknologi—jika kita rasakan—membawa kita untuk merenungkan kembali eksistensi diri sendiri, Dalam konteks dunia pendidikan, eksistensi diri sendiri itu bisa berarti pengajar, dosen atau guru di satu sisi, peserta didik, mahasiswa atau murid di sisi lain. Di tengah gegap-gempitanya teknologi, eksistensi diri harus terus dimaknai agar tidak terjebak pada pusaran ambiguitas akibat  dari apa yang “tak terpikirkan” dari sebuah kemajuan teknologi.
Contoh nyatanya adalah eksistensi diri seorang pengajar dalam kaitannya dengan dunia maya (baca: internet). Secara praktis, internet sekarang ini telah menggantikan peran dan fungsi seorang guru atau dosen.  Sejak dahulu kala, seorang guru atau dosen diyakini sebagai sumber ilmu pengetahuan. Seorang guru agama, mengajarkan kepada muridnya tentang ilmu-ilmu pengetahuan agama. Seorang guru IPA mengajarkan kepada muridnya tentang teori-teori IPA. Begitu juga dengan guru-guru atau dosen-dosen yang lain. Tetapi masalahnya, sekarang ini seseorang mampu mendapatkan informasi tentang ilmu pengetahuan apapun hanya dengan berselancar dalam dunia maya (internet). Pengetahuan atau informasi apa yang tidak bisa diperoleh dari sebuah “kiai Google.com”. Semua ini artinya, bahwa antara guru atau dosen dengan internet sama-sama memainkan fungsi dan peran yang sama, yaitu sebagai pentransfer ilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya peran dan fungsi yang dimainkan oleh seorang guru-dosen dengan internet sebagai dalam hal mentransfer ilmu pengetahuan? Bukankah ilmu pengetahuan atau teori-teori yang disampaikan oleh seorang guru atau dosen di dalam kelas, dapat kita dapatkan pula melalui dunia maya?
Mungkin sudah tidak saatnya bagi para guru-dosen untuk melihat fungsi-peran dirinya sebagai pentransfer ilmu pengetahuan atau sumber informasi. Sudah saatnya kita keluar dari manstrem guru-dosen-pengajar sebagai sumber pengetahuan. Kita perlu untuk manfsirkan ulang eksistensi diri kita sebagai guru, dosen atau pengajar; mencari makna lain atas fungsi dan peran dirinya. Makna baru itu bisa saja bahwa guru, dosen atau pengajar adalah seorang motivator, inisiator, fasilitator dan atau makna-makna progresif lainnya yang mampu menumbuhkan gerak kreatifitas dan kemandirian dalam jiwa peserta didik. Jika kita tidak mampu memaknai eksistensi diri kita sebagai guru, dosen atau pengajar di tengah arus mmodrnitas seperti ini, maka kita akan tergerus dalam ruang ambiguitas yang tercipta dari tangan-tangan teknologi yang semakin canggih. [mff]

0 komentar: