Oleh: M. Faisol Fatawi
Kemajuan teknologi di era modern telah
berdampak nyata dalam segala aspek kehidupan umat manusia. Dalam dunia industri
misalnya, kecanggihan mesin semakin memacu produktifitas perusahaan. Di sisi
lain, canggihnya mesin mulai menggeser peran para pekerja di pabrik-pabrik,
sehingga ancaman pengangguran menjadi momok yang ditakuti oleh semua orang.
Ternyata, tidak semua kemajuan teknologi berdampak positif terhadap kehidupan
umat manusia. Kemajuan teknologi tetap saja meninggalkan ambiguitas di tengah
ruang kehidupan manusia. Bagaimana dengan dunia pendidikan?
Ternyata kenyataan yang sama juga
dapat kita temukan dalam dunia pendidikan. Kemajuan teknologi dan temuan-temuan
barunya telah menyisakan ruang ambiguitas; efek positif dan sekaligus negatif.
Jika dilihat dari efek positif, kemajuan teknologi telah menyuguhkan alternatif
kemudahan dalam penyampaian materi pembelajaran. Buku cetak sekarang ini
digantikan dengan e-book; ratusan buku dapat ditenteng hanya melalui sebuah
layar monitor tablet; berbagai ragam program komputer menawarkan
fasilitas-fasilitas bagi seorang guru-peserta didik dalam proses pembelajaran;
pembelajaran berbasis e-learning; dan seterusnya.
Tetapi sebaliknya, efek positif yang
semestinya kita manfaatkan itu justru seringkali tidak berarti apa-apa di
tengah proses pembelajaran, baik bagi guru/pengajar maupun peserta didik. Yang
sering kita saksikan, kelas-kelas dilengkapi dengan fasilitas LCD tetapi tetap
saja tidak berdampak positif bagi kemajuan mutu kompetensi peserta didik.
Komputer yang canggih seringkali hanya menyulut cara-cara “meng-copy-paste”
ketika mengerjakan karya ilmiah. Pengajar/dosen pun tak kalah dengan
mahasiswa/peserta didiknya. Tak jarang, mereka beramai-ramai berselancar
melalui dunia maya demi mencari data hanya sekedar untuk di-copy ulang. Alih-alih
berkarya dengan menulis buku, artikel, cerita atau karya-karya yang lain.
“Setiap kalian menjadi pemimpin bagi
dirinya masing-masing,” demikian bunyi petikan hadits nabi Saw. Itu artinya,
bahwa setiap orang semestinya bisa mengarahkan dirinya senidiri dalam setiap
tindakan yang dilakukan. Efek positif dan negatif dari kemajuan sebuah
teknologi bergantung pada bagaimana masing-masing orang mensikapinya. Bisa
menjadi senjata untuk mempertahan diri atau justru menjadi senjata makan tuan.
Di sini, kesiapan atau kematangan mental seseorang sangat dibutuhkan dalam
menerima, mensikapi dan memperlakukan kemajuan teknologi.
Dalam sebuah diskusi singkat, seorang
sahabat mengusulkan pentingnya untuk melakukan terobosan kuliah melalui dunia
maya (baca: internet). Menurutnya, kuliah melalui dunia maya menjadi kebutuhan
mendesak untuk konteks modern seperti sekarang ini. Seorang dosen cukup duduk
di depan internet, meng-upload bahan-bahan perkuliahan atau bahan ajar.
Sementara peserta didik/mahasiswa tinggal mengunduh dan mempelajarinya.
Pengajar dan peserta didik cukup bertemu saat ujian tengah semester atau ujian
akhir semester. Ide seperti ini sangat bagus. Cerita mengenai topik diskusi ini
hanya sekedar gambaran akan besarnya dampak kemajuan teknologi dalam dunia
pendidikan.
Yang lebih penting dari semua itu,
ternyata kemajuan teknologi—jika kita rasakan—membawa kita untuk merenungkan
kembali eksistensi diri sendiri, Dalam konteks dunia pendidikan, eksistensi
diri sendiri itu bisa berarti pengajar, dosen atau guru di satu sisi, peserta
didik, mahasiswa atau murid di sisi lain. Di tengah gegap-gempitanya teknologi,
eksistensi diri harus terus dimaknai agar tidak terjebak pada pusaran
ambiguitas akibat dari apa yang “tak
terpikirkan” dari sebuah kemajuan teknologi.
Contoh nyatanya adalah eksistensi diri
seorang pengajar dalam kaitannya dengan dunia maya (baca: internet). Secara
praktis, internet sekarang ini telah menggantikan peran dan fungsi seorang guru
atau dosen. Sejak dahulu kala, seorang
guru atau dosen diyakini sebagai sumber ilmu pengetahuan. Seorang guru agama,
mengajarkan kepada muridnya tentang ilmu-ilmu pengetahuan agama. Seorang guru IPA
mengajarkan kepada muridnya tentang teori-teori IPA. Begitu juga dengan
guru-guru atau dosen-dosen yang lain. Tetapi masalahnya, sekarang ini seseorang
mampu mendapatkan informasi tentang ilmu pengetahuan apapun hanya dengan
berselancar dalam dunia maya (internet). Pengetahuan atau informasi apa yang
tidak bisa diperoleh dari sebuah “kiai Google.com”. Semua ini artinya, bahwa antara
guru atau dosen dengan internet sama-sama memainkan fungsi dan peran yang sama,
yaitu sebagai pentransfer ilmu pengetahuan. Lantas, apa bedanya peran dan
fungsi yang dimainkan oleh seorang guru-dosen dengan internet sebagai dalam hal
mentransfer ilmu pengetahuan? Bukankah ilmu pengetahuan atau teori-teori yang
disampaikan oleh seorang guru atau dosen di dalam kelas, dapat kita dapatkan
pula melalui dunia maya?
Mungkin sudah tidak saatnya bagi para
guru-dosen untuk melihat fungsi-peran dirinya sebagai pentransfer ilmu
pengetahuan atau sumber informasi. Sudah saatnya kita keluar dari manstrem guru-dosen-pengajar
sebagai sumber pengetahuan. Kita perlu untuk manfsirkan ulang eksistensi diri
kita sebagai guru, dosen atau pengajar; mencari makna lain atas fungsi dan
peran dirinya. Makna baru itu bisa saja bahwa guru, dosen atau pengajar adalah
seorang motivator, inisiator, fasilitator dan atau makna-makna progresif
lainnya yang mampu menumbuhkan gerak kreatifitas dan kemandirian dalam jiwa
peserta didik. Jika kita tidak mampu memaknai eksistensi diri kita sebagai
guru, dosen atau pengajar di tengah arus mmodrnitas seperti ini, maka kita akan
tergerus dalam ruang ambiguitas yang tercipta dari tangan-tangan teknologi yang
semakin canggih. [mff]
0 komentar:
Posting Komentar